Berteduh di dalam luang rumah semut di Musamus, Merauke |
Pada prinsipnya, Cerita Dibalik Touring Indonesia ini pada gilirannya bukanlah
suatu karya yang murni akademis atau penuh dengan argumentasi ilmiah yang
dilandaskan pada catatan kaki atau daftar pustaka yang menggunung. Namun, narasi ini berisi tentang pengalaman perjalanan Touring Indonesia Harmoni. Pengalaman
ini juga tidak kami sajikan dengan metode etnografi, karena kami hanya melintas
saja di setiap daerah yang kami lewati. Titik-titik perjumpaan kami dengan
individu terjadi di wisata, rumah penduduk, kantor, rumah ibadah, sekretariat
komunitas motor, ruang tunggu penumpang, SPBU, kapal laut, dan bandara. Karena
itu, kami bertemu dengan dengan berbagai orang dari berbagai latarbelakang.
Kami selalu mencoba menjadi pendengar yang baik, demi untuk mendapatkan
informasi, awal pembuka dialog.
Tugu Garuda, Sota, Meurake |
Lanskap tempat pertemuan kami
bukanlah setting untuk duduk atau tinggal dalam beberapa hari, sebagaimana
model etnografi dalam studi Antropologi. Kami kemudian mencoba menamakan model
penulisan ini dengan istilah Etno-Touring. Hampir setiap hari kami menemukan
medan baru sekaligus berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Sebagai
contoh, ketika naik kapal dari Pulau Jawa, maka para ABK-nya akan lebih banyak
menggunakan bahasa Jawa. Wajah dan ciri khas mereka memang seperti orang Jawa.
Namun, ketika kami naik kapal Thalia, dari Nunukan ke Pare Pare, hampir semua
ABK-nya berasal dari suku Bugis atau Makassar. Maka, situasi pun di dalam
nuansa kebugisan. Para ABK akan cenderung menggunakan bahasa daerah mereka dan
makan makanan daerah mereka.
Manakala, kami naik Kapal Thalia,
Kepala Mekanik yang juga biker menyuguhi
makanan khas Makassar, yaitu Nasi Buras. Dia pun bercerita tentang bagaimana
jaringan bisnis orang Makassar. Akan tetapi, begitu naik Kapal Pelni Ciremai,
nuansa kebetawian begitu kental. Dialek bahasa Betawi pun terdengar di kalangan
para ABK, ketika kami melewati koridor kapal. Di sini nuansa Tanjung Priok
sangat mendominasi. Hal yang berbeda ketika kami naik Kapal Sunlia dan Tuna,
dimana nuansa kemanadoan sudah muncul. Candaan para ABK dan penumpang selalu
terdengar dalam bahasa Manado. Jadi, setiap lanskap baru yang kami hadapi,
selalu memunculkan suatu ciri khas yaitu bahwa kekayaan khazanah budaya di
Nusantara tidak dapat diabaikan sama sekali.
Bersama para Biker di Sampit. |
Jadi, Etno-Touring ini memang
berupaya memahami budaya atau kearifan yang kami jumpai selama Touring
Indonesia Harmoni. Hal ini sangat kentara juga pada aspek kuliner yang kami
nikmati selama perjalanan keliling Indonesia. Makanan yang kami nikmati begitu
beragam, mulai dari Banda Aceh hingga ke titik akhir perjalanan kami. Ketika di
Tanjung Redep, Berau, Kalimantan Utara, saya pertama kami menikmati Sara’ba,
minuman khas Sulawesi. Kemudian, saat di Tondano, kami disuguhi Mie Goreng
Cakalang. Kalau persoalan pengaruh makanan Jawa memang tidak dapat dipungkiri.
Hampir setiap daerah yang kami lewati, kuliner Jawa selalu tersedia di pinggir
jalan. Namun, makanan khas daerah pun selalu menyapa lidah kami.
Di sini aspek rasa sebagai bagian
dari produksi kebudayaan melekat pada lidah kami. Warna dan ragam sambal di
Nusantara pun sangat bervariasi. Istri saya yang hobbi makan pedas, benar-benar
menikmati sambal demi sambal yang disajikan di pinggir piring makanan utama
(nasi). Minuman kelapa yang dibakar pun juga menyapa kami bersama dengan kopi
dari air kelapa di Ternate. Ketika di Makassar, beragam kuliner dipersapakan ke
depan kami. Dari konro hingga sop saudara, bahkan daging kuda pun sudah kami
nikmati. Faktor rasa dan kebudayaan memang menjadi sesuatu yang amat penting di
dalam Etno-Touring ini. (bersambung)
Please support our mini-research through this link.