
Pendahuluan
Beberapa kebelakangan tahun ini Saya memperhatikan pola kehidupan masyarakat Aceh yang umumnya hidup sederhana. Terkhusunya masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Walaupun tidak terlalu terlihat kesenjangan sosial antara simiskin dan sikaya.
Namun, yang menjadi sorotan Saya semakin marak orang-orang yang meminta sumbangan yang kurang jelas untuk apa. Saya tidak terlalu mempermasalahkan sumbangan tersebut untuk apa. Saya juga bergabung dalam organisasi yang berbasis sosial yang pernah meminta sumbangan. Tetapi, sumbangan itu jelas keberadaannya untuk apa dan disalurkan kepada yang berhak.
Di bawah tekanan kehidupan, terkadang seseorang mengambil jalur pintas untuk dapat uang secara instan tanpa perlu capek-capek berkerja. Karena itu, mengemis adalah jalan yang dipilih.
Mengemis Bukan Profesi Tepat Untuk Bertahan Hidup
Menjadi objek permasalahan saya semakin banyaknya pengemis yang berkeliaran di jalan-jalan kota terutama di Banda Aceh. Mulai dari anak-anak kecil sambil membawa kotak tertulis “sumbangan fakir miskin”, ibu-ibu membawa bayi, orang tua rentan membawa kotak kecil sambil meminta sumbangan berdalih untuk pembanguan dayah, untuk fakir miskin ataupun untuk pembangunan masjid.
Membawa gitar sambil menyanyi (ngamen) keliling warung kopi. Terkadang ada juga yang membawa boneka badut kemudian menghidupkan musik dan berjoget.
Bahkan ada yang menjual kesedian dirinya untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain. Yang lebih mengkhawatirkan, ada indikasi bahwa sebagian dari aktivitas mengemis ini bersifat terorganisir. Terorganisir yang dimaksud berupa disuruh atau diperintah untuk dapat uang dengan cepat.
Pengemis yang datang dari luar daerah, memanfaatkan momen keagamaan atau keramaian untuk mencari uang dengan cara cepat. Bahkan ada anak-anak kecil yang dieksploitasi, yang seharusnya berada di bangku sekolah, bukan di jalanan yang penuh risiko. Sungguh jahat orang yang menyuruh anak-anak untuk mengemis.
Persimpangan jalan dan warung kopi atau café adalah tempat favorit. Berpenampilan kusam dan muka masam adalah cara terbaik untuk menarik simpati, seperti itu teknik yang mereka gunakan,
Faktor utama yang melatarbelakangi mengemis seperti keterbatasan lapangan kerja, kurangnya keterampilan, memilih menngemis cara instan untuk dapat uang guna bertahan hidup.
Menanti Peran Pemerintah Aceh
Aceh punya Baitul Mal, ada juga berbagai program bantuan sosial dan lembaga-lembaga zakat yang cukup banyak. Tetapi kenapa pengemis tetap menjamur? Apakah sistem penyaluran bantuan belum merata? Ataukah ada sebagian masyarakat yang memang memilih mengemis karena dianggap lebih mudah dapat uang dari pada bekerja?.
Tidak menutup mata bahwa ada di antara mereka memang benar-benar membutuhkan. Tapi ironisnya, banyak pula yang justru memanfaatkan simpati masyarakat untuk kepentingan pribadi. Tidak sedikit pula yang menjadikan mengemis sebagai “Profesi Utama” untuk bertahan hidup. Berpindah dari satu kota ke kota lain, bahkan ada yang membawa anak-anak hanya demi menarik perhatian dan belas kasihan.
Pandangan Masyarakat Aceh Tentang Pengemis
Selain itu, masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang religius, diajarkan untuk saling berbagi dan memberi kepada yang membutuhkan, terutama kepada pengemis. Ini bisa menjadi pedang bermata dua. Meskipun niat baik itu ada, hal ini kadang membuat pengemis terus menerus bergantung pada belas kasihan daripada mencari solusi jangka panjang untuk keluar dari kemiskinan.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu lebih bijak. Memberi bantuan itu baik, tapi akan lebih tepat jika kita menyalurkannya ketempat yang jelas. Pemerintah tidak tinggal diam. Penanganan pengemis harus segera dilakukan. Mulai dari penertiban, pembinaan, hingga pemberian alternatif ekonomi seperti pelatihan kerja atau modal usaha. Ini juga memerlukan dukungan masyarakat untuk tidak terlalu belas kasihan keorang lain. Selain itu, pengawasan pemerintah atas oknum yang mengeksploitasi anak juga perlu ditegakkan dengan tegas.