Dari
kelima hal di ataslah, narasi tentang Etno-Touring menjadi sangat kaya, tampak
seperti pengalaman seorang traveller di dalam menarasikan pengelaman perjalananya.
Mereka mendapatkan first hand data,
kendati tidak begitu mendalam, seperti pengalaman seorang etnografer. Jadi,
walaupun hanya mendapatkan informasi yang tidak begitu mendalam, namun narasi
ini dapat dikonfrontir dengan sumber-sumber lainnya. Misalnya pengalaman para biker yang dijumpai pada etape
berikutnya.
Lantas, bagaimana narasi ini
kemudian dikonseptualisasikan di dalam satu cerita yang dapat
dipertanggungjawabkan. Di sini, karya Etno-Touring ini hanya ingin menarasikan
apa yang menjadi pengalaman kami sebagai rider
dalam melakukan Touring Indonesia Harmoni. Narasi yang didapatkan melalui touring tentu saja berbeda dengan narasi
dengan melakukan penelitian ilmiah. Sebab, dia berjumpa dengan orang-orang yang
belum kita kenal sebelumnya. Mereka hanya “memaksakan kebaikan” mereka untuk
kita jadikan sebagai bagian dari persaudaraan tanpa batas.
Ketika dikatakan “memaksakan
kebaikan,” bukanlah dalam arti negatif, melainkan sebaliknya. Mereka
memperlakukan kami sebagai “tamu” dan “saudara baru”, karena memiliki kebiasaan
yang sama yakni touring sepeda motor. Ada yang memaksakan untuk mengawal kami
sampai ke satu tujuan. Hanya ingin memastikan kami baik-baik saja. Ada juga
yang membayari makanan dan minuman kami, karena mereka menganggap kami sebagai
saudara baru. Ketika istilah “saudara” dilekatkan, maka semua hal menjadi cari.
Cerita pun mengalir begitu saja.
Jadi, Etno-Touring ini menceritakan
pengalaman di jalanan dari komunitas yang memiliki hobbi yang serupa, tanpa
melihat latar belakang seseorang, untuk mencitpakan situasi sebagai
persaudaraan yang tanpa batas. Inilah mungkin definisi awal, ketika istilah
Etno-Touring ini menjadi agenda utama, saat kami memulai menulis pengalaman
melakukan Touring Indonesia Harmoni, dari Aceh ke Papua. Kelima hal di atas
akan dijelaskan dalam konsep Etno-Touring dalam catatan ini.