
Pendahuluan
Aceh, daerah yang mayoritas muslim dijuluki sebagai Serambi Mekkah, memiliki banyak ragam budaya dan tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini. Terkhususnya dalam menyambut hari besar Islam seperti bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi itu yaitu Makmeugang atau sering disebut juga dengan maugang. Pada kebiasaanya dilaksanakan satu atau dua hari sebelum hari besar Islam.
Pelaksanaan tradisi maugang berupa penyembelihan hewan ternak, seperti sapi atau kerbau. Kemudian dagingnya dibagikan kepada keluarga, tetangga, serta masyarakat sekitar kampung. Tradisi ini dianggap suatu hal penting dan tidak boleh tertinggalkan setiap menyambut hari besar Islam.
Dibalik Sejarah Meugang yang Masih Dilestarikan
Tradisi Meugang bermula pada zaman Kerajaan Aceh Darussalam masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Masa itu, Sultan Iskandar Muda memerintahkan untuk menyembelih hewan dalam jumlah besar, termasuk sapi, kerbau, kambing, ayam dan bebek. Daging hewan tersebut kemudian dibagikan secara kepada seluruh masyarakat tanpa memandang status sosial. Tradisi Meugang tertulis dalam Qanun Meukuta Alam Al-Asyi Pasal 47. Ini menunjukkan bahwa Meugang pada awalnya adalah program Kerajaan Aceh Darussalam untuk mensejahterakan rakyat pada masa itu.
Bagaimana Meugang Mempengaruhi Keadaan Sosial dan Agama
Bagi masyarakat Aceh, tradisi Meugang memiliki makna yang sangat mendalam, tidak hanya terkait dengan ritual keagamaan, tetapi juga berperan penting secara sosial dan ekonomi. Meugang menjadi momen kebersamaan, wujud rasa syukur atas nikmat Allah SWT, serta praktik berbagi sesama yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh dan nilai-nilai persaudaraan.
Seiring berjalannya waktu, tradisi Meugang di Aceh tak luput dari tantangan, terutama terkait lonjakan harga daging yang selalu terjadi menjelang perayaan Meugang. Hal ini karena tingginya permintaan daging saat momen Meugang tiba. Meskipun demikian, antusias masyarakat Aceh tetap tak surut. Banyak yang memilih untuk menabung jauh-jauh hari atau bahkan berpatungan agar bisa membeli daging. Hal ini membuktikan betapa kuatnya akar tradisi Meugang dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Hikmah dan Berkah Tradisi Maugang Masyarakat Aceh
Meugang merukan momentum yang sangat dinanti-nanti oleh masyarakat Aceh, terutama bagi mereka perantauan yang sedang menempuh pendidikan dan bekerja di luar daerah. Bagi mereka, momen tersebut mengingat kembali kampung halaman mereka dan keharmonisan keluarga yang dirindukan di tanah rantau. Pada kebiasaan hari meugang, anak dan sanak saudara yang merantau atau tinggal yang cukup jauh, mereka akan pulang sejenak dan berkumpul di rumah orang tua.
Tradisi Meugang di Aceh sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan untuk membangun keharmonisan. Dengan begitu, Meugang menjadi momen yang bermakna dan berdampak positif, yaitu mempererat tali silaturahmi serta memperkuat hubungan sosial di tengah masyarakat Aceh.
Melalui setiap potong daging yang dibagikan dan hidangan yang disantap bersama, masyarakat Aceh terus menenun keharmonisan, memperkuat persaudaraan, serta mengukuhkan warisan budaya yang tak lekang oleh waktu. Tradisi Meugang menjadi pengingat bahwa di tengah zaman modern, nilai-nilai luhur dan akar budaya tetap menjadi pondasi kokoh bagi masyarakat Aceh.
Meugang kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi masyarakat Aceh. Tak heran, beberapa hari sebelum hari besar keagamaan, jalanan dan pasar dipenuhi pedagang yang menjajakan berbagai jenis daging, mulai dari kambing, sapi, hingga kerbau.
Lebih dari sekadar tradisi kuliner, Meugang adalah cerminan kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur masyarakat Aceh. Ini bukan hanya ritual sesaat, melainkan sebuah perayaan keagamaan, kebersamaan, dan rasa syukur yang terus terjaga hingga kini. Meskipun zaman terus berganti, semangat Meugang tetap sama: berbagi kebahagiaan dan menguatkan tali persaudaraan di antara sesama.