
Aceh, sebagai provinsi dengan kekhususan otonomi, memiliki posisi strategis baik secara geopolitik maupun simbolik. Letaknya di ujung barat Indonesia serta sejarah panjang perjuangan identitas Islam menjadikannya kawasan yang bukan hanya sensitif secara kultural, tetapi juga menjadi laboratorium politik bagi eksperimentasi kebijakan otonomi daerah. Dalam rentang waktu 2024–2025, Aceh menghadapi tantangan besar yang bersifat struktural, fiskal, dan simbolik. Berdasarkan dokumen pertanggungjawaban APBA 2024, Rancangan Qanun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2025–2029, serta pendapat dan respons dari lembaga legislatif (DPRA), dapat disimpulkan bahwa provinsi ini sedang berada dalam kondisi transisional yang mengandung potensi instabilitas namun juga peluang perbaikan yang luas.
Dari sisi kinerja fiskal, Pemerintah Aceh mencatat pencapaian yang secara kasat mata terlihat positif. Realisasi pendapatan tahun 2024 mencapai Rp11,396 triliun atau 101,18% dari target. Pendapatan Asli Aceh (PAD) meningkat, terutama dari sektor pajak dan retribusi daerah, dengan kontribusi signifikan dari intensifikasi pajak kendaraan bermotor dan optimalisasi unit layanan Samsat. Namun, di balik angka ini tersembunyi masalah struktural yang lebih mendalam. Penyerapan anggaran untuk belanja hanya mencapai 96,7%, sementara belanja modal mengalami penurunan tajam dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menandakan adanya masalah dalam kapasitas eksekusi proyek dan efisiensi birokrasi daerah. SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) yang mencapai lebih dari Rp530 miliar justru menjadi indikator stagnasi implementasi proyek prioritas dan lemahnya kinerja belanja pembangunan.
Dalam konteks sosial, Aceh masih menyimpan paradoks yang cukup mencolok. Di satu sisi, provinsi ini menunjukkan peningkatan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencapai 75,36 poin, menempatkannya pada posisi ke-11 nasional dan ke-5 di Sumatera. Namun di sisi lain, tingkat kemiskinan masih tinggi, terutama di wilayah perdesaan. Persentase penduduk miskin mencapai 12,64% pada September 2024, dengan angka desa sebesar 14,99%, jauh di atas angka kemiskinan kota yang berada di angka 8,37%. Disparitas ini menunjukkan adanya ketimpangan spasial yang memerlukan intervensi serius dari kebijakan pembangunan daerah.
Isu pengangguran juga belum dapat diselesaikan secara tuntas. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,75% masih berada di atas rata-rata nasional, meskipun mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Hal ini menggambarkan bahwa penciptaan lapangan kerja baru masih belum sebanding dengan laju pertumbuhan angkatan kerja produktif, terutama di sektor informal dan perdesaan. Apabila tidak diatasi dengan strategi industrialisasi lokal dan penguatan ekonomi berbasis potensi gampong, pengangguran ini dapat menjadi potensi instabilitas sosial.
Salah satu isu paling sensitif dalam narasi politik Aceh hari ini adalah ketergantungan terhadap Dana Otonomi Khusus (Otsus). Sejak 2023, dana tersebut dipangkas menjadi hanya 1% dan akan berakhir pada 2027. Pemerintah Aceh telah melakukan berbagai upaya diplomasi ke pusat, namun hingga pertengahan 2025 belum ada jaminan konkret dari pemerintah pusat terkait perpanjangan. Ketiadaan kepastian ini menjadi potensi bom waktu bagi fiskal daerah yang selama ini sangat tergantung pada dana transfer. Ketika PAD belum cukup kuat untuk menopang kebutuhan belanja publik, berakhirnya Otsus akan sangat mempengaruhi daya tahan anggaran pembangunan, terutama di sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar.
Dinamika politik lokal juga memperlihatkan kecenderungan simbolisasi identitas yang semakin intens. Dalam RPJMA 2025–2029, Gubernur Aceh secara eksplisit mengangkat visi “Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan.” Ini bukan hanya strategi retoris, tetapi juga mencerminkan upaya konsolidasi legitimasi politik berbasis nilai-nilai keislaman. Narasi ini diperkuat dengan dukungan terhadap penguatan syariat Islam, optimalisasi zakat, dan keberpihakan terhadap sektor UMKM berbasis keuangan syariah. Namun, perlu diingat bahwa narasi simbolik seperti ini menyimpan ambiguitas. Bila tidak disertai dengan hasil konkret yang menyentuh masyarakat luas, maka ia berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok politik tertentu sebagai alat perlawanan simbolik terhadap pusat.
Isu Tanah Blang Padang menjadi studi kasus penting dalam konteks ini. DPR Aceh menyuarakan kembali pentingnya pengembalian tanah tersebut kepada Mesjid Raya Baiturrahman sebagai tanah wakaf berdasarkan sejarah masa Sultan Iskandar Muda. Pemerintah Aceh bahkan telah menyurati Presiden dan berkoordinasi dengan KPK serta Kementerian Keuangan, namun hingga kini belum terlihat tindak lanjut nyata. Ini menjadi pemantik potensial bagi narasi ketimpangan kekuasaan antara Aceh dan Jakarta, terutama jika isu tersebut dikapitalisasi sebagai bentuk ketidakadilan historis.
Situasi ini harus dibaca sebagai sinyal awal terhadap meningkatnya risiko friksi vertikal antara pusat dan daerah. Jika narasi seperti “pengkhianatan atas warisan keislaman Aceh” mulai digaungkan dalam ruang publik, maka hal itu dapat memperkuat mobilisasi simbolik yang bersifat eksklusif. Di tengah ketimpangan ekonomi dan kemiskinan perdesaan yang belum tertangani, mobilisasi identitas agama dan sejarah lokal berpotensi menjadi alat rekayasa politik yang berbahaya.
Namun demikian, Aceh juga memiliki peluang besar untuk memperkuat kemandirian fiskal dan sosial jika dilakukan reformasi struktural yang tepat. Pemerintah Aceh perlu fokus pada diversifikasi sumber PAD, termasuk dari pemanfaatan aset daerah, kerjasama publik-swasta (KPBU), serta optimalisasi peran Badan Usaha Milik Aceh (BUMA). Dalam bidang sosial, perluasan program-program berbasis gampong, pembiayaan inklusif untuk UMKM syariah, dan pemberdayaan ekonomi perempuan dapat menjadi strategi jangka menengah yang efektif.
Dari sisi hubungan pusat-daerah, dibutuhkan mekanisme tripartit antara Pemerintah Aceh, DPRA, dan Pemerintah Pusat untuk merancang skenario transisi fiskal pasca-Otsus. Reformasi kelembagaan seperti penguatan Badan Pengelola Keuangan Aceh (BPKA), audit proyek strategis, serta sinergi data fiskal dan sosial lintas kabupaten/kota sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, peran lembaga pendidikan tinggi seperti UIN Ar-Raniry dan USK juga dapat dimaksimalkan sebagai mitra dalam pengembangan kebijakan berbasis bukti.
Kesimpulannya, Aceh berada di antara dua kutub: kutub simbolisme dan kutub struktur ekonomi. Jika keduanya dikelola secara integratif, maka Aceh bisa menjadi model pembangunan khas Indonesia yang menggabungkan nilai lokal, kemandirian fiskal, dan inklusi sosial. Namun bila dibiarkan tanpa reformasi dan pengawasan yang kuat, maka Aceh bisa kembali menjadi medan perlawanan identitas yang menantang integrasi nasional. Oleh karena itu, strategi jangka pendek dan menengah harus dirancang secara holistik, dengan memadukan pendekatan fiskal, sosial, dan kultural untuk menjamin keberlanjutan pembangunan Aceh.