
Baru-baru ini muncul berita yang mengulas tentang kemungkinan Tsunami AIDS sebagai dampak dari peningkatan komunitas lesbian dan gay di Banda Aceh. Hal ini dipicu oleh kemunculan kelompok penyuka sesama jenis yang sudah menjadi tren dalam mengungkapkan kasih sayang. Beberapa tahun yang lalu, seorang mahasiswi Saya melakukan penelitian lapangan tentang fenomena lesbian di kalangan mahasiswi di kota Banda Aceh. Awalnya, riset ini tidak begitu meyakinkan, sebab asumsi bahwa kota Banda Aceh sebagai kota yang selalu terdepan dalam penegakan Syari’at Islam.
Ketika riset dilakukan memang banyak dinamika yang unik. Misalnya, komunitas lesbian ini tidak dapat diketahui secara umum oleh masyarakat, karena tidak ada pelanggaran apapun dari aspek asusila. Sesepuh komunitas ini selalu menerima “curhatan” dari berbagai pasangan lesbi yang datang kepadanya untuk berkonsultasi. Mereka mengadakan “pesta” di tempat-tempat yang sangat tertutup dari akses publik. Tidak ada kecurigaan yang mendalam dari masyarakat setempat. Semua pasangan memakai jilbab. Kendati ada beberapa di antara mereka yang kemudian diketahui penyuka sesama jenis dari akun media sosialnya. Di atas itu semua, ketika mereka datang ke kampus tidak tampak sedikit pun, kalau mereka adalah kelompok penyuka sesama jenis.
Ketika dilakukan pendalaman terhadap kehidupan pribadi kelompok lesbian di kalangan mahasiswi ini pun terkuak beberapa penyebab yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita. Pertama, ada yang memutuskan menjadi lesbian, karena mendapatkan perlakuan kasar dari sosok ayah sejak masa kecil. Ayah bagi mereka adalah monster yang menakutkan. Selain kekerasan verbal, kekerasan fisik juga mungkin pernah mereka rasakan di kampung halaman.
Karena absen kasih sayang dari seorang ayah, maka mereka membayangkan bahwa lelaki sama sekali bukan pelindung dan pemberi rasa cinta kepada mereka. Setelah mereka sampai di Banda Aceh, rasa kasih sayang ini kemudian didapatkan dari sesama jenis. Saling perhatian. Berbagi hadiah. Tidak mau pacaran dengan lawan jenis. Sehingga mereka lebih nyaman bersama wanita yang selalu hadir dalam membagi kasih sayang.
Dalam konteks ini, perubahan orientasi seksual mereka pun berkembang. Orang tua di kampung halaman tidak ada yang tahu. Dosen wali pun tidak pernah diberitahu tentang perkembangan tersebut. Karena merasakan lebih nyaman dengan sesama jenisnya, akhirnya mereka tidak mampu lagi keluar dari rasa cinta sesama jenis. Sangat boleh jadi, ada di antara mereka bahkan yang hidup bersama selama menjadi mahasiswi di Banda Aceh.
Kedua, ada yang menjadi penyuka sesama jenis, karena faktor “adik-adik-an” di pondok pesantren. Perhatian yang berlebih sambil menyerbu dengan berbagai hadiah menyebabkan mereka mengenal cinta dari kalangannya sendiri. Selama di pondok pesantren, tradisi membagi kasih sayang terlarang ini bukanlah hal yang baru. Sebab, hal ini tidak hanya terjadi di kalangan santriwati, tetapi juga di kalangan santriwan. Istilah “Hombreng” adalah fenomena yang biasa ketika dijumpai pasangan sesama jenis di kalangan santri laki-laki. Adapun kepanjangan dari “Hombreng” adalah Homo Brengsek.
Karena sudah nyaman sejak di pesantren melalui faktor “adik-adik-an”, maka ketika beranjak ke Banda Aceh, mereka mencari sosok yang sama. Akhirnya, ketika komunitas lesbian mengetahui hal tersebut, akan mendekati sosok ini, untuk dijadikan sebagai proses meneruskan “adik-adik-an” di bangku perguruan tinggi. Karena sudah masuk dan terjebak dalam komunitas ini, maka mahasiswa yang menjadi korban “adik-adik-an” ini pun tidak dapat keluar.
Rasa cinta dan memiliki di kalangan pasangan lesbi memang tidak sukar untuk dipisahkan. Sebab begitu mereka dikhianati, maka sakit hati akan menghasilkan tindakan yang tidak rasional. Sampai sekarang kampus mungkin tidak memiliki unit khusus yang berusaha mengeluarkan mereka dari komunitas lesbian. Sebab ketika mereka ke kampus, tampilan mereka tidak ada yang mencurigakan.
Ketiga, ini adalah faktor yang lazim yaitu patah hati dengan pasangan lelaki mereka, sejak di bangku sekolah menengah pertama atau atas.Pikiran bahwa lelaki itu bangsat adalah cara baru bagi mereka dalam memutuskan untuk memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama. Kelompok ketiga ini memang tidak sedikit, sebab saat ini, hubungan terlarang antara pemuda dan pemudi sudah dimulai sejak di kampung halaman.
Karena itu, korban dari sakit hati dengan lelaki ini sama sekali tidak memiliki rumus untuk menghormati pria. Perasaan patah dan sakit hati ini lantas dilanjutkan dengan memiliki kenyamanan ketika berhubungan dengan sesama jenis. Mereka pun tidak akan dirazia, karena tidak ada yang curiga, kalau sesama mahasiswi hidup bersama-sama sebagai pasangan lesbi.
Adapun faktor yang terakhir adalah berasal dari kelompok yang hanya ingin coba-coba saja. Mereka penasaran bagaimana menjadi seorang penyuka sesama jenis. Kelompok terakhir ini pun masih memiliki orientasi pada lawan jenis. Kendati demikian kenyamanan dan tidak akan kena razia jika bersama sesama jenis adalah pilihan yang terbaik. Pola mengikuti berbagai tren baru dalam meluahkan kasih sayang pada sesama jenis, menurut kelompok ini adalah sesuatu yang dapat dicoba dan tidak akan membawa pada kerugian sama sekali.
Kelompok keempat ini tidak begitu banyak, karena masih dapat keluar dari komunitas tersebut, karena sudah memuaskan rasa ingin tahu, ketika memiliki pasangan dari sesama jenis. Namun, gejala terakhir ini pun menjadi meningkat, mana kala mereka melihat berbagai akun media sosial tentang “menjadi diri yang lain” dari beberapa perempuan yang memiliki orientasi penyuka sesama jenis.
Kelanjutan dari komunitas lesbian ini di Banda Aceh, tidak terkecuali di Aceh Besar menjadi paguyuban yang tidak terbuka kepada publik. Mareka melakukan pertemuan, jika bukan pesta, untuk memperingati momen-momen tertentu. Patron mereka sangat kuat dalam memberikan bimbingan kepada anggotanya. Selain itu, mereka yang “bersolo karir” sebagai lesbian pun tidak sedikit. Mereka hidup sebagai pasangan lesbian sampai menjelang akhir perkuliahan.
Penelitian ini tentu bukanlah rahasia yang tidak diketahui oleh publik. Namun kebangkitan kelompok lesbian di kalangan mahasiswi ini tidak menjadi perhatian. Sehingga fenomena yang awalnya adalah tren berubah menjadi budaya baru yang tidak mudah untuk dihentikan.
Secara tampilan mereka berwujud mahasiswi yang baik-baik saja. Sehari-hari kuliah dengan kesantuna. Kalaupun ada yang aneh itu dapat dilihat dari tampilan mereka di akun media sosial, yang terkadang membuka jilbab. Orang tua sama sekali tidak mengetahui perubahan anak-anak mereka yang sedang kuliah di Banda Aceh. Karena itu, komunitas lesbian di Banda Aceh tampaknya semakin hari semakin bertambah jumlahnya.
Salam Prof. Kamal,
Ada faktor tambahan dari aspek Perkembangan-Sosial Psikologis. Dalam kultur Aceh, hubungan lawan jenis yang dinamakan Pacaran sangat ditentang oleh masyarakat dan sebagian orang tua. Namun salah kaprahnya, alih-alih menentang pacaran, orang tua melarang anak laki-lakinya memiliki rasa sayang atau cinta pada lawan jenisnya. Demikian pula sebaliknya. Padahal rasa adalah fitrah, sementara yang menjadi isu dalam pacaran adalah pola perilaku yang sebagian besar melanggar syari’at. Pacaran boleh dilarang karena mudharatnya lebih besar, namun rasa, harus dikelola agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat. Penekanan yang konsisten dari orang tua agar anak perempuannya “tidak boleh suka atau cinta dengan lelaki”, memiliki peran dari terbentuknya orientasi cinta sejenis yang dirasa aman, lalu nyaman, tapi akhirnya menimbulkan “saman”.
Semoga dapat melengkapi tulisan Prof yang sudah bagus.
Saleum Gure Iban, Terima kasih atas masukan yang cukup bernas. Masalah sosial di Banda Aceh sudah mencapai derajat akut. Melalui media seperti ini, kita terus menggemakan bahwa masalah tersebut, ada di depan mata. Saleum Takzem.
Peran orang tua berarti perlu ditingkatkan. Orang tua sejatinya lebih peka terhadap perubahan sifat dan perilaku anak-anaknya, ya Prof.
Terima Kasih Bang. Memang orang tua yang perlu terlibat aktif. Namun, orang tua sendiri terkadang punya sekian masalah yang harus mereka selesaikan.
Kita pelaku pendidikan sama-sama bersinergi untuk menjauhkan generasi berperilaku yang negatif ini kearah yang lebih baik. Begitu juga masyarakat dan orang tua saling membantu.
Semoga kita semua terselamatkan dari hal-hal yang tidak baik dunia dan akhirat.
Iya, ini menjadi tugas kita bersama dan sampai saat ini belum bisa katakan sukses dalam menanggulangi masalah ini.