Pendahuluan: Abad yang Sarat Krisis dan Etika
Abad ke-20 bukan hanya abad perang, ideologi, dan revolusi teknologi, tetapi juga abad di mana etika mengalami guncangan. Perang Dunia, totalitarianisme, kolonialisme, serta munculnya kapitalisme global memaksa para filsuf bertanya ulang: apa arti moralitas? Bagaimana etika bisa bertahan di tengah kehancuran nilai?
Franz Magnis-Suseno, seorang filsuf Indonesia dengan reputasi internasional, menghadirkan 12 Tokoh Etika Abad ke-20 sebagai upaya untuk menyingkap pergulatan intelektual ini. Buku ini memperkenalkan dua belas pemikir yang mewakili keragaman posisi etika modern, mulai dari G.E. Moore hingga B.F. Skinner, dari Jean-Paul Sartre hingga Emmanuel Levinas. Dengan cara yang jernih, Magnis-Suseno tidak hanya menjelaskan gagasan, tetapi juga menunjukkan konteks krisis yang melatari munculnya teori-teori etika tersebut.
George Edward Moore: Membongkar Kekeliruan Naturalistik
Magnis membuka dengan G.E. Moore, filsuf analitik yang membongkar apa yang disebut naturalistic fallacy. Moore menolak bahwa kebaikan bisa direduksi menjadi fakta alamiah. Etika, menurutnya, adalah ranah sui generis, tidak bisa diturunkan dari biologi, psikologi, atau sosiologi. Kritik Moore membuka jalan bagi filsafat analitik untuk memperlakukan etika sebagai disiplin otonom.
Max Scheler: Etika Nilai
Scheler membawa etika ke arah fenomenologi. Ia menegaskan bahwa nilai bukan sekadar produk subjektif, melainkan realitas yang dialami secara emosional. Dengan menggarisbawahi hierarki nilai—dari nilai hedonis hingga nilai spiritual—Scheler berusaha memulihkan etika dari reduksi ilmiah. Di tengah nihilisme abad ke-20, gagasannya hadir sebagai upaya untuk menemukan kembali fondasi normatif kehidupan.
Alfred Jules Ayer: Teori Etika Emotif
Ayer, tokoh filsafat positivisme logis, menolak klaim etika sebagai proposisi yang bisa diverifikasi. Bagi Ayer, pernyataan moral hanyalah ekspresi emosi: “mencuri itu salah” berarti tidak lebih dari “saya tidak suka mencuri.” Teori emotivisme ini mengguncang fondasi tradisional etika, menempatkannya di wilayah non-kognitif.
Jean-Paul Sartre: Orang Lain adalah Neraka
Etika Sartre lahir dari eksistensialisme. Bagi Sartre, manusia dikutuk untuk bebas. Kebebasan ini melahirkan tanggung jawab penuh, tetapi juga kecemasan. Ungkapannya yang terkenal, “l’enfer, c’est les autres” (neraka adalah orang lain), mencerminkan paradoks eksistensial: kebebasan individu selalu berbenturan dengan keberadaan orang lain. Etika Sartre adalah etika pilihan radikal dalam dunia yang absurd.
Emmanuel Levinas: Etika sebagai Tanggung Jawab Atas Orang Lain
Berbeda dengan Sartre, Levinas menekankan bahwa etika dimulai bukan dari kebebasan, melainkan dari wajah orang lain. Etika adalah tanggung jawab tak terbatas terhadap orang lain, sebuah relasi asimetris yang tidak bisa ditawar. Dalam dunia yang ditandai Holocaust, Levinas menawarkan paradigma baru: etika sebagai fondasi pertama filsafat, bukan sekadar cabang dari ontologi.
Joseph Fletcher: Etika Situasi
Fletcher mengembangkan teori “situation ethics” yang menolak hukum moral absolut, kecuali satu prinsip: kasih. Bagi Fletcher, moralitas harus menyesuaikan diri dengan konteks, bukan mematuhi aturan kaku. Etika ini lahir di tengah transformasi sosial 1960-an, ketika norma-norma tradisional Barat mulai digugat.
B.F. Skinner: Behaviorisme dalam Etika
Skinner, tokoh behaviorisme, menolak pendekatan normatif. Ia melihat perilaku moral sebagai hasil rekayasa sosial melalui reinforcement. Bagi Skinner, etika bukan soal kebebasan metafisik, tetapi soal rekayasa lingkungan yang bisa membentuk perilaku. Pandangan ini membawa etika ke arah ilmiah, tetapi sekaligus menimbulkan kritik karena dianggap menghapus otonomi manusia.
Etika dalam Pluralitas Abad ke-20
Kedua belas tokoh dalam buku ini mewakili pluralitas etika modern. Tidak ada kesatuan visi, tetapi justru fragmentasi: dari etika analitik hingga eksistensialis, dari fenomenologis hingga behavioristik. Inilah cermin dari abad ke-20 itu sendiri, abad yang ditandai konflik ideologi, pluralisme nilai, dan krisis makna.
Magnis-Suseno tidak menawarkan sintesis, tetapi memberi peta intelektual. Ia menunjukkan bahwa etika abad ke-20 adalah arena pertarungan ide. Setiap tokoh membawa perspektif berbeda, seakan menegaskan bahwa moralitas modern tidak bisa ditangkap dalam satu kerangka tunggal.
Refleksi: Dari Krisis Menuju Harapan
Buku ini relevan bukan hanya bagi mahasiswa filsafat, tetapi juga bagi siapa pun yang ingin memahami dilema moral dunia modern. Dari Moore hingga Skinner, kita melihat bagaimana etika bergulat dengan sains, agama, ideologi, dan eksistensi manusia itu sendiri.
Di tangan Magnis-Suseno, kisah dua belas tokoh ini bukan sekadar pengantar etika, melainkan refleksi atas drama intelektual abad ke-20. Sebuah drama di mana manusia berusaha keras menjaga makna moral di tengah kehancuran dan perubahan.
Kesimpulan
12 Tokoh Etika Abad ke-20 adalah karya penting dalam literatur filsafat Indonesia. Franz Magnis-Suseno berhasil menyajikan teori-teori etika modern dengan bahasa yang jelas, namun tetap tajam secara filosofis. Buku ini menjadi jembatan bagi pembaca untuk masuk ke dalam hutan rimba filsafat abad ke-20, tanpa kehilangan arah.
Lebih jauh, buku ini menegaskan bahwa etika adalah medan pergulatan terus-menerus. Abad ke-20 mungkin sudah berlalu, tetapi pertanyaan etis yang dibahas para tokoh ini tetap hidup: tentang tanggung jawab, kebebasan, nilai, dan identitas manusia.