Dalam forum Dialog Kerukunan Umat Beragama dan Moderasi Beragama Aceh 2025, Prof. Dr. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menegaskan pentingnya paradigma baru menghadapi isu radikalisme dan terorisme. Dari ruang diskusi di Banda Aceh, lahir gagasan tentang bagaimana keluarga, digitalisasi, dan etika sosial menjadi benteng kerukunan. Acara ini dibuka resmi oleh Kanwil Kemenag Aceh, Drs. H. Azhari, M.Si, yang menekankan urgensi menjaga keberagaman sebagai fondasi kebangsaan.

Dialog Kerukunan Umat Beragama dan Moderasi Beragama Provinsi Aceh 2025

Banda Aceh, 28 September 2025 – Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh menggelar Dialog Kerukunan Umat Beragama dan Moderasi Beragama Provinsi Aceh Tahun 2025 pada tanggal 28 hingga 30 September 2025 di Hotel Sweet Seventeen, Banda Aceh. Acara ini dibuka secara resmi oleh Kepala Kanwil Kemenag Aceh, Drs. H. Azhari, M.Si, yang menegaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan momentum penting dalam merawat harmoni antar umat beragama serta memperkuat nilai-nilai moderasi beragama di tengah tantangan sosial yang terus berkembang.

Dialog ini mempertemukan berbagai unsur yang mewakili dinamika keberagamaan di Aceh. Hadir sebagai narasumber adalah Prof. Dr. Fauzi Saleh, MA, Prof. Dr. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Dr. Mulia Rahman, S.Pd.I, MA, Dr. H. Rahmatillah, S.Ag, MA, Dr. H. Akhyar, S.Ag, M.Ag, serta H. Zulfahmi, S.Ag, MH. Keterlibatan mereka menggambarkan komitmen bersama dari kalangan akademisi, organisasi masyarakat, Majelis Permusyawaratan Ulama, dan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam merumuskan arah baru kerukunan yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Sedang memberikan paparan tentang Mengatasi Radikalisme dan Terorisme
Sedang memberikan paparan tentang Mengatasi Radikalisme dan Terorisme

Dalam kesempatan itu, Prof. Dr. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menyampaikan presentasi berjudul Mengatasi Isu Radikalisme dan Terorisme. Beliau menekankan bahwa radikalisme masih menjadi salah satu problem nasional yang seringkali dijadikan alat untuk membangun tensi sosial, bahkan tidak jarang dipandang melalui lensa konspirasi. Persoalan agama, menurutnya, kerap diperalat sebagai medium untuk menciptakan polarisasi. Dalam paparannya, ia menjelaskan bagaimana konsep-konsep seperti Tansiq Bayn al-Jama’ah menggambarkan jejaring yang beroperasi melalui jalur keluarga, pendidikan, pernikahan, hingga pertemanan, di mana identitas pelaku sering tersembunyi sampai ada peristiwa penangkapan atau serangan.

See also  Muslims Talk Tentang Demokrasi, Diversitas, dan Dialog: Inisiasi Kerja Sama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Bersama AMAN Internasional Digelar

Prof. Kamaruzzaman juga menguraikan tentang adanya struktur tersembunyi yang disebut Qaidah Aminah yang menunjukkan bahwa setiap wilayah memiliki koordinator dalam perekrutan, pendanaan, dan koordinasi. Ia menyoroti pula fenomena homegrown terrorism yang bermula dari perekrutan mandiri berbasis big data dan media digital, lalu berkembang ke dalam lingkup keluarga, sehingga seluruh rumah tangga dapat menjadi bagian dari sel jaringan yang aktif. Menurutnya, pergeseran ini menjadi tantangan baru setelah model jaringan klasik banyak diungkap oleh aparat keamanan.

Dalam penjelasan yang lebih luas, beliau menguraikan pula faktor-faktor baru yang menjadi penyebab munculnya radikalisme, seperti transformasi informasi yang beralih dari sekadar dunia digital menjadi produksi pengetahuan yang membentuk persepsi masyarakat, perubahan cara pandang generasi baru terhadap agama, serta munculnya tokoh-tokoh yang tidak memahami perubahan sosial budaya tetapi tetap menjadi pusat perhatian. Ia menyoroti pula paradoks agama, yakni semakin sering agama dibicarakan, tetapi semakin jauh pula dari implementasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui refleksi tersebut, Prof. Kamaruzzaman menawarkan gagasan tentang arah baru kehidupan beragama yang lebih adaptif dengan dinamika sosial dan budaya. Ia menjelaskan perlunya rekayasa sosial dan pikiran untuk menuntun generasi muda agar mampu menyesuaikan diri, sekaligus memaknai ulang konflik agama dalam perspektif global. Menurutnya, pengelolaan konflik berbasis etika, moral, dan nilai-nilai universal adalah fondasi penyelesaian jangka panjang yang dapat mengurangi ketegangan. Dalam hal ini, keluarga dipandang sebagai basis pencegahan yang utama, sebab dari lingkungan keluargalah keseimbangan cara berpikir dan kesadaran beragama dapat dipupuk.

See also  Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Laksanakan Kuliah Tamu menghadirkan John Esposito

Dialog kerukunan ini tidak hanya menjadi forum berbagi gagasan, tetapi juga arena untuk meneguhkan kembali peran semua elemen masyarakat Aceh dalam menjaga harmoni. Kegiatan ini diharapkan mampu menghasilkan strategi kolektif menghadapi radikalisme, membangun etika sosial baru, dan menegaskan posisi Aceh sebagai wilayah yang mampu merawat keberagaman dengan bingkai persaudaraan. Dengan melibatkan pemikir, tokoh agama, ormas, dan institusi negara, acara ini memperlihatkan keseriusan seluruh pihak untuk mengukuhkan tradisi keberagamaan yang tidak terjebak pada konflik, tetapi justru mendorong terciptanya kedamaian yang berkelanjutan.

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *