Grand Essay KBA13 Insight membuka skenario besar perjalanan Indonesia dari Return to Majapahit Era menuju risiko Balkanisasi (2025–2050), hingga lahirnya entitas baru: New Indonesia Country.

The New Indonesia Country (2050–2130) — Proyeksi Geopolitik Indonesia

Pendahuluan — The New Indonesia Country: Sebuah Proyeksi Geopolitik 2050–2130

Sejarah dunia tidak berjalan lurus, melainkan berputar dalam siklus panjang. Setiap tiga dekade, muncul peristiwa besar yang mengubah arah perjalanan peradaban: perang, krisis ekonomi, revolusi politik, atau guncangan sosial yang melahirkan tata dunia baru. Inilah pola yang saya telusuri sejak menulis Masa Depan Dunia dan Memahami Barat: ada keteraturan di balik kekacauan, ada pola 30 tahunan yang menandai perubahan besar dalam hubungan antarbangsa.

Indonesia pun tidak pernah keluar dari pola itu. Setelah kemerdekaan 1945, negeri ini melewati fase dekolonisasi, masa Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, Reformasi 1998, hingga fase pasca-2000 yang sering dihiasi dengan retorika kebangkitan kejayaan Nusantara. Saya menyebut fase itu sebagai Return to Majapahit Era: sebuah periode di mana bangsa ini meminjam simbol-simbol kejayaan masa lalu untuk meneguhkan identitasnya di panggung dunia. Retorika “poros maritim dunia”, gagasan memindahkan ibu kota ke Kalimantan, hingga kebanggaan sebagai anggota G20 adalah manifestasi dari fase tersebut.

Namun, simbol tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Di balik euforia simbolik, Indonesia masih menghadapi middle income trap, kualitas pendidikan yang timpang, demokrasi yang kian merosot, dan bonus demografi yang belum terserap dengan baik. Dengan kata lain, Return to Majapahit Era adalah fase romantisasi kejayaan, tetapi rapuh secara struktural. Ia lebih banyak memberi rasa percaya diri ketimbang kemampuan nyata untuk menjawab tantangan zaman.

Kini, sejak 2025, Indonesia memasuki fase baru yang lebih kompleks: fase yang saya sebut Balkanisasi Indonesia. Istilah ini bukan berarti negara otomatis pecah, tetapi menunjukkan meningkatnya risiko fragmentasi: ketidakadilan pusat-daerah, polarisasi politik, konflik identitas, hingga intervensi geopolitik dari luar negeri. Sejarah memberi pelajaran: bangsa besar bisa runtuh bukan karena kekalahan dari luar, melainkan karena keretakan dari dalam.

Di tengah itu semua, Indonesia menghadapi puncak bonus demografi pada 2030–2045. Populasi usia produktif mencapai 70 persen. Jika terserap dalam ekonomi produktif, ia bisa menjadi energi kebangkitan baru. Namun jika gagal, ia bisa menjadi “bom waktu” sosial: pengangguran, kriminalitas, radikalisasi, hingga revolusi. Arab Spring 2011 menjadi contoh nyata bagaimana generasi muda yang frustrasi bisa mengguncang rezim yang tampak stabil.

Selain faktor domestik, posisi geopolitik Indonesia yang berada di jantung Indo-Pasifik membuat negeri ini tidak bisa berdiam diri. Laut Cina Selatan, Selat Malaka, hingga kawasan Pasifik adalah titik-titik panas rivalitas kekuatan besar. Amerika Serikat, Cina, dan India menjadikan kawasan ini sebagai arena perebutan pengaruh. Indonesia bukan hanya penonton, tetapi arena proxy di mana kepentingan global bisa menjadikan kerentanan domestik sebagai titik masuk.

Oleh sebab itu, membaca Indonesia 2050 tidak cukup dengan lensa ekonomi nasional atau politik dalam negeri. Kita harus menempatkan Indonesia dalam kerangka skenario global 2050–2130, di mana AI, bioteknologi, dan krisis iklim akan mengubah makna manusia, negara, dan peradaban. Dunia sedang bergerak ke arah post-human civilization, sementara Indonesia masih berjuang meneguhkan dirinya di antara narasi kejayaan masa lalu, ancaman disintegrasi, dan peluang kelahiran baru.

Tesis besar dari esai ini sederhana namun tegas: Indonesia telah melewati fase Return to Majapahit Era, kini sedang menuju fase Balkanisasi (2025–2050), dan pada akhirnya akan melahirkan entitas baru yang saya sebut New Indonesia Country (2050–2130). Ini bukan ramalan kosong, melainkan hasil pembacaan panjang terhadap siklus sejarah, data demografi, tren ekonomi, dan dinamika geopolitik yang tengah berlangsung.

Dengan kesadaran itu, kita tidak hanya mempersiapkan diri untuk menghadapi krisis, tetapi juga merancang kemungkinan kelahiran kembali. Pertanyaan kuncinya adalah: apakah bonus demografi dan turbulensi politik akan menghancurkan Indonesia, atau justru menjadi fondasi bagi lahirnya sebuah bangsa baru yang lebih matang, adaptif, dan relevan dengan tantangan abad mendatang?

 

Return to Majapahit Era (2000–2025)

Indonesia pasca-Reformasi adalah sebuah bangsa yang mencoba berdiri kembali setelah gempa besar politik dan ekonomi. Runtuhnya Orde Baru memang membebaskan rakyat dari belenggu otoritarianisme, tetapi pada saat yang sama ia juga meruntuhkan narasi kebesaran yang selama puluhan tahun dipelihara oleh negara. Reformasi melahirkan kebebasan, namun juga membuka luka-luka lama: konflik identitas, ketidakadilan pembangunan, dan krisis kepercayaan terhadap institusi. Dalam kekosongan itu, para elite politik mencari simbol yang bisa membangkitkan kembali rasa percaya diri nasional. Mereka menemukannya pada sebuah kerajaan kuno yang selama berabad-abad hidup dalam imajinasi sejarah: Majapahit.

Majapahit dihidupkan kembali bukan sekadar sebagai artefak sejarah, melainkan sebagai metafora integrasi Nusantara. Di masa lalu, ia dikenang sebagai kerajaan maritim yang menguasai jalur perdagangan Asia, melampaui batas-batas etnis dan pulau. Di masa kini, ia dipinjam sebagai simbol persatuan, kejayaan, dan janji kebangkitan. Era Susilo Bambang Yudhoyono memperlihatkan kecenderungan itu dalam diplomasi: Indonesia diproyeksikan sebagai demokrasi Muslim terbesar di dunia, aktif dalam forum multilateral, tuan rumah KTT Asia-Afrika 2005, dan anggota G20 sejak 2008. Narasi kebesaran kembali dipentaskan. Namun, simbolisme Majapahit menemukan bentuk paling eksplisit di masa Joko Widodo. Dengan gagasan Poros Maritim Dunia pada 2014, Jokowi menegaskan Indonesia sebagai bangsa pelaut yang menghubungkan dua samudra. Dan pada 2019, ia melangkah lebih jauh: memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan, dipromosikan sebagai “pusat peradaban baru”. Semua ini adalah panggung simbolik: Indonesia diproyeksikan bukan sekadar negara berkembang, melainkan pewaris peradaban besar.

See also  Artificial Intelligence, Extraterrestrial Intelligence, and the Prospect of a New World Order by 2040

Namun, sebagaimana Majapahit yang jaya namun runtuh dari dalam, simbol-simbol kebesaran Indonesia modern juga menutupi kenyataan yang rapuh. Dua dekade terakhir, ekonomi Indonesia memang tumbuh rata-rata lima persen per tahun, menjadikannya kekuatan ke-16 dunia dengan PDB sekitar 1,3 triliun dolar AS pada 2023. Indonesia bertahan dari krisis global 2008 dan bahkan dari pandemi COVID-19. Namun di balik angka itu, GDP per kapita masih sekitar lima ribu dolar, jauh dari kategori negara maju. Pertumbuhan lebih digerakkan oleh konsumsi domestik ketimbang lonjakan produktivitas. Struktur industri tetap bergantung pada komoditas primer dan manufaktur sederhana. Dunia melihat Indonesia sebagai pasar besar, bukan sebagai pusat teknologi. Dengan kata lain, ekonomi tumbuh, tetapi tidak berubah.

Kekuatan simbol juga beradu dengan realitas demografi. Sejak 2012, Indonesia memasuki periode bonus demografi: mayoritas penduduk berada di usia produktif, dan pada 2030–2045 diperkirakan 70 persen rakyat adalah tenaga kerja potensial. Narasi resmi menyebut ini sebagai jendela emas menuju negara maju. Namun data berbicara lain. Pengangguran terbuka masih lebih dari lima persen, dengan mayoritas penganggur adalah pemuda. Tes PISA 2022 menempatkan literasi siswa Indonesia di peringkat 69 dari 81 negara. Generasi muda memang besar jumlahnya, tetapi kualitasnya belum siap bersaing. Inilah paradoks demografi: sebuah energi raksasa yang bisa menggerakkan peradaban, tetapi juga bisa menjadi bara yang memicu keruntuhan. Arab Spring 2011 adalah contoh paling jelas: bonus demografi yang tak terserap melahirkan revolusi politik yang mengguncang rezim. Indonesia berada pada jalur risiko yang sama.

Demokrasi pun tidak memberi jawaban. Setelah euforia Reformasi, Indonesia kini merosot ke kategori “Partly Free” dengan skor 56 dari 100 (Freedom House, 2024). Economist Intelligence Unit menurunkan indeks demokrasi Indonesia menjadi 6,44, menandai lemahnya fungsi pemerintahan. Pemilu tetap digelar, partai-partai tetap bersaing, rakyat tetap memilih. Tetapi substansi demokrasi tereduksi menjadi ritual elektoral, dikuasai oleh oligarki dan uang. Demokrasi semacam ini tidak memperkuat persatuan, justru memperdalam polarisasi identitas. Ia memberi panggung lima tahunan, tetapi tidak menyalakan legitimasi jangka panjang.

Lebih dalam lagi, ketimpangan sosial-ekonomi memperlihatkan retakan yang tak tertutupi oleh simbol. Jawa menyumbang lebih dari separuh ekonomi nasional, sementara Papua, Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi tertinggal jauh. BPS mencatat lebih dari 26 juta rakyat masih miskin pada 2022. Indeks pembangunan manusia menunjukkan kesenjangan: Bali dengan IPM tinggi, Papua dengan IPM jauh di bawah. Harapan hidup di Jawa mendekati 73 tahun, di Papua hanya 65 tahun. Ini bukan sekadar angka, melainkan legitimasi politik. Daerah yang merasa dieksploitasi tanpa mendapat keadilan pembangunan akan menyimpan api perlawanan. Aceh pernah membuktikannya, Papua masih mengalaminya, dan Maluku bisa mengulanginya.

Semua ini membuat Return to Majapahit Era bukan fase kebangkitan, melainkan fase senja. Indonesia memang tampil dengan simbol kebesaran: poros maritim, G20, ibu kota baru. Tetapi simbol hanyalah panggung, bukan fondasi. Ekonomi tumbuh, tetapi tidak bertransformasi. Bonus demografi hadir, tetapi bisa menjadi bom waktu. Demokrasi bertahan, tetapi tanpa substansi. Ketimpangan melebar, tetapi ditutupi retorika persatuan. Inilah ironi Return to Majapahit: sebuah masa yang indah dari luar, tetapi rapuh di dalam.

Kondisi ini adalah peringatan bahwa legitimasi simbolik tidak cukup untuk menopang republik. Bagi direktur intelijen, ini adalah sinyal kerentanan internal yang bisa meledak kapan saja. Keadaan tersebut juga merupakan tanda risiko yang harus dihitung dalam skenario geopolitik. Dengan kata lain, keadaan sepert ini adalah bukti klasik siklus sejarah: sebuah bangsa yang mencari kejayaan masa lalu justru sedang menuju persimpangan krisis. Return to Majapahit Era adalah panggung terakhir sebelum tirai jatuh, membuka babak berikutnya yang lebih keras: Balkanisasi Indonesia (2025–2050).

 

Balkanisasi Indonesia (2025–2050)

Tahun 2025 membuka babak baru bagi Indonesia. Jika fase 2000–2025 adalah panggung simbolik yang saya sebut Return to Majapahit Era, maka fase berikutnya adalah ujian eksistensial: risiko Balkanisasi. Bukan dalam arti langsung pecah menjadi negara-negara kecil, tetapi sebagai proses perlahan di mana fondasi persatuan terkikis oleh ketidakadilan struktural, polarisasi politik, kegagalan mengelola bonus demografi, dan intervensi geopolitik eksternal. Inilah masa ketika retakan yang selama dua dekade ditutupi oleh simbol-simbol persatuan mulai terbuka, dan setiap retakan itu dapat diperbesar oleh kepentingan global.

See also  Masa Depan Indonesia 2050: Analisis Think Tank Dunia, Skenario Geopolitik, Ekonomi, dan Ancaman Perpecahan

Indonesia memasuki 2025 dengan beban besar. Ekonomi masih berada di zona pertumbuhan menengah, GDP per kapita sekitar lima ribu dolar, jauh dari kategori negara maju. Bonus demografi mencapai titik kritis: lebih dari dua ratus juta jiwa usia produktif, tetapi sebagian besar masih terjebak dalam sektor informal dengan kualitas pendidikan rendah. Demokrasi tetap prosedural, tetapi tidak lagi memberi legitimasi substantif karena dominasi oligarki dan politik uang. Ketimpangan antarwilayah kian tajam: Jawa menguasai lebih dari separuh ekonomi, sementara Papua, Maluku, dan Kalimantan merasa dieksploitasi. Semua ini adalah faktor domestik yang, jika bertemu dengan krisis besar, dapat menjadi pemicu disintegrasi.

Risiko Balkanisasi semakin nyata karena faktor eksternal. Indonesia tidak hidup dalam ruang hampa, tetapi berada di jantung Indo-Pasifik, kawasan yang kini menjadi arena rivalitas global. Amerika Serikat mengonsolidasikan strategi Indo-Pacific untuk menahan kebangkitan Cina, sementara Cina mendorong Belt and Road Initiative yang menempatkan Nusantara sebagai jalur vital. Laut Cina Selatan, Selat Malaka, hingga Natuna adalah titik panas yang menempatkan Indonesia dalam posisi strategis, tetapi sekaligus rapuh. Sejarah menunjukkan, setiap negara besar yang retak dari dalam akan menjadi target intervensi. Eks-Yugoslavia dipecah bukan hanya oleh kebencian etnis, tetapi juga oleh intervensi NATO dan kepentingan geopolitik Eropa. Ethiopia dan Sudan hari ini menjadi contoh bagaimana konflik internal diperparah oleh permainan kekuatan global. Indonesia, dengan ukuran raksasa dan posisi strategis, akan menjadi lebih dari sekadar contoh: ia bisa menjadi hadiah geopolitik bagi siapa pun yang berhasil memecahkannya.

Bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang justru dapat mempercepat Balkanisasi. Generasi muda yang besar jumlahnya bisa menjadi motor pembangunan jika ada lapangan kerja dan pendidikan yang memadai. Tetapi jika tidak, mereka akan menjadi massa frustrasi, mudah dimobilisasi oleh narasi populis, sektarian, atau bahkan agenda asing. Arab Spring menjadi preseden: demografi muda yang tidak terserap melahirkan revolusi yang mengguncang rezim. Di Indonesia, frustrasi demografis bisa berubah menjadi energi destruktif. Polarisasi politik yang selama ini terbatas di ruang media sosial bisa berubah menjadi konflik nyata di jalanan, terutama jika dikombinasikan dengan sentimen agama atau etnis.

Di Papua, Maluku, dan bahkan Kalimantan, ketidakadilan pembangunan bisa menjadi bahan bakar separatisme. Daerah kaya sumber daya tetapi miskin pembangunan akan melihat Jakarta bukan sebagai pusat persatuan, tetapi sebagai penjajah baru. Aceh memang sudah berdamai melalui MoU Helsinki, tetapi pengalaman sejarahnya membuktikan betapa mudahnya luka lama dibuka kembali jika rasa keadilan hilang. Balkanisasi bukan berarti setiap daerah langsung memisahkan diri, tetapi munculnya kecenderungan otonomi radikal, desentralisasi ekstrem, bahkan tuntutan konfederasi. Jika hal itu terjadi, Indonesia akan memasuki jalur yang sama dengan eks-Yugoslavia: dari negara besar multietnis menjadi mosaik yang rapuh.

Di tingkat global, Balkanisasi Indonesia adalah skenario yang bisa dimanfaatkan oleh kekuatan besar. Amerika Serikat mungkin akan memanfaatkan keretakan Indonesia untuk memperkuat kehadiran militernya di Indo-Pasifik. Cina, di sisi lain, bisa mendukung faksi-faksi tertentu untuk mengamankan jalur maritim vitalnya. India, Jepang, dan Australia tidak akan tinggal diam. Bahkan kekuatan menengah seperti Arab Saudi, Turki, dan Iran bisa masuk dengan narasi agama. Setiap retakan domestik bisa menjadi pintu masuk bagi proxy war.

Indonesia pada periode 2025–2050, dengan demikian, berada pada fase yang paling menentukan dalam sejarahnya. Jika berhasil mengelola bonus demografi, membenahi ketimpangan, memperkuat demokrasi substantif, dan menjaga posisi strategis di Indo-Pasifik, ia bisa selamat dari Balkanisasi. Tetapi jika gagal, Balkanisasi bukan sekadar risiko, melainkan keniscayaan. Retakan internal akan diperbesar oleh kepentingan eksternal, dan Indonesia akan mengalami apa yang dialami banyak negara besar sebelumnya: pecah dari dalam, dipercepat oleh intervensi luar.

Fase ini adalah ujian kepemimpinan yang sesungguhnya: bukan hanya menjaga popularitas, tetapi memastikan keberlangsungan republik. Balkanisasi berarti ancaman multidimensi yang memerlukan strategi kontra-fragmentasi, dari Papua hingga Laut Cina Selatan. Ini adalah skenario masa depan yang harus diperhitungkan dalam kalkulasi global.Bagi sebagai para ilmuwan mungkin Balkanisasi Indonesia adalah laboratorium hidup tentang bagaimana peradaban besar bisa runtuh bukan karena kekalahan militer, tetapi karena kegagalan mengelola rumahnya sendiri.

Fase Balkanisasi 2025–2050 adalah malam yang mengikuti senja Majapahit. Pertanyaannya bukan apakah malam itu datang, tetapi bagaimana bangsa ini akan melewatinya: sebagai negara yang retak dan hancur, atau sebagai bangsa yang belajar dari krisis untuk melahirkan diri yang baru.

New Indonesia Country (2050–2130)

Jika fase 2000–2025 adalah panggung simbolik, dan 2025–2050 adalah masa malam panjang yang penuh keretakan, maka 2050 membuka pertanyaan baru: apakah Indonesia masih ada, dan jika ada, dalam bentuk apa? Sejarah memberi pelajaran bahwa setiap bangsa besar yang melewati fase disintegrasi selalu memiliki dua kemungkinan: hancur menjadi serpihan, atau lahir kembali sebagai entitas baru dengan kontrak sosial yang berbeda. Dari titik inilah saya mengajukan gagasan tentang New Indonesia Country: sebuah Indonesia baru yang lahir pasca-krisis, entah dalam bentuk negara-bangsa yang lebih kecil, federasi, konfederasi, atau bahkan entitas politik baru yang tidak lagi sepenuhnya menyerupai negara modern.

See also  Aceh 2050: Visi, Harapan, dan Tantangan Masa Depan Menuju Era Keemasan

Pada 2050, puncak bonus demografi telah lewat. Generasi muda 2030-an telah menjadi generasi tua. Jika periode Balkanisasi menghasilkan konflik, krisis ekonomi, atau fragmentasi politik, maka generasi 2050 adalah generasi yang hidup di atas reruntuhan republik lama. Namun justru dari reruntuhan itu, ada kemungkinan lahirnya sesuatu yang baru. New Indonesia Country bisa tampil sebagai entitas politik yang lebih realistis: mungkin federasi longgar dengan otonomi luas, mungkin sebuah “uni nusantara” di mana daerah-daerah memiliki kedaulatan signifikan tetapi tetap berada dalam kerangka bersama, atau mungkin sebuah negara kecil yang lebih homogen tetapi lebih stabil.

Kemungkinan pertama adalah lahirnya Indonesia Baru Federal. Ini skenario optimis: negara tidak bubar total, tetapi bertransformasi menjadi federasi modern. Aceh, Papua, Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi diberi otonomi penuh dalam mengelola sumber daya, sementara Jakarta atau ibu kota baru hanya menjadi pusat koordinasi. Dalam skenario ini, Indonesia belajar dari kesalahan masa lalu: sentralisasi yang berlebihan. Federasi memberi ruang bagi keragaman, meredam separatisme, sekaligus menjaga identitas bersama. Negara tidak lagi Jawa-sentris, tetapi benar-benar Nusantara-sentris.

Kemungkinan kedua adalah Indonesia Pecah. Ini skenario pesimistis, di mana Balkanisasi 2025–2050 benar-benar menghancurkan struktur negara. Papua merdeka, Aceh berdiri sendiri, Maluku dan Kalimantan membentuk entitas baru. Indonesia yang tersisa hanya Jawa, Bali, dan sebagian Sumatra. Dalam skenario ini, Indonesia tidak lebih dari sebuah nama historis, sebuah memori yang dipelajari anak-anak di sekolah sebagai kisah kejayaan yang telah lalu. Dunia akan memperlakukan kawasan ini seperti eks-Yugoslavia: sebuah bangsa besar yang tinggal serpihan.

Namun ada juga kemungkinan ketiga, yang saya sebut Indonesia Transformatif. Dalam skenario ini, Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi melahirkan identitas baru yang lebih adaptif. Pasca-2050, dunia telah memasuki fase post-human civilization. AI, bioteknologi, dan krisis iklim mendefinisikan ulang makna negara dan kewarganegaraan. Dalam situasi itu, New Indonesia Country bisa tampil sebagai laboratorium peradaban baru: sebuah negara kepulauan hijau dengan energi terbarukan, tata kelola berbasis AI, dan nilai-nilai Islam Nusantara yang moderat. Bukan lagi negara-bangsa tradisional, tetapi entitas hybrid: separuh negara, separuh jaringan global.

Dalam setiap skenario, faktor eksternal tetap dominan. Dunia pasca-2050 tidak hanya ditentukan oleh politik domestik, tetapi oleh konfigurasi global. Rivalitas AS–Cina yang memuncak pada 2040-an mungkin melahirkan tatanan dunia baru. India akan naik sebagai kekuatan demografi terbesar. Uni Eropa mungkin melemah, Afrika mungkin menjadi pusat pertumbuhan baru. Dalam dunia seperti itu, Indonesia tidak bisa sekadar bertahan; ia harus memilih peran. New Indonesia Country bisa menjadi mitra strategis kekuatan besar, atau sekadar periphery yang terus-menerus dieksploitasi.

Kunci masa depan adalah generasi pasca-bonus demografi. Generasi 2050 adalah generasi yang lahir dari krisis Balkanisasi, tetapi justru karena itu, mereka bisa menjadi founding fathers baru. Seperti generasi 1945 yang mendirikan republik setelah Perang Dunia, generasi ini akan menulis ulang kontrak sosial. Pertanyaannya: apakah mereka akan menulisnya dalam semangat kebangkitan, atau sekadar menerima Indonesia sebagai catatan kaki sejarah.

 Di masa depan, New Indonesia Country bukan pilihan, melainkan konsekuensi. Ia adalah tantangan: menjaga integrasi baru dalam dunia yang lebih cair. Keadaan ini merupakan peluang: mendesain tata kelola yang sesuai dengan realitas pasca-manusia. Kita dapat memandang bahwa  New Indonesia Country adalah bukti bahwa bangsa besar tidak pernah mati begitu saja; mereka bereinkarnasi, lahir kembali dalam bentuk baru.

Dengan demikian, fase 2050–2130 bukanlah akhir dari Indonesia, tetapi pertanyaan ulang tentang Indonesia. Apakah ia akan lenyap sebagai Majapahit modern, ataukah ia akan muncul kembali sebagai peradaban baru yang lebih tangguh. Jawaban itu tidak bisa ditemukan di masa lalu; ia harus ditulis oleh mereka yang hidup di masa depan.

 

 

 

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *