Banda Aceh, 15 Agustus 2025 – Malam Jumat di Lhee Cafe, Lamgugob, Banda Aceh, menjadi saksi peluncuran sebuah karya monumental: buku “20 Tahun Damai RI-GAM: Berdamai dari Senjata Berkonflik dalam UUPA”. Buku ini diterbitkan oleh Bandar Publishing dengan melibatkan 17 penulis yang merekam perjalanan dua dekade perdamaian Aceh, dari meja perundingan hingga dinamika implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Acara peluncuran dan diskusi buku ini dihadiri berbagai tokoh penting, di antaranya Prof. Yusny Saby, akademisi senior Aceh; Prof. Taqwaddin, mantan Kepala Ombudsman Aceh; Dr. M. Jakfar, akademisi UIN Ar-Raniry; para penulis buku; serta keluarga besar Bandar Publishing. Kehadiran para tokoh dan akademisi menunjukkan bahwa refleksi 20 tahun damai bukan sekadar perayaan, tetapi juga momen intelektual untuk merumuskan arah masa depan Aceh.
Isi dan Gagasan Buku
Buku ini berisi refleksi dari berbagai perspektif: akademisi, jurnalis, aktivis, dan praktisi sosial. Nama-nama seperti Adi Warsidi, Afrizal Darmi, Afrizal Tjoetra, Amrizal J. Prang, Cut Asmaul Husna, Danil Akbar Taqwadin, Ihan Nurdin, Muhammad Heikal Daudy, M. Adli Abdullah, Rahmad Syah Putra, Sahlan Hanafiah, Saifuddin Bantasyam, Sehat Ihsan Shadiqin, Sulaiman Tripa, Taufik A. Rahim, Teuku Muttaqqin Mansur, hingga Zainal Abidin menjadi bagian dari penulis yang menyumbangkan analisis dan catatan reflektif.
Fuad Mardhatillah menulis prolog, sementara Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menutup dengan epilog yang mempertegas dimensi akademik refleksi damai Aceh. Buku ini secara simbolik mengingatkan bahwa perdamaian bukanlah produk instan, melainkan hasil diplomasi, kesabaran, dan komitmen kolektif yang harus terus dirawat.
Diskusi Publik dan Momentum Refleksi
Diskusi buku yang berlangsung selepas peluncuran dipenuhi pandangan kritis dan pengalaman personal. Para pembicara menekankan bahwa perdamaian Aceh mesti terus dijaga agar tidak sekadar menjadi kenangan sejarah, melainkan fondasi bagi pembangunan ke depan.
Dalam suasana akrab, para peserta diskusi menyoroti bahwa damai bukan sekadar berakhirnya konflik bersenjata, tetapi juga berkaitan erat dengan penguatan institusi demokrasi, pendidikan, keadilan ekonomi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Pidato Penutup
Acara ini ditutup dengan pidato penutup yang menegaskan pentingnya menjadikan buku ini sebagai bacaan reflektif sekaligus inspiratif. Pesan yang disampaikan adalah bahwa tradisi merawat damai melalui tulisan, diskusi, dan perjumpaan intelektual harus terus dilanjutkan sebagai bagian dari budaya akademik dan sosial Aceh.
Sebuah Warisan Intelektual Perdamaian
Buku ini tidak hanya menyimpan catatan sejarah, tetapi juga menjadi warisan intelektual bagi generasi mendatang. Ia menghadirkan pemahaman bahwa perdamaian Aceh merupakan proses panjang yang masih terus berlanjut, menuntut perhatian, komitmen, dan solidaritas semua pihak.