Pasca perdamaian yang ditandai dengan Memorendum of Understanding (MoU) Helsinki tahun 2005. Aceh diberikan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006. Undang-Undang ini mengamatkan berupa Dana Otonomi Khusus (Otsus), alokasi anggaran fantastis triliunan rupiah dari Pemerintah Pusat. Tujuannya mulia, tentu saja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi kemiskinan, peningkatan infrastruktur setelah puluhan tahun didera konflik berkepanjangan dan tsunami. Dana Otsus bukan hanya sekedar uang, melainkan komitmen Pemerintah Pusat untuk membangun Aceh.
Dana Otsus telah mengalir sejak tahun 2008 hingga berakhir 2027. Anggaran tersebut menyentuh triliunan rupiah setiap tahun. Berdasarkan sumber dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh menyebutkan, pada bulan Mei 2025 saja, dana Otsus sudah disalurkan oleh Kementerian Keuangan tahap pertama sekitar Rp. 1,2 Triliun. Dana yang cukup fantastis, masyarakat Aceh membayangkan lapangan pekerjaan banyak, perbaikan insflastruktur, pendidikan memadai dan ekonomi masyarakat meningkat.
Sayangnya, realita di lapangan tak seindah narasi. Meskipun triliunan rupiah digelontorkan setiap tahunnya, pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh masih jauh belum memadai.
Lalu, dimana letak kesalahannya?
Ini selalu menjadi masalah yang klasik dalam pengelolaan anggaran daerah. Dana Otsus Aceh tidak luput dari sorotan publik setiap saat. Masyarakat bertanya-tanya, ke mana larinya dana tersebut, apakah sudah tepat sasaran?, atau jangan-jangan ada oknum yang mempermainkan dana tersebut untuk kepentingan yang tidak bermutu.
Kurangnya pengawasan, transparansi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan program memicu kecurigaan. Di mana ada anggaran besar, di situ ada godaan. Isu korupsi, penyewangan dana dan proyek-proyek fiktif diyakini masyarakat masih bersembunyi.
Akibatnya, program yang dijalankan belum sejalan dengan kebutuhan realita dan prioritas utama masyarakat Aceh. Sementara itu, pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang sifatnya jangka panjang justru kurang mendapatkan perhatian serius.
Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Tasdik Ilhamuddin menyampaikan, persentase penduduk miskin di Aceh 12.33 persen atau sebanyak 704,690 jiwa, tertinggi dibandingkan dengan seluruh provinsi lain di Sumatera.
Ada kekhawatirkan ketergantungan Pemerintah Aceh terhadap Dana Otsus. Ketika Dana Otsus berakhir dan menurun setiap tahunnya, Kekhawatiran akademisi dan pengamat ekonomi Aceh, Dr. Amri S.E., M.Si. Aceh belum mampu bertahan tanpa Dana Otsus. Kesiapan Pemerintah Aceh untuk mandiri menjadi tanda tanya. Apakah mampu menopang pondasi ekonomi agar tidak bergantung terus dengan Dana Otsus?.
Baru-baru ini, Pemerintahan Aceh berupaya melobi Pemerintah Pusat untuk mengusahakan perpanjangan Dana Otsus. Berbagai upaya dilakukan untuk memperpanjang Dana Otsus tersebut. Hal ini menuai pro dan kontra masyarakat Aceh. Bagaimana tidak, Dana Otsus yang sudah digelontorkan sejak tahun 2008 hingga sekarang, masih banyak masyarakat Aceh belum merasakan manfaatnya.
Dana Otsus Aceh seharusnya menjadi modal awal bukan subsidi abadi. Kebijakan dan inovasi kreatif sangat diharapkan dalam pengelolaan Dana Otsus tersebut.
Masa depan Aceh pasca Otsus harus dipersiapkan sejak sekarang. Ini bukan hanya tentang berapa banyak uang yang masuk, tetapi bagaimana uang itu dikelola dan seberapa besar ia mampu memberdayakan masyarakat Aceh. Dana Otsus adalah kesempatan emas. Kita semua berharap, kesempatan ini tidak berakhir sebagai cerita tentang harapan yang belum sepenuhnya menjadi kenyataan.
Leave a Reply