Pendahuluan
Dataran Tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah, merupakan salah satu sentra utama penghasil biji kopi Arabika Gayo berkualitas tinggi. Sekitar 80% pasokan bahan baku kopi dunia untuk jaringan Starbucks berasal dari kopi Gayo. Aroma khas serta rasa lembut di lidah menjadikan kopi ini sebagai salah satu jenis Arabika terbaik di dunia. Bahkan, kopi Gayo telah mengantongi sertifikat Indikasi Geografis yang mengukuhkan cita rasanya sebagai kebanggaan nasional di pasar internasional. Keistimewaan tersebut memberikan nilai tersendiri bagi para petani, karena kopi menjadi simbol identitas sekaligus kekayaan alam yang luar biasa.
Namun, di balik popularitas dan pujian yang datang dari berbagai penjuru dunia, terdapat realitas yang berbeda. Para petani sebagai aktor utama di balik suksesnya kopi Gayo justru belum sepenuhnya menjadikan kopi sebagai tumpuan penghasilan. Banyak di antara mereka yang masih mengandalkan tanaman palawija seperti cabai, tomat, dan sayuran lainnya. Dengan kata lain, kopi tidak selalu dapat dijadikan sumber pendapatan utama, melainkan harus dilengkapi dengan komoditas pertanian lain.
Ketimpangan antara popularitas kopi Gayo dengan kesejahteraan petani menjadi persoalan mendasar. Sebagai gambaran, harga biji kopi mentah (green bean) di pasar lokal berkisar Rp140.000 per kilogram, bergantung pada kualitas dan jenis kopi. Sistem takaran yang digunakan juga unik, yaitu dengan satu tem setara sepuluh bambu atau sepuluh are. Namun, praktik ini kerap menimbulkan ketidakpastian (gharar), misalnya ketika kopi sengaja ditumpuk sedikit lebih tinggi pada tem tersebut.
Harga kopi merah gelondong pun fluktuatif, misalnya sekitar Rp200.000 per kaleng. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh jarak, kualitas, serta kurs dolar terhadap rupiah. Sayangnya, kenaikan harga di tingkat eksportir tidak selalu diikuti dengan peningkatan harga di tingkat petani. Akibatnya, terbentuk celah besar antara harga internasional dan harga lokal. Minimnya informasi tentang harga ekspor juga sering dimanfaatkan oleh oknum pengepul.
Kesulitan Transportasi dan Dampak Musim Hujan
Musim panen biasanya berlangsung antara September hingga Desember, yang sering disertai curah hujan tinggi. Kondisi ini menjadi tantangan berat bagi petani kecil, terutama mereka yang kebunnya berada jauh dari akses jalan layak. Jalan yang ekstrem, licin, dan berbahaya memperburuk keadaan.
Ketika hasil panen dibawa turun, para petani sering mendengar ungkapan yang menyesakkan hati: “kupi turun nge bang” (harga kopi turun), dengan alasan hujan yang terus mengguyur membuat proses penjemuran tidak stabil. Petani tidak memiliki pilihan lain selain menjual hasil panen saat itu juga, karena kebutuhan hidup tidak bisa ditunda. Situasi ini membuat mereka terpaksa menerima harga rendah yang ditetapkan pengepul, atau menghadapi risiko besar bila tetap membawa hasil panen melalui jalan rusak.
Keterbatasan Sarana Produksi dan Permodalan
Produktivitas kopi Gayo sebenarnya dapat dimaksimalkan, namun keterbatasan sarana produksi menjadi hambatan serius. Banyak petani tidak memiliki mesin pulper (pengupas kulit luar) maupun huller (pengupas kulit ari/parchment). Sementara itu, akses ke lembaga perbankan dan permodalan masih rendah. Celah ini dimanfaatkan oleh rentenir dan koperasi ilegal yang menawarkan pinjaman berbunga tinggi. Walaupun memberatkan, banyak petani terpaksa mengambil pinjaman tersebut karena tidak ada pilihan lain.
Perubahan Iklim terhadap Produktivitas
Ancaman lain datang dari perubahan iklim. Data Stasiun Meteorologi Sultan Iskandar Muda menunjukkan peningkatan suhu udara sebesar 0,3°C. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Tengah mencatat penurunan curah hujan dari 5.558,8 mm pada 2015 menjadi 2.310,38 mm pada 2023. Kondisi ini berdampak langsung pada produktivitas kopi.
Lahan perkebunan di ketinggian 800–1.200 mdpl tidak lagi ideal untuk kopi Arabika. Akibatnya, deforestasi untuk perluasan kebun meningkat, termasuk di kawasan hutan lindung. Kota Takengon kini terasa lebih panas, dan konflik antara pelestarian hutan serta ekspansi perkebunan menjadi ancaman ekosistem jangka panjang. Para ahli bahkan telah memperingatkan dampak negatifnya terhadap keberlanjutan kopi Gayo.
Upaya penegakan hukum dan sosialisasi harus diperkuat, termasuk dalam menangani praktik pembalakan liar (illegal logging) maupun pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Jika dibiarkan, masa depan kopi Gayo semakin terancam.
Ancaman Produktivitas
Hama penggerek buah kopi (PBKo, Hypothenemus hampei) menjadi momok serius bagi petani. Hama ini menyerang buah kopi merah segar, ditandai dengan perubahan warna menjadi kuning dan mudah rontok dari tangkainya. Serangan PBKo jelas menurunkan produktivitas panen.
Meski demikian, petani berusaha mencari solusi dengan mengembangkan sistem tanam pagar—metode penanaman berbaris untuk memaksimalkan lahan—serta memproduksi pupuk dan obat alami secara mandiri. Sikap mandiri inilah yang menjadi kekuatan moral petani dalam menghadapi berbagai tantangan.
Kesimpulan
Masalah-masalah yang dihadapi petani kopi Gayo harus menjadi perhatian serius semua pihak. Kopi Gayo telah mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional, maka wajar bila kesejahteraan petaninya juga harus menjadi prioritas.
Jika dunia bisa menikmati secangkir kopi Gayo dengan kenikmatan yang istimewa, maka para petani Gayo pun seharusnya dapat merasakan hasil kerja keras mereka dalam bentuk kesejahteraan. Kopi yang harum seharusnya tidak lahir dari peluh yang tak dihargai. Inilah refleksi bersama untuk memperjuangkan keadilan bagi petani kopi Gayo.
Sumber terkait:
https://share.google/o7yfYROlzEaLUwTzk
https://share.google/3FL2sjDKxlNKvsoUI
https://share.google/Z6HyS0uiqerlnEUXp
https://share.google/eS4VQcPRtaUNfcB4S
https://share.google/o7yfYROlzEaLUwTzk
(World Agroforestry Centre, Kopi Gayo Value Chain Report, 2019)


Leave a Reply