
Pendahuluan: Premanisme Bukan Sekadar Kekerasan
Di banyak kota besar maupun daerah-daerah berkembang di Indonesia, premanisme masih menjadi hantu sosial yang sulit dijinakkan. Tapi benarkah premanisme hanya tentang kekerasan fisik atau pungli di terminal? Atau sesungguhnya, ia adalah gejala sosial yang jauh lebih dalam?
Ketika negara absen—atau hadir tapi tidak menyentuh akar persoalan—masyarakat menciptakan sistem alternatif. Preman adalah bagian dari sistem alternatif itu. Mereka adalah “negara bayangan” yang mengisi ruang kosong otoritas, hukum, dan keadilan. Dalam konteks Aceh, di mana transformasi sosial pasca-konflik dan dinamika otonomi daerah terus berlangsung, premanisme tumbuh sebagai respons kompleks terhadap perubahan yang tidak merata.
Premanisme sebagai Patologi Sosial
Premanisme bukan produk tunggal. Ia adalah hasil dari sistem sosial-ekonomi dan budaya yang mengalami disfungsi.
Dalam istilah Durkheim, anomi—kehilangan norma dan nilai dalam masyarakat—membuka ruang bagi perilaku menyimpang untuk tumbuh. Ketika masyarakat kehilangan arah, ketika kemiskinan dibiarkan, dan ketika negara tak lagi menjadi rujukan keadilan, maka lahirlah struktur sosial alternatif: premanisme.
Preman hari ini bukan hanya “preman pasar” dengan tato dan celurit. Preman adalah siapa saja yang mengambil ruang kuasa tanpa legitimasi, baik melalui kekerasan maupun pengaruh informal. Mereka bisa hadir dalam bentuk pengusaha lokal yang memonopoli pasar dengan cara intimidatif, elit politik yang melindungi jaringan kekuasaan informal, atau bahkan ormas yang berubah fungsi menjadi alat tekanan.
Premanisme adalah cermin retak dari sistem sosial kita. Ia adalah ekspresi dari patologi, stigma, dan anomi yang saling melilit.
Struktur Tiga Tingkat Premanisme: Dari Akar Rumput hingga Elit
Premanisme bukan entitas tunggal; ia bertingkat dan berlapis. Pertama, Akar Rumput merupakan wajah yang paling tampak: anak-anak muda pengangguran, drop-out, atau eks-narapidana yang tidak mendapat ruang kerja. Mereka hadir di jalanan, pasar, terminal, dan kawasan pembangunan sebagai “penjaga informal” yang sebenarnya tak diundang. Kedua, Eksekutor dimana pemimpin lapangan. Orang yang memerintah, mengkoordinasi, dan membagi wilayah kekuasaan informal. Mereka menjaga ketertiban versi mereka sendiri—yang kadang disalahpahami sebagai stabilitas oleh pihak-pihak tertentu. Ketiga, Elit Patron pada tingkat tertinggi, ada tokoh berpengaruh—baik itu pengusaha, politisi, atau pejabat publik—yang membacking struktur di bawahnya. Mereka tidak selalu terlihat, namun jejak kuasanya bisa dirasakan. Hubungan mereka dengan preman akar rumput biasanya bersifat transaksional: perlindungan, pengaruh, dan akses.
Semakin ke atas, premanisme semakin sulit disentuh. Ia menyatu dengan kekuasaan, menjelma dalam kebijakan, dan bersembunyi di balik legalitas. Oleh karena itu, penanganannya pun tidak bisa disamaratakan. Pendekatan terhadap preman akar rumput tidak bisa sama dengan pendekatan terhadap patron elit yang menggunakan kekuatan informal sebagai alat politik.
Organisasi Kemasyarakatan: Penjaga Atau Pengganti Negara?
Organisasi masyarakat (ormas) memiliki dua wajah dalam konteks ini. Di satu sisi, ormas adalah penjaga masyarakat sipil, pelindung hak warga saat negara gagal hadir. Mereka bisa menjadi kekuatan etis dan moral dalam menjaga ketertiban sosial. Namun di sisi lain, tidak sedikit ormas yang berubah menjadi kekuatan informal yang ingin menggantikan posisi negara. Tanpa struktur ideologis yang jelas, sebagian ormas mudah terseret menjadi aktor politis, apalagi jika ada insentif kekuasaan atau dana. Banyak ormas yang awalnya hadir sebagai kekuatan sipil, akhirnya direkrut—secara sadar atau tidak—ke dalam jaringan kekuasaan premanisme. Mereka bertindak sebagai pengendali massa, alat kampanye, bahkan “penjaga wilayah” dalam konteks bisnis atau proyek.
“Ketika negara diam, Ormas bicara. Ketika negara ragu, Ormas bertindak.”
Kutipan ini merefleksikan realitas di banyak tempat: ketika otoritas formal kehilangan daya, maka kekuatan informal mengambil peran.
Kerapuhan Rekayasa Sosial: Solusi Instan, Masalah Berlanjut
Pemerintah sering kali merespons premanisme dengan program rekayasa sosial yang bersifat teknokratis: pelatihan kerja, sertifikasi, atau pembinaan. Tapi masalahnya bukan sekadar “tidak bekerja”, melainkan tidak berakar. Banyak program: tidak berkelanjutan, tidak melibatkan masyarakat secara partisipatif, dan tidak punya orientasi kebudayaan. Ormas yang awalnya dirangkul, bisa berubah menjadi aktor yang tak terkendali jika tidak ada mekanisme etika dan evaluasi. Distorsi peran pun muncul: ormas mengambil alih peran aparat, preman diromantisasi sebagai “pahlawan rakyat kecil”. Legitimasi informal meningkat justru karena negara hadir setengah hati.
Aceh: Provinsi di Persimpangan Sejarah
Aceh memiliki potensi besar untuk menjadi provinsi teladan nasional. Dari segi budaya, sejarah, dan identitas keagamaan, Aceh memiliki fondasi kuat. Namun dalam urusan ekonomi, terutama investasi, Aceh berada di jalur penuh batu sandungan.
Kegagalan investasi di Aceh sering kali tidak disebabkan oleh regulasi, melainkan oleh ketidakpastian sosial di lapangan. Premanisme muncul sebagai kendala utama, baik dalam bentuk: Intimidasi terhadap investor kecil di tingkat akar rumput, sabotase proyek oleh eksekutor lapangan, dan negosiasi informal oleh elit politik terhadap pengusaha. Masalah ini diperparah oleh dua isu struktural: Pertama, sosial ekonomi: kemiskinan struktural, pengangguran, dan eksklusivitas pasar. Kedua, sosial keagamaan: munculnya narasi anti-investasi atas nama moral atau adat. Jika tidak dikelola dengan pendekatan lintas sektor dan budaya, Aceh justru berpotensi menjadi contoh kegagalan kebijakan lokal nasional.
Strategi Antropologis: Jalan Kultural Menghadapi Premanisme
Menghadapi premanisme tidak cukup dengan pendekatan hukum dan keamanan. Kita membutuhkan strategi sosial budaya, yang menyentuh nilai, identitas, dan cara hidup masyarakat. Pendekatan antropologi memberi kita tiga jalan strategis: Pertama, Rekonstruksi Identitas Positif. Premanisme seringkali muncul karena identitas sosial yang retak. Masyarakat perlu diberi ruang untuk membangun citra diri baru: dari preman jalanan menjadi aktor komunitas. Tokoh agama dan adat perlu dilibatkan untuk mengubah narasi dari “preman sebagai pahlawan” menjadi “warga sebagai pemimpin reformasi”. Kedua, Penguatan Ormas Berbasis Etika Sosial. Ormas tidak bisa hanya jadi alat respons cepat. Mereka harus punya struktur etika internal, mekanisme evaluasi, dan bahkan sertifikasi jika ingin mengakses dana publik. Etika kolektif harus menjadi fondasi mereka, bukan sekadar loyalitas massa. Ketiga, Dialog Lintas Struktur dan Disiplin. Libatkan akademisi, antropolog, pemuda, tokoh agama, dan pemerintah dalam satu meja. Tidak ada solusi tunggal untuk masalah berlapis. Kita perlu co-creation policy, bukan intervensi sepihak.
Kesimpulan: Membangun Bukan Sekadar Menata
Premanisme bukan hanya tentang siapa yang kasar. Ia adalah cermin dari siapa yang ditinggalkan. Ia tumbuh dalam ruang kosong keadilan, kepercayaan, dan kesempatan.
Jika kita ingin Aceh (dan daerah lain) menjadi wilayah yang layak investasi, aman, dan stabil, maka kita tidak bisa lagi hanya menata dari permukaan. Kita harus membangun dari dalam—dari nilai, dari dialog, dan dari keberanian mengakui kegagalan sistemik.
“Jika negara hadir dengan ketulusan,
jika masyarakat sipil hadir dengan etika,
dan jika budaya hadir sebagai sandaran,
maka premanisme akan kehilangan panggungnya.”
Kini saatnya kita tidak lagi hanya bertanya siapa yang salah—melainkan siapa yang siap untuk hadir lebih dulu.