Begitu
tiba di Solok, kami disatukan dengan penumpang yang naik bus Sembodo dari Bukit
Tinggi. Kali ini, jalur yang ditempuh adalah Jalur Tengah Sumatera. Jadi,
selama touring ini, kami sudah menempuh jalur barat, timur, dan tengah
Sumatera. Jarak antara Padang ke Jakarta hanya satu hari satu malam saja. Namun,
jalan yang ditempuh cukup memperihatinkan. Saya berpikir bahwa jalur ini yang
akan saya tempuh saat saya pulang bersama Nyak Ver. Di tengah malam, naik bus
terasa naik kapal laut di tengah samudra.
Jalur
tengah memang agak sepi, dibandingkan dengan jalur timur. Di sini bus menuju ke
Padang atau Padang Sidempuan lalu ke kota Medan. Perjalanan kali ini kami
nikmati, walau menghindari warung nasi atau restoran pilihan perusahan bus.
Hanya saja, di tiket kami ada kupon makan gratis. Tetapi, kalau makan melebihi
25 ribu rupiah, maka kita harus membayar sisanya. Begitu naik bus ini, saya
merasakan begitu kental nuansa Minang, ketimbang saya naik bus Putra Pelangi,
dimana nuansa Aceh dan Medan begitu kentara.
Selama
di dalam bus, saya mengurangi untuk berbicara dengan para penumpang. Karena
nuansa tidak begitu nyaman, karena hanya kami penumpang yang dari Aceh. Selain
itu, para penumpang adalah orang Minang, yang berangkat ke Jakarta. Oleh salah
seorang penumpang, kami dikira sedang bulan madu. Sebab kami memang lebih
banyak diam dan selalu bersama-sama kemana saja saat turun bus. Begitu kami
membuka pembicaraan, dengan mengatakan bahwa kami sudah punya 5 cahaya hati.
Beberapa penumpang pun kaget. Kami mengatakan bahwa kami pasangan dari Aceh
yang sedang keliling Indonesia. Setelah itu, beberapa penumpang pun mulai ramah
dan menanyakan pengalaman touring kami.
Di
dalam bus terjadi pembicaraan hangat tentang kewajiban Swab Anti Gen untuk perjalanan darat/laut/udara. Masing-masing
penumpang memiliki pandangan masing-masing tentang keharusan tes Covid untuk
naik kapal penyeberangan. Kami menahan diri untuk berkomentar. Sebab, rata-rata
penumpang tidak mau tes Covid, dimana penumpang wajib membayar 100 ribu rupiah.
Perdebatan ini muncul saat kondektur mengatakan bahwa sebelum naik kapal
penyeberangan, penumpang wajib membawa surat negatif Covid 19. Begitu sampai di
salah satu warung makan, di situ sudah tersedia gerai untuk tes Swab Anti Gen. Penumpang akan dipanggil
nama mereka, ketika kami makan siang di warung tersebut.
Sebelum
turun makan siang, kondektur sudah mengutip KTP penumpang di dalam bus. Begitu
mendengar nama dipanggil, kami langsung merapat ke gerai tersebut. Tempatnya
memang tempat yang tidak begitu steril, karena bukan di dalam gedung atau
ruangan rumah sakit atau klinik. Setelah tes, kami pun menyeberang untuk minum
air kelapa. Setelah itu, menjelang sore hari, bus berangkat dari Kalianda
menuju pelabuhan Bakauheni, Lampung
Selatan. Begitu bus mendekati jalur untuk masuk ke kapal, bus langsung
dihentikan oleh polisi yang tidak berseragam. Mereka memintan surat ke kru bus.
Mereka pun menerima sebanyak 17 lembar hasil tes Swab Anti Gen.
Dengan
begitu, bus kami pun mulai diperiksa secara seksama. Ada barang penumpang yang
dipaksa untuk diperiksa. Penumpang pun saling menatap antara satu sama lain.
Lalu, terjadi keributan di dalam bus, karena rupanya ada penumpang yang tidak
mau melakukan tes. Singkat cerita, bus kembali dibelokkan ke arah keluar
pelabuhan. Lalu bagi yang belum melakukan tes, diperintahkan untuk melakukan
tes di salah satu klinik. KTP mereka dikumpulkan untuk diketik pada hasil tes.
Setelah urusan ini selesai, bus kembali masuk ke dalam pelabuhan Bakauheni.
Setelah itu, kami berlaya selama 2 jam menuju ke Pelabuhan Merak.