Perang Kognitif & Disinformasi: Operasi Psikologis, AI, dan Deepfake dalam Perebutan Persepsi Global

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Pendahuluan

Dunia hari ini berada di persimpangan medan tempur baru: bukan sekadar wilayah darat, laut, udara, atau ruang angkasa, melainkan ruang yang lebih halus dan rapuh — kesadaran manusia. Di sini, perang tidak dimulai dengan dentuman meriam, melainkan dengan manipulasi opini, pengaburan fakta, dan penciptaan narasi yang menembus pikiran sebelum peluru pertama dilepaskan. Inilah domain perang kognitif (cognitive warfare), di mana kemenangan diukur bukan dari wilayah yang direbut, tetapi dari persepsi publik yang berhasil dikendalikan.

Perang kognitif memanfaatkan seluruh spektrum teknologi, dari propaganda konvensional hingga algoritme kecerdasan buatan yang mampu menciptakan realitas virtual palsu. Disinformasi, misinformasi, dan malinformation bukan lagi sekadar istilah akademik; mereka adalah amunisi dalam konflik yang berlangsung 24 jam sehari, lintas batas negara, dan lintas platform digital.

Laporan NATO Innovation Hub (2021) menyebutkan bahwa perang kognitif adalah “pertempuran untuk menguasai pikiran manusia,” yang memadukan teknik psychological operations (PSYOPS), information operations, dan teknologi disruptif seperti AI dan deepfake. Dengan demikian, domain kognitif menjadi ruang di mana kekuatan lunak (soft power) dan kekuatan keras (hard power) melebur, membentuk senjata yang mematikan namun nyaris tak kasat mata.

Kerangka Teoritis: Dari Propaganda ke Battle of the Narrative

Sejarah membuktikan bahwa perang atas pikiran telah berlangsung jauh sebelum teknologi digital muncul. Edward Bernays dalam Propaganda (1928) menyebut bahwa opini publik dapat diarahkan melalui “manipulasi yang tidak terlihat,” dilakukan oleh mereka yang mengerti mekanisme psikologi massa. Pada abad ke-20, perang dunia dan perang dingin penuh dengan psyops — dari siaran radio yang menghasut, selebaran udara, hingga operasi media rahasia.

Namun, di abad ke-21, arena ini berevolusi. Kita kini berbicara tentang battle of the narrative, sebuah konsep yang diuraikan oleh US Special Operations Command (USSOCOM) sebagai “kompetisi memperebutkan kerangka cerita yang membentuk persepsi realitas.” Dalam kerangka ini, narasi bukan hanya sarana komunikasi, tetapi medan perang itu sendiri.

Teori kognitif seperti Framing Theory (Entman, 1993) menjelaskan bagaimana media membentuk persepsi melalui pemilihan sudut pandang, penonjolan isu tertentu, dan penghilangan konteks lain. Sementara Agenda Setting Theory (McCombs & Shaw, 1972) menunjukkan bahwa kontrol atas “apa yang dibicarakan” sama pentingnya dengan “bagaimana hal itu dibicarakan.”

Dalam perang kognitif modern, teori ini digabungkan dengan Cognitive Load Theory dan Information Overload Paradigm, yang memanfaatkan banjir informasi untuk melemahkan kapasitas analitis publik. Dengan informasi yang berlebihan, kemampuan masyarakat untuk memilah fakta dari fiksi menurun drastis, membuka celah bagi narasi yang sudah dikurasi pihak tertentu.

Operasi Psikologis Lintas Batas Negara

Operasi psikologis lintas batas negara (cross-border psychological operations) adalah instrumen yang digunakan aktor negara maupun non-negara untuk mempengaruhi perilaku, sikap, dan persepsi populasi di wilayah sasaran, tanpa harus hadir secara fisik di medan perang. Evolusi teknologi komunikasi telah mengubah bentuknya: jika pada Perang Dunia II pengaruh lintas batas membutuhkan radio gelap, selebaran udara, atau infiltrasi jurnalis, kini hanya diperlukan sebuah server, jaringan bot, dan kampanye media sosial terstruktur.

Laporan RAND Corporation (2023) menegaskan bahwa cross-border psyops modern biasanya memadukan tiga komponen utama: strategic messaging, emotional manipulation, dan narrative synchronization. Ketiganya didukung oleh analisis data perilaku (behavioral data analytics) yang memungkinkan penargetan audiens dengan presisi tingkat individu.

Contoh paling gamblang adalah operasi “Secondary Infektion” yang diungkap oleh Graphika pada 2020. Jaringan ini menggunakan identitas palsu di puluhan platform untuk menyebarkan narasi anti-Barat di berbagai negara Eropa, memanfaatkan terjemahan multibahasa dan dokumen palsu yang disamarkan sebagai bocoran rahasia. Keunggulan operasi ini adalah sifatnya yang lintas batas, memanfaatkan ketidakselarasan hukum siber antarnegara untuk menghindari penindakan.

See also  Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu – Membaca Jejak Seorang Prajurit di Garis Terdepan Operasi Senyap

Selain itu, operasi psikologis lintas batas kini memanfaatkan influencer infiltration — penyusupan narasi melalui tokoh publik yang memiliki kredibilitas tinggi di mata audiens target. Studi oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI, 2024) mengungkap bahwa kampanye tertentu di Asia Tenggara memanfaatkan figur publik untuk menyisipkan pesan politik secara halus dalam konten hiburan dan gaya hidup, sehingga mengaburkan sifat propagandanya.

Lebih jauh lagi, integrasi psyops dengan operasi ekonomi dan diplomatik menciptakan efek jangka panjang. Ketika narasi yang diinjeksikan mendukung kebijakan tertentu, negara sasaran dapat terdorong membuat keputusan yang menguntungkan pihak penyerang, bahkan tanpa menyadari bahwa mereka telah terpengaruh. Di sinilah perang kognitif berbeda dari perang konvensional: ia tidak selalu membutuhkan kesadaran dari pihak yang diserang.

AI dan Deepfake sebagai Senjata Baru Perang Kognitif

Jika perang kognitif adalah pertarungan memperebutkan pikiran, maka kecerdasan buatan (AI) dan deepfake adalah senjata biokimia di medan tempur tersebut: mereka merusak persepsi melalui penciptaan realitas palsu yang sangat meyakinkan.

Menurut laporan Brookings Institution (2024), AI generatif kini mampu menciptakan konten audio-visual yang hampir tak terdeteksi sebagai palsu oleh manusia rata-rata. Deepfake video seorang pemimpin negara yang mengumumkan kebijakan fiktif, atau audio palsu yang menghasut kekerasan, dapat menyebar secara viral sebelum ada klarifikasi resmi. Dalam konteks perang kognitif, waktu adalah segalanya; penyangkalan yang datang terlambat tidak lagi efektif.

Kasus pada 2022 di mana sebuah video deepfake Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyerukan pasukannya untuk menyerah, menjadi contoh nyata. Meskipun segera dibantah, dampaknya terhadap moral pasukan dan opini publik tetap signifikan pada jam-jam awal setelah penyebarannya.

Selain manipulasi langsung, AI juga memperkuat kemampuan micro-targeting—penyesuaian pesan untuk individu tertentu berdasarkan data perilaku dan preferensi mereka. Studi Oxford Internet Institute (2023) menunjukkan bahwa algoritme AI mampu mengidentifikasi kerentanan psikologis audiens (misalnya kecemasan ekonomi atau sentimen etnis) dan merancang pesan khusus yang memicu respons emosional yang diinginkan.

Perpaduan AI dan deepfake juga membuka ruang untuk operasi “multi-layer deception”, di mana beberapa lapis kebohongan saling menutupi, menciptakan labirin informasi yang sulit diurai. Strategi ini memanfaatkan information fatigue, membuat audiens akhirnya menerima narasi yang paling sering diulang meskipun palsu.

Studi Kasus Perang Narasi di Konflik Modern

Perang kognitif bukanlah fenomena hipotesis; ia sudah berlangsung di berbagai medan konflik, dari Eropa Timur hingga Timur Tengah dan Asia Tenggara. Setiap konflik besar dalam dua dekade terakhir menyajikan pelajaran berharga tentang bagaimana narasi dapat menjadi senjata strategis yang menentukan arah opini publik global, mempengaruhi kebijakan negara, bahkan mengubah hasil pertempuran fisik.

Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 menjadi salah satu case study paling komprehensif dalam literatur perang kognitif modern. Dari hari pertama, kedua pihak terlibat dalam pertarungan narasi global. Rusia memposisikan tindakannya sebagai “operasi militer khusus” untuk “denazifikasi” Ukraina, sebuah kerangka yang diulang-ulang di media domestik dan jaringan propaganda luar negeri. Sementara itu, Ukraina di bawah kepemimpinan Volodymyr Zelensky menempatkan narasi “perlawanan rakyat” dan “pertahanan demokrasi” di garis depan komunikasi internasionalnya.

Penelitian Institute for Strategic Dialogue (ISD, 2023) menunjukkan bahwa Rusia mengoperasikan jaringan disinformasi multibahasa yang menyebarkan narasi pro-Kremlin di media sosial Barat, memanfaatkan perpecahan politik internal di negara-negara NATO. Di sisi lain, Ukraina menggunakan media digital dengan presisi tinggi, termasuk real-time social media updates, pesan video langsung dari Zelensky, dan kampanye crowdsourced intelligence yang melibatkan warga sipil.

Peristiwa deepfake Zelensky yang memerintahkan pasukan untuk menyerah adalah contoh nyata penggunaan teknologi manipulasi dalam perang kognitif. Meskipun segera dihapus, video itu memperlihatkan bagaimana teknologi bisa digunakan untuk menyerang moral militer dan merusak kepercayaan publik.

 Perang Gaza dan Narasi di Timur Tengah

Konflik Gaza pasca 7 Oktober 2023 memperlihatkan dimensi lain dari perang kognitif: pertarungan moral dan legitimasi kemanusiaan. Israel dan Hamas tidak hanya bertarung di medan fisik, tetapi juga di medan informasi global.

Menurut Al Jazeera Media Institute (2024), Hamas memanfaatkan media sosial untuk membingkai tindakannya sebagai “perlawanan terhadap pendudukan” dan menyoroti korban sipil Palestina untuk membangun simpati internasional. Israel, di sisi lain, menggunakan konferensi pers, rilis video drone, dan kerja sama dengan media arus utama Barat untuk menguatkan narasi “hak membela diri” dan membongkar keterlibatan Iran.

See also  Intelijen dan Kepentingan Nasional

Perang ini menunjukkan bagaimana distribusi gambar, terutama yang menggambarkan penderitaan manusia, dapat menjadi senjata kognitif yang sangat efektif. Gambar anak-anak korban serangan, baik di Gaza maupun Israel, sering kali digunakan untuk mempengaruhi opini publik global, membentuk tekanan politik terhadap pemerintah, dan memobilisasi dukungan internasional.

Asia Tenggara: Laut Cina Selatan dan Operasi Persepsi

Di Asia Tenggara, Laut Cina Selatan adalah panggung perang kognitif yang berkelanjutan. Tiongkok memanfaatkan kombinasi lawfare (perang hukum), media diplomacy, dan operasi opini publik untuk membentuk persepsi bahwa wilayah sengketa “secara historis” adalah bagian dari kedaulatannya.

Studi Center for Strategic and International Studies (CSIS, 2024) mencatat bagaimana Beijing menggunakan kampanye media berbahasa lokal di negara-negara ASEAN untuk mengedepankan narasi ini, sekaligus melemahkan legitimasi klaim negara lain. Di Filipina, misalnya, media sosial menjadi ladang operasi yang sarat dengan akun-akun pro-Tiongkok yang menyebarkan keraguan terhadap aliansi Manila–Washington.

Sebaliknya, negara-negara ASEAN yang bersengketa menggunakan diplomasi publik dan kerja sama internasional untuk menegaskan narasi kedaulatan mereka. Namun, keterbatasan sumber daya, perbedaan kepentingan antaranggota ASEAN, dan penetrasi teknologi Tiongkok di wilayah ini membuat pertarungan narasi berlangsung timpang.

Implikasi Strategis & Rekomendasi Kebijakan

Perang kognitif memaksa negara memindahkan pusat gravitasi pertahanan dari pagar perbatasan ke ruang yang paling rapuh sekaligus paling menentukan: kesadaran warga. Keunggulan militer, kecanggihan siber, bahkan kemakmuran ekonomi tidak cukup bila persepsi publik berhasil dibelokkan—karena kebijakan yang paling kuat pun akan runtuh ketika legitimasi terkikis. Di sinilah implikasi strategisnya: pengelolaan persepsi menjadi fungsi inti negara, berdampingan dengan pertahanan, diplomasi, dan ekonomi. Konsekuensinya tidak kecil. Struktur kelembagaan harus dirombak agar komando informasi, kontra-disinformasi, diplomasi publik, dan intelijen strategis berada dalam satu arsitektur yang saling mengunci, bukan bekerja parsial. Tanpa arsitektur terpadu, serangan kognitif yang bergerak cepat akan selalu selangkah di depan prosedur birokrasi.

Rekomendasi pertama menyentuh tataran doktrin. Negara membutuhkan doktrin perang kognitif yang eksplisit, bukan lampiran sunyi dari naskah pertahanan. Doktrin tersebut menetapkan definisi ancaman, aturan operasi, ambang respons, serta garis koordinasi antarlembaga. Doktrin juga harus mengakui sifat lintas domain: serangan kognitif hampir selalu ditopang unsur siber, ekonomi, dan diplomasi. Karena itu, tata kelola perlu mengangkat satu otoritas pengarah pada level pusat yang memiliki hak veto operasional terkait krisis informasi—setara dengan komando gabungan dalam operasi militer—agar respons terpadu bisa dieksekusi dalam hitungan jam, bukan minggu.

Rekomendasi kedua berada pada teknologi dan data. Tanpa arsitektur data terpadu, intelijen kognitif hanya akan menjadi ritual membaca linimasa. Negara perlu membangun pusat fusi data yang menggabungkan telemetri platform, indikator tren percakapan, deteksi jaringan bot, serta penilaian sentiment real time. Di atasnya berdiri mesin analitik berbasis pembelajaran mesin untuk memetakan pola sebar, asal kampanye, segmen audiens yang rentan, dan jalur penularan narasi. Teknologi ini tidak dimaksudkan untuk memata-matai warga, melainkan untuk memetakan medan tempur informasi, sebagaimana radar memetakan langit. Kedaulatan data publik dan standar privasi harus menjadi pagar etis agar pertahanan kognitif tidak berubah menjadi represi.

Rekomendasi ketiga menyasar ketahanan masyarakat. Literasi digital generik tidak lagi memadai. Yang diperlukan adalah literasi kognitif yang melatih kebiasaan memeriksa konteks, mengenali sinyal manipulasi, memahami bagaimana emosi dieksploitasi, serta berlatih menghadapi skenario disinformasi yang realistis. Pendidikan semacam ini mesti terintegrasi dalam kurikulum dan pelatihan profesi strategis—guru, tenaga kesehatan, aparat, jurnalis, pejabat publik—sebab kelompok-kelompok ini adalah “multiplikator” yang menentukan arah arus informasi di lapangan. Ketahanan masyarakat juga dibangun melalui ekosistem media yang tangguh: ruang kolaborasi cepat antara redaksi, pemeriksa fakta, peneliti, dan regulator platform untuk merilis klarifikasi sinkron ketika kampanye hoaks besar terdeteksi.

Rekomendasi keempat adalah postur ofensif yang sah dan proporsional. Perang kognitif tidak dapat dimenangkan hanya dengan bertahan. Negara memerlukan kemampuan mengganggu dan membongkar operasi lawan: dari early warning berbasis anomali pola sebar, naming-and-shaming jaringan disinformasi transnasional, hingga operasi pembalikan narasi yang mematahkan inti klaim lawan dengan bukti yang tidak terbantahkan. Postur ofensif ini bukan lisensi untuk propaganda, melainkan strategi presisi: menyerang simpul kendali kampanye, bukan kebebasan berekspresi. Kunci etisnya terletak pada transparansi tujuan, pembatasan target pada aktor-aktor manipulatif, serta pengawasan independen agar instrumen negara tidak disalahgunakan terhadap oposisi sah di dalam negeri.

See also  Dinasti Militer di Indonesia: Nepotisme, Patronase, dan Kekuasaan Keluarga di TNI dari Orde Baru hingga 2025

Rekomendasi kelima menyangkut tata kelola krisis. Serangan kognitif yang efektif biasanya muncul berbarengan dengan guncangan nyata—bencana, skandal politik, gejolak ekonomi. Tanpa protokol komunikasi krisis yang matang, serangan akan menempel pada luka yang sedang terbuka. Negara perlu playbook yang menetapkan juru bicara tunggal per isu, format rilis data yang konsisten, interval pembaruan informasi, serta kanal publik yang tahan gangguan. Simulasi berkala—tabletop exercise lintas lembaga dengan skenario deepfake, kebocoran dokumen palsu, atau rumor finansial—akan mengubah refleks institusi: bukan lagi menunggu, melainkan mengisi ruang fakta sejak menit pertama.

Rekomendasi keenam adalah kerangka hukum yang presisi. Hukum harus mampu membedakan kebebasan berpendapat dengan operasi pengaruh terkoordinasi yang menyamar sebagai percakapan organik. Undang-undang yang terlalu longgar membuat negara lumpuh; terlalu ketat akan memukul balik legitimasi. Jalan tengahnya: kewajiban transparansi untuk konten berbayar politik lintas batas, keharusan penandaan dan pelacakan asal distribusi iklan politik digital, serta audit independen rutin atas kebijakan moderasi platform. Kejelasan standar pembuktian untuk operasi pengaruh asing akan menentukan apakah upaya penegakan efektif atau justru menjadi kontroversi baru.

Rekomendasi ketujuh adalah arsitektur kemitraan. Platform digital dan perusahaan distribusi konten kini memegang tombol percepatan arus informasi. Tanpa rules of engagement yang disepakati, negara akan selalu berada pada posisi memohon. Perlu perjanjian teknis yang menetapkan jalur prioritas pelaporan serangan kognitif, latency maksimum untuk penanganan konten manipulatif terkoordinasi, serta akses metadata terbatas untuk keperluan atribusi forensik ketika ada bukti kuat keterlibatan aktor negara asing. Di tingkat internasional, koalisi demokrasi informasi—yang berbagi indikator serangan, taktik baru, dan kit verifikasi sumber terbuka—akan menurunkan biaya respons bagi semua anggota.

Rekomendasi kedelapan berhubungan dengan metrik. Tanpa ukuran, strategi hanya akan menjadi slogan. Indikator kinerja kunci untuk pertahanan kognitif harus melampaui hitungan take down: persentase audiens yang terpapar tetapi tidak terpengaruh, waktu tempuh dari deteksi ke klarifikasi resmi, elastisitas kepercayaan publik pasca-insiden, serta pemulihan sentimen pada segmen yang paling kritis bagi kebijakan. Metrik yang baik akan mengarahkan sumber daya pada simpul paling berpengaruh, bukan pada area yang paling bising.

Akhirnya, seluruh rekomendasi ini bertumpu pada prinsip legitimasi. Perang kognitif menuntut kecepatan dan ketegasan, tetapi legitimasi adalah satu-satunya energi yang membuat mesin itu bertahan. Kepercayaan publik menjadi tameng terkuat terhadap manipulasi; kepercayaan hanya lahir dari konsistensi, transparansi, dan kemampuan mengakui serta memperbaiki kesalahan. Negara yang berani membangun pertahanan kognitif dengan pagar etika yang jelas, arsitektur data yang akuntabel, dan kemitraan yang cerdas akan menemukan bahwa medan tempur informasi dapat dinavigasi. Dan ketika badai narasi datang lagi—karena akan datang lagi—yang berdiri bukan sekadar institusi, melainkan kesadaran kolektif yang tahu bagaimana membedakan bayang-bayang dari kenyataan.

Daftar Pustaka 

Al Jazeera Media Institute. (2024). Media framing in the Gaza conflict: Narratives and audience impact. Doha: Al Jazeera Media Institute.

Center for Strategic and International Studies (CSIS). (2024). China’s influence operations in the South China Sea. Washington, DC: CSIS Press.

Institute for Strategic Dialogue (ISD). (2023). Pro-Kremlin influence operations during the Russia-Ukraine war. London: ISD Publications.

Jowett, G. S., & O’Donnell, V. (2019). Propaganda & persuasion (7th ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.

Nye, J. S. (2021). Soft power and the battle for hearts and minds. Foreign Affairs, 100(4), 25–33.

Rid, T. (2020). Active measures: The secret history of disinformation and political warfare. New York, NY: Farrar, Straus and Giroux.

Singer, P. W., & Brooking, E. T. (2018). LikeWar: The weaponization of social media. Boston, MA: Houghton Mifflin Harcourt.

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). (2023). Countering disinformation: The role of media literacy. Paris: UNESCO.

Wardle, C., & Derakhshan, H. (2018). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework. Strasbourg: Council of Europe.

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment