Pendahuluan
Fenomena Homegrown Violent Extremism (HVE) kian menegaskan dirinya sebagai wajah baru terorisme di Indonesia. Jika dua dekade lalu masyarakat masih mengenal terorisme sebagai jaringan besar dengan struktur komando jelas seperti Jemaah Islamiyah atau ISIS, kini pola itu bergeser. Ruang privat keluarga, yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya kasih sayang, justru menjelma menjadi sarang kebencian dan arena persiapan aksi teror. Ledakan bom bunuh diri di Surabaya pada tahun 2018 menjadi titik balik: untuk pertama kalinya satu keluarga utuh menjadikan tubuh mereka sebagai senjata.
Perubahan ini erat kaitannya dengan perkembangan teknologi digital. Algoritma media sosial dan platform berbagi video kini bekerja bukan sekadar sebagai penyedia informasi, tetapi sebagai mesin penguat ideologi. Seseorang yang sekali menonton konten kebencian akan terus disuguhi materi serupa, seolah dunia di luar sana hanya berisi kebenaran tunggal yang ia yakini. Ketika informasi itu kemudian dibagi dalam lingkaran keluarga, terbentuklah ruang gema yang menutup rapat segala bentuk perbedaan pandangan. HVE pun tumbuh dari isolasi digital yang berpadu dengan kedekatan emosional dalam keluarga.
Dalam konteks ini, negara menghadapi dilema serius. Instrumen keamanan tradisional dapat menjangkau ruang publik, namun tidak dapat masuk ke ruang domestik rumah tangga. Keluarga yang dari luar terlihat religius, sederhana, dan “baik-baik saja” bisa menyimpan potensi aksi kekerasan yang mematikan. Inilah mengapa HVE lebih berbahaya dibandingkan bentuk terorisme generasi sebelumnya. Ia menyelinap pelan, tersembunyi, dan sulit dipetakan.
Fenomena HVE juga menunjukkan bahwa radikalisasi tidak lagi harus melalui jaringan kajian tertutup atau kelompok pengajian eksklusif. Satu ponsel pintar yang terkoneksi internet sudah cukup menjadi pintu gerbang. Narasi kebencian yang mengalir tanpa henti membentuk keyakinan baru bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan keluar dari kekecewaan sosial, politik, dan spiritual. Dengan begitu, bom bunuh diri bukan lagi keputusan ideologis yang rumit, melainkan buah dari proses algoritmik yang berjalan sehari-hari.
Lebih jauh, HVE bekerja dalam spektrum personal. Jika dahulu terorisme memerlukan perekrutan, pelatihan, dan komando, maka kini cukup dengan keyakinan yang berakar di rumah. Mereka yang terpapar HVE tidak butuh instruksi pusat. Cukup dengan keyakinan dan jejaring keluarga, aksi kekerasan bisa lahir kapan saja. Kondisi ini menjadikan HVE sulit diprediksi, sulit dideteksi, dan sulit dicegah dengan cara-cara konvensional.
Karena itu, memahami HVE menuntut pendekatan baru yang multidisipliner: analisis antropologis terhadap keluarga, kajian psikologis terhadap spiritualitas yang salah arah, studi digital tentang algoritma kebencian, dan tentu saja strategi intelijen untuk menakar ancaman. Artikel ini mengajak pembaca untuk menelusuri bagaimana HVE lahir, berkembang, dan mengancam masa depan Indonesia. Mari simak lebih dalam, karena kesadaran kita hari ini adalah kunci mencegah tragedi besok.
Apakah kita siap menghadapi ancaman baru ini? Baca artikel lengkapnya di bawah, pahami akar masalahnya, dan sebarkan kesadaran ini agar Indonesia tidak lagi menjadi ladang subur bagi terorisme keluarga.
Akar Historis Homegrown Terrorism di Indonesia
Sejarah terorisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peristiwa besar yang mengguncang dunia: Bom Bali 2002. Serangan itu menewaskan lebih dari 200 orang dan membuka mata dunia bahwa Indonesia bukan sekadar wilayah periferi, tetapi juga bisa menjadi panggung besar teror global. Jaringan Jemaah Islamiyah (JI), yang kala itu berafiliasi dengan Al-Qaeda, membuktikan kemampuannya dalam melancarkan aksi berskala internasional. Namun, peristiwa ini juga menandai titik penting: sejak saat itu, model terorisme di Indonesia perlahan bergeser dari yang bersifat internasional dan terstruktur ke arah yang lebih lokal dan berbasis keluarga.
Setelah Bom Bali, gelombang penangkapan dan operasi kontra-terorisme melemahkan jaringan besar JI. Aparat berhasil melumpuhkan sebagian besar struktur komando, menghentikan jalur pelatihan militer, dan memutus aliran logistik. Namun, yang tidak banyak disadari adalah bahwa kekosongan struktur tersebut justru melahirkan bentuk baru radikalisasi. Mantan simpatisan yang kehilangan jaringan besar mulai bergerak sendiri atau membentuk kelompok kecil. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai homegrown terrorism (HT)—terorisme yang tumbuh dari dalam negeri tanpa komando langsung dari luar.
Dalam proses transformasi itu, keluarga memainkan peran kunci. Banyak pelaku teror generasi pertama yang kemudian menikah dengan sesama simpatisan, melahirkan generasi baru yang sejak kecil sudah terpapar ideologi kebencian. Anak-anak tidak lagi melihat aksi bom bunuh diri sebagai tindakan keji, melainkan sebagai bentuk pengorbanan mulia. Dengan cara ini, terorisme direproduksi secara kultural melalui ikatan darah, bukan hanya melalui doktrin ideologis. Terorisme keluarga pun mulai menjadi kenyataan.
Selain faktor keluarga, perubahan lanskap digital mempercepat proses radikalisasi. Jika pada awal 2000-an radikalisasi dilakukan melalui pertemuan fisik, buku, dan kaset ceramah, maka kini cukup dengan internet. Situs-situs ekstremis, forum diskusi bawah tanah, hingga media sosial menjadi ruang baru penyebaran ideologi. Fenomena ini semakin menguat setelah 2010-an, ketika algoritma digital mulai memainkan peran besar dalam menentukan informasi apa yang dikonsumsi seseorang. Dalam konteks HT, ini berarti algoritma dapat mempersempit dunia informasi seorang individu atau keluarga hingga hanya berisi narasi kebencian.
Di samping itu, faktor politik domestik turut memberi ruang bagi perkembangan HT. Kekecewaan terhadap pemerintah, rasa terpinggirkan, dan narasi ketidakadilan menjadi bahan bakar yang menyuburkan radikalisasi. Dalam banyak kasus, narasi ini kemudian dibungkus dengan simbol keagamaan sehingga tampak lebih “suci”. Padahal, inti dari semua itu adalah frustrasi sosial yang dialihkan ke arah kekerasan. Perpaduan antara kekecewaan politik, isolasi digital, dan indoktrinasi keluarga menciptakan ekosistem baru bagi terorisme di Indonesia.
Dengan demikian, akar historis HT di Indonesia tidak hanya bersumber dari jaringan global seperti Al-Qaeda atau ISIS, tetapi juga dari dinamika internal yang unik: keluarga sebagai agen reproduksi kebencian, algoritma digital sebagai katalisator radikalisasi, dan politik domestik sebagai bahan bakarnya. Dari sini, kita dapat melihat bahwa wajah terorisme Indonesia semakin kompleks. Ia tidak lagi semata-mata hasil impor dari luar, melainkan lahir dari dalam negeri dengan karakteristik khas Nusantara.
Algoritma Kebencian dan Radikalisasi Digital
Di era digital, proses radikalisasi tidak lagi membutuhkan ruang fisik, buku doktrin, atau pengajian tertutup. Cukup dengan sebuah ponsel pintar, algoritma internet bekerja membentuk pola pikir baru yang berlapis kebencian. Algoritma, yang awalnya diciptakan untuk mempermudah manusia menemukan informasi, justru berubah menjadi mesin yang mempersempit pandangan dunia. Seseorang yang sekali menonton video intoleran akan terus disuguhi konten serupa, seolah-olah semesta digital hanya berisi satu kebenaran tunggal. Dalam konteks Homegrown Violent Extremism (HVE), algoritma bukan lagi sekadar alat teknis, melainkan aktor tak kasat mata yang membentuk ekosistem radikalisasi.
Fenomena ini menciptakan apa yang dikenal sebagai echo chamber, ruang gema digital di mana seseorang hanya mendengar suara yang memperkuat keyakinan awalnya. Jika dalam konteks politik echo chamber memperdalam polarisasi, maka dalam konteks terorisme ia melahirkan radikalisasi yang konsisten, berulang, dan nyaris tanpa lawan. Ketika satu keluarga mengonsumsi konten kebencian yang sama, maka ruang domestik mereka tertutup rapat dari pandangan alternatif. Akibatnya, rumah berubah menjadi benteng ideologi, bukan lagi tempat dialog.
Lebih berbahaya lagi, algoritma bekerja dengan memanfaatkan profiling psikologis. Platform digital tidak hanya menyajikan konten sesuai kata kunci pencarian, tetapi juga menyesuaikan dengan kondisi emosional pengguna. Jika seseorang sedang frustrasi, kecewa, atau marah, algoritma dengan cepat menyodorkan konten yang “menghibur” emosinya, meskipun itu berupa narasi kebencian atau kekerasan. Dengan demikian, proses radikalisasi bukan lagi hasil pilihan sadar, tetapi hasil manipulasi psikologis yang terus-menerus diperkuat oleh kecerdasan buatan.
Radikalisasi digital ini semakin kompleks ketika masuk ke ruang keluarga. Konten yang awalnya dikonsumsi individu kemudian dibagikan kepada anggota keluarga lain. Pola ini menciptakan uniformitas informasi di dalam rumah tangga. Tidak ada perbedaan perspektif, tidak ada ruang kritik, hanya ada pengulangan narasi yang sama. Dari sinilah lahir generasi baru ekstremis yang sejak kecil terbiasa mendengar kebencian, baik di dunia nyata maupun di layar gawai.
Yang lebih ironis, algoritma kebencian ini berjalan seiring dengan keterbatasan negara dalam mengontrol arus informasi digital. Negara tidak mungkin menyensor seluruh konten internet tanpa melanggar prinsip demokrasi. Sementara itu, perusahaan teknologi global seperti Facebook, YouTube, atau TikTok lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada keamanan sosial. Akibatnya, ruang digital Indonesia menjadi ladang subur bagi penyebaran ideologi ekstremis yang dibungkus dalam format video pendek, meme, hingga khutbah daring.
Maka jelas, radikalisasi digital berbasis algoritma bukan lagi ancaman potensial, tetapi realitas sehari-hari. Ia hadir di ruang tamu, kamar tidur, bahkan ruang makan keluarga Indonesia. Jika tidak ada intervensi serius, maka algoritma kebencian akan terus mencetak ekstremis baru setiap hari, yang mungkin tampak biasa saja di mata tetangga, tetapi menyimpan bara kebencian yang siap meledak kapan saja.
Keluarga Sebagai Sel Terorisme Baru
Fenomena bom bunuh diri Surabaya tahun 2018 menjadi titik balik dalam sejarah terorisme Indonesia. Untuk pertama kalinya, sebuah keluarga utuh—ayah, ibu, dan anak-anak—terlibat langsung dalam serangan terkoordinasi di tiga gereja. Peristiwa ini mengejutkan publik karena melibatkan perempuan dan anak-anak, kelompok yang selama ini dipandang sebagai korban, bukan pelaku. Namun, tragedi tersebut membuktikan bahwa keluarga dapat bertransformasi menjadi satuan sel terorisme yang mandiri. Keluarga tidak lagi sekadar objek indoktrinasi, melainkan menjadi aktor utama yang menjalankan aksi teror.
Keluarga sebagai sel terorisme memiliki keunggulan tersendiri. Pertama, mereka sangat sulit dideteksi oleh aparat keamanan karena aktivitas sehari-hari tampak normal. Dari luar, mereka bisa saja dikenal sebagai keluarga religius, ramah, dan hidup sederhana. Namun, di balik dinding rumah, berlangsung proses indoktrinasi ideologis yang intensif dan tertutup. Kedua, ikatan emosional yang kuat antar anggota keluarga memperkuat komitmen bersama. Jika dalam kelompok teror tradisional anggota bisa saja keluar karena perbedaan pendapat, dalam keluarga tekanan psikologis untuk tetap setia jauh lebih besar.
Proses indoktrinasi dalam keluarga biasanya dimulai sejak dini. Anak-anak yang lahir dari orang tua berpaham radikal akan tumbuh dalam atmosfer kebencian yang sistematis. Mereka diajarkan untuk membedakan manusia dalam kategori “kita” dan “mereka,” di mana “mereka” adalah musuh agama yang harus diperangi. Anak-anak dilarang bersosialisasi di luar komunitas keluarga, sekolah formal sering dihindari, dan pendidikan agama versi orang tua menjadi satu-satunya referensi. Akibatnya, ketika dewasa, mereka telah kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dengan keragaman sosial.
Selain itu, pernikahan berperan penting dalam memperkuat jaringan HVE. Dalam banyak kasus, pasangan ekstremis menikah dengan sesama simpatisan atau jaringan teroris. Strategi ini bukan hanya memperkuat ikatan ideologis, tetapi juga memperluas jejaring keluarga radikal. Dengan demikian, terorisme keluarga tidak hanya terbatas pada lingkaran inti, tetapi dapat meluas menjadi komunitas keluarga besar yang saling terkait. Fenomena ini sudah lama dipraktikkan di Timur Tengah dan kini diadopsi dalam konteks Indonesia.
Keluarga juga menjadi wadah ideal untuk praktik keterlibatan perempuan dalam terorisme. Jika sebelumnya perempuan hanya ditempatkan sebagai pendukung logistik, kini mereka menjadi pelaku aktif. Bom bunuh diri Surabaya memperlihatkan bagaimana seorang ibu tidak hanya mendukung, tetapi juga membawa serta anak-anaknya dalam aksi teror. Perubahan ini menunjukkan bahwa gender tidak lagi menjadi penghalang dalam dunia ekstremisme; justru peran ibu dianggap vital dalam mengamankan keberlangsungan ideologi dalam keluarga.
Lebih jauh, keluarga sebagai sel terorisme menciptakan pola reproduksi kebencian lintas generasi. Anak-anak yang sejak kecil ditanamkan ideologi radikal berpotensi mewariskan pandangan serupa kepada keturunan mereka kelak. Dengan cara ini, terorisme tidak lagi sekadar sebuah gerakan politik atau strategi kekerasan, melainkan menjadi budaya keluarga. Inilah yang membuat HVE berbahaya: ia tidak hanya hidup di ruang publik, tetapi juga bertahan dalam ruang domestik yang tak tersentuh negara.
Dari sisi operasional, sel keluarga memiliki fleksibilitas tinggi. Mereka tidak perlu koordinasi dengan jaringan besar, tidak bergantung pada logistik eksternal, dan bisa memutuskan target secara mandiri. Inilah yang membuat aksi mereka sulit diprediksi. Mereka bisa menyerang kapan saja, dengan skala kecil namun berdampak besar secara psikologis. Aparat keamanan hanya bisa bereaksi setelah serangan terjadi, karena hampir mustahil menebak siapa keluarga yang sedang bersiap menjadi “pengantin.”
Pada akhirnya, keluarga sebagai sel terorisme baru menunjukkan bahwa ancaman HVE lebih kompleks dibandingkan terorisme klasik. Ia tumbuh dalam keheningan rumah tangga, diperkuat oleh ikatan emosional, dan diwariskan kepada anak-anak. Jika negara tidak mampu memutus siklus kebencian ini, maka Indonesia akan menghadapi generasi baru ekstremis yang lahir bukan dari kamp pelatihan militer, melainkan dari ruang tamu keluarga sederhana. Dengan kata lain, terorisme keluarga adalah wajah baru ancaman keamanan nasional yang paling sulit diantisipasi.
Dimensi Psikologis dan Spiritualitas Palsu
Dimensi psikologis menjadi salah satu kunci untuk memahami mengapa Homegrown Violent Extremism (HVE) dan Homegrown Terrorism (HT) mampu berkembang begitu cepat di Indonesia. Banyak pelaku bukanlah sosok miskin atau tidak berpendidikan, melainkan individu yang merasa kecewa, marah, dan teralienasi dari realitas sosial-politik di sekitarnya. Rasa keterasingan ini melahirkan kebutuhan untuk mencari jawaban spiritual yang lebih absolut. Sayangnya, kebutuhan itu kemudian diarahkan pada narasi kebencian yang mudah ditemukan di dunia digital. Dengan begitu, radikalisasi bekerja bukan sekadar melalui otak, tetapi melalui emosi yang terluka.
Fenomena ini dikenal sebagai “broken heart society” dalam kajian psikologi terorisme. Individu yang merasa gagal dalam hidup, tidak dihargai di masyarakat, atau kehilangan status sosial lebih rentan untuk mencari makna dalam narasi radikal. Mereka yang kecewa dengan sistem politik atau ekonomi lalu menganggap bahwa satu-satunya jalan keluar adalah menghancurkan sistem tersebut. Pada titik inilah, ideologi ekstremis menawarkan “penyembuhan” berupa janji surga, kemuliaan mati syahid, dan pengakuan yang tidak mereka dapatkan di dunia nyata.
Aspek spiritualitas palsu memperparah situasi ini. Banyak pelaku aksi teror percaya bahwa tindakan mereka adalah bagian dari pendakian spiritual. Istilah yang sering muncul adalah fenomena “I Kill Me, Then Kill You”, di mana pelaku memandang bunuh diri sambil membunuh orang lain sebagai bentuk penyatuan diri dengan yang ilahi. Dalam kerangka ini, kekerasan dianggap sebagai jalan pintas menuju surga, padahal sesungguhnya ia hanyalah distorsi dari pengalaman spiritual yang tidak dibimbing oleh otoritas keagamaan yang sahih.
Spiritualitas palsu ini bekerja dengan memanfaatkan celah kebingungan teologis. Banyak individu tidak memiliki pemahaman mendalam tentang agama, tetapi mengandalkan potongan-potongan ayat atau hadis yang dipelintir untuk membenarkan kekerasan. Tanpa bimbingan ulama atau guru agama yang kompeten, spiritualitas menjadi arena manipulasi. Bagi pelaku, keputusan untuk meledakkan diri bukanlah tindakan kriminal, melainkan ritual keagamaan. Inilah yang membuat terorisme keluarga sulit dicegah: mereka benar-benar yakin bahwa yang dilakukan adalah ibadah.
Kondisi psikologis semacam ini semakin diperkuat oleh lingkungan keluarga tertutup. Dalam keluarga ekstremis, tidak ada ruang diskusi sehat. Anak-anak dipaksa menerima ajaran orang tua tanpa kritik. Mereka belajar membenci “orang kafir” atau kelompok berbeda sejak kecil, bahkan sebelum mampu memahami keragaman sosial. Akibatnya, ketika dewasa, mereka memiliki kepribadian ganda: di luar tampak sebagai warga biasa, tetapi di dalam rumah menyimpan dunia spiritualitas kebencian yang rapat dan eksklusif.
Dari perspektif intelijen, dimensi psikologis ini sangat berbahaya. Individu yang sudah terjebak dalam spiritualitas palsu tidak membutuhkan jaringan besar atau instruksi eksternal. Cukup dengan keyakinan internal, mereka siap bertindak kapan saja. Aparat keamanan hampir mustahil mendeteksi proses ini, karena ia terjadi dalam ruang privat batin manusia. Di sinilah letak perbedaan fundamental antara terorisme klasik dengan HVE. Yang pertama masih bisa dipetakan melalui struktur organisasi, sementara yang kedua hidup dalam dimensi psikologis individu.
Fenomena ini juga menantang strategi deradikalisasi yang selama ini digunakan pemerintah. Program deradikalisasi umumnya fokus pada pembongkaran ideologi melalui diskusi, pelatihan, atau reintegrasi sosial. Namun, ketika radikalisasi berakar pada emosi luka dan spiritualitas palsu, metode itu sering kali gagal. Individu tidak hanya butuh argumen intelektual, tetapi juga proses penyembuhan psikologis yang mendalam. Tanpa pemulihan luka batin, ekstremisme hanya akan berganti bentuk atau muncul kembali dalam generasi berikutnya.
Pada akhirnya, dimensi psikologis dan spiritualitas palsu menunjukkan bahwa HVE bukan hanya persoalan keamanan, tetapi juga persoalan kemanusiaan yang sangat dalam. Ia berakar pada kekecewaan, rasa sakit, dan kebutuhan spiritual yang salah arah. Jika negara dan masyarakat gagal memahami dimensi ini, maka upaya melawan HVE hanya akan menyentuh permukaan, sementara akar masalah tetap hidup di dasar jiwa individu. Inilah tantangan terbesar: bagaimana menghadirkan spiritualitas otentik yang mampu menyembuhkan luka, bukan menambah kebencian.
HVE, HT, dan Industri Kekerasan Baru
Fenomena Homegrown Violent Extremism (HVE) dan Homegrown Terrorism (HT) tidak bisa dipahami hanya sebagai gejala ideologis atau spiritual belaka. Dalam perkembangannya, terorisme modern semakin menyerupai sebuah industri kekerasan yang memiliki ekosistem produksi, distribusi, dan konsumsi. Industri ini bekerja tidak berbeda jauh dengan industri lain: ada pasar yang menyerap ideologi, ada jaringan yang mendistribusikan senjata dan narasi, serta ada konsumen yang menginternalisasi produk kekerasan itu ke dalam kehidupannya. Dalam konteks Indonesia, industri ini beroperasi di ruang digital, ruang keluarga, dan jaringan sosial yang tersembunyi.
Industri kekerasan ini ditopang oleh narasi ideologis yang terus diproduksi dan dipasarkan. Narasi kebencian terhadap “musuh agama” dijual dalam bentuk ceramah daring, meme, hingga video pendek yang mudah disebarkan di media sosial. Konten semacam ini tidak hanya menghibur atau menginspirasi, tetapi juga berfungsi sebagai “iklan” yang memasarkan jalan kekerasan. Sama seperti produk komersial yang membutuhkan branding, ideologi kebencian juga membutuhkan citra. Mereka yang mati sebagai “pengantin” digambarkan sebagai pahlawan, bukan kriminal. Narasi ini menciptakan pasar ideologi yang luas, terutama di kalangan anak muda yang sedang mencari identitas.
Selain narasi, ada pula dimensi ekonomi gelap yang menopang industri ini. Perdagangan senjata ilegal, pendanaan dari donatur yang tidak terlacak, serta praktik penyalahgunaan lembaga amal menjadi bagian dari rantai ekonomi terorisme. Dalam beberapa kasus, keluarga ekstremis juga mendanai aktivitas mereka dari usaha kecil yang tampak legal, sehingga sulit dibedakan dengan kegiatan ekonomi biasa. Hal ini menunjukkan bahwa industri kekerasan telah menyatu dengan struktur sosial-ekonomi masyarakat, menjadikannya semakin sulit diberantas.
Industri kekerasan juga bekerja melalui model sel kecil. Jika terorisme klasik membutuhkan pelatihan militer, logistik besar, dan struktur komando, maka HVE cukup dengan jaringan keluarga atau kelompok kecil yang memiliki visi serupa. Sel-sel kecil ini fleksibel, tidak terikat pada instruksi pusat, dan bisa bertindak mandiri. Justru karena tidak ada struktur yang jelas, mereka sulit dideteksi aparat keamanan. Pola ini menjadikan HVE jauh lebih berbahaya karena serangan bisa muncul dari mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja.
Dalam industri kekerasan, perempuan dan anak-anak tidak lagi sekadar korban, tetapi juga bagian dari rantai produksi. Perempuan berperan sebagai penjaga ideologi di rumah, sekaligus pelaku aktif dalam beberapa serangan. Anak-anak, sementara itu, disiapkan sejak dini untuk menjadi “kader masa depan”. Dengan cara ini, industri kekerasan menciptakan kesinambungan generasi yang memastikan HVE tetap hidup. Peran keluarga bukan hanya sebagai konsumen ideologi, tetapi juga sebagai pabrik yang memproduksi ekstremis baru.
Salah satu karakteristik penting dari industri kekerasan adalah penggunaan media dan simbol. Setiap aksi teror bukan hanya bertujuan menghancurkan target fisik, tetapi juga menghasilkan efek simbolik yang luas. Ledakan bom, meskipun secara militer tidak signifikan, tetapi secara psikologis menciptakan rasa takut yang berlipat. Media massa kemudian memperkuat efek ini dengan menyiarkan peristiwa secara masif. Akhirnya, aksi teror menjadi sebuah pertunjukan simbolik yang melipatgandakan pesan kebencian tanpa harus dilakukan berulang kali.
Jika diperhatikan lebih jauh, industri kekerasan ini juga dipengaruhi oleh dinamika global. Konflik di Timur Tengah, narasi jihad global, dan propaganda ISIS semuanya menjadi bahan baku yang dipasarkan ulang di Indonesia. Namun, di tangan keluarga radikal, bahan baku global itu diolah sesuai dengan konteks lokal. Misalnya, narasi jihad disesuaikan dengan isu ketidakadilan di Indonesia, sehingga terasa lebih relevan bagi audiens domestik. Dengan demikian, industri kekerasan bersifat transnasional sekaligus lokal, atau dalam istilah intelijen disebut glokal: global dalam inspirasi, lokal dalam implementasi.
Yang membuat industri ini semakin mengakar adalah ketersediaan teknologi digital. Internet menyediakan platform gratis untuk distribusi konten, algoritma membantu mempersempit audiens agar lebih loyal, dan aplikasi perpesanan terenkripsi memastikan komunikasi tetap aman dari pantauan aparat. Semua ini menjadikan industri kekerasan tidak lagi membutuhkan biaya besar. Dengan modal minim, sebuah keluarga bisa mengakses ideologi kebencian, mendiskusikannya dalam ruang domestik, dan memutuskan target serangan.
Maka jelas, HVE dan HT telah berkembang menjadi sebuah industri kekerasan baru yang kompleks. Ia bukan sekadar gerakan ideologis, tetapi sebuah ekosistem yang terdiri dari narasi, ekonomi gelap, sel kecil, media simbolik, dan dukungan teknologi. Industri ini akan terus hidup selama ada pasar yang siap menerima produk kebencian. Tantangan terbesar bagi negara adalah bagaimana memutus rantai industri ini: membatasi distribusi narasi, menutup jalur pendanaan, sekaligus menawarkan alternatif identitas yang lebih sehat bagi masyarakat. Tanpa itu, Indonesia akan terus menjadi pasar potensial bagi produk paling mematikan abad ini: terorisme keluarga berbasis algoritma.
Studi Perbandingan Global
Fenomena Homegrown Violent Extremism (HVE) tidak hanya terjadi di Indonesia. Dunia internasional pun telah lama menghadapi tantangan serupa, meski dengan latar belakang yang berbeda. Perbandingan global menjadi penting untuk melihat bagaimana konteks sosial, budaya, dan politik di berbagai negara memengaruhi pola munculnya HVE. Dengan demikian, kita dapat memahami posisi Indonesia dalam lanskap terorisme global, sekaligus belajar dari strategi negara lain dalam menghadapinya.
Di Amerika Serikat, HVE sering kali tidak terkait dengan agama, melainkan dengan identitas politik, ras, dan sosial. Kasus-kasus mass shooting yang kerap terjadi sebagian besar dilakukan oleh individu yang merasa teralienasi atau memiliki masalah kesehatan mental. Narasi supremasi kulit putih, kebencian terhadap imigran, dan polarisasi politik menjadi bahan bakar utama. Fenomena ini menunjukkan bahwa HVE tidak selalu bersumber dari ideologi keagamaan, tetapi bisa juga dari konflik identitas yang terpendam dalam masyarakat modern.
Berbeda dengan Amerika, Eropa menghadapi HVE yang bercorak transnasional, terutama akibat migrasi besar-besaran dari Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Perancis, Belgia, dan Jerman, radikalisasi sering kali terjadi di kalangan anak muda keturunan imigran yang merasa terpinggirkan. Mereka tumbuh di masyarakat yang demokratis, tetapi tetap merasakan diskriminasi struktural. Dalam kondisi frustrasi itu, propaganda ISIS menemukan ladang subur. Serangan Paris 2015 dan Brussel 2016 adalah contoh nyata bagaimana narasi global dapat berakar dalam pengalaman lokal.
Sementara itu, negara-negara di Timur Tengah menghadapi pola HVE yang bercampur dengan konflik bersenjata. Perang sipil di Suriah, Yaman, dan Irak menjadi ruang latihan bagi generasi baru teroris. HVE di wilayah ini sering kali berawal dari dendam personal akibat kehilangan keluarga atau rumah, yang kemudian ditransformasikan menjadi ideologi jihad. Di sini, sulit membedakan antara korban perang dan pelaku teror, karena keduanya berada dalam siklus kekerasan yang terus berulang.
Di Asia Selatan, terutama Pakistan dan Afghanistan, HVE berkembang melalui kombinasi madrasah tradisional, kemiskinan, dan konflik geopolitik. Generasi muda yang tumbuh dalam sistem pendidikan terbatas lebih mudah menerima doktrin kebencian. Selain itu, keterlibatan kekuatan asing dalam konflik Afghanistan menambah lapisan kompleksitas. Di sini, HVE tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga dipengaruhi oleh rivalitas geopolitik antara Amerika Serikat, Pakistan, dan India.
Jika kita bandingkan dengan Indonesia, terdapat pola unik yang tidak sepenuhnya sama dengan Amerika, Eropa, atau Timur Tengah. Ciri khas Indonesia adalah domestifikasi kebencian dalam ruang keluarga. Kasus bom Surabaya menunjukkan bahwa terorisme bisa lahir dari keluarga biasa yang sehari-hari tampak normal. Pola ini jarang ditemukan di Barat, di mana pelaku lebih sering bertindak sendirian. Keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam serangan bom bunuh diri adalah fenomena yang membuat Indonesia berbeda dalam peta global HVE.
Namun, Indonesia tidak sepenuhnya terisolasi. Narasi global tetap memainkan peran penting. ISIS, misalnya, berhasil menginspirasi banyak keluarga radikal di Indonesia meskipun tidak ada instruksi langsung dari pusat. Narasi “jihad global” diadopsi dan diadaptasi menjadi “jihad lokal” melawan pemerintah dan kelompok agama lain. Inilah yang disebut fenomena glokal: global dalam inspirasi, lokal dalam pelaksanaan. Dengan kata lain, Indonesia adalah bagian dari jaringan teror global, tetapi dengan wajah khas Nusantara.
Perbandingan ini juga memperlihatkan bahwa respon negara berbeda-beda. Amerika fokus pada pendekatan keamanan ketat dan pemantauan digital, meski sering dikritik karena melanggar privasi. Eropa mencoba menggabungkan pendekatan keamanan dengan integrasi sosial, walau hasilnya masih jauh dari ideal. Timur Tengah mengandalkan operasi militer besar-besaran, yang justru memperpanjang siklus kekerasan. Indonesia sendiri masih berfokus pada pendekatan kontra-terorisme berbasis aparat, namun deradikalisasi sosial-budaya baru berjalan secara terbatas.
Dalam konteks global, pelajaran penting adalah bahwa HVE selalu kontekstual. Ia tidak bisa dipahami dengan satu kacamata universal. Faktor budaya, ekonomi, politik, dan sejarah lokal berperan besar. Bagi Indonesia, tantangannya adalah bagaimana merumuskan strategi yang sesuai dengan realitas domestik: pluralitas agama, budaya gotong royong, dan dinamika politik yang kompleks. Jika hanya meniru strategi Barat, hasilnya bisa kontraproduktif.
Akhirnya, studi perbandingan global ini menegaskan bahwa Indonesia menghadapi tantangan unik sekaligus universal. Unik karena HVE di sini berakar pada keluarga dan algoritma digital, universal karena sama-sama dipicu oleh rasa keterasingan dan ketidakadilan. Dengan memahami perbandingan ini, Indonesia dapat merumuskan strategi yang lebih adaptif: tidak hanya menumpas jaringan teroris, tetapi juga menyentuh akar-akar kultural dan psikologis yang membuat HVE terus hidup.
Tantangan Negara dan Strategi Intelijen
Tantangan utama negara dalam menghadapi fenomena Homegrown Violent Extremism (HVE) adalah sifatnya yang berakar di ruang domestik. Jika terorisme klasik masih bisa dipetakan melalui jaringan, kamp pelatihan, dan struktur organisasi, maka HVE beroperasi dalam ranah pribadi yang sangat tertutup. Rumah tangga yang dari luar tampak normal dapat menjadi pusat radikalisasi yang tidak terdeteksi. Hal ini menjadikan aparat keamanan kehilangan titik masuk, karena negara tidak bisa serta-merta mengintervensi ranah keluarga tanpa melanggar hak privat warganya.
Keterbatasan ini diperparah oleh peran algoritma digital yang menciptakan ruang gema ideologis. Aparat bisa membubarkan majelis taklim radikal atau membekukan organisasi terlarang, tetapi mereka hampir mustahil menghentikan aliran konten kebencian di media sosial. Platform global seperti YouTube, Facebook, dan Telegram memiliki mekanisme sendiri yang tidak selalu sejalan dengan kebutuhan keamanan nasional Indonesia. Akibatnya, narasi kebencian tetap beredar bebas, bahkan lebih cepat daripada upaya penegakan hukum.
Strategi deradikalisasi yang selama ini dijalankan pemerintah pun menghadapi hambatan serius. Program-program yang difokuskan pada mantan narapidana terorisme hanya menyentuh sebagian kecil populasi yang sudah terpapar. Sementara itu, HVE sering kali berkembang di luar radar, pada individu atau keluarga yang belum pernah bersentuhan dengan aparat. Dengan kata lain, negara masih lebih banyak berfokus pada “gejala” dibanding “akar masalah.”
Di sisi lain, operasi keras (hard power) yang mengandalkan militer dan kepolisian memang efektif dalam jangka pendek, tetapi tidak cukup menyelesaikan persoalan. Penangkapan dan penembakan teroris hanya memutus rantai sesaat. Sering kali, keluarga dari pelaku justru semakin teralienasi dan memperkuat keyakinan bahwa negara adalah musuh. Hal ini menciptakan siklus baru di mana anak-anak pelaku berpotensi menjadi generasi berikutnya dari ekstremis.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan multidimensi yang menggabungkan hard power dengan soft power. Hard power tetap diperlukan untuk menekan potensi serangan, tetapi soft power wajib dijalankan untuk menyentuh aspek sosial, budaya, psikologis, dan ekonomi. Pendidikan toleransi, pemberdayaan masyarakat, serta pelibatan tokoh agama lokal menjadi strategi yang harus diperkuat. Tanpa itu, program kontra-terorisme hanya menjadi agenda militeristik tanpa akar kultural.
Bagi lembaga intelijen, tantangan terbesar adalah bagaimana mengantisipasi serangan HVE tanpa indikator yang jelas. Dalam terorisme klasik, pergerakan senjata, komunikasi jaringan, atau latihan militer bisa menjadi tanda awal. Namun, HVE bisa lahir dari percakapan dalam ruang tamu, tontonan video di gawai, atau percakapan keluarga sehari-hari. Intelijen membutuhkan teknologi baru: analisis big data, pemetaan pola konsumsi digital, hingga pemanfaatan kecerdasan buatan untuk mendeteksi tren radikalisasi.
Namun, strategi berbasis teknologi pun menyimpan dilema. Pemantauan digital dalam skala besar menimbulkan pertanyaan tentang privasi dan demokrasi. Jika negara terlalu agresif, masyarakat bisa merasa hak kebebasannya dilanggar. Jika terlalu lemah, ancaman HVE akan terus berkembang. Di sinilah dibutuhkan keseimbangan etis: negara harus cerdas menggunakan teknologi intelijen tanpa terjebak dalam praktik otoritarian yang kontraproduktif.
Selain itu, strategi kontra-HVE tidak bisa hanya bersifat nasional. Kerjasama internasional mutlak diperlukan. Aliran narasi, dana, dan ideologi sering kali melintasi batas negara. Indonesia perlu memperkuat diplomasi keamanan dengan negara-negara ASEAN, serta meningkatkan kerjasama dengan lembaga global untuk memantau arus pergerakan terorisme transnasional. Tanpa koordinasi lintas negara, upaya domestik akan selalu terbatas.
Tantangan berikutnya adalah keterlibatan masyarakat sipil. Negara tidak bisa sendirian melawan HVE. Organisasi masyarakat, komunitas lokal, dan bahkan keluarga non-ekstremis harus dilibatkan dalam membangun ekosistem kontra-radikalisasi. Program literasi digital, forum dialog antaragama, serta kampanye publik dapat membantu memperluas kesadaran. Kekuatan masyarakat sipil justru menjadi benteng pertama untuk mencegah radikalisasi sebelum masuk ke tahap berbahaya.
Dalam jangka panjang, strategi paling efektif adalah menciptakan daya tahan sosial. Masyarakat yang terbiasa hidup dalam keragaman, memiliki akses pendidikan inklusif, dan mendapatkan keadilan sosial lebih kebal terhadap ideologi ekstremis. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi yang merata, pemerataan akses pendidikan, dan penegakan hukum yang adil harus dilihat sebagai bagian dari strategi kontra-terorisme. Tanpa fondasi keadilan sosial, narasi kebencian akan selalu menemukan ruang untuk berkembang.
Dengan demikian, tantangan negara dan strategi intelijen dalam menghadapi HVE bukan hanya persoalan teknis keamanan, melainkan juga persoalan membangun keadilan, kepercayaan, dan daya tahan masyarakat. Indonesia membutuhkan strategi yang visioner: menggabungkan teknologi, soft power, kerjasama internasional, dan penguatan masyarakat sipil. Jika tidak, HVE akan terus berkembang sebagai ancaman laten yang menyelinap di ruang keluarga, tak terdeteksi, hingga suatu hari meledak menjadi tragedi nasional.
Kesimpulan
Fenomena Homegrown Violent Extremism (HVE) di Indonesia telah berkembang menjadi ancaman keamanan nasional yang nyata. Dari akar historis yang berawal dari jaringan besar pasca-Bom Bali 2002, kini HVE menemukan wajah baru dalam ruang domestik keluarga. Perubahan ini menandakan bahwa ancaman terorisme tidak lagi identik dengan organisasi bersenjata besar, melainkan dapat tumbuh dalam rumah tangga biasa yang tampak damai. Hal ini membuat HVE lebih sulit dipetakan, lebih sulit dicegah, dan lebih berbahaya.
Kekuatan utama HVE terletak pada algoritma kebencian yang bekerja senyap di ruang digital. Media sosial dan platform berbagi video menciptakan ruang gema yang mempersempit pandangan individu dan keluarga. Ketika satu keluarga mengonsumsi narasi kebencian yang sama, ruang domestik mereka berubah menjadi arena ideologis tertutup. Inilah yang membuat HVE tidak memerlukan kamp pelatihan atau doktrin publik, cukup dengan gawai dan koneksi internet.
Keluarga sebagai sel terorisme baru menjadi ciri khas Indonesia. Bom Surabaya 2018 memperlihatkan bagaimana ayah, ibu, dan anak-anak bisa menjadi aktor aktif dalam aksi kekerasan. Ikatan emosional yang kuat membuat keluarga jauh lebih solid daripada kelompok teror biasa. Anak-anak yang sejak dini terpapar kebencian tumbuh dengan identitas eksklusif yang sulit dikoreksi. Terorisme pun bertransformasi menjadi budaya keluarga, bukan sekadar ideologi politik.
Dimensi psikologis dan spiritualitas palsu turut memperkuat fenomena ini. Individu yang merasa kecewa, teralienasi, dan kehilangan makna hidup lebih mudah menerima narasi radikal. Janji surga dan mati syahid menawarkan kompensasi psikologis yang tidak mereka temukan di dunia nyata. Kekerasan pun dipandang sebagai ritual religius, bukan kriminalitas. Hal ini menunjukkan bahwa melawan HVE membutuhkan pendekatan psikologis dan spiritual yang lebih dalam daripada sekadar debat ideologis.
Lebih dari itu, HVE dan HT kini beroperasi layaknya industri kekerasan baru. Ada pasar ideologi, ada distribusi narasi melalui media sosial, ada ekonomi gelap yang menopang pendanaan, serta ada konsumen yang menginternalisasi produk kebencian. Industri ini tidak lagi membutuhkan struktur komando besar. Dengan modal minim, keluarga dapat mengakses ideologi, berdiskusi di ruang tamu, dan melaksanakan serangan. Fenomena ini membuat terorisme menjadi semakin murah, cepat, dan sulit dicegah.
Perbandingan global menunjukkan bahwa HVE selalu kontekstual. Di Amerika, ia muncul dalam bentuk mass shooting berbasis identitas politik. Di Eropa, ia berkembang di kalangan imigran yang terpinggirkan. Di Timur Tengah, ia lahir dari perang sipil. Di Asia Selatan, ia tumbuh dari kombinasi pendidikan tradisional, kemiskinan, dan konflik geopolitik. Indonesia unik karena menghadirkan wajah terorisme keluarga berbasis algoritma digital, sebuah model yang jarang ditemukan di belahan dunia lain.
Tantangan negara dalam menghadapi HVE sangat kompleks. Instrumen keamanan tradisional tidak mampu menjangkau ruang domestik keluarga. Operasi keras memang bisa menekan serangan, tetapi berisiko menciptakan alienasi baru. Deradikalisasi pun sering terbatas pada mantan narapidana, sementara HVE justru tumbuh di luar radar. Negara berada dalam dilema: terlalu keras dituduh represif, terlalu lunak dianggap lemah.
Solusi terbaik adalah pendekatan multidimensi dan multidisipliner. Hard power tetap dibutuhkan untuk menindak jaringan berbahaya, tetapi soft power harus diperkuat untuk menyentuh aspek sosial, budaya, dan psikologis. Pendidikan toleransi, literasi digital, dan keterlibatan tokoh agama lokal adalah bagian penting. Di saat yang sama, teknologi intelijen berbasis big data dan AI harus digunakan secara cerdas untuk mendeteksi tren radikalisasi tanpa melanggar privasi secara berlebihan.
Kerjasama internasional juga menjadi kunci. Narasi, pendanaan, dan jaringan terorisme bersifat lintas batas. Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Kolaborasi dengan negara-negara ASEAN, serta keterlibatan dalam forum global kontra-terorisme, akan memperkuat posisi Indonesia. Namun, kerja sama ini harus tetap sensitif terhadap konteks lokal agar tidak terjebak pada model Barat yang belum tentu cocok.
Pada akhirnya, daya tahan masyarakat menjadi benteng paling kokoh. Masyarakat yang terbiasa dengan keragaman, memiliki akses pendidikan yang inklusif, dan merasakan keadilan sosial akan lebih sulit diradikalisasi. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi yang merata, penegakan hukum yang adil, dan penguatan nilai kebangsaan harus dilihat sebagai bagian integral dari strategi kontra-HVE. Terorisme tidak bisa diberantas hanya dengan senjata, melainkan dengan membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan berdaya.
Kesimpulan besar dari artikel ini adalah bahwa HVE di Indonesia adalah fenomena domestifikasi kebencian dalam keluarga yang diperkuat algoritma digital. Negara harus menghadapinya dengan strategi komprehensif yang melibatkan aparat keamanan, masyarakat sipil, tokoh agama, dan kerjasama internasional. Jika strategi ini tidak dijalankan, Indonesia akan menghadapi generasi baru ekstremis yang lahir bukan dari medan perang, melainkan dari ruang tamu keluarga sederhana.
HVE adalah ancaman yang tumbuh senyap di sekitar kita. Kesadaran publik menjadi benteng pertama untuk melawannya. Bagikan artikel ini, diskusikan dengan keluarga, dan ikut serta dalam upaya membangun masyarakat yang inklusif dan tahan terhadap kebencian. Jangan biarkan rumah kita berubah menjadi ladang ideologi yang berbahaya.
Daftar Pustaka
Ali, M. (2020). Radicalization and counter-radicalization in Southeast Asia: The role of family and community. Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute.
Borum, R. (2011). Radicalization into violent extremism I: A review of social science theories. Journal of Strategic Security, 4(4), 7–36. https://doi.org/10.5038/1944-0472.4.4.1
El-Said, H. (2015). New approaches to countering terrorism: Designing and evaluating counter radicalization and de-radicalization programs. London: Palgrave Macmillan.
Gunaratna, R., & Hassan, M. H. (2019). Terrorist rehabilitation and community engagement in Malaysia and Southeast Asia. London: Routledge.
International Crisis Group (ICG). (2017). Countering Jihadist militancy in Indonesia. Asia Report No. 231. https://www.crisisgroup.org/asia/south-east-asia/indonesia/countering-jihadist-militancy-indonesia
Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). (2018). Mothers to bombers: The evolution of Indonesian women extremists. Report No. 35. https://www.jstor.org/stable/resrep18757
Jones, S. (2021). Family ties and terrorism in Indonesia. Jakarta: Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
Kruglanski, A. W., Bélanger, J. J., & Gunaratna, R. (2019). The three pillars of radicalization: Needs, narratives, and networks. Oxford University Press.
Schmid, A. P. (2013). Radicalisation, de-radicalisation, counter-radicalisation: A conceptual discussion and literature review. ICCT Research Paper. The Hague: International Centre for Counter-Terrorism.
United Nations Office of Counter-Terrorism (UNOCT). (2020). Strategic and practical measures to counter and prevent violent extremism. New York: United Nations.
Weine, S., & Ahmed, O. (2012). Building resilience to violent extremism: Lessons from the Somali diaspora. Combating Terrorism Center at West Point (CTC Sentinel), 5(9), 25–29.
Zelin, A. Y. (2017). The others: Foreign fighters in Libya. Washington, DC: The Washington Institute for Near East Policy.