Pendahuluan
Tanggal 25 September 2025 menjadi hari yang penuh warna dalam perjalanan saya bersama Hasnul Arifin Melayu dan Dr. Syahrul Anwar, ditemani oleh Bang Adoen sebagai guide. Sejak pagi, langkah kami sudah diarahkan untuk menyeberang ke Sabang, sebuah pulau yang tidak hanya dikenal karena keindahan lautnya, tetapi juga karena kedalaman sejarah yang disimpannya. Dari Banda Aceh, kami menumpang kapal Express Bahari pada pukul 10.00 pagi, melintasi laut yang biru tenang, menuju Pulau Weh yang menyimpan kisah global, dari ziarah Rubiah hingga jejak Jepang di Anoe Itam.
Sejak awal, perjalanan ini sudah saya niatkan sebagai catatan. Bukan sekadar wisata, melainkan sebuah bentuk ziarah sejarah dan spiritual. Sabang, bagi saya, adalah sebuah arsip terbuka: setiap pantai, setiap pohon, setiap bunker, bahkan setiap warung makan adalah lembaran yang bisa dibaca. Dengan hadirnya Hasnul dan Syahrul, perjalanan ini semakin kaya, karena percakapan akademis dan reflektif selalu muncul di antara langkah-langkah kami. Kehadiran Bang Adoen menambah dimensi lain, karena ia membawa cerita lokal yang tak bisa ditemukan dalam buku.
Laut biru yang kami lintasi dengan Express Bahari seolah menjadi halaman pembuka. Perjalanan singkat itu menyadarkan saya bahwa setiap jalur laut memiliki lapisan waktu. Dulu, Jepang menjadikan Sabang sebagai benteng, kini jalur yang sama dipenuhi kapal wisata dan nelayan. Kontras inilah yang sejak awal membuat saya merasa perjalanan ini akan membawa renungan lebih dari biasanya.
Setibanya di Sabang, kami singgah di Warung Murah Raya. Makan siang sederhana berupa ikan segar yang baru saja dimasak menjadi pengalaman yang tak kalah penting. Di meja kayu tanpa jendela itu, kami merasakan hangatnya kebersamaan, sambil mengisi tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Rasa kenyang yang berlebihan justru membuat saya sadar bahwa perjalanan bukan hanya soal tujuan, tetapi juga soal jeda-jeda kecil yang menyatukan manusia.
Perjalanan kemudian membawa kami ke Tugu Kilometer Nol Indonesia, titik simbolis yang menandai awal sebuah bangsa. Di sana, kami berdiri di depan tugu putih yang gagah, berfoto, dan merenung dalam hening. Kilometer Nol bukan hanya tanda geografis, melainkan pengingat bahwa setiap perjalanan memiliki awal, dan setiap bangsa memiliki fondasi yang harus selalu diingat.
Setelah itu, arah langkah kami menuju Pulau Rubiah. Dengan Boat Kaca, kami menyeberang dari Iboih sambil menatap ikan dan terumbu karang yang menari di bawah laut. Pulau kecil itu memberi kami dua pengalaman besar: ziarah ke makam Rubiah yang penuh spiritualitas, dan menyusuri bekas karantina haji yang menyimpan jejak perjumpaan Nusantara dengan dunia. Aura ghaib pulau itu terasa kuat, membuat kami semakin rendah hati di hadapan sejarah.
Puncak perjalanan ada di Anoe Itam, di mana bunker dan meriam Jepang masih berdiri dalam diam. Delapan bunker dan satu meriam besar menjadi saksi bisu Perang Dunia II, menghadirkan aura tegang yang kontras dengan ketenangan Pulau Rubiah. Dari doa di makam Rubiah hingga dentuman meriam yang hanya bisa dibayangkan, perjalanan ini menyatukan dua dunia: damai dan perang, spiritual dan militer, masa lalu dan masa kini.
Menyeberang dengan Kapal Express Bahari
Tanggal 25 September 2025, tepat pukul 10.00 pagi, kami berangkat dari dermaga Ulee Lheue dengan menumpang kapal Express Bahari. Di antara kami ada Hasnul Arifin Melayu (Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry) dan Dr. Syahrul Anwar (dosen UIN Bandung). Perjalanan ini juga terasa istimewa karena kami ditemani oleh Bang Adoen, seorang putra Sabang yang menjadi guide sekaligus narasumber lokal bagi kami. Kehadirannya membuat perjalanan ini bukan sekadar menyeberang laut, tetapi juga menyelami cerita-cerita yang melekat pada setiap tempat yang kami singgahi.
Suasana kapal ramai tapi rapi. Saya duduk di kursi depan dekat jendela, Hasnul dan Syahrul di belakang. Bang Adoen mondar-mandir, sesekali memberi penjelasan tentang pemandangan laut yang kami lewati. Katanya, jalur ini dulu dijaga ketat Jepang, karena siapa pun yang menguasai Sabang berarti bisa mengontrol Selat Malaka. Penjelasan itu membuat pandangan saya ke laut biru tak lagi sama; ia bukan hanya hamparan indah, tapi juga pernah jadi panggung militer dunia.
Kapal cepat melaju dengan gagah, membelah ombak dan meninggalkan jejak putih panjang di belakangnya. Angin asin terasa menampar wajah, sementara matahari berkilau di permukaan air. Hasnul sesekali menoleh dan tersenyum, seakan menikmati kecepatan kapal yang berbeda dari feri lambat. Syahrul sibuk dengan kameranya, mengabadikan laut, awan, dan kapal kecil yang sesekali melintas.
Bang Adoen bercerita bahwa Pulau Weh sudah lama menjadi simpul penting dalam sejarah Aceh dan dunia. Ia menunjuk ke arah horizon, menjelaskan bagaimana kapal-kapal asing sejak dulu singgah di Sabang, dari era kolonial Belanda hingga masa pendudukan Jepang. Ceritanya mengalir dengan lancar, seperti ombak yang terus bergerak. Saya mendengarkan dengan seksama, merasa bahwa perjalanan ini benar-benar mendapat roh tambahan dari kehadirannya.
Waktu 45 menit terasa singkat. Express Bahari merapat di Pelabuhan Balohan, dan Sabang menyambut dengan udara sejuknya. Kami turun dengan langkah mantap, masih ditemani cerita-cerita Bang Adoen yang membuat kami seakan tak hanya menjejakkan kaki di pulau, tapi juga menjejakkan kaki di sejarah.
Makan Siang di Warung Murah Raya
Jam menunjukkan pukul 11.30 siang ketika mobil yang kami tumpangi memasuki pusat kota Sabang. Perut sudah mulai terasa berat oleh lapar, dan rasa ingin singgah semakin kuat. Bang Adoen, yang sejak pagi setia menjadi guide kami, langsung menyarankan satu tempat: Warung Murah Raya. Katanya, ini salah satu rumah makan yang sederhana tapi terkenal karena masakannya selalu segar. Kami bertiga—saya, Hasnul, dan Syahrul—langsung mengangguk, percaya pada rekomendasi orang lokal.
Warung Murah Raya berada di pinggir jalan utama kota Sabang. Dari luar tampak biasa saja, tapi begitu masuk, aroma masakan yang baru selesai dimasak langsung menyeruak. Tidak ada jendela, hanya dinding sederhana yang memantulkan suara-suara kecil dari dapur. Suasananya masih sepi, hanya ada satu dua pengunjung lain. Bang Adoen tersenyum sambil berkata, “Kita datang tepat waktu, sebelum ramai.” Saya merasa benar, karena ruang makan itu seakan jadi milik kami sendiri.
Kami duduk di meja kayu panjang, Hasnul dan Syahrul bersebelahan, sementara saya duduk di sisi depan. Bang Adoen duduk tak jauh dari kami, sekaligus berperan seperti tuan rumah yang memastikan tamunya nyaman. Seorang ibu keluar dari dapur, membawa senyum ramah, lalu menyiapkan hidangan. Menu di sini sederhana: ikan dalam berbagai olahan. Gulai ikan, ikan goreng, dan ikan bakar tersaji dengan nasi putih hangat.
Hasnul memilih ikan bakar, Syahrul mengambil ikan goreng, dan saya tergoda gulai ikan yang kuah kuningnya masih mengepulkan asap. Bang Adoen mengambil porsi gulai juga, sambil berkata, “Kalau gulai di sini, bumbunya khas, beda dengan yang lain.” Ketika piring-piring itu tiba, kami larut dalam keheningan kecil yang hanya ditemani bunyi sendok, garpu, dan desahan puas.
Suapan pertama memberi sensasi luar biasa. Ikan yang baru dimasak benar-benar segar, dagingnya lembut, kuahnya pekat dengan rempah. Sambalnya pedas, membuat keringat menetes di dahi, tapi justru menambah selera makan. Saya tersenyum dalam hati, merasa makan siang ini adalah hadiah setelah perjalanan laut yang singkat tapi penuh makna.
Sambil menikmati hidangan, percakapan pun mengalir. Hasnul bercerita tentang kenangan masa mudanya di Sabang. Syahrul menimpali dengan pengalaman kuliner dari Jawa Barat, membandingkan rasa ikan laut dan ikan tawar. Bang Adoen menambahkan cerita-cerita tentang Sabang tempo dulu, tentang pelabuhan yang ramai, dan tentang bagaimana warung-warung seperti ini sudah lama menjadi simpul perjumpaan orang-orang.
Ketika selesai makan, rasa kenyang memenuhi tubuh saya. Bahkan terlalu kenyang, sehingga langkah terasa berat. Namun kepuasan itu menular ke hati. Warung Murah Raya meninggalkan kesan sederhana tapi berharga: makanan segar, suasana akrab, dan cerita yang menyatukan kami. Dari sana, kami melangkah lagi, kali ini menuju Kilometer Nol Indonesia, ditemani canda dan arahan Bang Adoen yang terus menjadi penunjuk jalan sekaligus penghubung dengan denyut lokal Sabang.
Singgah di Kilometer Nol
Perut masih terasa penuh ketika mobil mulai menanjak menuju arah utara. Jalanan yang berkelok-kelok diapit hutan rimbun, sesekali memperlihatkan laut biru yang terbuka di sela pepohonan. Saya duduk di depan, merasakan hembusan angin laut dari kaca yang sedikit terbuka. Hasnul dan Syahrul duduk di belakang, masih larut dalam obrolan ringan tentang makan siang tadi. Bang Adoen, dengan gayanya yang bersahaja, duduk di samping sopir, sesekali menunjuk ke luar jendela, menjelaskan nama kampung atau cerita kecil tentang tempat yang kami lewati.
Sekitar setengah jam kemudian, kami tiba di Tugu Kilometer Nol Indonesia. Suasananya tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa kelompok kecil wisatawan. Tugu putih itu menjulang gagah di tengah pepohonan rindang, dengan tulisan besar yang menandai titik mula dari seluruh negeri. Ada monyet-monyet kecil yang berkeliaran di sekitar, menambah kesan alami tempat itu.
Kami turun dari mobil, melangkah perlahan ke arah tugu. Hasnul terlihat serius, matanya menatap tulisan di dinding tugu seakan membaca pesan tersembunyi. Syahrul, dengan antusiasme khas wisatawan yang juga akademisi, segera meminta difoto. Bang Adoen membantu mengambil gambar kami bertiga, wajah kami tampak sumringah meski saya sendiri masih menahan rasa kenyang.
Saya berdiri agak lama di depan tugu, membiarkan rasa simbolis itu masuk ke dalam. Kilometer Nol bukan sekadar penanda geografis, melainkan juga pengingat akan awal mula. Dari titik inilah sebuah bangsa menandai dirinya. Rasanya seperti ziarah, bukan sekadar kunjungan.
Bang Adoen lalu bercerita tentang sejarah pembangunan tugu ini, bagaimana ia menjadi ikon yang wajib disinggahi setiap orang. Ia menambahkan, “Kalau ke Sabang tapi tak singgah ke Kilometer Nol, rasanya belum lengkap.” Kami semua tertawa, tapi diam-diam saya mengakui kebenaran kalimat itu.
Kami sempat duduk di bangku kayu dekat tugu, membiarkan angin hutan menyapu wajah. Obrolan ringan mengalir: tentang perjalanan sejauh ini, tentang tujuan berikutnya, dan tentang rasa penuh yang masih menempel di perut. Saya tertawa kecil, mengelus perut sambil berkata, “Ziarah ke titik awal bangsa ini saya lakukan dengan perut kenyang.”
Setelah cukup lama menikmati suasana, kami kembali ke mobil. Kilometer Nol memberi kami perhentian penting, bukan hanya sebagai ikon, tapi juga sebagai ruang renungan. Dari sini, perjalanan akan beralih ke arah barat, menuju Pantai Iboih, lalu menyeberang ke Pulau Rubiah untuk menziarahi makam Rubiah dan menyusuri jejak karantina haji.
Menyeberang ke Pulau Rubiah
Dari Kilometer Nol, mobil melaju menurun dengan pemandangan laut yang semakin sering muncul di kejauhan. Tujuan kami adalah Pantai Iboih, pintu masuk menuju Pulau Rubiah. Bang Adoen tampak lebih bersemangat, ia bercerita tentang Iboih yang terkenal dengan air laut sejernih kaca dan Pulau Rubiah yang menyimpan kisah sejarah sekaligus spiritual. Cerita itu membuat langkah kami semakin antusias, meski tubuh masih diliputi kenyang.
Pantai Iboih menyambut dengan suasana sederhana. Warung-warung kecil berderet, perahu nelayan berjejer di tepi pantai. Air laut begitu bening, hingga karang dan ikan kecil terlihat jelas dari permukaan. Kami segera menuju dermaga kayu, tempat perahu-perahu bersandar. Bang Adoen bernegosiasi singkat dengan seorang nelayan, lalu kami bertiga bersama dia naik ke sebuah perahu bermesin kecil.
Perahu bergoyang ringan saat kami duduk, lalu perlahan meninggalkan Iboih. Angin laut menerpa wajah, suara mesin bercampur dengan debur ombak. Dari atas perahu, Pulau Rubiah tampak semakin dekat, sebuah pulau kecil yang hijau penuh pepohonan. Bang Adoen menunjuk ke arah pulau, sambil menjelaskan bahwa namanya diambil dari seorang perempuan salehah, Rubiah, yang dimakamkan di sana.
Begitu tiba, kami berjalan menuju makam Rubiah. Letaknya tidak jauh dari dermaga, dikelilingi pepohonan teduh. Kami bertiga berdiri sejenak, menundukkan kepala, membaca doa dengan khusyuk. Suasana hening menyelimuti. Saya merasa ziarah ini seperti jeda spiritual, berbeda dari perjalanan sebelumnya yang sarat nuansa sejarah militer. Di sini, sejarah berpadu dengan iman.
Dari makam, langkah kami bergeser ke bangunan tua bekas tempat karantina haji. Meski sebagian besar sudah runtuh, sisa dinding dan fondasi masih berdiri. Bang Adoen bercerita bahwa pada masa Hindia Belanda, pulau ini dipakai untuk memastikan jamaah haji dalam kondisi sehat sebelum diberangkatkan. Saya berdiri lama di depan reruntuhan itu, membayangkan ratusan orang dari berbagai daerah Nusantara pernah menunggu di sini, menanti kapal besar menuju Tanah Suci.
Kami kemudian duduk di tepi pantai. Air laut yang jernih berkilau diterpa sinar matahari. Ikan-ikan kecil berenang bebas di bawah kaki, sementara angin laut membawa kesejukan yang menenangkan. Tidak banyak kata yang keluar dari mulut kami; seolah alam dan sejarah sedang berbicara sendiri.
Sebelum kembali ke perahu, kami bertiga berfoto bersama Bang Adoen. Foto itu bukan hanya sekadar kenang-kenangan, melainkan juga penanda bahwa hari ini kami menapaki jejak yang menyatukan banyak hal: perjalanan, ziarah, sejarah, dan persahabatan. Dari Pulau Rubiah, perjalanan kami mengarah ke tujuan akhir: Tgk. Ujong Meuligoe, tempat bunker dan meriam Jepang berdiri dalam diam, menunggu untuk diceritakan kembali.
Menyeberang dengan Boat Kaca
Dari Kilometer Nol, perjalanan berlanjut ke arah barat hingga sampai ke Pantai Iboih. Pantai itu sudah terkenal dengan air lautnya yang bening seperti kaca. Saat kami tiba, suasananya ramai dengan deretan perahu dan warung kecil di tepi pantai. Namun yang paling menarik perhatian adalah Boat Kaca yang sudah menunggu di dermaga. Bang Adoen, guide kami, tersenyum sambil berkata, “Kita akan ke Pulau Rubiah naik perahu ini, bisa lihat ikan dan karang dari atas.” Seketika rasa lelah hilang, berganti dengan semangat seperti anak kecil yang ingin menyelam tanpa harus basah.
Kami bertiga naik ke boat itu, ditemani Bang Adoen. Di bagian tengah lantainya ada kaca tebal yang langsung menyingkap dunia bawah laut. Saat mesin dinyalakan dan boat perlahan bergerak meninggalkan dermaga, kami menunduk, menempelkan wajah ke kaca, dan terpesona oleh pemandangan di bawah. Air laut begitu jernih hingga setiap detail karang dan ikan terlihat jelas, seperti menonton film dokumenter, hanya saja layar itu nyata di bawah kaki kami.
Ikan-ikan berwarna-warni berenang berkelompok, bergerak cepat lalu hilang, muncul lagi di sela-sela terumbu. Ada yang kecil mungil, ada yang sedikit besar, dan semuanya menari di air biru yang tenang. Karang-karang tampak seperti taman raksasa, ada yang menjulang, ada yang melingkar, ada pula yang seakan membentuk dinding-dinding kecil. Saya merasa seolah sedang melayang di udara, menatap kehidupan lain yang berjalan dengan damai.
Hasnul, yang biasanya banyak komentar, kali ini hanya terdiam lama. Sesekali ia bersuara pelan, “Luar biasa, seolah kita berada di dunia lain.” Syahrul menunduk lebih dekat ke kaca, kagum melihat kawanan ikan yang melintas serempak, seakan menyapa kami. Bang Adoen tertawa kecil, bangga memperlihatkan keindahan laut Sabang yang memang sudah tersohor.
Saya sendiri merasa takjub, sekaligus tersadar bahwa laut ini bukan hanya indah tetapi juga rapuh. Kejernihan air dan kekayaan bawah lautnya adalah anugerah yang harus dijaga. Boat kaca ini menjadi pengingat bahwa manusia bisa menikmati laut tanpa harus merusaknya. Dalam diam, saya berdoa semoga generasi mendatang masih bisa melihat pemandangan yang sama.
Perjalanan menyeberang ke Pulau Rubiah dengan boat kaca terasa singkat, mungkin hanya belasan menit. Namun setiap detik di atas kaca itu seakan memberi pengalaman seumur hidup. Ada sensasi spiritual yang berbeda—melihat kehidupan yang tak terjamah, tenang, tapi begitu dekat dengan kita. Perjalanan ke pulau kecil ini sudah terasa sakral bahkan sebelum kami menjejakkan kaki di daratannya.
Ketika boat merapat di Pulau Rubiah, kami turun dengan hati penuh kekaguman. Laut di belakang masih berkilau, ikan-ikan masih menari di bawah, dan karang masih berdiri kokoh. Kami melangkah ke darat untuk menziarahi makam Rubiah dan menyusuri bekas karantina haji, tapi kesan dari boat kaca itu tetap melekat di benak, seakan menjadi pembuka gerbang menuju pengalaman yang lebih dalam.
Ziarah ke Makam Rubiah
Begitu kaki kami menjejak tanah Pulau Rubiah, suasana langsung terasa berbeda. Pulau kecil ini begitu tenang, seakan jauh dari hiruk pikuk Sabang maupun Iboih yang baru saja kami tinggalkan. Pepohonan rindang menaungi jalan setapak yang membawa kami ke arah makam. Bang Adoen berjalan di depan, menjadi penunjuk jalan sekaligus pencerita. Ia bercerita bahwa nama pulau ini diambil dari seorang perempuan salehah bernama Rubiah, yang dimakamkan di sini ratusan tahun lalu. Cerita itu membuat langkah kami semakin khidmat.
Makam Rubiah terletak tidak jauh dari dermaga. Bangunannya sederhana, hanya nisan tua yang dinaungi atap kayu dan dikelilingi pagar. Namun kesederhanaan itu justru memberi aura khusyuk. Kami bertiga—saya, Hasnul, dan Syahrul—berdiri di hadapan makam itu dengan kepala tertunduk. Saya merasakan suasana hening yang berbeda, sebuah keheningan yang penuh makna, seolah tempat ini telah lama menjadi ruang pertemuan antara doa manusia dan rahmat Tuhan.
Kami membaca doa bersama. Suara Hasnul yang lirih mengalun, diikuti oleh bisikan doa saya dan Syahrul. Angin laut berhembus perlahan, menggoyangkan dedaunan di atas kepala, seakan ikut mengaminkan. Saya menutup mata sejenak, membayangkan sosok Rubiah yang hidup dalam kesederhanaan, namun namanya diabadikan pada pulau ini. Ada rasa haru, sekaligus rasa hormat yang dalam.
Bang Adoen kemudian bercerita lebih banyak. Ia mengatakan bahwa makam ini sering diziarahi orang, baik wisatawan maupun warga lokal, yang datang bukan hanya untuk melihat sejarah, tapi juga untuk mencari ketenangan batin. Banyak yang percaya doa di tempat ini membawa keberkahan, meski bagi kami, maknanya lebih luas: ziarah ini adalah pengingat akan fana-nya dunia dan abadi-nya amal saleh.
Syahrul, yang biasanya banyak bicara, kali ini hanya duduk di bangku kayu dekat makam, menatap hening. Hasnul pun tak banyak komentar, hanya sesekali mengangguk. Saya ikut duduk, membiarkan pikiran melayang. Ziarah ini memberi rasa seimbang setelah perjalanan kami sebelumnya yang penuh kisah perang. Jika bunker dan meriam di Ujong Meuligoe adalah simbol ketegangan, maka makam Rubiah adalah simbol keteduhan.
Saya menatap nisan itu sekali lagi, mencoba merekamnya dalam ingatan. Sederhana, tapi kuat. Tidak ada ornamen mewah, tidak ada monumen besar, hanya sebuah tanda yang menghubungkan kita dengan masa lalu. Namun justru dalam kesederhanaannya itulah letak kekuatannya. Makam ini tidak berbicara keras, tapi berbisik halus, mengingatkan kita untuk selalu merendah di hadapan waktu.
Sebelum meninggalkan makam, kami bertiga berdoa sekali lagi. Lalu kami melangkah pelan kembali ke jalan setapak, ditemani cerita-cerita Bang Adoen yang tak henti mengalir. Ziarah ini menutup satu babak perjalanan di Pulau Rubiah, dan babak berikutnya sudah menanti: menyusuri bangunan tua bekas tempat karantina haji, saksi sejarah global yang menjadikan pulau kecil ini lebih dari sekadar destinasi wisata.
Tempat Karantina Haji
Dari makam Rubiah, langkah kami berlanjut ke arah bangunan tua yang sudah lama dikenal sebagai bekas tempat karantina haji. Jalan setapak membawa kami ke sebuah area yang lebih terbuka, di mana sisa-sisa fondasi bangunan kolonial masih berdiri. Dinding-dinding tua yang mulai runtuh tampak berlumut, sebagian tertutup akar pohon. Meski sudah tidak utuh, sisa itu cukup untuk menghadirkan bayangan masa lalu. Bang Adoen menunjuk ke arah reruntuhan sambil bercerita, “Dulu, jamaah haji dari Nusantara dikarantina di sini sebelum berangkat ke Jeddah. Mereka menunggu kapal besar yang akan membawa ke Tanah Suci.”
Saya membayangkan ratusan jamaah haji yang pernah singgah di pulau ini, berasal dari berbagai daerah, mengenakan pakaian sederhana, membawa bekal seadanya, tapi dengan semangat spiritual yang besar. Mereka menunggu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, hingga dinyatakan sehat untuk berangkat. Tempat ini bukan sekadar karantina, melainkan juga ruang perjumpaan antarbudaya: orang Aceh, Jawa, Bugis, Minangkabau, semuanya pernah berkumpul di sini.
Aura sejarah itu terasa kuat. Kami berjalan di antara sisa-sisa bangunan, merasakan seolah langkah kami berlapis dengan langkah mereka yang pernah ada di sini. Suara angin yang melewati celah dinding terdengar seperti bisikan samar. Hasnul berkomentar lirih, “Rasanya ada bayangan orang-orang dulu, menunggu giliran naik kapal.” Syahrul mengangguk, menambahkan bahwa inilah sejarah global yang jarang diceritakan: haji bukan hanya soal ritual, tapi juga perjalanan panjang melawan waktu dan sistem kolonial.
Di salah satu sudut, kami berhenti sejenak untuk berfoto. Bangunan tua menjadi latar belakang yang sederhana tapi kuat. Senyum kami terekam kamera, tapi dalam hati saya sadar bahwa foto itu bukan sekadar kenangan wisata, melainkan juga penanda bahwa kami pernah berdiri di ruang sejarah. Foto itu seolah menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara mereka yang pernah menunggu di sini dengan kami yang datang berziarah.
Selain nuansa sejarah, ada juga aura ghaib yang menyelimuti Pulau Rubiah. Banyak orang percaya bahwa pulau ini dihuni oleh kekuatan tak kasat mata yang menjaga kesuciannya. Saat berdiri di bekas karantina haji, saya merasakan hawa yang berbeda: sejuk tapi berat, seperti ada tatapan yang tidak terlihat. Bang Adoen bercerita bahwa beberapa orang pernah mengalami pengalaman mistis di sini, dari mendengar suara azan gaib hingga melihat bayangan jamaah yang berjalan tanpa raga.
Saya tidak mengalami hal yang ekstrem, tapi memang ada nuansa yang sulit dijelaskan. Semacam ketenangan yang bercampur dengan rasa hormat, seakan pulau ini menolak diperlakukan sekadar tempat wisata biasa. Rubiah adalah pulau doa, pulau perjalanan, dan pulau kenangan. Aura ghaibnya bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dihormati.
Sebelum meninggalkan area karantina, kami kembali berdiam sejenak. Angin laut bertiup kencang, daun-daun bergesekan, dan cahaya matahari jatuh miring menimpa dinding tua. Kami bertiga bersama Bang Adoen berfoto sekali lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tenang. Pulau Rubiah memberi kami pengalaman yang lengkap: ziarah, sejarah, dan rasa gaib yang menyentuh batin. Dari sini, perjalanan berlanjut ke tujuan terakhir hari itu—Tgk. Ujong Meuligoe, tempat bunker dan meriam Jepang masih berdiri dalam diam.
Memasuki Kawasan Anoe Itam
Setelah dari Pulau Rubiah, perjalanan kami lanjutkan menuju sisi lain Pulau Weh, tepatnya ke kawasan Anoe Itam. Di sinilah berdiri sebuah peninggalan bersejarah yang sudah lama dikenal: Benteng Jepang, lengkap dengan bunker-bunker dan satu meriam besar yang masih tersisa. Jalan menuju ke sana melewati perbukitan dengan hutan yang rimbun, membuat suasana semakin terasa sunyi. Di dalam mobil, kami berempat—saya, Hasnul, Syahrul, dan Bang Adoen—diam lebih banyak, seakan menyimpan energi untuk menyambut keheningan sejarah yang menunggu di depan.
Sesampainya di Anoe Itam, udara terasa berbeda. Angin laut bertiup lebih kencang, bercampur dengan aroma tanah basah dan lumut. Di depan mata, berdiri dinding beton tua yang mulai retak dimakan waktu, sebagian ditutupi lumut hijau, sebagian lagi terkelupas memperlihatkan tulang beton yang kokoh. Bang Adoen menunjuk ke arah pintu masuk yang sempit, lalu berkata, “Inilah pintu menuju bunker Jepang.” Saya melangkah masuk dengan hati-hati, merasakan hawa dingin yang keluar dari lorong gelap itu.
Di dalam bunker, suasananya lembap dan pengap. Cahaya senter dari telepon genggam Hasnul memantul di dinding tebal yang masih berdiri kokoh. Lorong sempit itu membawa kami ke ruang-ruang kecil, mungkin dulu tempat menyimpan amunisi atau tempat beristirahat tentara Jepang. Saya mendengar gema langkah kami, seolah ada suara lain yang mengikuti dari kejauhan. Suasana itu membuat bulu kuduk meremang, tapi sekaligus menguatkan kesan bahwa tempat ini benar-benar masih hidup oleh ingatan masa lalu.
Kami keluar dari bunker menuju halaman yang lebih terbuka. Di sanalah berdiri meriam Jepang yang terkenal. Meriam besar itu kini berkarat, larasnya diarahkan ke laut lepas, seakan masih menjaga pulau ini dari serangan musuh. Saya menyentuh baja dinginnya, mencoba membayangkan bagaimana dulu senjata ini dioperasikan. Hasnul berkata pelan, “Bayangkan dentumannya dulu mengguncang laut ini.” Syahrul mengangguk, sambil sibuk mengabadikan meriam itu dari berbagai sudut kamera.
Bang Adoen kemudian bercerita bahwa Anoe Itam adalah salah satu titik strategis bagi Jepang. Dari sini mereka bisa memantau jalur kapal yang masuk ke Selat Malaka. Bunker dan meriam ini adalah bagian dari jaringan pertahanan yang lebih luas, tersebar di berbagai titik Sabang. “Tapi di Anoe Itam inilah yang paling utuh tersisa,” tambahnya. Cerita itu membuat saya semakin menyadari bahwa tempat ini bukan sekadar reruntuhan, melainkan potongan puzzle dari sejarah besar Perang Dunia II di Asia Tenggara.
Kami duduk sebentar di tepi tebing, tepat di samping meriam. Laut biru membentang luas di depan, tenang tapi menyimpan jejak pertempuran. Saya membayangkan langit yang pernah dipenuhi pesawat tempur Sekutu, suara bom yang jatuh, dan pasukan Jepang yang bersembunyi di bunker ini. Semua itu kini hanya tinggal kenangan, tapi kehadiran meriam dan bunker membuat masa lalu terasa dekat, seakan hanya berjarak satu langkah dari waktu kini.
Sebelum meninggalkan Anoe Itam, kami sempat berfoto bersama di depan meriam. Foto itu sederhana, tapi sarat makna. Senyum kami merekam rasa puas, sementara meriam tua di belakang menjadi saksi bisu yang tak pernah pudar. Bagi saya, kunjungan ini bukan hanya catatan perjalanan, melainkan juga sebuah ziarah sejarah. Dari Pulau Rubiah yang penuh aura spiritual ke Anoe Itam yang sarat dengan jejak militer, perjalanan hari ini menjadi mozaik pengalaman yang lengkap—menghubungkan doa, sejarah, dan renungan.
Delapan Bunker di Anoe Itam
Dari meriam besar yang berdiri di bibir tebing, langkah kami berlanjut menelusuri kawasan Anoe Itam yang masih menyimpan delapan bunker Jepang. Bang Adoen memimpin jalan, menunjuk satu per satu pintu masuk yang sebagian sudah tertutup semak belukar. Setiap bunker memiliki bentuk hampir serupa, namun suasananya berbeda, seakan masing-masing menyimpan cerita tersendiri. Saya, Hasnul, dan Syahrul mengikuti dengan hati-hati, kaki kami menapaki tanah yang lembap dengan suara dedaunan kering yang berderak di bawah.
Bunker pertama tampak sempit, hanya cukup untuk beberapa orang. Udara di dalam begitu pengap, bau tanah bercampur lumut menyengat hidung. Saya membayangkan ruangan ini mungkin digunakan sebagai tempat berlindung dari serangan udara. Hasnul berkomentar pelan, “Tempat sekecil ini, bayangkan menunggu dentuman bom dari luar.” Kalimatnya membuat lorong sempit itu terasa semakin menekan.
Bunker kedua sedikit lebih luas, dengan dinding yang masih kokoh. Cahaya masuk dari celah kecil di atas, menimbulkan garis cahaya yang jatuh ke lantai lembap. Syahrul mengabadikan momen itu dengan kameranya, hasilnya seperti lukisan yang kontras antara terang dan gelap. Bang Adoen menjelaskan bahwa bunker ini kemungkinan besar difungsikan sebagai gudang amunisi. Saya menatap dinding yang dingin itu, seakan masih ada sisa-sisa bau mesiu yang tertinggal.
Bunker ketiga dan keempat terletak lebih dekat ke tebing. Dari lubang bidik di dinding, pandangan langsung ke laut lepas. Saya menempelkan wajah ke lubang itu, membayangkan seorang prajurit Jepang menempelkan matanya, menunggu kapal musuh muncul di horizon. Angin laut yang masuk dari celah kecil membuat ruangan itu sedikit lebih segar, tapi tetap menyimpan aura tegang. Hasnul berkata lirih, “Tempat ini membuat kita merasa selalu diawasi oleh laut.”
Bunker kelima hingga ketujuh berada agak tersembunyi di balik semak. Jalan menuju ke sana sedikit sulit, tapi Bang Adoen dengan sigap membuka jalan. Di dalamnya, suasana hampir sama: gelap, lembap, dingin. Namun masing-masing memberi kesan bahwa mereka dirancang untuk tujuan berbeda—ada yang sebagai pos jaga, ada yang untuk perlindungan, ada pula yang seakan hanya ruang transisi. Syahrul menambahkan, “Ini sistem pertahanan berlapis, bukti betapa seriusnya Jepang menjaga Sabang.”
Bunker kedelapan adalah yang paling besar. Lorongnya lebih panjang, dan ruangannya lebih luas dibanding yang lain. Kami bertiga berdiri agak lama di sana, membayangkan puluhan tentara berdesakan menunggu perintah. Suara langkah kami bergema, seperti menirukan langkah-langkah lama yang pernah terdengar di ruangan itu. Saya merasa berada di ruang waktu yang membeku, di mana masa lalu dan masa kini bertemu dalam keheningan.
Keluar dari bunker terakhir, kami berdiri di bawah sinar matahari sore. Delapan bunker itu memberi kesan mendalam: bukan hanya bangunan beton kosong, melainkan juga ruang yang masih menyimpan napas sejarah. Saya menatap laut di depan, merasakan betapa beratnya masa lalu yang ditinggalkan di sini. Namun bersamaan dengan itu, ada rasa syukur karena hari ini kami bisa berdiri di sini dengan damai. Perjalanan pun kami lanjutkan, kali ini ke tempat terakhir: Mata Ie Resort, untuk menutup hari panjang dengan suasana yang lebih tenang.
Kesimpulan
Senja turun perlahan ketika kami mengakhiri perjalanan di Mata Ie Resort. Setelah menapaki berbagai jejak sejarah sepanjang hari, resort itu menjadi ruang perhentian yang tenang. Dari tepi pantai, kami melihat matahari jatuh ke laut, meninggalkan garis oranye di langit Sabang. Suasana itu seperti menutup buku besar yang sudah seharian kami baca. Saya duduk dengan rasa syukur, Hasnul dan Syahrul tampak menikmati keheningan, sementara Bang Adoen masih sempat menambahkan cerita kecil tentang laut yang tak pernah tidur.
Perjalanan ini memberi saya pelajaran bahwa Sabang bukan hanya pulau indah untuk wisata, melainkan sebuah laboratorium sejarah. Setiap lokasi yang kami kunjungi menambahkan lapisan makna: Warung Murah Raya memberi rasa akrab kehidupan sehari-hari, Kilometer Nol memberi simbol kebangsaan, Pulau Rubiah memberi spiritualitas dan aura ghaib, sementara Anoe Itam memberi ingatan tentang perang global yang pernah singgah di sini. Semua itu berpadu menjadi sebuah mosaik perjalanan yang utuh.
Saya merasa, bersama Hasnul dan Syahrul, diskusi sepanjang jalan adalah bagian penting dari perjalanan ini. Kami tidak hanya melihat, tetapi juga membaca; tidak hanya berjalan, tetapi juga menafsirkan. Kehadiran Bang Adoen melengkapi semuanya, menjadikan setiap langkah bukan sekadar catatan pribadi, tapi juga catatan kolektif yang kaya. Setiap kata darinya adalah kunci yang membuka pintu kecil ke dalam sejarah Sabang.
Dari Rubiah, saya belajar tentang kekuatan doa dan kesederhanaan iman. Dari Anoe Itam, saya belajar tentang rapuhnya kekuatan militer yang akhirnya runtuh dimakan waktu. Dari Kilometer Nol, saya diingatkan bahwa setiap awal harus dihargai, dan dari meja makan Warung Murah Raya, saya belajar bahwa kebersamaan yang sederhana bisa menjadi bagian paling berharga dari sebuah perjalanan.
Aura ghaib Pulau Rubiah, suara langkah di bunker Anoe Itam, aroma ikan segar di Warung Murah Raya, hingga angin laut di Kilometer Nol—semua itu kini menyatu dalam memori saya. Sabang menghadirkan dirinya sebagai ruang kontemplasi, bukan hanya hiburan. Ia mengajarkan kita untuk membaca ulang masa lalu demi mengerti diri kita hari ini.
Perjalanan ini juga menegaskan pentingnya menulis. Catatan-catatan kecil yang saya buat sepanjang hari menjadi cara untuk menangkap kembali pengalaman yang cepat berlalu. Tanpa catatan, perjalanan hanya menjadi kenangan samar. Dengan catatan, perjalanan berubah menjadi teks hidup yang bisa dibaca ulang, ditafsirkan, dan dibagikan.
Ketika malam turun di Mata Ie Resort, saya menutup hari dengan rasa penuh. Penuh oleh makanan, penuh oleh cerita, penuh oleh sejarah, dan penuh oleh doa. Sabang, dengan segala jejaknya, memberi saya pengalaman yang sulit dilupakan. Esai ini adalah bentuk penghormatan pada perjalanan itu—sebuah perjalanan yang dimulai dengan Express Bahari di pagi hari, dan ditutup oleh senja di Mata Ie, dengan hati yang lebih kaya daripada sebelumnya.
Leave a Reply