
https://id.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka
Biografi Singkat Tan Malaka
Ibrahim Sutan Malaka atau biasa disapa Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Sumatera Barat pada tanggal 2 Juni 1897. Lahir dari seorang anak bangsawan lokal di perkampungan yang kemudian membawa pergerakan untuk Indonesia di masa lalu.
Tan Malaka muncul sebagai sosok yang kompleks, brilian, namun juga kontroversial dan sering kali terlupakan. Dikenal sebagai Bapak Republik Indonesia oleh sebagian kalangan, perjalanan hidup Ibrahim Sutan Malaka adalah odisei epik seorang revolusioner sejati yang mengabdikan seluruh jiwanya untuk gagasan kemerdekaan.
Sejak dini, Tan Malaka seorang anak yang cerdas dan sangat kritis yang luar biasa. Dibesarkan dalam lingkungan semangat gerakan modernis Islam kaum muda di Sumatera Barat. Pendidikan awalnya ditempuh di sekolah yang didirkan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu Inlandsche Kweekcshool voor Onderwijzers di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Kecerdasannya menjadi perhatian guru-guru di sekolah Kweekcsholl karena mampu bersaing dengan murid-murid Belanda. G.H. Horensma yang merupakan gurunya sangat tertarik pada Tan Malaka dan mempersiapkan dirinya yang terbaik untuk melanjutkan pendidkan mendapatkan ijazah guru.
Pada usia 16 tahun saat hendak berangkat ke Belanda untuk melanjutkan Pendidikan. Ia diminta orang tuanya untuk menerima gelar adat “Datuk Tan Malaka” dan juga ditunangkan dengan seorang gadis pilihan. Hal ini dilakukan orang tuanya karena kebiasaan masyarakat Minang saat ada seorang pemuda hendak pergi jauh supaya terikat dengan tanah kelahirannya. Namun, hal tersebut ditolak oleh Tan Malaka dan hanya menerima gelar adat Datuk Tan Malaka.
Awal Mula Inteletual Tan Malaka
Pada tahun 1913 ia berangkat untuk melanjutkan pendidkan guru di Rijkskweekschool Haarlem, Belanda yang membuka cakrawala pemikirannya. Di Eropa, ia bersentuhan dengan ide-ide revolusioner, sosialisme dan komunisme yang membentuk dasar ideologisnya. Ini merupakan awal intelektual Tan Malaka dimulai. Namun, berbeda dengan banyak kaum intelektual lain yang terbuai oleh pemikiran Barat, Tan Malaka selalu berusaha mengadaptasi dan menggabungkan ide-ide tersebut dengan realitas dan budaya Indonesia, sebuah sintesis yang kelak melahirkan pemikiran Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika).
Kesulitan-kesulitan yang dialami selama menempuh pendidikan di Belanda, tidak membuat semangatnya luntur, melainkan membakar semangatnya semakin berkobar. Ia juga menyelam sebagai kader partai politik saat usia muda guna memahami pergerakan para kaum intelektual dalam membangun bangsa.
Tan Malaka Dalam Role Model Pendidikan Indonesia
Kembali ke tanah air pada November 1919, setelah menyelesaiakn pendidikan guru dari sekolah Rijkskweekscholl Haarlem, Belanda. Ia pulang tidak membawa ambisi kekuasaan, ia justru ingin membangun pendidikan dan memilih menjadi guru selama 3 tahun untuk anak-anak buruh di Perkebunan Teh Sanembah di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Di sana, ia menyaksikan luka tak berdarah. Para buruh ditipu daya upahnya dan diperdaya karena tidak mengenal angka dan hukum. Ia menyaksikan ketidakadilan dalam peluh dan penderitaan di masyarakat Sanembah. Dari situlah semangat untuk mencerdaskan yang lemah dan membangkitkan akal yang padam.
Latar belakang pendidkan Tan Malaka menjadi kepeduliannya terhadap intelektual bangsa selain perjuangan fisik menjadi alasan kuatnya untuk menuangkan gagasan ke dalam tulisannya. Ia menuangkan kata demi kata ke dalam buku dan ratusan tulisan diberbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya-karya Tan Malaka sebagaimana yang dikutip oleh Hambali yaitu:
1) Parlemen atau Soviet (1920)
2) SI Semarang dan Onderwys (1921)
3) Dasar Pendidikan (1921)
4) Naar de Republiek Indonesia (1924)
5) Semangat Muda (1925)
6) Massa Actie (1926)
7) Manifesto Bangkok (1927)
8) Pail dan hitenviional (1927)
9) Pan dan PKI (1927)
10) Pail dan Nasionalisten (1927)
11) Asia Bergabung (1943)
12) Madilog(1943)
13) Manifesto Jakarta (1945)
14) Politik (1945)
15) Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
16) Muslihat(1945)
17) Thesis (1946)
18) Pidato Purwokerto (1946)
19) Pidato Solo (1946)
20) Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)
21) Pandangan Hidup (1948)
22) Kuhandel di Kaliurang (1948)
23) PidatoKediri (1948)
24) Gerpolek (1948)
25) Isi dan Pelaksanaannya (1948), dan
26) Dari Penjara ke Penjara (3 jilid, 1948). (Hambali 2015: 100)
Pengalaman mengajar Tan Malaka di Sekolah Perkebunan di Sanembah berperan besar dalam membentuk pemikirannya tentang pendidikan. Pemikiran ini terus berkembang bahkan setelah ia pindah ke Semarang pada Juni 1921. Ia meyakini bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam membebaskan kaum tertindas, terutama para kuli dan buruh, karena pendidikan saat itu tidak berpihak pada mereka.
Pergerakan Tan Malaka
Pada awal tahun 1921, Tan Malaka mengundurkan diri dari Sekolah Perkebunan di Sanembah kemudian pindah ke Jawa. Di sana, ia berencana untuk memulai karier politiknya. Kedatangannya di Jawa bertepatan dengan kongres Sarekat Islam (SI). Sutopo temannya, mengajaknya untuk hadir dan memperkenalkan diri kepada para pemimpin Indonesia dan mengundangnya untuk bergabung Syarikat Islam (SI).
Api perjuangan Tan Malaka mulai membara. Ia terjun ke dalam gerakan nasionalis, kemudian bergabung dengan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia sempat menjadi ketua PKI pada tahun 1921.
Keterlibatannya yang radikal dalam menuntut kemerdekaan dan penolakannya terhadap kompromi dengan penjajah Belanda, membuatnya menjadi target utama kolonial Belanda. Sebagian besar hidupnya dihabiskan dalam pengasingan, berpindah-pindah kesatu tempat ketempat lain selalu dalam penyamaran di bawah ancaman penangkapan.
Masa pengasingan bukanlah masa jeda bagi Tan Malaka. Justru, di sinilah ia semakin mengasah pemikiran dan merumuskan strategi perjuangan. Karyanya seperti Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang ditulis pada tahun 1924 adalah bukti nyata misinya. Dalam buku tersebut, Tan Malaka secara sistematis memaparkan konsep Indonesia sebagai sebuah republik yang merdeka, berdaulat dan didasarkan pada prinsip-prinsip kerakyatan. Gagasan ini jauh mendahului deklarasi kemerdekaan dan pemikiran para proklamator menjadikan Tan Malaka sebagai perintis konseptualisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain Naar de Republiek Indonesia, karya-karya lain seperti Massa Actie (Aksi Massa) menunjukkan keyakinannya pada kekuatan rakyat dan pentingnya pengorganisir masa buruh dan tani sebagai tulang punggung revolusi. Ia adalah seorang organisator ulung yang mampu menggerakkan dan menyatukan berbagai elemen perjuangan, meskipun seringkali dihantui ancaman kolonial Belanda. Kritiknya terhadap strategi negosiasi dengan Belanda dan dorongannya untuk terus berjuang, mencerminkan komitmen teguh pada kemerdekaan penuh tanpa syarat.
Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Tan Malaka yang baru kembali dari pengasingan panjangnya, ia tetap aktif dalam kancah politik. Ia mendirikan Persatuan Perjuangan dan kemudian Partai Murba dengan tujuan untuk mengonsolidasikan kekuatan revolusioner dan memastikan bahwa kemerdekaan yang diraih benar-benar untuk seluruh rakyat. Sikapnya yang kritis terhadap kepemimpinan pasca proklamasi dan perbedaan pandangannya mengenai strategi perjuangan, membuatnya terpinggirkan dan dianggap sebagai ancaman. Pada Februari 1949, Tan Malaka ditangkap dan dieksekusi secara misterius di Kediri, Jawa Timur. Kematiannya yang tragis dan tersembunyi selama bertahun-tahun menambah lapisan ironi pada kisah hidupnya.
Selama Orde Baru, nama Tan Malaka cenderung dikesampingkan bahkan diburamkan dari narasi sejarah. Ideologis dan sikap kritisnya terhadap pemerintah menjadikannya sosok yang tidak populer. Namun, kebenaran tidak bisa selamanya disembunyikan. Seiring berjalannya waktu dan terbukanya akses pada dokumen-dokumen sejarah, peran dan pemikiran Tan Malaka mulai mendapatkan pengakuan yang layak. Pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Tan Malaka, sebuah pengakuan atas sumbangsihnya yang tak ternilai bagi bangsa.
Kehidupan Tan Malaka adalah cerminan dari semangat juang yang tidak pernah padam. Ia adalah seorang pemikir revolusioner, seorang organisator ulung yang tak kenal lelah dan seorang pejuang kemerdekaan yang rela mengorbankan segalanya demi tanah air. Meskipun jalan hidupnya penuh liku dan berakhir tragis, gagasan-gagasan dan semangatnya tetap relevan, terus menginspirasi generasi baru untuk memahami arti sebenarnya dari kemerdekaan dan kedaulatan. Tan Malaka sang penggagas republik yang sempat terlupakan, kini dikenang sebagai salah satu arsitek terpenting dalam pembangunan fondasi Indonesia Merdeka
Referensi
Hambali. (2015). Konsep Pendidikan Dalam Perspektif Tan Malaka (Tokoh Revolusioner Pra Kemerdekaan). Jurnal Intelektual. Vol. 3, No. 1.
Niat Mawati Baeha, dkk. (2022). Tan Malaka dan Perjuangannya Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah. Vol. 1, No. 1.
Randy Fadillah Gustaman. Tan Malaka (Ditinjau Dari Presfektif Perjuangan Bangsa). Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. 1.
Satriono Priyo Utomo. (2020). Langkah “Merah” Pemikiran Pendidikan Tan Malaka, 1919-1921. Jurnal Sejarah. Vol. 5, No. 2.