Banda Aceh – 14 Agustus 2025, Di bawah cahaya sore yang menembus tirai besar Hermes Palace Hotel, ratusan pasang mata tertuju pada podium utama. Di sana berdiri Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, membuka pertemuan internasional yang langka: International Discussion and Commemoration of the 20th Anniversary of the Helsinki MoU. Tepuk tangan yang menggema bukan hanya untuk menghormati tokoh yang berbicara, tetapi juga untuk dua dekade perjalanan damai yang telah membawa Aceh keluar dari gelapnya konflik.
Muzakir Manaf berbicara secara berkharisma. Kalimat-kalimatnya lugas, mengingatkan semua bahwa perjanjian damai yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 itu adalah milik rakyat Aceh, dan menjadi contoh dunia bahwa senjata bisa digantikan oleh kata-kata. “Damai harus kita jaga, bukan sekadar untuk dikenang, tetapi untuk diwariskan,” ujarnya.
Ruang yang Menghimpun Dunia
Hari itu, Hermes Palace Hotel seakan menjadi titik temu tiga lingkaran: diplomasi internasional, kebijakan publik, dan suara masyarakat. Hadir Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Mr. Peter Van Tuijl, mantan Kepala Aceh Monitoring Mission yang dulu mengawasi implementasi MoU; Ms. Kristina Fröberg, Duta Besar Uni Eropa untuk ASEAN; Bertrand dari Aceh Peace and Reconciliation Council; Prof. Dr. Marwan, Rektor Universitas Syiah Kuala; serta Prof. Dr. Mujiburrahman, M.Ag., Rektor UIN Ar-Raniry yang diwakili oleh Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Ph.D.. Di antara deretan kursi juga tampak akademisi dari berbagai negara, perwakilan LSM, tokoh masyarakat, dan pejabat daerah yang pernah menjadi bagian dari proses damai.
Alur Acara yang Menyulam Sejarah
Acara dibuka tepat pukul dua siang dengan alunan musik tradisi Aceh yang mengantar para tamu menuju ruang utama. Setelah pembukaan resmi oleh Muzakir Manaf, moderator Dr. Suraiya Kamaruzzaman memandu sesi pertama: Refleksi 20 Tahun MoU Helsinki. Di sinilah para tokoh berbagi bukan hanya capaian, tetapi juga kegamangan yang masih menghantui.
Dari meja bundar, Dubes Belanda menyampaikan rasa terima kasih kepada Pemerintah Finlandia yang memediasi perundingan. Kristina Fröberg mengingatkan bahwa perdamaian Aceh menjadi lesson learned di panggung Indo-Pasifik, sebuah wilayah yang kini menjadi medan tarik-menarik kekuatan global.
Lalu Bertrand mengajak audiens melihat MoU Helsinki dari tiga sisi: sebagai harapan masyarakat, sebagai simbol keadilan, dan sebagai filsafat pemerintahan asimetris. “Aceh adalah model,” ujarnya, “bukan hanya untuk Indonesia, tetapi untuk dunia.”
Dari Tokyo ke Helsinki
Di tengah diskusi, kembali dikenang perjalanan panjang menuju damai. Dari Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) di Tokyo yang retak di tengah jalan, hingga negosiasi di Helsinki yang berlangsung intens. Dalam narasi para pembicara, tampak jelas bahwa perjanjian damai ini lahir dari keberanian politik, tekanan kemanusiaan, dan campur tangan negara ketiga yang dipercaya oleh kedua belah pihak.
Faedah Damai: Akademia yang Bangkit
Prof. Michael Feener membawa perspektif yang jarang disorot: berkah damai bagi dunia pendidikan dan penelitian. Ia menyoroti keberadaan Aceh Research Training Institute yang menjadi titik temu peneliti muda dan senior, serta peran diaspora akademisi Aceh di luar negeri yang semakin terhubung kembali dengan tanah kelahiran mereka.
Suara dari Kampus
Ketika mikrofon berpindah ke Prof. Dr. Marwan, nada diskusi berubah menjadi serius. Ia berbicara tentang luka yang belum sembuh: pelanggaran HAM yang belum tuntas. KKR Aceh, katanya, harus diperkuat agar kebenaran tidak hilang ditelan waktu.
Pesan “Beyond Peace” dari Prof. Mujiburrahman
Mewakili Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad membacakan pidato Prof. Mujiburrahman yang diberi judul “Beyond Peace – Building Aceh’s Future with Logos and Ethos”. Suara dan intonasinya tegas, menyampaikan bahwa damai bukan akhir cerita, melainkan awal bab baru yang lebih sulit.
Ia memaparkan tiga tantangan nyata: kemiskinan yang belum teratasi meski dana otonomi khusus mengalir triliunan rupiah, angka stunting yang mengkhawatirkan di kisaran 40%, dan penyalahgunaan narkoba yang telah menyeret lebih dari 80 ribu warga. Menurutnya, Aceh harus membangun masa depannya dengan keseimbangan logos (pengetahuan, akal sehat, bukti) dan ethos (integritas, moralitas, tanggung jawab).
Aceh 2045: Visi yang Menantang
Menutup forum, Prof. Mujiburrahman mengajak semua membayangkan Aceh di tahun 2045: sehat, berpendidikan, beretika, dan berdaya saing global. Sebuah Aceh yang damainya bukan hanya di permukaan, tetapi meresap ke sendi kehidupan masyarakatnya. “Kalau kita melangkah dengan logos di satu tangan dan ethos di tangan lain, kita tidak hanya bertahan dalam damai, kita akan berkembang di dalamnya,” pungkasnya.
Di luar ruang sidang, para peserta masih berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Suara mereka bercampur dalam bahasa Aceh, Indonesia, Inggris, dan Belanda. Mungkin itulah wujud nyata warisan damai: ruang di mana perbedaan bahasa tidak lagi menjadi penghalang untuk saling memahami.