Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Emosi Anak

Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Emosi Anak

Setiap anak lahir dalam lingkungan yang unik—dan keluarga adalah dunia pertama yang mengenalkannya pada kehidupan. Dari keluarga, seorang anak belajar berbicara, tertawa, marah, bahkan mengenali rasa kasih sayang. Di rumah, orang tua bukan hanya tempat berlindung, tetapi juga menjadi “guru pertama” yang membentuk siapa diri kita hari ini.

Menurut beberapa ahli seperti Hurlock dan Slamet, pengalaman pertama bersama orang tua memiliki pengaruh besar dalam pembentukan karakter, kasih sayang, dan kedisiplinan diri. Dari sinilah emosi seorang anak mulai tumbuh. Seorang anak yang dibesarkan dengan penuh perhatian akan belajar memahami perasaan sendiri dan orang lain. Sebaliknya, anak yang tumbuh tanpa komunikasi dan kehangatan mungkin akan kesulitan mengendalikan emosinya.

Dalam pandangan psikolog Diana Baumrind, ada tiga gaya utama pola asuh orang tua: otoriter, demokratis, dan permisif. Masing-masing punya dampak berbeda terhadap perkembangan emosi anak.

  • Pola asuh demokratis adalah gaya yang paling seimbang. Orang tua memberikan kasih sayang tapi juga batasan. Anak didengar pendapatnya, tapi tetap diarahkan. Biasanya, anak-anak yang tumbuh dengan pola ini lebih percaya diri, mampu mengendalikan emosi, dan tidak mudah panik saat menghadapi masalah.

  • Pola asuh otoriter cenderung kaku. Orang tua menentukan segalanya dan jarang memberi ruang untuk anak berpendapat. Akibatnya, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang takut salah, mudah cemas, atau bahkan memberontak.

  • Pola asuh permisif justru terlalu longgar. Anak dibebaskan sepenuhnya tanpa batasan yang jelas. Akibatnya, banyak anak jadi sulit mengontrol emosi atau tidak memahami konsekuensi dari tindakannya.

See also  Fenomena Muslim Jawa Kontemporer: Dakwah, Kewalian, dan Karisma di Era Media Sosial

Sebagai siswi SMA, saya mulai menyadari bahwa pola asuh orang tua benar-benar memengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain di sekolah. Saat remaja, emosi sering kali tidak stabil—kadang bahagia, kadang sedih, kadang marah tanpa alasan. Namun dengan dukungan dan komunikasi yang baik di rumah, semua perasaan itu bisa lebih mudah dikendalikan.

Di SMA Laboratorium Unsyiah, saya pernah melakukan penelitian kecil tentang hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan emosi siswa. Dari hasil angket dan pengamatan terhadap teman-teman sekelas, terlihat bahwa siswa dengan orang tua yang menerapkan pola demokratis cenderung lebih terbuka, berani berpendapat, dan punya empati tinggi. Sementara mereka yang dibesarkan dengan pola otoriter sering kali tampak lebih tertutup dan takut mengambil inisiatif.

Proses penelitian itu membuat saya lebih peka. Saya jadi sadar bahwa emosi tidak tumbuh begitu saja; ia dibentuk dari pola komunikasi dan kasih sayang dalam keluarga. Faktor-faktor lain seperti lingkungan sekolah, teman sebaya, dan karakter pribadi juga punya peran penting. Namun, fondasi awal tetap datang dari rumah.

Saya juga membaca beberapa penelitian yang memperkuat temuan tersebut. Misalnya, studi dari Sari (2019) menunjukkan bahwa pola asuh demokratis berpengaruh positif terhadap kecerdasan emosional anak usia dini. Sedangkan penelitian Putri (2021) menemukan bahwa pola permisif justru membuat anak lebih sulit mengatur emosi. Bahkan Rahman (2022) menjelaskan bahwa pola otoriter bisa menimbulkan kecenderungan anak mudah marah dan sulit menahan perasaan.

See also  Indonesia: Tempat Paling Keren dengan Alam, Budaya, dan Kreativitas Anak Muda

Dari semua temuan itu, saya belajar satu hal penting: cara orang tua memperlakukan anak menentukan bagaimana anak menghadapi dunia. Anak yang dibimbing dengan kasih sayang dan diberi ruang untuk berdialog akan tumbuh menjadi pribadi yang matang secara emosi, siap menghadapi tantangan, dan mampu memahami orang lain.

Sebaliknya, anak yang tumbuh dalam tekanan, tanpa ruang ekspresi, atau terlalu dimanjakan bisa kesulitan menemukan keseimbangan emosinya. Mereka mungkin pintar secara akademik, tapi tidak selalu tangguh dalam menghadapi perasaan.

Sebagai remaja, saya sering berpikir bahwa hubungan antara orang tua dan anak seharusnya tidak hanya soal aturan, tapi juga tentang komunikasi dua arah. Kita perlu belajar jujur dengan perasaan sendiri, dan orang tua juga perlu mendengar tanpa menghakimi. Di situlah kedewasaan emosi tumbuh: dari rasa saling percaya dan saling memahami.

Melalui tugas ini, saya belajar bahwa keluarga bukan sekadar tempat pulang, tapi tempat belajar mengelola hati. Pola asuh yang tepat akan membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga kuat secara emosional. Dan mungkin, itulah makna sebenarnya dari menjadi anak yang bahagia.

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *