
Pada tanggal 14 Mei 2022, saya diundang sebagai peserta oleh CEO Bandar Publishing untuk menghadiri acara Bedah Buku seorang penulis Aceh, yaitu Dr. Sulaiman Tripa. Dia adalah dosen Universitas Syiah Kuala yang telah menulis buku lebih dari 200.
Buku yang dibedah adalah kumpulan tulisan Sulaiman di blognya, yang berisi tentang responnya terhadap keadaan sosial di Aceh. Sulaiman menuliskan responya tersebut adalah jumlah 400 hingga 500 kata. Namun, dia menulis setiap hari, tanpa jeda.
Dari kumpulan tulisan di blognya, Sulaiman telah menghasilkan puluhan buku yang diterbitkan oleh Bandar Publishing. Kami telah menyambut upaya Sulaiman dengan melakukan Podcast yang disiarkan di Channel YouTube Sagoe.id. Karena itu, dalam acara Bedah Buku ini, saya tidak lagi memberikan komentar terhadap karya-karya Sulaiman.
Namun, dalam Catatan ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal mengenai dunia literasi di Aceh paska-Tsunami. Kepulangan Sulaiman dari Jakarta untuk berkiprah di Aceh rupanya memberikan semangat baru tentang kepenulisan di provinsi ini. Salah satu penulis yang paling aktif dan produktif adalah Sulaiman.
Salah seorang pembedah buku, menyebutkan bahwa Sulaiman adalah Bapak Literasi Aceh. Bagi saya, sebutan ini tidak berlebihan mengingat dalam hampir dua dekade Sulaiman telah membuktikan kekonsistenannya sebagai Penulis Marathon. Karya-karyanya terdiri dari berbagai bidang, walaupun kepakaran Sulaiman adalah Sosiologi Hukum.
Namun, kupasan dalam blognya jauh dari wilayah keahliannya. Dia mampu menulis apapun secara simple dan sederhana. Pembaca sangat mudah mencerna isi tulisan Sulaiman. Karena itu, peminat blog Sulaiman semakin hari semakin banyak.
Masalah yang berat disajikan dengan sangat ringan oleh Sulaiman. Istilah-istilah bahasa Aceh yang mulai jarang terdengar juga dikupas secara mendalam oleh Sulaiman. Bahasa sindiran atau satire juga selalu mengalir dalam setiap karya Sulaiman.
Dia tampaknya agak kecewa dengan situasi akademik dimana dia tempat berkiprah. Dia juga gelisah dengan keadaan Aceh yang tidak menentu arah. Dia juga terus resah dengan minimnya pendidikan etika dan moral di kalangan masyarakat Aceh.
Semua kegelisahan di atas dituangkan oleh Sulaiman dalam bentuk tulisannya. Perlawanannya selalu disajikan dengan satire yang menyentuh pikiran pembaca.
Hampir semua karya Sulaiman saya koleksi, karena menurut saya, suatu saat karya-karya Sulaiman akan menjadi saksi dari perjalanan sejarah sosial masyarakat Aceh. Kendati saat ini, buku-bukunya belum begitu dibaca oleh masyarakat Aceh, namun secara perlahan-lahan publik semakin mengenali sosok Bapak Literasi Aceh ini.
Setelah Tsunami, geliat literasi di Aceh semakin berkembang pesat. Kehadiran Penerbit Lokal, seperti Bandar Publishing tampaknya memberikan ruang berkarya bagi para penulis Aceh. Saya sendiri sudah hampir belasan buku yang diterbitkan oleh Bandar Publishing. Geliat literasi ini merupakan usaha yang tidak menghadirkan dukungan dari pemerintah setempat.
Karena itu, strategi dari pinggir untuk memberikan pencerahan literasi kepada masyarakat Aceh, melalui karya-karya Sulaiman dan semangat Bandar Publishing, tentu harus diapresiasi. Sosok Sulaiman dengan Bandar Publihsing sudah menyatu kuat di dalam memberikan pencerahan akademik bagi masyarakat Aceh.
Anak-anak muda di Aceh sudah mulai melirik bahwa buku adalah jendela dunia. Siapapun yang akan membaca buku tentu akan membuka wawasan dan cara berpikir mereka. Karena itu, para peserta yang hadir dalam acara Bedah Buku sangat menginginkan aktifitas literasi seperti ini terus dilanjutkan di Aceh.
Selain hal di atas, gagasan yang menarik dari acara Bedah Buku ini adalah upaya para peserta untuk menginisiasi Komisi Buku Aceh (KBA), yang dipandang sebagai wadah untuk meningkatkan semangat penulis, penerbit, dan penikmat buku di Aceh, untuk saling membantu, agar masyarakat Aceh semakin mencintai buku.
Komisi ini tentu akan memudahkan bagi siapapun untuk buku, karena mereka terjalin antara satu sama lain. Komisi Buku Aceh ini juga dapat menjawah wadah bagi para penulis pemula untuk mulai konsisten, karena akan dibantu oleh berbagai kalangan, mulai dari persiapan, percetakan, dan distribusi buku kepada seluruh masyarakat Aceh.
Sesungguhnya semangat kepenulisan di Aceh tidak kalah dengan di provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Bahkan, sejarah membuktikan beberapa penulis terkenal di Jawa berasal dari Aceh. Publikasi mereka diterbitkan di Jawa, karena di Aceh saat itu, belum ada penerbit lokal.
Sebagai contoh, Muhammah Hasbi Ash-Shiddieqy, Dada Meuraxa, Teuku Iskandar, Nourouzzaman Shiddiqi, Amelz, Ismail Suny adalah beberapa nama penulis di Jawa yang merupakan kelahiran Aceh. Sekarang, sosok Fachry Ali, Irwan Abdullah, dan Iwan Gayo adalah nama-nama penulis Aceh yang berkibar di level nasional.
Karena itu, apa yang dilakukan oleh Sulaiman dan Bandar Publishing adalah mengulang sejarah kegemilangan dunai literasi Aceh untuk orang Aceh.