Sumber: https://pekanbaru.tribunnews.com/ |
Dalam esai ini saya tertarik untuk membahas tentang
pendeportasian Ustaz Abdul Shomad oleh pihak imigrasi pemerintah Singapura.
Berita penolakan terhadap UAS menjadi berita nasional di Indonesia. Kondisi ini
menunjukkan ada pertanyaan inti yang harus dijawab, mengapan UAS tidak
diizinkan masuk ke Singapura.
Dari beberapa pengalaman saya dan beberapa kolega
saya yang memasuki negara manapun, adalah hak setiap negara tujuan untuk
menerima atau menolak seseorang, untuk memasuki negaranya. Jadi, ketika kita
berhadapan dengan petugas imigrasi, tentu kita tidak pernah tahu apakah nama
kita ada dalam “list” yang tidak boleh masuk ke negaranya.
Karena itu, saya akan memberikan beberapa hal yang
mungkin dapat menjawab, mengapa UAS tidak diizinkan masuk ke Singapura. Kendati
yang lebih tahu tentang alasan ini adalah pemerintah Singapura dan terkadang
tidak akan diberitahukan kepada siapapun, karena dalam logika keamanan dan
kepentingan nasional, apapun akan dilakukan oleh suatu negara, untuk menentukan
seseorang, boleh atau tidak masuk, ke negaranya.
Pertama, sangat boleh jadi, UAS adalah tokoh yang
dipantau oleh pihak internasional. Kiprahnya dalam beberapa tahun terakhir,
terkadang tidak memberikan kenyamanan bagi pihak-pihak tertentu. Karena itu,
sangat boleh jadi, pencekalan UAS ini merupakan “pesanan” dari pihak-pihak yang
memiliki akses langsung ke pemerintah Singapura.
Kedua, UAS dalam beberapa tahun terakhir adalah
sosok pendakwah Indonesia yang paling dimonitor oleh apparat keamanan, kendati
dia juga berceramah di depan aparat keamanan. Salah seorang perwira tinggi
keamanan di salah satu negara, memperlihatkan itenary perjalanan UAS dalam
berdakwah di Indonesia.
Setiap ada agenda besar umat Islam di Jakarta, UAS
selalu “terundang” atau “diundang” ke pulau-pulau yang jauh dari lokasi aksi
unjuk rasa ummat Islam di Jakarta. Jadwal perjalanan dan agenda dakwahnya pun
sudah diketahui sampai tahun depan, karena sosok UAS adalah tokoh baru yang
dapat saja bersinggungan dengan kestabilan nasional, regional, dan internasional.
Tentu UAS tidak akan pernah menyadari hal ini.
Ketiga, sangat boleh jadi nama UAS masuk dalam
list-list database nama yang tidak diinginkan oleh pemerintah Amerika Serikat
dan aliansinya. Biasanya, nama-nama tersebut disebarkan ke jaringan intelijen,
atas dasar kerjasama intelijen di antara negara-negara yang bersepakat untuk
berbagi info intelijen.
Ketika nama tersebut muncul dalam data base, maka
siapapun tidak akan dapat membantu kepada orang tersebut, untuk masuk ke suatu
negara. Beberapa pengalaman ini menunjukkan bahwa informasi nama-nama yang
dicurigai juga dimiliki oleh beberapa pemerintah di Asia Tenggara.
Pihak KBRI pun tidak akan bisa mencampuri sistem
keamanan pemerintah Singapura, ketika menolak seorang warga negeri Indonesia.
Bahkan pihak imigrasi tidak hanya menolak UAS, tetapi ada banyak warga
Indonesia yang ditolak, ketika sampai ke Singapura, tanpa alasan yang kongkrit.
Biasanya, staf imigrasi hanya mendapatkan perintah
untuk melaksanakan tugasnya. Dia tidak punya otoritas untuk mengklarifikasi. Di
sinilah, biasanya pihak-pihak terkait, biasanya yang memutuskan seseorang boleh
atau tidak, untuk masuk ke negaranya.
Sejak tahun 2001, Singapurah memang dikenal sebagai
“another American Country” di Asia Tenggara. Makian kepada warga Indonesia
sering terdengar, jika kita mengantri ketika hendak cap paspor. Hal ini
disebabkan karena negara ini benar-benar tidak ingin menjadi tempat transit
atau target untuk kegiatan terorisme.Atau pun mencari kerja di negara tersebut
secara illegal.
Jadi, penolakan atau deportasi yang dialami oleh
UAS adalah hal yang biasa. Bahkan pemerintah Indonesia juga pernah melakukan
hal yang sama, dengan alasan seperti yang disampaikan oleh pemerintah
Singapura, ketika menolak UAS. Alasan diplomatis ini pun tidak akan dapat
dikonfirmasi kepada pemerintah yang mengusir seseorang dari negaranya.
Demikian pula, perlakuan dalam ruangan 1×2 adalah
juga hal yang biasa dan dialami oleh mereka yang hendak dikirimkan balik ke
negara asal. Di Malaysia, jika ada warga pendatang dicurigai, biasanya petugas
imigrasi akan mengatakan untuk tidal lagi dalam barisan dikemudian diarahkan ke
ruangan tertentu, sambil menunggu nasib selanjutnya.
Beban
psikologis kita tentu akan sangat kelihatan, manakala ditempatkan dalam ruangan
seperti penjara dalam kadar waktu yang agak lama, terlebih lagi jika kita
adalah orang penting di negara asal kita. Beberapa kolega saya pernah
mengalaminya, walaupun di Indonesia dia adalah orang yang sangat terhormat.
Akhirnya, pelajaran penting dari deportasi UAS
adalah bahwa kehidupan kita dipantau, bukan hanya oleh pemerintah kita sendiri,
tetapi juga pihak asing. Mereka akan selalu melihat perkembangan seseorang,
tidak hanya di alam nyata, tetapi juga di alam maya.
Lantas, para analis intelijen diajak untuk
berkontribusi penting di dalam melihat rekam jejak seseorang, hingga kemudian
mereka menetapkan sebagai produk intelijen, yang disampaikan ke pihak-pihak
terkait, tidak terkecuali imigrasi dan kementerian luar negeri.
Disinilah kita baru menyadari bahwa ucapan, tingkah
laku, dan pemahaman kita tidak selamanya nyaman untuk pihak-pihak yang merasa
terganggu dengan kehadiran kita. Dari beberapa pengalaman mereka yang
dideportasi, tidak selamanya pun alasanya karena rekam jejak, tetapi terkadang
dihadang, karena diprediksikan orang tersebut akan mengadakan berbagai
pertemuan di negara yang hendak dimasukinya.
Jadi, alasan penolakan UAS hanya diketahui oleh
pihak intelijen Singapura. Tetapi kita hanya belajar dari pengalaman ketika
produk intelijen sudah bekerja, maka siapapun akan menjadi target, dimana
kemudian seperti ungkapan petugas imigrasi Singapura: “Saya tidak punya Kuasa!”