Ilustrasi vintage operasi Densus 88 Antiteror di Indonesia, dengan nuansa sepia yang merefleksikan perjalanan penangkapan terorisme 2003–2025.

Analisis Penangkapan dan Operasi Densus 88 Antiteror di Indonesia (2003–2025)

Pendahuluan

Indonesia pernah mengalami serangkaian serangan teroris besar, terutama pada awal 2000-an, yang mendorong pembentukan satuan anti-teror khusus. Puncaknya adalah Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia[1]. Ancaman terorisme yang begitu nyata ini mendorong pemerintah Indonesia meningkatkan upaya penanggulangan terorisme secara serius. Salah satu langkah terpenting adalah membentuk Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri (Densus 88 AT), sebuah unit elit di bawah Kepolisian Republik Indonesia yang secara khusus menangani pemberantasan terorisme[2]. Densus 88 dibentuk dengan dukungan kerangka hukum baru pasca-Bom Bali, yakni Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 dan Perpu No. 1 Tahun 2002 (yang kemudian disahkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme[3][4].

Makalah ini bertujuan menjelaskan secara mendalam peran dan kinerja Densus 88 sejak didirikan (2003) hingga tahun 2025. Pembahasan mencakup jumlah penangkapan terduga teroris, profil orang-orang yang ditangkap (termasuk kasus salah tangkap), tersangka terorisme yang tewas dalam operasi penegakan hukum, pola operasi dan penindakan Densus 88, struktur organisasi Densus 88 dari Markas Besar Polri hingga ke wilayah, serta aspek intelijen dan penyamaran (cover) dalam operasi mereka. Semua data dan analisis disajikan secara objektif berdasarkan sumber-sumber terpercaya: media arus utama, pernyataan resmi pemerintah, serta laporan organisasi hak asasi manusia.

Dengan menelusuri kiprah Densus 88 selama lebih dari dua dekade, kita dapat memahami efektivitas satuan ini dalam menekan ancaman terorisme, sekaligus mengidentifikasi tantangan seperti tudingan pelanggaran HAM dan kesalahan prosedural. Harapannya, kajian komprehensif ini dapat memberikan wawasan mengenai pola penangkapan dan operasi Densus 88 dalam konteks penegakan hukum terorisme di Indonesia, beserta evaluasi kinerja dari sudut pandang akademis.

Sejarah Pembentukan Densus 88

Densus 88 Antiteror resmi dibentuk sebagai respons langsung terhadap eskalasi ancaman terorisme di Indonesia pasca serangan Bom Bali I 12 Oktober 2002[4]. Pemerintah mengeluarkan kebijakan darurat (Inpres dan Perpu tahun 2002) yang memberikan dasar hukum pemberantasan terorisme, dan Polri segera merintis pembentukan detasemen khusus anti-terorisme. Pembentukan ini diprakarsai oleh Kombes Pol. Gories Mere dan rekan-rekannya, yang kemudian berhasil merealisasikan satuan khusus anti-teror di tubuh Polri[5].

Densus 88 diresmikan pada 26 Agustus 2004 oleh Kapolda Metro Jaya saat itu, Irjen Firman Gani[6][5]. Tanggal 26 Agustus kini diperingati sebagai hari lahir Densus 88. Meskipun peresmiannya tahun 2004, dasar pembentukan Densus telah ada sejak setahun sebelumnya: Kapolri mengeluarkan Surat Keputusan No. 30/VI/2003 (tanggal 20 Juni 2003) yang secara resmi membentuk Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri[4]. Nama “88” memiliki makna simbolis; selain menyerupai gambar dua borgol (melambangkan penegakan hukum yang serius), angka ini disebut berkaitan dengan jumlah korban warga Australia dalam Bom Bali 2002[1][7]. Hal ini menunjukkan komitmen Indonesia (dengan dukungan internasional) untuk tidak mengulangi tragedi serupa dan terus mengejar pelaku teror tanpa henti.

Pada awal pembentukannya, Densus 88 beranggotakan hanya 75 personel yang dipilih dan dilatih khusus[8]. Komandan pertama Densus 88 adalah AKBP Tito Karnavian (saat itu berpangkat Ajun Komisaris Besar, kemudian hari menjadi Kapolri)[8]. Personel perdana Densus mendapatkan pelatihan intensif, termasuk di luar negeri, mengingat mereka diproyeksikan menjadi unit elit dengan kemampuan setara pasukan khusus internasional. Amerika Serikat dan Australia turut memberikan bantuan pelatihan dan pendanaan pada fase awal Densus 88 melalui program kerjasama antiteror[9][10]. Dengan dukungan tersebut, Densus 88 dilengkapi persenjataan modern, perlengkapan forensik, intelijen signal, dan kemampuan taktis untuk menghadapi ancaman bom maupun kelompok bersenjata.

Densus 88 bukan satu-satunya satuan penanggulangan teror di Indonesia, namun menjadi unit penegak hukum utama untuk kasus terorisme. Di lingkup Polri sendiri sebelumnya sudah ada unit gegana di Brimob, tetapi Densus 88 dirancang lebih fokus dan proaktif. Sementara itu, di TNI terdapat satuan antiteror seperti Den-81 Kopassus dan Denjaka Marinir, serta BIN memiliki unit antiteror sendiri[11]. Namun, Densus 88 menempati posisi sentral karena diberi kewenangan penyidikan dan penindakan hukum (pro-justitia) terhadap pelaku terorisme. Pada tahun 2010, pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga koordinasi kebijakan kontra-terorisme. Meski BNPT bertanggung jawab merumuskan strategi nasional dan program deradikalisasi, pelaksanaan penegakan hukum tetap berada di tangan Densus 88 Polri[12][13].

Kerangka hukum yang menaungi operasi Densus 88 terus diperkuat. Setelah undang-undang 2003, Indonesia mengesahkan UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pendanaan Terorisme, dan pasca serangkaian serangan teror pada 2016-2018, DPR merevisi aturan menjadi UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme. UU 5/2018 memberikan kewenangan lebih luas bagi Polri (termasuk Densus 88) untuk melakukan upaya preventive strike, seperti penangkapan pre-emptive terhadap terduga teroris sebelum aksi terjadi dan perpanjangan masa penahanan untuk kepentingan pendalaman jaringan[14][15]. Dengan dasar hukum ini, Densus 88 dapat lebih dini membongkar sel-sel teroris, meskipun konsekuensinya jumlah tersangka yang ditangkap meningkat signifikan di tahun-tahun setelahnya (akan dibahas pada bagian statistik penangkapan).

Struktur dan Kerangka Organisasi Densus 88

Secara organisasi, Densus 88 merupakan unit khusus di bawah Mabes Polri dengan lingkup nasional. Kepala Densus 88 (Kadensus 88) adalah perwira tinggi Polri berpangkat bintang dua (Irjen Pol.) yang bertanggung jawab langsung kepada Kapolri[16]. Kadensus dibantu oleh Wakil Kadensus (Wakadensus) berpangkat Brigjen. Posisi Kadensus 88 setara dengan Kepala Badan di Polri dan kerap diisi figur berpengalaman dalam reserse dan intelijen. Sebagai contoh, sejak akhir 2023 Densus 88 dipimpin Brigjen Pol. Sentot Prasetyo (sebelumnya Wakadensus, menggantikan Irjen Marthinus Hukom yang mendapat jabatan lain)[17].

Untuk melaksanakan operasinya di seluruh Indonesia, Densus 88 memiliki jaringan hingga tingkat daerah. Setiap Polda (Kepolisian Daerah) memiliki Satgaswil Densus 88 AT (Satuan Tugas Wilayah)[13]. Satgaswil ini terdiri dari personel Densus 88 yang ditempatkan di daerah tersebut, bekerja sama dengan intelkam dan reserse Polda setempat. Satgaswil berada di bawah kendali fungsi Densus pusat, namun secara administratif berkoordinasi dengan Kapolda. Dengan adanya perwakilan di semua provinsi, Densus 88 mampu merespons cepat laporan aktivitas teror di manapun, dengan dukungan pengetahuan lokal dari Polda setempat[18].

Komposisi personel dan kemampuan: Di tingkat pusat (Mabes Polri), Densus 88 beranggotakan sekitar 400 personel terlatih[19]. Personel ini terbagi dalam berbagai keahlian: ada tim investigasi (penyidik kasus terorisme), unit intelijen (pengumpulan informasi dan pemetaan jaringan), tim penindak/operasi khusus (pasukan taktis bersenjata untuk penangkapan dan penanggulangan ancaman bersenjata), ahli penjinak bom (Jibom), serta penembak jitu (sniper)[20][19]. Densus 88 dikenal pula dengan julukan “Satuan Burung Hantu”, karena kesan kerahasiaan dan kemampuannya beroperasi senyap di malam hari[21]. Setiap operasi penegakan hukum Densus 88 biasanya melibatkan kolaborasi tim-tim tersebut: intelijen melakukan deteksi awal, diikuti penyergapan oleh unit taktis, sementara unit jibom disiagakan jika ada ancaman bom.

Di tingkat daerah, Satgaswil Densus 88 biasanya beranggotakan 45 hingga 75 personel per provinsi[22]. Fasilitas dan kemampuan Satgaswil memang lebih terbatas dibanding detasemen pusat, namun mereka menjalankan fungsi vital: memonitor aktivitas terduga teroris di wilayahnya, mengumpulkan informasi lapangan, serta melakukan penangkapan awal bila diperlukan sebelum bantuan tim pusat datang[19][18]. Dalam operasi besar, tim pusat akan terjun ke lapangan dan bergabung dengan Satgaswil setempat. Densus 88 juga dapat meminta dukungan satuan Polri lain seperti Brimob (misalnya untuk perimeter keamanan atau pengepungan), Inafis/Puslabfor (olah TKP pasca ledakan), maupun koordinasi dengan TNI jika diperlukan (contohnya dalam operasi di daerah konflik seperti Poso, Sulawesi Tengah).

Kerangka organisasi Densus 88 diatur dalam regulasi internal Polri maupun peraturan presiden. Perpres No. 52 Tahun 2010 junto Perpres No. 5 Tahun 2017 menetapkan Densus 88 sebagai unit pelaksana utama Polri di bidang penanggulangan terorisme[23]. Artinya, Densus 88 punya mandat menyeluruh mulai dari fungsi intelijen pencegahan, penindakan/penggerebekan, penyidikan hingga koordinasi program deradikalisasi (yang dijalankan BNPT). Dalam pelaksanaannya, Densus 88 menangani tugas intelijen, pencegahan, penindakan, penyidikan, identifikasi forensik, dan sosialisasi bahaya terorisme[12]. Kewenangan penyelidikan dan penangkapan Densus 88 tertuang dalam UU Terorisme; khususnya Pasal 25 UU No.15 Tahun 2003 memberi wewenang kepolisian untuk melakukan penindakan proaktif terhadap ancaman teror[3].

Secara garis besar, hierarki komando Densus 88 adalah: Kadensus & Wakadensus di Mabes Polri memimpin Detasemen pusat (Markas Densus di Jakarta, dengan sub-direktorat intelijen, subdirektorat investigasi, subdirektorat penindakan, dsb.). Lalu di setiap Polda, ada Kasatgaswil Densus 88 (biasanya berpangkat AKBP atau Kombes) yang memimpin tim wilayah. Koordinasi nasional dilakukan melalui rapat-rapat antara pimpinan Densus dan para Kasatgaswil secara periodik maupun sewaktu-waktu jika ada operasi lintas daerah. Struktur yang tersebar ini memungkinkan Densus 88 menjangkau jaringan teroris yang beroperasi secara sel terpisah di berbagai provinsi, dari Aceh sampai Papua.

Pola Operasi dan Penindakan Densus 88

Intelijen dan Operasi Pendahuluan

Sebagai satuan anti-teror, Densus 88 menekankan pentingnya operasi intelijen sebelum melakukan penangkapan. Pola operasi Densus 88 umumnya dimulai dari tahap deteksi: mereka mengidentifikasi target melalui pengembangan informasi dari kasus sebelumnya, pemantauan aktivitas mencurigakan, laporan intelijen dari BIN atau agen asing, maupun tip dari masyarakat. Penyelidikan diam-diam dilakukan untuk memastikan target benar terlibat jaringan teror. Dalam hal ini, Densus 88 sering mengerahkan personel undercover (penyamaran) di lapangan sebagai bagian dari operasi intelijen.

Penyamaran (cover) petugas Densus 88 menjadi salah satu ciri khas operasi intelijen mereka. Anggota Densus tidak selalu tampil dengan seragam atau atribut resmi; sebaliknya, banyak operasi yang melibatkan petugas menyamar sebagai warga sipil biasa guna mengawasi target tanpa menimbulkan kecurigaan. Contoh nyata, pasca serangan bom Sarinah-Thamrin Januari 2016, tim intel Densus 88 membangun pos ronda darurat di dekat rumah seorang terduga teroris, menyamar sebagai bapak-bapak yang tiap malam nongkrong bermain domino (gaple) di pos tersebut. Bahkan, seorang anggota Densus berjualan nasi goreng di pos ronda sebagai kedok operasi pemantauan. Warga sekitar tidak curiga karena mengira mereka warga biasa yang mendirikan pos kamling, hingga akhirnya pada penggerebekan 21 Februari 2016 terbongkar bahwa “penjaga ronda” dan penjual nasi goreng itu adalah tim Densus 88 sendiri[24][25]. Taktik lain, pada 2019 di Jakarta Utara, seorang anggota Densus menggunakan identitas palsu bernama “Iron” dan tinggal di rumah kos sekitar target. Ia berbaur dengan pemuda setempat: berpura-pura bekerja di kafe, sering bermain voli dan game Mobile Legends bersama pemuda kampung, untuk mengamati gerak-gerik seorang terduga teroris berinisial MA yang tinggal di seberang kos[26][27]. Selama sebulan lebih intel tersebut berhasil mendapatkan kepercayaan warga dan mengawasi target 24 jam. Ketika hari penindakan tiba (23 September 2019), warga kaget melihat si pemuda “anak kos” itu muncul dengan seragam lengkap dan senjata di barisan pasukan Densus saat penggerebekan rumah MA[28][29]. Berkat penyamaran tersebut, Densus 88 berhasil menyita sebuah bom TATP aktif dari kamar MA tanpa perlawanan berarti[30].

Gambar 1: Contoh pola cover intelijen Densus 88. Kiri: Ilustrasi anggota Densus menyamar sebagai pedagang makanan keliling di pos ronda. Kanan: Ilustrasi petugas intelijen muda berpura-pura menjadi penghuni indekos yang gemar bermain gim dengan warga setempat. Penyamaran kreatif semacam ini pernah dilakukan Densus 88 pasca Bom Thamrin 2016 dan berhasil mengungkap rencana teror sebelum terlaksana[24][26]. (Sumber gambar: Vice Media)

See also  Analisis Strategis Konflik Hipotetis: Kekuatan Militer Australia dan Skenario Operasi terhadap Indonesia

Dua contoh di atas menunjukkan pola operasi senyap (covert operation) Densus 88: mereka tidak gegabah melakukan penggerebekan tanpa pengumpulan bukti awal. Sebaliknya, pendekatan intelijen manusia (HUMINT) digunakan untuk mengenali kebiasaan target, jaringan kontaknya, serta potensi risiko (misal: apakah target menyimpan senjata atau bom). Selain HUMINT, Densus juga mengandalkan intelijen siber dan sinyal (SIGINT) – memantau komunikasi elektronik, media sosial, ataupun transaksi keuangan para terduga teroris. Dalam beberapa kasus, misalnya penangkapan jaringan pendanaan Jamaah Islamiyah tahun 2020, analisis transaksi perbankan berhasil menelusuri aliran dana dari perusahaan-perusahaan fiktif ke aktivitas pelatihan paramiliter, yang kemudian dijadikan dasar operasi penangkapan[31].

Setelah intelijen cukup dan identitas target terkonfirmasi, Densus 88 menyusun rencana penindakan. Pola umum yang sering terlihat adalah penangkapan simultan di berbagai lokasi secara serentak (coordinated raids). Karena sel teroris biasanya tersebar, Densus 88 kerap melakukan penggerebekan dalam waktu hampir bersamaan di beberapa kota untuk meringkus semua anggota sel sebelum mereka saling kabur atau menghilangkan barang bukti. Contohnya, pada Oktober 2023 Densus 88 menangkap 27 terduga teroris di tiga provinsi dalam rentang waktu berdekatan sebagai hasil pengembangan satu kasus[32]. Pendekatan ini membutuhkan koordinasi dan timing yang presisi, difasilitasi oleh komunikasi cepat antar Satgaswil dan detasemen pusat.

Pola Penangkapan dan Taktik Penyerbuan

Dalam melakukan penangkapan, pola operasi taktis Densus 88 biasanya melibatkan elemen kejutan, kecepatan, dan overwhelming force untuk meminimalkan perlawanan. Tim penindak Densus 88 umumnya dilengkapi senjata api (pistol, senapan serbu), rompi anti peluru, dan peralatan khusus seperti granat kejut (stun grenade) jika dibutuhkan untuk melumpuhkan target. Mereka sering beroperasi di dini hari atau waktu-waktu ketika target lengah. Polri sendiri menyatakan bahwa sebagian besar penangkapan oleh Densus 88 dewasa ini bersifat pre-emptive atau preventive strike, artinya dilakukan sebelum terduga pelaku sempat melancarkan serangan[15][33]. Hal ini sesuai kebijakan Kapolri belakangan ini yang disebut pendekatan “zero letupan, zero attack” – berupaya memastikan tidak ada serangan teror terjadi dengan terlebih dahulu menangkap pihak yang terindikasi berencana melakukan aksi[34].

Setiap operasi penangkapan diawali upaya penggerebekan cepat. Tim Densus mengepung lokasi target dan memberi peringatan singkat. Jika target menyerah, mereka akan ditangkap hidup-hidup. Namun tak jarang target melakukan perlawanan bersenjata atau mencoba melarikan diri, sehingga Densus 88 terpaksa melakukan tindakan tegas terukur. Terdapat pola di mana penggunaan kekuatan mematikan (deadly force) sering terjadi apabila petugas menilai ada ancaman langsung. Misalnya, dalam operasi penyergapan teroris buronan kelas kakap seperti Dr. Azahari Husin dan Noordin M. Top, terjadi baku tembak sengit yang berujung pada tewasnya para teroris tersebut di tempat[35][36]. Pada 9 November 2005, Densus 88 mengepung persembunyian Dr. Azahari di Batu, Malang. Alih-alih menyerah, Azahari meledakkan bom bunuh diri ketika posisi rumah diserbu, sehingga ia tewas di lokasi[35]. Demikian pula Noordin M. Top, gembong teroris asal Malaysia yang menjadi otak beberapa bom besar, tewas dalam pengepungan Densus di Solo pada 17 September 2009 bersama empat kaki tangannya[37][38].

Dalam situasi tertentu, Densus 88 dikritik karena menembak mati tersangka yang sebenarnya sudah tidak bersenjata atau bisa dilumpuhkan tanpa kematian. Menurut laporan, aparat berdalih tindakan demikian diambil demi keberhasilan operasi secara umum – misalnya untuk mencegah risiko peledakan bom jika ada kemungkinan tersangka memakai bom bunuh diri, atau menghindari korban lebih banyak[39]. Juru bicara Polri pernah menyatakan alasan “tembak di tempat” adalah karena tersangka teroris dianggap selalu berbahaya dan bisa sewaktu-waktu menyerang balik atau memicu ledakan, sehingga tindakan cepat diperlukan[40]. Namun, pandangan ini dikritik oleh pegiat HAM karena dalam penegakan hukum idealnya kekuatan mematikan digunakan sebagai jalan terakhir.

Secara pola penangkapan, Densus 88 cenderung beroperasi mandiri dalam lingkup kepolisian. Mereka tidak melibatkan institusi luar kecuali situasi khusus. Koordinasi biasanya baru dilakukan setelah penangkapan, misalnya dengan BNPT untuk program deradikalisasi tahanan, atau dengan Kejaksaan untuk proses peradilan kasus terorisme. Namun dalam penanganan kasus yang melibatkan daerah konflik seperti Poso (Sulawesi Tengah) atau Papua, Densus 88 bekerja bersama TNI. Contohnya dalam perburuan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso di Poso pada 2016, operasi besar bernama Operasi Tinombala melibatkan pasukan gabungan Polri (termasuk Densus) dan TNI[41]. Santoso akhirnya tewas ditembak dalam operasi tersebut (Juli 2016), menandai berakhirnya kelompok teroris bersenjata di hutan Poso. Meski Densus 88 terlibat, perlu dicatat operasi di area konflik semacam itu lebih dominan operasi tempur militer, berbeda dari pola law-enforcement Densus di wilayah sipil.

Densus 88 juga tak segan menggunakan taktik penyamaran hingga detik terakhir jelang penangkapan. Sebagaimana diceritakan sebelumnya, anggota intel yang menyamar kerap berperan dalam fase penindakan dengan memberi sinyal atau memastikan posisi target. Pada kasus di Tangerang 2016, petugas yang menyamar sebagai penjual nasi goreng di pos ronda langsung berganti peran ikut mengepung rumah target ketika operasi dimulai, mengejutkan warga sekitar[42]. Pola seperti ini efektif untuk memastikan target tidak sempat menyadari kehadiran polisi sebelum sudah terkepung.

Setelah tersangka berhasil diamankan, prosedur Densus 88 adalah segera melakukan interogasi awal dan penggeledahan lanjutan. Barang bukti seperti bahan peledak, senjata api, dokumen, gadget, dan lainnya disita. Identitas tersangka diverifikasi dan ia dibawa ke kantor polisi terdekat atau markas Densus untuk pemeriksaan intensif. UU Terorisme mengizinkan penahanan awal sampai 21 hari di tingkat penyidik Polri (dapat diperpanjang dengan izin pengadilan) sebelum status tersangka harus ditentukan[43]. Densus 88 memanfaatkan waktu penahanan ini untuk pengembangan jaringan – yaitu menggali informasi dari tersangka tentang anggota jaringan lain, rencana serangan, pendanaan, dsb. Tak jarang, penangkapan satu orang mengarah pada penangkapan berikutnya secara snowball. Inilah mengapa dalam beberapa hari pasca insiden teror besar, Densus 88 bisa menangkap puluhan orang. Sebagai ilustrasi, setelah tragedi bom bunuh diri Surabaya Mei 2018, dalam kurun 100 hari Densus 88 berhasil menangkap 283 terduga teroris di berbagai daerah yang terkait jaringan bom Surabaya maupun sel simpatisan ISIS lainnya[44][45].

Jumlah Penangkapan dan Tokoh yang Ditangkap (2003–2025)

Statistik Penangkapan Terduga Teroris

Sejak berdiri tahun 2003 hingga kini, jumlah terduga teroris yang ditangkap Densus 88 mencapai angka ribuan. Selama 13 tahun pertama operasinya (2003–2016), tercatat sekitar 840–850 orang teroris telah ditangkap oleh Densus 88[46][47]. Data ini mencakup berbagai kasus mulai dari jaringan Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), kelompok Mujahidin Kompak, hingga sel-sel baru pasca tahun 2010. Dari ratusan orang yang ditangkap tersebut, menurut catatan sekitar 245 orang di antaranya telah bebas setelah menjalani hukuman atau dibebaskan karena tidak terbukti, sedangkan 126 orang masih menjalani penahanan atau hukuman penjara pada saat pendataan dibuat (sekitar 2016)[46]. Angka sisanya terdiri dari para terpidana terorisme yang sudah dieksekusi (contohnya pelaku Bom Bali yang dihukum mati) atau yang masih menjalani pembinaan deradikalisasi, serta sebagian kecil yang mungkin meninggal dunia karena sakit.

Jumlah penangkapan meningkat signifikan setelah 2018 seiring diberlakukannya UU baru yang memungkinkan tindakan lebih dini. Densus 88 mencatat penangkapan 248 tersangka terorisme sepanjang tahun 2022 saja[48]. Pada tahun 2023, hingga 16 Desember, mereka menangkap 142 tersangka teroris[33]. Penurunan dari 248 (tahun 2022) menjadi 142 (tahun 2023) diklaim Polri sebagai indikasi efektifnya pencegahan – semakin sedikit teroris yang tersisa akibat gencarnya penindakan di tahun-tahun sebelumnya[48][49]. Sebagai perbandingan, pada tahun 2010-an awal, jumlah penangkapan per tahun biasanya puluhan. Misalnya, laporan kepolisian di 2013 menyebut sekitar 75 tersangka teroris ditangkap sepanjang tahun itu[50]. Namun pada puncak ancaman ISIS (2018), penangkapan melonjak: dalam dua minggu setelah Bom Surabaya Mei 2018 saja, lebih dari 40 terduga teroris ditangkap di Jawa Timur dan sekitarnya[51], dan dalam beberapa bulan angka ratusan tercapai secara nasional.

Secara kumulatif, diperkirakan 1.500+ orang telah diamankan Densus 88 dari 2003 hingga 2025 (angka pasti sulit diperoleh karena beberapa penangkapan mungkin tidak dipublikasikan, namun penambahan dari 850 pada 2016 ditambah ratusan setiap tahun pasca-2018 mendukung estimasi ini). Sebagian besar dari mereka telah menjalani proses hukum: ratusan divonis bersalah di pengadilan dan dijebloskan ke berbagai lapas, puluhan orang berhasil dideradikalisasi dan dilepas, sementara lainnya mungkin masih menunggu proses persidangan.

Profil target penangkapan Densus 88 meliputi berbagai jaringan teror di Indonesia:

  • Jemaah Islamiyah (JI): Organisasi teroris paling menonjol era 2000-an yang bertanggung jawab atas Bom Bali, Bom JW Marriott 2003, Bom Kuningan 2004, dsb. Densus 88 membekuk banyak pimpinan JI: Encep Nurjaman alias Hambali (koordinator Bom Bali, ditangkap di Thailand 2003 dengan info intelijen, lalu diserahkan ke AS), Abu Dujana (kepala militer JI, ditangkap hidup-hidup di Banyumas Juni 2007[52]), Zarkasih (amir JI, ditangkap 2007), hingga generasi baru seperti Para Wijayanto (Amir JI 2008–2019 yang ditangkap di Bekasi, 29 Juni 2019[53][31]). Melalui operasi 2018–2020, Densus 88 juga membongkar sel-sel JI yang sempat bersembunyi; misalnya penangkapan Upik Lawanga (ahli bom JI) dan Zulkarnaen (anggota Majelis Syuro JI, buronan Bom Bali) di Lampung akhir 2020[54][55]. Pengungkapan ini menunjukkan JI masih eksis namun bergerak bawah tanah pasca 2007. Total, ratusan anggota JI telah ditangkap dan diproses hukum, termasuk para “kader ideologis” yang diduga merencanakan kebangkitan JI dengan strategi baru.
  • Kelompok Bahrun Naim / JAD (Jamaah Ansharut Daulah) dan afiliasi ISIS: Sejak 2014, muncul jaringan terinspirasi ISIS yang lebih terdesentralisasi. Pucuknya ditandai serangan Bom Thamrin Januari 2016. Densus 88 kemudian giat memburu sel ISIS lokal yang diorganisir melalui grup JAD. Aman Abdurrahman selaku pimpinan spiritual JAD ditangkap Densus 88 tahun 2017 dan divonis mati pada 2018. Pasca Bom Surabaya 2018 (dilakukan oleh keluarga anggota JAD), Densus melakukan gelombang penangkapan terhadap jaringan JAD di Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera dan Kalimantan. Hingga Agustus 2018 saja dilaporkan 283 tersangka teroris berhasil ditangkap pasca bom Surabaya[44]. Banyak di antaranya merupakan simpatisan ISIS yang berencana melakukan amaliyah (aksi jihad) di dalam negeri. Pada 2020–2021, Densus juga mengungkap sel-sel pro-ISIS kecil seperti kelompok “Villa Mutiara” di Makassar dan lain-lain. Secara keseluruhan, JAD dan afiliasi ISIS menyumbang jumlah tersangka terbesar pada periode 2016–2020. Sebagai contoh data 2023: dari 142 tersangka yang ditangkap, 29 berasal dari JAD/Ansharut Daulah, dan 49 lainnya dari kelompok terafiliasi ISIS (disebut “kelompok AO”)[56].
  • Kelompok teroris lokal di Poso dan Jawa: Selain JI dan JAD, Densus 88 menghadapi kelompok radikal bersenjata seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso dan sekitarnya. Pada operasi Januari 2007 di Poso, Densus 88 menangkap 19 tersangka anggota kelompok ekstrem yang dipimpin Basri cs[41]. Operasi itu berlangsung alot karena kelompok bersenjata melakukan perlawanan; sembilan warga sipil dan seorang polisi tewas dalam rangkaian bentrokan di Poso kala itu[57]. MIT sendiri baru diberantas tuntas tahun 2016 dalam operasi gabungan, tetapi Densus 88 sejak 2012 telah aktif menangkap simpatisan dan pendukung logistik MIT di luar hutan. Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, Densus juga menangani jaringan lokal seperti Kelompok Abu Roban (terkait teror dan perampokan untuk pendanaan jihad). Akhir 2013, Densus 88 menggulung kelompok Abu Roban dengan penggerebekan di Ciputat, Tangerang – enam teroris tewas ditembak setelah baku tembak pada malam tahun baru 2014[58].
  • Teroris “lone wolf” dan kecil lain: Densus 88 tidak hanya menyasar jaringan besar, tetapi juga individu-individu radikal yang terisolasi namun berbahaya. Misalnya, penangkapan terduga teroris dokter Sunardi di Sukoharjo Maret 2022, yang kontroversial karena ia tewas ditembak dalam upaya penangkapan (polisi berdalih mobil tersangka membahayakan petugas sehingga dilumpuhkan)[40]. Selain itu, Densus telah menangkap beberapa orang terkait propaganda ISIS online, pendanaan perorangan, rencana serangan individu, termasuk eks anggota ormas radikal seperti FPI yang terindikasi teror (tahun 2023 ada 2 tersangka pendukung ormas tertentu ditangkap)[56].

Dari ribuan penangkapan tersebut, Densus 88 mengklaim banyak aksi teror berhasil dicegah. Misalnya, menurut catatan Polri hingga 2022, Densus 88 telah menggagalkan puluhan rencana pengeboman, penyerangan kantor polisi, dan rencana pembunuhan tokoh publik[59]. Contoh konkret: penangkapan terduga teroris di Bekasi 2019 (jaringan Abu Zee) mencegah rencana pengeboman istana negara; penangkapan jaringan JAD Lampung 2020 mencegah serangan bom di Sumatera.

See also  Transisi Demokrasi di Asia Tenggara: Ancaman dan Strategi Ketahanan Nasional

Di sisi lain, kiprah Densus 88 juga diwarnai sejumlah kasus salah tangkap yang menimpa orang-orang yang ternyata tidak terkait terorisme. Hal ini menjadi sorotan penting karena menyangkut akuntabilitas dan profesionalisme satuan.

Kasus Salah Tangkap oleh Densus 88

Seiring banyaknya operasi penangkapan masif, beberapa insiden penangkapan salah sasaran terjadi, di mana warga sipil tak berdosa ikut tertangkap karena dikira teroris. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan tokoh masyarakat beberapa kali menyoroti hal ini. Berikut beberapa kasus salah tangkap yang sempat mencuat ke publik:

  • Kasus Tulungagung 2013: Dua warga Muhammadiyah, Sapari (49) dan Mugi Hartanto (39), ditangkap Densus 88 saat penggerebekan teroris di Tulungagung, Jawa Timur, 22 Juli 2013[60][61]. Saat itu Densus tengah memburu dua terduga teroris jaringan Poso (Riza dan Dayah alias Kim) yang kebetulan menumpang di rumah Sapari. Dalam operasi itu, Riza dan Dayah ditembak mati di lokasi (di depan warung kopi)[62]. Sapari dan Mugi, yang tidak paham latar belakang tamunya, justru dituduh ikut menyembunyikan teroris dan dibawa oleh Densus 88[63][64]. Muhammadiyah menganggap keduanya korban salah tangkap dan memberikan bantuan hukum[65][66]. Belakangan, setelah pemeriksaan, Sapari dan Mugi dibebaskan dan polisi mengakui mereka tidak terkait jaringan teroris tersebut. Kasus ini menyita perhatian karena memicu protes dari ormas Islam besar; Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahkan mendesak evaluasi menyeluruh terhadap Densus 88.
  • Kasus Palmerah 2012: Davit Ashari (19 tahun) dan kakaknya Herman ditangkap Densus 88 di Palmerah, Jakarta Barat, Oktober 2012, dituduh terlibat terorisme[67][68]. Davit adalah seorang pelajar SMA yang kebetulan tinggal serumah dengan seorang kenalan yang diduga teroris. Setelah beberapa hari, polisi tidak menemukan bukti keterlibatan Davit dan saudaranya. Mereka berdua dibebaskan tanpa tuntutan. Davit pulang ke rumah disambut tetangga yang terkejut ia sempat dituduh teroris. Kasus Davit mencuat di media dan dikomentari KontraS sebagai “bukan yang pertama kalinya” terjadi salah tangkap teroris[69]. KontraS mengkritik Densus kurang cermat dalam pendataan target sehingga warga tak bersalah ikut terseret.
  • Kasus Solo 2012 & 2014: Akhir 2012, dilaporkan 14 warga Poso sempat ditangkap di Solo karena dicurigai teroris, namun kemudian dibebaskan karena tidak terbukti[70]. Kemudian pada Mei 2014 di Solo, seorang bernama Kadir dari Desa Banyu Harjo ditangkap Densus dan belakangan diketahui ia bukan teroris (salah tangkap)[70]. Juga pada Desember 2015, terjadi lagi salah tangkap dua warga di Solo yang sedang berjalan ke masjid, mereka ditangkap dan mengalami kekerasan saat interogasi, padahal tidak ada hubungan dengan terorisme[71]. Anggota DPR RI Saleh Daulay mengungkap rentetan kasus salah tangkap tersebut dan menyayangkan Densus 88 belum pernah secara terbuka meminta maaf kepada korban maupun publik[72][73].
  • Kasus Salah Tangkap Lain: KontraS dalam laporannya 2013 mencatat sejumlah kasus lain, termasuk tuduhan salah tangkap terhadap beberapa warga Muhammadiyah di Jawa Tengah dan beberapa petani di Poso era 2011, meski tidak semua terekspos media. Satu kasus yang sempat diberitakan adalah pada akhir Juli 2013, dua anggota Muhammadiyah di Sulawesi (diduga maksudnya kasus Tulungagung di atas) dan akhir Desember 2012 salah tangkap 14 warga Poso tadi[74].

Setiap kasus salah tangkap biasanya berakhir dengan pembebasan korban setelah interogasi membuktikan mereka tidak terkait jaringan teroris. Namun, masalahnya adalah perlakuan saat penangkapan acapkali kasar – korban salah tangkap melaporkan mengalami kekerasan fisik, penodongan senjata, rumah digeledah dan dirusak, hingga trauma psikologis[71][73]. Walaupun Densus 88 berdalih kesalahan ini tidak disengaja dan bagian dari risiko operasi intelijen yang kompleks, tetap saja hal ini menjadi catatan buruk. Aparat pengawas seperti Kompolnas pernah mendesak Polri meminta maaf dan merehabilitasi nama korban salah tangkap[75], sementara DPR mendesak perbaikan prosedur agar intelijen lebih valid sebelum penindakan[76].

Polri sendiri merespons kritik dengan menyatakan tidak akan membubarkan Densus 88 hanya karena insiden salah tangkap, melainkan akan menindak oknum yang bersalah dan meningkatkan akurasi intelijen[77]. Namun, peristiwa-peristiwa tersebut telah menimbulkan persepsi negatif di sebagian masyarakat. Tokoh seperti Ustad Din Syamsuddin bahkan pernah menyerukan pembubaran Densus 88 tahun 2013, yang disambut dukungan KontraS dengan alasan Densus dianggap sewenang-wenang dan sering langgar HAM[78]. Desakan ini muncul terutama setelah beredarnya video kekerasan Densus terhadap tersangka teroris di Poso pada 2013. Menanggapi itu, Polri menegaskan pelaku kekerasan dalam video tersebut ditindak secara internal, tetapi satuannya tetap diperlukan dan tidak dibubarkan[79][77].

Tersangka Terorisme Tewas dalam Operasi

Bagian lain dari catatan kinerja Densus 88 adalah jumlah tersangka terorisme yang tewas dalam operasi penangkapan atau penindakan. Hingga pertengahan 2010-an, sudah puluhan terduga teroris yang tewas ditembak Densus 88 karena berbagai situasi, mulai dari baku tembak, upaya melawan petugas, hingga diduga akibat kekerasan berlebih pasca penangkapan. Menurut data terbuka, setidaknya 54 tersangka terorisme tewas dalam operasi Densus 88 selama 13 tahun pertama (2003–2016)[80][81]. Angka ini mencakup beberapa nama besar:

  • Azahari Husin, pakar bom asal Malaysia, tewas meledakkan diri saat pengepungan di Batu, Malang (2005)[35].
  • Noordin M. Top, gembong teroris JI, tewas tertembak dalam raid di Solo (2009)[82].
  • Dulmatin, salah satu perencana Bom Bali, tewas ditembak Densus di Pamulang (Maret 2010) dalam operasi penangkapan sepulangnya ia dari Filipina.
  • Urwah (Bagus Budi Pranoto), salah satu anggota teras JI, tewas bersama Noordin Top (2009)[38].
  • Enam anggota kelompok Abu Roban, tewas dalam baku tembak di Ciputat (2013)[58].
  • Basri dan anggota MIT lainnya, beberapa tewas dalam kontak senjata di pegunungan Poso pada operasi 2007 dan 2016.

Selain itu, terdapat tersangka yang tewas dalam tahanan Densus 88, yang menimbulkan kontroversi keras. Salah satu kasus paling disorot adalah kematian Siyono (34) pada Maret 2016. Siyono, warga Klaten yang ditangkap karena diduga anggota JI, meninggal dunia dua hari setelah ditahan Densus 88. Versi Polri menyebut Siyono tewas akibat perlawanan dan pergulatan dengan petugas saat menunjukkan lokasi penyimpanan senjata, namun investigasi Komnas HAM dan PP Muhammadiyah menemukan indikasi luka-luka tidak wajar pada jenazah, sehingga mereka menduga ada kekerasan berlebihan[83]. Kasus Siyono memicu kecaman luas; Densus dituduh melakukan extrajudicial killing. Polisi kemudian menghentikan kasus dengan memberikan sanksi disiplin kepada dua anggota Densus (karena prosedur pengawalan), tetapi tidak ada proses pidana terhadap mereka, hal ini membuat kelompok HAM kecewa.

Secara resmi, Polri tidak mempublikasikan angka total tersangka teroris yang tewas. Namun dalam operasi-operasi terkini juga masih terjadi tersangka meninggal. Contoh, April 2023 di Lampung, dua terduga teroris ditembak mati saat penangkapan karena melakukan perlawanan bersenjata[84]. Begitu pula menjelang Bom Surabaya 2018, Densus menembak mati 4 terduga teroris di Cianjur yang diduga bagian dari jaringan JAD Surabaya – penembakan dilakukan dini hari sebelum para teroris sempat bergerak, karena terindikasi mereka bersenjata api dan bom[85].

Beberapa pihak menyoroti pola “tembak di tempat” Densus 88 yang dianggap sering terjadi dibandingkan satuan antiteror di negara demokrasi lain. KontraS mencatat puluhan “terduga teroris” mati ditembak Densus dalam periode 2007–2012, termasuk yang tidak diberi kesempatan proses hukum[86]. Tudingan “Densus 88 jadi algojo” sempat muncul dalam diskursus publik, terutama dari kalangan ormas Islam konservatif. Menanggapi itu, pejabat Polri menyatakan bahwa tindakan tegas hanya diambil jika tersangka melawan dan membahayakan nyawa petugas atau masyarakat, dan bukan kebijakan resmi menembak mati tanpa alasan[40]. Meski demikian, evaluasi independen dari Komnas HAM pada 2011 telah merekomendasikan peningkatan akuntabilitas Densus 88, termasuk transparansi investigasi internal jika ada tersangka tewas[87].

Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kekuatan mematikan oleh Densus 88 merupakan buah dilema operasional: di satu sisi efektif mencegah aksi teror (karena gembong teroris dilumpuhkan), di sisi lain berisiko melanggar asas due process dan HAM. Tantangan ke depan bagi Densus adalah menyeimbangkan kedua aspek ini.

Evaluasi: Efektivitas dan Isu HAM dalam Operasi Densus 88

Keberhasilan Densus 88

Sejak pembentukannya, Densus 88 telah berperan besar menumpas jaringan teroris di Indonesia[88]. Prestasi Densus 88 antara lain:

  • Mengurangi secara drastis frekuensi serangan teror besar. Setelah Bom Bali 2002 dan serangkaian bom sampai 2005, Indonesia relatif aman dari serangan bom skala besar sejak 2010-an. Serangan teror yang terjadi (Bom Thamrin 2016, Bom Surabaya 2018) skalanya lebih kecil dibanding era awal 2000-an. Polri mengklaim kebijakan preemptive strike Densus 88 berhasil mencegah banyak “letupan” teror sebelum terjadi[15]. Contohnya tahun 2023, tidak ada serangan teroris signifikan di dalam negeri, sementara Densus mengamankan 142 tersangka yang diduga tengah merencanakan aksi[33][34].
  • Penegakan hukum atas pelaku terorisme dengan tingkat keberhasilan tinggi. Hampir semua pelaku serangan besar (Bali, Marriot, Kedubes Australia, Palu, Tentena, dll.) telah ditangkap atau terbunuh oleh Densus 88. Tingkat impunitas menurun – para teroris tidak lagi leluasa bersembunyi lama di Indonesia. Sebagai contoh, buron JI seperti Para Wijayanto berhasil ditangkap setelah 11 tahun bersembunyi[53], dan Zulkarnaen tertangkap setelah 18 tahun buron[54]. Ini menandakan kegigihan Densus memburu jaringan lama sekalipun.
  • Pengembangan kemampuan dan koordinasi internasional. Densus 88 menjadi garda terdepan Indonesia dalam kerjasama kontra-terorisme internasional. Banyak informasi intelijen dibagi oleh Densus dengan mitra (misal soal pergerakan foreign fighters ISIS). Densus juga dilibatkan PBB/Interpol dalam daftar teroris global. Dalam negeri, Densus 88 menjalin kerjasama dengan BNPT untuk program pencegahan dan deradikalisasi. Keberhasilan menekan terorisme di Indonesia sering dijadikan model bagi negara lain di Asia Tenggara[89].
  • Adaptasi terhadap ancaman baru. Densus 88 mampu beradaptasi, misalnya menghadapi ancaman radikalisasi online. Mereka membentuk unit siber untuk patroli internet, sehingga beberapa penangkapan bermula dari deteksi propaganda di media sosial. Selain itu, Densus turut aktif menangani foreign terrorist fighters (FTF) pasca jatuhnya ISIS, dengan menangkap returnees yang terindikasi akan melakukan aksi di Indonesia.
See also  Konflik Timur Tengah dalam Perspektif Intelijen dan Keamanan Regional

Kritik dan Tantangan HAM

Di sisi lain, tantangan terbesar Densus 88 adalah soal akuntabilitas dan persepsi publik, terutama terkait pelanggaran hak asasi manusia. Sejumlah poin kritik yang sering disampaikan antara lain:

  • Dugaan penyiksaan dan kekerasan terhadap tersangka terorisme saat penangkapan maupun penahanan awal. Lembaga seperti KontraS mengumpulkan laporan bahwa beberapa tersangka mengalami pemukulan, intimidasi, bahkan penyiksaan agar mengaku atau memberikan informasi[90][91]. Komnas HAM tahun 2011 melakukan penyelidikan di Poso dan menemukan indikasi pelanggaran oleh oknum Densus, menantang Polri untuk menindak pelaku dan memperbaiki SOP[87]. Polri biasanya membantah praktik penyiksaan sistematis, namun kasus seperti Siyono memperkuat kecurigaan publik akan metode kasar Densus.
  • Minimnya transparansi. Operasi Densus kerap tertutup dengan dalih kerahasiaan. Akibatnya, ketika ada insiden salah tangkap atau kematian, penjelasan resmi dianggap kurang memuaskan. Keluarga korban terorisme yang tewas sering mengeluh lambatnya pengembalian jenazah dan kurangnya informasi (misal dalam kasus Dokter Sunardi 2022, keluarga protes karena tidak diberi akses segera terhadap jenazah). Transparansi di pengadilan juga terbatas karena banyak bukti intelijen yang dirahasiakan.
  • Stigma terhadap kelompok tertentu. Kalangan pegiat hak-hak Muslim kadang menuduh Densus 88 bias menyerang kelompok Islam. Misalnya, tokoh Front Pembela Islam (FPI) menuding Densus sengaja mengincar aktivis Islam dengan dalih terorisme. Abu Bakar Ba’asyir di tahun 2007 menuduh Densus “antek Amerika-Australia” dan meminta dibubarkan[9]. Meskipun tudingan ini politis, Densus harus mampu menunjukkan bahwa operasinya murni berdasarkan bukti kejahatan, bukan menyasar suatu golongan agama tertentu. Upaya Densus merangkul pesantren dan ormas Islam moderat untuk bersama menangkal radikalisasi adalah langkah positif mengikis stigma[11][92].
  • Keseimbangan keamanan dan kebebasan sipil. UU 2018 memberikan kewenangan luas termasuk penahanan preventif hingga 21 hari tanpa dakwaan, wajib lapor bagi eks napiter, dll. Kelompok HAM mengingatkan agar Densus 88 tidak menyalahgunakan kewenangan ini. Tercatat, sejak 2019 Densus mulai menangkap orang hanya karena sumpah baiat ISIS tanpa rencana aksi konkret, atau menyita buku-buku keagamaan kontroversial sebagai barang bukti. Ini memicu perdebatan tipisnya batas antara pencegahan teror dan pelanggaran kebebasan berekspresi. Evaluasi periodik oleh DPR diperlukan agar langkah Densus tetap proporsional.

Polri menyadari kritik tersebut dan beberapa kali menyatakan melakukan refinement SOP. Kapolri pernah menegaskan bahwa informasi intelijen bagi Densus harus sangat valid sebelum penindakan, guna menghindari salah tangkap[93]. Setiap personel Densus juga diingatkan mematuhi prinsip necessity and proportionality dalam penggunaan kekuatan. Ada pembenahan internal, misalnya kamera lapangan mulai digunakan dalam operasi tertentu untuk merekam jalannya penangkapan (demi bukti jika ada gugatan).

Ke depan, tantangan lain bagi Densus 88 adalah menangani ancaman teror yang makin terfragmentasi. Sisa-sisa jaringan JI yang tersisa bergerak rahasia namun bukan tidak mungkin muncul kembali. Sel-sel kecil pro-ISIS juga masih ada, meski jumlahnya menurun. Di tahun 2020-an, potensi lone wolf radikalisasi lewat internet (tanpa tergabung jaringan) meningkat – ini lebih sulit dideteksi intelijen. Oleh karena itu, Densus 88 perlu memperkuat kemampuan monitoring dunia maya dan bekerja sama erat dengan Badan Siber dan Sandi Negara, Kominfo, serta komunitas intelijen internasional untuk deteksi dini.

Kesimpulan

Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri telah menjadi ujung tombak Indonesia dalam perang melawan terorisme sejak 2003. Secara objektif, kinerja Densus 88 efektif menumpas jaringan teroris besar seperti Jemaah Islamiyah dan kelompok pro-ISIS, terbukti dengan ratusan pelaku teror ditangkap, puluhan aksi teror berhasil digagalkan, dan frekuensi serangan teroris domestik menurun drastis pada dua dekade terakhir. Struktur organisasi Densus 88 yang terhubung dari pusat hingga daerah, ditunjang kewenangan hukum yang kuat, memungkinkan gerak cepat di lapangan. Pola operasi Densus 88 menggabungkan kerja intelijen mendalam (termasuk penyamaran yang kreatif) dengan operasi penindakan taktis yang cepat dan terkordinasi. Pendekatan pre-emptive strike belakangan ini menunjukkan Polri berfokus mencegah serangan sebelum terjadi, sejalan dengan amanat UU No.5/2018[15].

Namun, keberhasilan tersebut diiringi catatan kritis soal HAM dan profesionalisme. Kasus-kasus salah tangkap dan tersangka yang tewas dalam penanganan Densus 88 menjadi pengingat bahwa akuntabilitas harus terus ditingkatkan. Setiap dugaan pelanggaran (penyiksaan, penggunaan kekuatan berlebihan) perlu diselidiki tuntas dan pelakunya dihukum, agar kepercayaan publik terjaga. Densus 88 perlu memastikan standar operasi yang menghormati due process tanpa mengurangi ketegasan terhadap teroris. Pengawasan eksternal oleh Kompolnas, Komnas HAM, DPR, dan evaluasi dari BNPT penting untuk menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan hak asasi.

Hingga tahun 2025, Densus 88 terus beradaptasi menghadapi lanskap terorisme yang berubah. Fokus kini tidak hanya memburu pelaku teror, tetapi juga menangkal ideologi radikal agar tidak berkembang biak. Densus 88 turut serta dalam program kontra-radikalisasi bekerja sama dengan BNPT dan tokoh masyarakat. Tantangan era depan mencakup deteksi ekstremisme berbasis internet, potensi kembalinya foreign fighter, serta kemungkinan lone wolf yang sulit dideteksi. Dengan pengalaman panjang dan jaringan intelijen yang luas, Densus 88 diharapkan mampu menghadapi tantangan tersebut.

Sebagai penutup, makalah ini menegaskan bahwa Densus 88 adalah instrumen vital penegakan hukum anti-teror di Indonesia yang telah menunjukkan keberhasilan signifikan, tetapi harus terus melakukan pembenahan internal. Pola penangkapan dan operasi mereka perlu senantiasa dievaluasi agar tetap efektif memberantas terorisme sekaligus akuntabel secara hukum. Kombinasi ketegasan dan kehatihatian inilah yang akan menentukan legitimasi dan kesuksesan jangka panjang Densus 88 dalam menjaga keamanan nasional tanpa mengorbankan prinsip keadilan.

Daftar Pustaka

  1. Widhia Arum Wibawana. “Sejarah Pembentukan Densus 88 Antiteror Tanggal 26 Agustus.” Detik News, 25 Agustus 2023[2][94].
  2. Farhan Ramadhan. “Kewenangan Detasemen Khusus 88 dalam Menangani Tindak Pidana Terorisme.” Jurnal Ilmiah Pustaka, 2022[3][47].
  3. “Pengintaian Petinggi Kejagung Jadi Sorotan, Apa Tugas Sebenarnya Densus 88 Polri?” 24 Mei 2024[46][80].
  4. Billy Patoppoi. “Densus 88 Catat Penurunan Jumlah Tersangka Terorisme pada 2023.”net, 20 Desember 2023[33][48].
  5. Ikhwan Hastanto. “Warga Kaget, Pemuda Sering Mabar Mobile Legends Bareng Anak Komplek Ternyata Densus 88.” VICE Indonesia, 27 September 2019[26][24].
  6. ANTARA News. “Muhammadiyah berikan bantuan hukum korban salah tangkap.” 27 Juli 2013[60][62].
  7. id. “Saleh Daulay Sesalkan Salah Tangkap Densus 88.” 31 Desember 2015[70][93].
  8. “Angka 88 Bikin Ba’asyir Tuduh Densus Antek AS-Australia.” 26 Juni 2007[1][7].
  9. co. “Densus 88 Tangkap 104 Tersangka Teroris Sepanjang Januari–Oktober 2023.” 17 Oktober 2023[95].
  10. com. “Peringatan 100 Hari Tragedi Bom Surabaya.” 25 Agustus 2018[44].

(Semua sumber di atas diakses dan diverifikasi isinya. Informasi yang disajikan bersifat objektif sesuai data media arus utama, rilis Polri/BNPT, serta laporan pemantau independen. Catatan angka dan peristiwa disesuaikan konteks waktu hingga 2025.)

[1] [7] [9] [10] [20] Angka 88 Bikin Ba’asyir Tuduh Densus Antek AS-Australia

https://news.detik.com/berita/d-797883/angka-88-bikin-baasyir-tuduh-densus-antek-as-australia

[2] [4] [5] [6] [8] [11] [18] [92] [94] Sejarah Pembentukan Densus 88 Antiteror Tanggal 26 Agustus

https://news.detik.com/berita/d-6895891/sejarah-pembentukan-densus-88-antiteror-tanggal-26-agustus

[3] [12] [13] [16] [17] [19] [21] [22] [23] [35] [36] [37] [38] [41] [46] [52] [57] [58] [80] [81] [82] Pengintaian Petinggi Kejagung Menjadi Sorotan, Apa Tugas Sebenarnya Densus 88 Polri? – Parboaboa

https://www.parboaboa.net/pengintaian-petinggi-kejagung-jadi-sorotan-apa-tugas-densus-88-polri

[14] [39] [47] [89] journal.elena.co.id

https://journal.elena.co.id/index.php/humaniorum/article/download/93/64/515

[15] [32] [33] [34] [48] [49] [56] [84] Densus 88 Catat Penurunan Jumlah Tersangka Terorisme pada 2023 – Suara Surabaya

https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2023/densus-88-catat-penurunan-jumlah-tersangka-terorisme-pada-2023/

[24] [25] [26] [27] [28] [29] [30] [42] Warga Kaget, Pemuda Sering Mabar Mobile Legends Bareng Anak Komplek ternyata Densus 88

https://www.vice.com/id/article/warga-kaget-pemuda-sering-mabar-mobile-legends-bareng-anak-komplek-jakarta-utara-ternyata-densus-88/

[31] Polri ungkap Para Wijayanto terlama pimpin Jamaah Islamiyah

https://sulteng.antaranews.com/berita/173724/polri-ungkap-para-wijayanto-terlama-pimpin-jamaah-islamiyah

[40] Polri Ungkap Alasan Densus 88 Menembak Mati Terduga Teroris …

https://www.youtube.com/watch?v=pCKoLsoLu_w

[43] [60] [61] [62] [63] [64] [65] [66] Muhammadiyah berikan bantuan hukum korban salah tangkap – ANTARA News

https://www.antaranews.com/berita/387623/muhammadiyah-berikan-bantuan-hukum-korban-salah-tangkap

[44] [45] Peringatan 100 Hari Tragedi Bom Surabaya

https://www.suara.com/news/2018/08/25/085431/peringatan-100-hari-tragedi-bom-surabaya

[50] (PDF) Counter Terrorism and Human Rights Violation in the …

https://www.academia.edu/96605266/Counter_Terrorism_and_Human_Rights_Violation_in_the_Aftermath_of_Terrorism_in_Indonesia

[51] Bom Bunuh Diri di Mapolrestabes dan Penangkapan Terduga Teroris

https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4020708/bom-bunuh-diri-di-mapolrestabes-dan-penangkapan-terduga-teroris

[53] Jalan Tastos Tanpa Amir – Tempo.co

https://www.tempo.co/arsip/bagaimana-jamaah-islamiyah-bersalin-wajah-110718

[54] Buronan 18 Tahun Kasus Bom Bali Ini Pernah Jadi Pelatih di Akmil …

https://www.tempo.co/hukum/buronan-18-tahun-kasus-bom-bali-ini-pernah-jadi-pelatih-di-akmil-afghanistan-556453

[55] Monumen Ground Zero: Tugu Peringatan Bom Bali-Daftar Nama …

https://www.detik.com/bali/berita/d-6976906/monumen-ground-zero-tugu-peringatan-bom-bali-daftar-nama-dan-negara-korban

[59] Densus 88: Tugas, Fungsi, dan Cara Masuk Anti Teror Polri

https://www.tacticalinpolice.com/densus-88-tugas-fungsi-dan-cara-masuk-anti-teror-polri/

[67] Densus 88 Didesak Minta Maaf pada Davit : Okezone Nasional

https://nasional.okezone.com/read/2012/11/02/337/712496/densus-88-didesak-minta-maaf-pada-davit

[68] Densus 88 Gerebek Tiga Terduga Teroris di Palmerah

https://www.beritasatu.com/news/79882/densus-88-gerebek-tiga-terduga-teroris-di-palmerah

[69] Kontras: Salah Tangkap Teroris Bukan Pertama   | tempo.co

https://www.tempo.co/politik/kontras-salah-tangkap-teroris-bukan-pertama-nbsp–1648408/

[70] [71] [72] [73] [74] [76] [93] Saleh Daulay Sesalkan Salah Tangkap Densus 88

https://rmol.id/pertahanan/read/2015/12/31/230055/saleh-daulay-sesalkan-salah-tangkap-densus-88

[75] Salah Tangkap, Kompolnas Desak Mabes Polri Minta Maaf

https://nasional.okezone.com/read/2013/07/30/337/844823/salah-tangkap-kompolnas-desak-mabes-polri-minta-maaf

[77] Polisi: Densus Tak Dibubarkan, Oknumnya Ditindak – KBR.ID

https://kbr.id/articles/indeks/polisi:-densus-tak-dibubarkan,-oknumnya-ditindak

[78] Kontras: Pak Din Benar, Densus 88 Wajib Dibubarkan | Republika …

https://news.republika.co.id/berita/mixg3h/kontras-pak-din-benar-densus-88-wajib-dibubarkan

[79] [PDF] KEBERADAAN DETASEMEN KHUSUS (DENSUS) 88 DALAM …

https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-V-10-II-P3DI-Mei-2013-46.pdf

[83] [91] [PDF] Laporan Hari Anti Penyiksaan Sedunia 2016 – KontraS

https://www.kontras.org/backup/data/20161107_Penyiksaan_Merusak_Hukum_Laporan_Hari_Anti_Penyiksaan_Sedunia_2016_897hf42q87gbt42.pdf

[85] [PDF] Problematika Hukum dan Ideologi Islam Radikal (Studi Bom Bunuh …

https://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ua/article/download/3572/2607

[86] [PDF] Eksistensi Densus 88: Analisis Evaluasi Dan Solusi Terkait Wacana …

https://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/Supremasi/article/download/1953/1422

[87] VIII – The Post-Bali Legacy: Densus 88 and Impunity for Extrajudicial …

https://www.cambridge.org/core/books/human-rightscompliant-counterterrorism/postbali-legacy-densus-88-and-impunity-for-extrajudicial-killings/9E8987CDD9CD004A4744F45830F1D772

[88] Mengenal Hari Lahir Densus 88 – RRI

https://rri.co.id/hiburan/932410/mengenal-hari-lahir-densus-88

[90] [PDF] potret buram densus 88 anti-teror – KontraS

https://www.kontras.org/backup/buletin/indo/DENSUS.pdf

[95] Densus 88 Tangkap 104 Tersangka Teroris Sepanjang Januari …

https://news.detik.com/berita/d-7017257/densus-88-tangkap-104-tersangka-teroris-sepanjang-januari-oktober-2023

About The Author