Radio Thami dan Dinamika Politik Media di Saudi Arabia: Sebuah Kajian Mendalam

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Radio Thami Saudi Arabia – radio tabung antik dengan latar kota Riyadh lama, gaya vintage sepia klasik – KBA13 Insight
Radio Thami bukan sekadar radio hiburan, melainkan instrumen politik dan propaganda di Saudi Arabia. Sebuah warisan media yang kini menjadi jendela untuk memahami dinamika politik dan budaya Timur Tengah. – KBA13 Insight

Pendahuluan

Ketika kita berbicara tentang sejarah politik Timur Tengah, terutama Saudi Arabia, narasi yang paling sering hadir adalah tentang monarki, minyak, dan agama. Namun, ada satu aspek lain yang sering kali luput dari sorotan: media sebagai alat kuasa, kontrol, sekaligus perlawanan. Buku tentang Radio Thami yang pertama kali terbit pada akhir 1990-an menjadi salah satu pintu penting untuk memahami bagaimana Saudi Arabia membangun “ruang dengar” (listening space) yang sarat muatan politik, ideologi, dan strategi kekuasaan.

Radio Thami bukan sekadar saluran hiburan atau informasi, tetapi juga instrumen komunikasi politik yang membentuk kesadaran masyarakat Saudi. Dalam konteks masyarakat yang sangat konservatif dan tertutup, radio memainkan peran strategis: ia menjadi jembatan antara negara dengan rakyat, antara elit dengan publik, antara dunia luar dengan dunia dalam.

Kajian ini mencoba membaca kembali buku tersebut, sekaligus menempatkannya dalam kerangka yang lebih luas: bagaimana media—dari radio hingga media sosial—menjadi arena politik di Timur Tengah. Apa yang ditulis pada 1999 terasa sangat relevan dengan kondisi Saudi Arabia hari ini, ketika transformasi politik, sosial, dan kultural berlangsung cepat di bawah kepemimpinan Mohammad bin Salman (MBS).

Radio Thami dalam Sejarah Saudi Arabia

Sejarah Radio Thami tidak bisa dilepaskan dari konteks perkembangan Saudi Arabia pasca-Perang Dunia II. Ketika minyak mulai menjadi urat nadi ekonomi, Saudi juga mulai memodernisasi sarana komunikasinya. Namun, modernisasi media tidak berarti keterbukaan. Radio Thami dirancang sebagai alat propaganda internal: untuk meneguhkan legitimasi keluarga Saud, menyebarkan interpretasi resmi agama, dan sekaligus meredam potensi perbedaan suara.

See also  Para Komando: Jejak Seorang Prajurit di Pusaran Sejarah Indonesia

Buku ini merekam bagaimana Radio Thami tumbuh menjadi simbol otoritas negara. Ia bukan sekadar “gelombang suara”, melainkan juga sebuah ruang simbolik di mana kerajaan berusaha mendefinisikan apa itu Saudi, siapa yang layak bicara, dan bagaimana wacana agama serta politik disampaikan.

Uniknya, Radio Thami tidak lahir dalam ruang hampa. Ia berkembang di tengah kompetisi media Arab, terutama dengan kehadiran Radio Sawt al-Arab (Voice of the Arabs) dari Mesir era Gamal Abdel Nasser, yang sangat berpengaruh di seluruh dunia Arab. Pertarungan antara media Saudi dan Mesir pada masa itu mencerminkan pertarungan ideologi: konservatisme Wahhabi versus nasionalisme Arab.

Media, Politik, dan Kekuasaan di Timur Tengah

Buku ini mengingatkan kita bahwa di Timur Tengah, media bukan hanya “pilar keempat demokrasi” sebagaimana dipahami di Barat. Di kawasan ini, media sering berfungsi sebagai:

  1. Instrumen kontrol negara – untuk mengarahkan opini publik dan menjaga stabilitas politik.

  2. Ruang dakwah agama resmi – untuk menyebarkan versi negara dari Islam, khususnya Islam Wahhabi di Saudi.

  3. Senjata diplomasi regional – media menjadi alat dalam perebutan pengaruh antarnegara Arab.

Radio Thami berada di titik pertemuan tiga fungsi tersebut. Ia memadukan kepentingan politik, agama, dan geopolitik. Dengan demikian, buku ini tidak hanya merekam sejarah sebuah radio, tetapi juga membuka tabir tentang bagaimana Saudi Arabia mengelola wacana publik melalui media.

Radio Thami sebagai Ruang Publik Baru

Di balik fungsi kontrol, Radio Thami juga membuka ruang baru bagi masyarakat Saudi. Dalam masyarakat yang terbatas akses bacaan dan literasi medianya, radio menjadi ruang publik alternatif.

See also  Hasan di Tiro: Kisah yang Belum Selesai dalam 20 Tahun Perdamaian Aceh

Namun, ruang publik di Saudi selalu bersifat terkontrol. Radio memberi kesempatan bagi rakyat untuk mendengar, tetapi tidak untuk bicara. Ia menghadirkan imajinasi kebersamaan, tetapi tetap dalam bingkai narasi negara. Dalam konteks ini, buku tentang Radio Thami memberi kita pemahaman bahwa:

  • Ruang publik tidak pernah netral. Ia selalu dibentuk oleh kekuasaan.

  • Media adalah instrumen hegemoni. Suara yang hadir adalah suara yang diizinkan, sementara yang lain dipinggirkan.

  • Radio menciptakan ilusi partisipasi. Publik merasa terlibat, tetapi dalam realitasnya mereka hanyalah pendengar pasif.

Transformasi Budaya Komunikasi: Dari Radio ke Media Sosial

Jika pada 1990-an Radio Thami menjadi simbol kuasa media, hari ini peran itu telah diambil alih oleh media sosial. Ironisnya, apa yang terjadi di era digital hampir mengulang logika lama: negara tetap berusaha mengontrol narasi. Bedanya, kali ini kontrol dilakukan melalui cyber surveillance, propaganda digital, dan rekayasa trending topics.

Namun, ruang digital juga memberi peluang baru. Generasi muda Saudi—terutama pasca-2010—menggunakan Twitter, YouTube, dan Instagram sebagai ruang untuk mengekspresikan kritik, aspirasi, bahkan satir politik. Dalam konteks ini, kita melihat kesinambungan antara Radio Thami dengan media sosial: keduanya adalah arena tarik-menarik antara kontrol negara dan aspirasi publik.

Relevansi Akademik: Teori Komunikasi, Antropologi Media, dan Politik Timur Tengah

Buku ini bisa dibaca dari berbagai perspektif akademik:

  1. Teori Komunikasi Politik – Radio Thami menjadi contoh konkret tentang propaganda, agenda setting, dan framing oleh negara.

  2. Antropologi Media – radio bukan hanya alat teknis, melainkan juga medium budaya yang membentuk cara orang Saudi memahami identitas mereka.

  3. Studi Timur Tengah – kisah Radio Thami tidak bisa dipisahkan dari geopolitik kawasan, terutama persaingan Saudi-Mesir dan kemudian Saudi-Iran.

See also  Radio Tami: Kisah Media Pionir Riyadh yang Terlupakan

Kajian seperti ini juga mengingatkan kita pada pentingnya melihat media bukan hanya sebagai teks, tetapi juga sebagai praktik sosial, politik, dan budaya.

Kesimpulan: Menghidupkan Kembali Kajian Timur Tengah lewat Lensa Media

Buku tentang Radio Thami yang terbit 1999 ini memang lahir di era berbeda. Namun, substansi kajiannya tetap hidup dan bahkan semakin relevan hari ini. Ia mengajarkan kita bahwa untuk memahami Timur Tengah, kita tidak bisa hanya melihat monarki, minyak, atau konflik geopolitik. Kita juga harus melihat media sebagai medan pertempuran wacana.

Radio Thami menjadi simbol bagaimana suara digunakan untuk mengatur kesadaran. Hari ini, media sosial menjadi kelanjutannya. Pertanyaan yang muncul: sampai kapan narasi bisa sepenuhnya dikontrol?

Bagi KBA13 Insight, kajian ini bukan hanya tentang masa lalu Saudi Arabia, melainkan juga ajakan untuk membaca ulang politik Timur Tengah melalui dimensi media. Dengan begitu, kita bisa memahami dinamika yang lebih subtil tetapi menentukan dalam arah politik kawasan.

Tulisan ini adalah juga bagian dari sub-kategori Kajian Timur Tengah di KBA13 Insight. Dengan membaca kembali buku-buku klasik seperti ini, kita menghidupkan tradisi intelektual yang kritis dan mendalam. Saya mengajak pembaca untuk terus mengikuti berbagai book review dan kajian pustaka lain di situs ini, karena di situlah kita bisa menemukan benang merah antara masa lalu, masa kini, dan masa depan dunia Islam.

Judul Buku (Arab): إذاعة طامي من الرياض: دراسة تاريخية وثائقية
Judul Buku (Latin/Transliterasi): Idha‘at Thami min al-Riyadh: Dirasah Tarikhiyyah Watha’iqiyyah
Judul dalam Bahasa Indonesia: Radio Thami dari Riyadh: Kajian Historis dan Dokumenter

Penulis: محمد بن سعد آل مسعود (Muhammad bin Sa‘d Al-Mas‘ud)
Penerbit: دار العاصمة للنشر والتوزيع (Dar al-‘Asimah li al-Nashr wa al-Tawzi‘), Riyadh
Tahun Terbit: 1999
Jumlah Halaman: ± 350 halaman (dengan lampiran arsip dan foto dokumenter)
Bahasa: Arab

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment