Setelah
itu, bus beranjak untuk menuju ke Pelabuhan Merak. Seperti biasa, bus akan
berhenti di warung makan langganan perusahaan mereka, untuk makan dan minum. Di
sini, biasanya para penumpang jarang yang mau makan di restoran yang dimaksud,
sebab sudah tentu harganya yang tidak begitu ramah dengan kantong. Harga makan
melambung tinggi. Rasanya terkadang pun tidak begitu enak. Selain itu, para
penumpang juga dipungut bayaran ketika menggunakan fasilitas toilet atau kamar
mandi. Hanya untuk wudhu dan musalla saja yang belum dipungut biaya, di
beberapa warung makan yang kami singgahi.
Sehingga
begitu turun saya menyarankan untuk makan malam di pinggir restoran, dimana
terdapat warung kopi atau Warmindo (Warung Makan Indomie). Setelah itu, bus
menuju pelabuhan penyeberangan. Saat menjelang masuk ke ferry, kami pun dikutip
KTP sebagai daftar penumpang dalam bus tersebut. Rupanya, surat hasil Swab Anti Gen, sama sekali tidak
diperiksa oleh petugas pelabuhan. Bus Putra Pelangi lantas masuk ke dalam jalur
antrian menuju kapal penyeberangan. Tidak lama kemudian bus pun masuk ke dalam
lambung kapal. Penumpang diminta untuk turun dari kapal.
Malam
itu, penumpang kapal lumayan ramai. Kemungkinan besar ini disebabkan PPKM sudah
mulai diperlonggar. Tetapi, para penumpang sangat dianjurkan untuk memakai
masker. Selama di kapal, kami hanya beristirahat di atas sofa yang tersedia di
kelas eksekutif. Bagi yang duduk di kelas ini, maka diminta membayar lagi untuk
setiap penumpang, Rp. 10.000. Setelah dua jam berlabuh di Selat Sunda, kapal
kemudian merapat di Pelabuhan Bakauheni. Penumpang sudah berada di dalam bus
Putra Pelangi.
Mereka
mulai mengeluh dengan suhu di dalam bus. Selain panas, juga sangat tidak
nyaman. Saya membayangkan bahwa 3 malam 3 hari, kami akan berada di dalam
“aquarium” yang sama sekali tidak nyaman. Namun, tidak ada pilihan lain,
kecuali bersabar. Saya tidak lupa mengabari keluarga di kampung, bahwa kami di
dalam perjalanan menuju Aceh. Malam itu, bus merayap di jalan tol Trans
Sumatera. Namun, laju bus tidak kencang sama sekali. Bahkan bus kerap berhenti
untuk menurunkan barang-barang kiriman dari pulau Jawa ke Sumatera.
Pagi
hari bus masuk ke kota Palembang, setelah keluar dari tol. Penumpang mulai
mengeluh kelaparan, karena bus nya berhenti terlalu pagi hari, menjelang shalat
shubuh, di suatu tempat. Jadi, penumpang yang tidak shalat, terus melanjutkan
istirahat mereka hingga matahari menyapa mereka dari arah timur. Kernet
mengatakan bahwa bus akan berhenti di pool Putra Pelangi, untuk menurunkan dan
menaikkan penumpang. Disitulah penumpang boleh sarapan pagi. Begitu sampai di pool
Putra Pelangi, kami memandang sekeliling tempat tersebut. Tampaknya tidak
begitu nyaman untuk sarapan pagi. Tempatnya di pinggir jalan, berdebu, dan
tempat duduknya pun seadanya.