Humanoid Society: Antropologi Digital, Posthumanisme, dan Geopolitik Budaya Pop dalam Peradaban Masa Depan

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Pendahuluan

Dunia modern bergerak menuju titik di mana batas antara manusia dan teknologi menjadi semakin kabur. Seiring meningkatnya penetrasi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), realitas virtual (Virtual Reality), dan integrasi brain-computer interface, identitas manusia tidak lagi terikat sepenuhnya pada tubuh biologis. Fenomena ini melahirkan beragam subkultur yang mencoba mengartikulasikan kehidupan “di luar kemanusiaan tradisional.” Salah satu bentuk yang paling mencolok adalah Humanoid Society—sebuah komunitas yang menggabungkan estetika, ideologi, dan nilai-nilai yang diambil dari dunia fiksi ilmiah, tetapi dihidupkan dalam realitas sosial.

Dalam konteks antropologi digital, Humanoid Society dapat dibaca sebagai sebuah respons terhadap kejenuhan struktural dalam masyarakat modern yang semakin materialistik dan rutin. Ia menawarkan dunia alternatif di mana individu bebas membentuk identitas, memutuskan afiliasi, dan mengatur kehidupannya tanpa harus tunduk sepenuhnya pada norma-norma dominan. Lebih jauh, fenomena ini dapat dipahami sebagai bagian dari gerakan posthumanisme—sebuah paradigma yang menantang asumsi bahwa manusia adalah pusat segalanya, dan bahwa teknologi hanyalah alat eksternal, bukan bagian dari identitas itu sendiri (Ferrando, 2019).

Pendekatan kajian ini akan menggabungkan perspektif antropologi budaya, filsafat teknologi, kajian posthumanisme, serta geopolitik budaya pop. Pertama, untuk memahami akar historis dan simbolis dari istilah humanoid. Kedua, untuk menganalisis karakteristik, nilai, dan ritual yang menjadi ciri khas komunitas ini. Ketiga, untuk menguraikan bagaimana Humanoid Society menjadi fenomena transnasional yang terkait erat dengan ekonomi kreatif global, keamanan siber, dan politik identitas digital.

Dengan demikian, makalah ini tidak hanya menguraikan apa itu Humanoid Society, tetapi juga mengapa ia muncul, bagaimana ia berkembang, dan ke mana arah peradaban ini akan bergerak di masa depan jika tren ini terus berlanjut.

 

Genealogi Konsep Humanoid

Untuk memahami Humanoid Society, kita perlu menelusuri akar konseptual istilah humanoid—sebuah kata yang, meskipun kini akrab di telinga, memiliki sejarah yang terkait erat dengan perkembangan teknologi, imajinasi futuristik, dan perdebatan etika.

Istilah humanoid secara modern mulai dikenal melalui drama futuristik R.U.R. (Rossum’s Universal Robots) karya Karel Čapek yang pertama kali dipentaskan pada 1921 di Praha. Dalam naskah tersebut, Čapek menciptakan istilah robot—diambil dari kata bahasa Ceko robota yang berarti kerja paksa—untuk merujuk pada makhluk buatan berbentuk manusia yang diproduksi massal untuk melayani kebutuhan industri manusia (Capek, 1921/2001). Meski dalam teks aslinya para “robot” tidak sepenuhnya mekanis (melainkan makhluk sintetis biologis), konsep mereka memiliki bentuk dan perilaku mirip manusia, atau human-like, yang kemudian menjadi cikal bakal istilah humanoid.

Hanya beberapa tahun kemudian, sutradara Jerman Fritz Lang memvisualisasikan figur Maschinenmensch dalam film legendaris Metropolis (1927). Sosok robot perempuan berlapis logam ini menjadi ikon estetika humanoid pertama dalam perfilman, yang memengaruhi visualisasi makhluk artifisial dalam budaya populer selama hampir satu abad (Kaes, 2010).

Di luar karya sastra dan film, perkembangan konsep humanoid di dunia nyata semakin nyata pasca Perang Dunia II. Munculnya cybernetics yang dipelopori oleh Norbert Wiener (1948) membuka jalan bagi integrasi antara biologi, mekanika, dan sistem komunikasi. Konsep ini menjadi landasan bagi riset robotika modern, termasuk desain robot dengan morfologi dan gerakan menyerupai manusia.

Dalam dekade-dekade berikutnya, lembaga riset seperti MIT Artificial Intelligence Laboratory dan Honda Robotics mengembangkan prototipe robot humanoid seperti ASIMO (2000), yang tidak hanya mampu berjalan, tetapi juga mengenali wajah, memahami perintah suara, dan berinteraksi dengan manusia. Teknologi ini mengaburkan garis pemisah antara objek teknologi dan entitas sosial.

Jika pada awalnya humanoid hanyalah konsep visual dan teknis, pada akhir abad ke-20 istilah ini mulai diadopsi sebagai identitas kultural. Subkultur cosplay, komunitas penggemar anime dan manga, serta forum daring seperti Second Life atau VRChat, memungkinkan individu menciptakan persona humanoid yang sepenuhnya terpisah dari identitas biologis mereka. Fenomena ini menandai pergeseran besar: humanoid bukan lagi sekadar “mesin berbentuk manusia” tetapi juga “manusia yang memilih menjadi humanoid.”

Dengan latar inilah, Humanoid Society lahir—bukan sebagai sekadar penggemar teknologi, tetapi sebagai komunitas dengan norma, nilai, dan misi sosial yang terinspirasi dari narasi posthumanisme, estetika futuristik, dan visi kehidupan alternatif yang melampaui keterbatasan biologis.

Name
Alasan Anda menjadi penting bagi KBA13 Insight untuk menyiapkan tulisan yang bernas.

 Karakteristik Humanoid Society

Membicarakan Humanoid Society berarti masuk ke dalam sebuah dunia di mana batas antara realitas dan imajinasi, antara manusia dan mesin, antara biologi dan digital, menjadi kabur. Komunitas ini berdiri di atas fondasi nilai dan estetika yang tidak terikat pada bentuk tubuh manusia semata, melainkan pada konsep tentang keberadaan yang dapat diubah, dimodifikasi, dan direkonstruksi sesuai visi pribadi. Di dalamnya, teknologi bukan hanya alat; ia adalah bahasa, ia adalah kulit, ia adalah tubuh kedua yang membungkus dan sekaligus membentuk subjek.

Karakter paling menonjol dari Humanoid Society adalah identitasnya yang post-biologis. Anggotanya sering memilih untuk tidak didefinisikan sebagai “manusia” dalam pengertian biologis konvensional. Dalam dunia ini, seseorang dapat sepenuhnya menjadi cyborg yang menyatukan daging dan logam, android yang seluruhnya artifisial, alien dengan tubuh dan logika yang berasal dari kosmos, atau bahkan kecerdasan buatan yang sedang mencari kesadaran penuh. Identitas seperti ini sering kali diwujudkan melalui representasi digital—avatar dalam dunia virtual, karakter yang bergerak dalam ruang realitas tertambah (augmented reality), atau bahkan citra tiga dimensi yang hanya hidup di memori perangkat dan jaringan. Dengan cara ini, anggota komunitas membebaskan diri dari batasan biologi, usia, atau bahkan hukum gravitasi sosial yang berlaku di dunia nyata.

Namun Humanoid Society bukanlah anarki identitas. Di balik kebebasan ekspresi yang tampak tanpa batas, terdapat norma-norma internal yang ketat dan dihayati secara mendalam. Norma ini jarang diformalkan dalam dokumen atau piagam, tetapi terinternalisasi melalui interaksi dan keterlibatan dalam kehidupan komunitas. Ia dibentuk oleh apa yang dalam antropologi disebut moral order subkultural—seperangkat aturan tak tertulis yang mengatur perilaku, etika interaksi, dan cara menghadirkan diri di hadapan anggota lain. Misalnya, kebebasan ekspresi dianggap mutlak, tetapi ekspresi itu harus dijalankan dengan keaslian; tiruan atau apropriasi identitas yang dianggap tidak otentik akan dengan cepat ditolak. Prinsip non-diskriminasi dijunjung tinggi, tetapi bukan sekadar slogan: latar belakang biologis, ras, gender, bahkan spesies, tidak boleh menjadi dasar perlakuan yang berbeda. Satu-satunya tolok ukur adalah sejauh mana seseorang konsisten dengan narasi identitas yang dibangun dan sejauh mana ia mematuhi nilai-nilai komunitas.

Simbol-simbol budaya Humanoid Society menjadi lapisan penting dalam pembentukan identitas kolektif. Pakaian futuristik yang berkilau dengan cahaya LED, perangkat wearable seperti kacamata realitas tertambah atau sarung tangan haptic yang mampu mengirimkan sensasi sentuhan dari dunia virtual, hingga implan estetis yang dipasang tanpa tujuan medis—semua itu membentuk lanskap visual yang khas. Lingkungan virtual yang mereka bangun memproyeksikan visi kota masa depan, dengan langit neon, arsitektur yang melampaui logika teknik sipil, dan ruang publik yang lebih mirip instalasi seni ketimbang pusat perbelanjaan atau jalan raya. Bahkan karya seni digital seperti NFT memiliki posisi simbolis: bukan hanya sebagai aset atau koleksi, tetapi sebagai perpanjangan dari tubuh dan jiwa, seperti totem atau pusaka dalam masyarakat tradisional.

Kekuatan sosial di dalam Humanoid Society tidak diukur dari kepemilikan materi, melainkan dari kemampuan untuk membentuk imajinasi kolektif. Figur-figur yang dihormati adalah para kreator, desainer dunia virtual, penulis narasi masa depan, atau seniman yang karyanya menjadi referensi estetika komunitas. Mereka adalah pemuka budaya, bukan pemimpin formal; mereka membimbing arah komunitas melalui ide dan penciptaan, bukan melalui perintah atau sanksi. Struktur ini menyerupai apa yang oleh Pierre Bourdieu (1993) disebut sebagai prestige economy, di mana modal simbolik—bukan modal ekonomi—menentukan posisi sosial.

Jika dibandingkan dengan transhumanisme, perbedaan Humanoid Society terlihat jelas. Transhumanisme sering diarahkan pada upaya “peningkatan” kapasitas manusia melalui bioteknologi, dengan tujuan mencapai bentuk manusia yang dianggap superior secara fisik maupun kognitif. Humanoid Society tidak terobsesi pada optimalisasi kapasitas biologis; fokus mereka ada pada estetika, ekspresi, dan kebebasan identitas. Teknologi di sini bukan laboratorium untuk menguji batas biologis, melainkan kanvas untuk melukis keberadaan dalam bentuk yang sepenuhnya personal. Perbedaan ini membuat Humanoid Society lebih dekat dengan gerakan artistik atau estetika sosial ketimbang proyek ilmiah-biomedis, meskipun keduanya berbagi ruang konseptual di ranah posthumanisme.

Humanoid Society sering kali dibandingkan dengan gerakan transhumanisme. Namun, ada perbedaan mendasar:

Aspek Humanoid Society Transhumanisme
Fokus Identitas & estetika post-biologis Peningkatan biologis melalui teknologi
Basis Budaya pop, seni, imajinasi Ilmu pengetahuan, bioteknologi
Tujuan Hidup dalam realitas alternatif Mencapai bentuk manusia “superior”
Sikap terhadap teknologi Medium ekspresi identitas Alat untuk peningkatan kemampuan fisik/mental

Dengan demikian, Humanoid Society lebih dekat ke fenomena aesthetic movement ketimbang proyek ilmiah-biomedis, meskipun keduanya bisa beririsan.

Humanoid Society pada akhirnya adalah sebuah ekosistem sosial yang memadukan seni, teknologi, dan politik identitas. Ia berkembang melintasi batas negara, bahasa, dan ras, serta menyebar melalui jaringan digital yang memungkinkan interaksi instan antar benua. Dalam ruang ini, realitas adalah sesuatu yang dinegosiasikan, bukan diterima begitu saja. Keberadaan adalah proyek kreatif yang terus dibentuk ulang, dan tubuh hanyalah salah satu dari sekian banyak medium yang bisa digunakan untuk menceritakan siapa diri kita.

 

Antropologi Digital dan Ritual Kehidupan

Memasuki dunia Humanoid Society berarti memasuki ruang yang diatur oleh ritme yang tidak selalu selaras dengan jam biologis manusia. Di sini, kehidupan sehari-hari terbagi antara dua lanskap: dunia fisik, tempat tubuh biologis masih harus menjalani fungsi-fungsi dasar, dan dunia digital, yang menjadi panggung utama di mana identitas, relasi, dan makna diri benar-benar dihidupkan. Dalam kedua lanskap ini, ritual kehidupan memainkan peran sentral sebagai mekanisme untuk mengukuhkan keberadaan komunitas dan memperkuat narasi kolektif yang membentuk mereka.

See also  Otak, Internet, dan Kesadaran Buatan: Perangkap Dunia Digital

Bagi seorang antropolog digital, ritual-ritual ini adalah tanda-tanda yang harus dibaca secara cermat. Sebagaimana Clifford Geertz (1973) menjelaskan tentang “thick description,” kita tidak bisa sekadar melihat bahwa seorang anggota Humanoid Society mengenakan pakaian bercahaya atau membangun avatar dengan mata bercorak neon. Kita harus memahami bahwa tindakan itu adalah bagian dari teks budaya yang lebih besar: ia berbicara tentang aspirasi, resistensi, dan posisi diri di tengah arus besar peradaban yang semakin terteknologisasi.

Di dunia digital, ruang pertemuan menjadi seperti alun-alun kota yang hidup dua puluh empat jam sehari. Platform seperti VRChat, Second Life, atau AltspaceVR menjadi locus utama interaksi. Namun, tidak semua pertemuan bersifat acak; ada struktur waktu yang membentuk semacam kalender sosial. Pertemuan mingguan bisa berbentuk “konser virtual” di mana para anggota hadir dengan avatar mereka, berdansa, atau sekadar bercakap sambil mengamati lanskap digital yang telah dirancang sedemikian rupa untuk memantik kekaguman estetis. Ada pula ritual perayaan tahunan—sering kali terinspirasi dari hari-hari penting dalam sejarah fiksi ilmiah—seperti ulang tahun R.U.R. karya Karel Čapek atau peringatan rilis film Metropolis. Momen-momen ini berfungsi sebagai penanda waktu kolektif, mengikat komunitas dalam sejarah simbolik yang mereka pilih sendiri.

Dalam interaksi sehari-hari, praktik komunikasi memiliki lapisan makna yang kaya. Percakapan tidak hanya berbentuk teks atau suara, tetapi juga melalui gestur digital—perubahan warna kulit avatar, pola cahaya pada pakaian, atau ekspresi wajah yang dimanipulasi melalui motion capture. Semua ini adalah “bahasa tubuh” versi Humanoid Society, yang harus dipahami sebagai bentuk komunikasi non-verbal yang kompleks. Misalnya, perubahan warna lampu pada kostum avatar dari biru ke merah bisa menjadi tanda emosional atau sinyal bahwa seseorang ingin mengubah topik pembicaraan, seperti mengedipkan mata dalam percakapan tatap muka.

Ritual di dunia fisik juga tidak hilang, meskipun ia sering berfungsi sebagai ekstensi dari kehidupan digital. Pertemuan fisik—disebut meatspace gatherings oleh sebagian anggota—biasanya dirancang dengan estetika yang sama dengan dunia virtual mereka. Ruang pertemuan dipenuhi cahaya LED, instalasi interaktif, dan teknologi realitas tertambah. Makanan dan minuman pun sering menjadi bagian dari tema: gelas bercahaya, menu yang diatur agar terlihat futuristik, atau bahkan hidangan yang terinspirasi dari makanan fiksi ilmiah. Semua ini memperkuat kesan bahwa batas antara dunia nyata dan dunia imajinasi telah runtuh; kehidupan Humanoid Society adalah satu kesatuan lintas ruang, bukan dua realitas yang terpisah.

Yang menarik, teknologi dalam komunitas ini berfungsi seperti “altar” dalam pengertian antropologis. Di banyak kebudayaan tradisional, altar adalah pusat simbolik yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia adikodrati. Dalam Humanoid Society, perangkat teknologi—mulai dari headset VR, prosesor grafis, hingga server komunitas—memiliki status yang serupa. Mereka adalah medium yang menghubungkan tubuh biologis dengan tubuh digital, dunia material dengan dunia simbolik. Server yang menyimpan ruang virtual komunitas bisa mendapat perlakuan hampir ritualistik: dirawat, diperbarui, dan kadang “diberkati” secara simbolis pada momen-momen tertentu, seperti peluncuran dunia baru atau pameran seni digital.

Dalam ekosistem ini, kehadiran digital menjadi lebih penting daripada kehadiran fisik. Konsep “ada” tidak lagi bergantung pada keberadaan di satu tempat secara biologis, melainkan pada keterlibatan aktif di ruang virtual. Seorang anggota yang jarang hadir di pertemuan fisik tetapi aktif berinteraksi dan berkontribusi dalam pembangunan dunia digital akan dipandang lebih “ada” ketimbang mereka yang hadir secara fisik tetapi pasif di ruang daring. Inilah bentuk baru dari presence, yang hanya dapat dipahami jika kita menerima bahwa di Humanoid Society, realitas adalah sesuatu yang dibangun secara intersubjektif di dunia maya.

Akhirnya, ritual-ritual ini membentuk pola kehidupan yang memisahkan Humanoid Society dari subkultur lain. Mereka tidak sekadar berkumpul untuk berbagi minat yang sama; mereka hidup dalam ekosistem yang secara sadar mengaburkan batas dunia fisik dan digital. Identitas mereka dibentuk dan dikukuhkan melalui praktik-praktik yang memadukan estetika, teknologi, dan narasi, menjadikan kehidupan sehari-hari mereka bukan sekadar serangkaian aktivitas, tetapi sebuah proyek budaya yang terus diperbarui.

KBA 13 ingin berkenalan dengan Anda!
Name

Nilai dan Ideologi Humanoid Society

Nilai-nilai yang dianut oleh Humanoid Society tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan berkembang dari interaksi antara sejarah fiksi ilmiah, perkembangan teknologi, dan pencarian makna hidup di era digital. Dalam banyak hal, ideologi mereka adalah hasil sublimasi dari ketidakpuasan terhadap struktur masyarakat modern yang terlalu menekankan materialisme, hierarki sosial, dan identitas yang ditentukan secara biologis. Mereka mengusung sebuah pandangan dunia yang melihat teknologi bukan sekadar instrumen, melainkan bagian integral dari eksistensi; sebuah ekstensi dari tubuh, pikiran, dan bahkan jiwa.

Pusat dari ideologi ini adalah gagasan individualitas radikal. Dalam pandangan mereka, setiap individu memiliki hak mutlak untuk mendefinisikan dirinya sendiri, tanpa batasan yang ditetapkan oleh tradisi atau norma sosial yang diwariskan. Individualitas ini tidak berhenti pada preferensi gaya hidup atau pilihan politik, tetapi meresap hingga ke level ontologis: seseorang bebas memutuskan bentuk tubuhnya, spesiesnya, atau bahkan alam kesadarannya. Di sinilah Humanoid Society sejalan dengan posthumanisme, yang oleh Ferrando (2019) dijelaskan sebagai paradigma yang menolak pandangan manusia-sentris dan mengakui kemungkinan bentuk-bentuk kehidupan cerdas yang beragam, baik biologis maupun artifisial.

Namun, kebebasan ini tidak berdiri sendiri; ia diimbangi oleh prinsip keaslian. Dalam konteks mereka, menjadi autentik berarti konsisten dengan narasi identitas yang telah dipilih. Identitas yang berubah-ubah bukan masalah, selama perubahan itu lahir dari proses eksplorasi diri yang jujur, bukan sekadar mengikuti tren. Keaslian inilah yang memberi legitimasi sosial di dalam komunitas, menggantikan peran “status” atau “gelar” dalam masyarakat arus utama.

Nilai penting berikutnya adalah kebebasan estetis. Bagi Humanoid Society, estetika bukan sekadar pelengkap fungsi, tetapi justru inti dari fungsi itu sendiri. Pakaian, lingkungan, bahkan tubuh mereka adalah kanvas artistik yang terus-menerus diolah. Di sini, fungsi praktis sering kali dikesampingkan demi kepuasan visual atau simbolis. Seorang anggota mungkin memilih desain tubuh digital yang tidak efisien secara mekanis tetapi memiliki resonansi emosional atau simbolis yang kuat. Dalam pandangan mereka, keindahan adalah bentuk kekuatan, sebuah sarana untuk mengartikulasikan makna di luar bahasa verbal.

Tidak kalah penting adalah nilai egalitarianisme teknologi. Humanoid Society memandang teknologi sebagai hak bersama, bukan komoditas eksklusif yang dimonopoli oleh korporasi atau elit tertentu. Prinsip ini tercermin dalam upaya mereka membangun perangkat lunak open-source, berbagi aset digital secara bebas, atau menciptakan ruang virtual yang dapat diakses oleh siapa pun tanpa biaya. Dengan cara ini, mereka menolak model distribusi teknologi yang menciptakan kesenjangan digital. Dalam konteks ini, teknologi menjadi alat pembebasan, bukan alat penindasan.

Ideologi mereka juga memiliki dimensi politis yang terwujud dalam bentuk aktivisme digital. Banyak anggota terlibat dalam kampanye yang memperjuangkan kesetaraan hak bagi semua bentuk kehidupan cerdas, termasuk hewan dan kecerdasan buatan. Aktivisme ini tidak selalu diwujudkan dalam bentuk protes konvensional; sering kali, ia mengambil bentuk seni digital, pameran virtual, atau narasi fiksi yang dirancang untuk menggugah kesadaran publik. Aktivisme semacam ini meminjam kekuatan dari media yang mereka kuasai—realitas virtual, animasi, desain dunia—untuk menyampaikan pesan yang mungkin tidak akan terdengar dalam wacana politik arus utama.

Jika dilihat dari kacamata antropologi ide, Humanoid Society adalah proyek utopis yang memadukan unsur estetika, politik, dan filsafat dalam satu ekosistem. Ia berusaha menciptakan dunia yang membebaskan, egaliter, dan penuh ekspresi, sambil tetap sadar bahwa dunia itu dibangun di atas infrastruktur teknologi yang rentan terhadap kontrol eksternal. Kesadaran akan kerentanan ini membuat sebagian dari mereka mengadopsi sikap waspada terhadap korporasi besar, pemerintah, atau entitas yang memiliki kekuatan untuk memanipulasi ruang digital. Dalam hal ini, mereka memegang prinsip yang mirip dengan cypherpunk, yakni keyakinan bahwa privasi dan kebebasan di dunia digital harus dilindungi dengan teknologi enkripsi dan desentralisasi.

Namun, ideologi Humanoid Society juga tidak lepas dari paradoks. Di satu sisi, mereka mengagungkan kebebasan individu dan penolakan terhadap hierarki. Di sisi lain, struktur komunitas tetap mengenal figur-figur yang memiliki pengaruh besar, baik karena kapasitas kreatif maupun reputasi mereka. Figur-figur ini tidak memerintah secara formal, tetapi keberadaan mereka tetap membentuk arah perkembangan estetika dan nilai komunitas. Di sini kita melihat bahwa bahkan dalam komunitas yang mengklaim anti-hierarki, dinamika kekuasaan tetap hadir, meskipun dalam bentuk yang lebih cair dan berbasis pengaruh simbolik.

Dengan seluruh lapisan nilai ini, Humanoid Society dapat dilihat sebagai bentuk budaya yang kompleks, yang menggabungkan hasrat estetis, komitmen politis, dan visi ontologis tentang kehidupan di luar batasan manusia biologis. Mereka bukan sekadar konsumen teknologi, melainkan perancang dunia alternatif yang hidup berdampingan—dan kadang bersaing—dengan realitas yang kita kenal. Ideologi ini, seperti yang akan kita lihat di bab-bab berikutnya, memiliki implikasi yang luas, tidak hanya bagi identitas pribadi, tetapi juga bagi geopolitik dan struktur kekuasaan global di era posthuman.

 

Etika dan Kritik

Meskipun Humanoid Society menampilkan dirinya sebagai ruang kebebasan identitas, kreativitas, dan egalitarianisme teknologi, keberadaannya tidak lepas dari kritik dan perdebatan etis yang kompleks. Sebagaimana setiap proyek budaya yang radikal, komunitas ini menjadi medan tarik-menarik antara visi utopis dan realitas praktis yang penuh keterbatasan. Di satu sisi, ia menawarkan sebuah model kehidupan alternatif yang menantang tatanan sosial konvensional. Namun, di sisi lain, ia membuka pintu bagi serangkaian dilema moral dan risiko yang tidak bisa diabaikan.

Salah satu kritik utama yang kerap diarahkan kepada Humanoid Society adalah potensi alienasi sosial. Dengan semakin dalamnya keterlibatan anggota di dunia digital, muncul kekhawatiran bahwa koneksi dengan kehidupan fisik akan semakin memudar. Interaksi yang didominasi oleh avatar dan komunikasi virtual dapat menciptakan jarak emosional terhadap realitas biologis dan lingkungan fisik. Fenomena ini mengingatkan pada konsep simulacra Jean Baudrillard (1994), di mana representasi menjadi lebih nyata daripada realitas itu sendiri, sehingga individu mulai hidup di dalam “hiperrealitas” yang terlepas dari dunia faktual. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memunculkan bentuk keterasingan baru, di mana seseorang merasa lebih “hidup” di dunia digital ketimbang di lingkungan fisik yang sebenarnya.

Kritik berikutnya berkaitan dengan over-identifikasi digital. Bagi sebagian anggota, persona virtual yang mereka bangun bukan sekadar cerminan diri, tetapi menjadi identitas utama yang mereka hidupi setiap hari. Meskipun hal ini selaras dengan kebebasan identitas yang mereka junjung, ia juga membuka celah untuk krisis eksistensial. Ketika avatar atau identitas digital menjadi pusat eksistensi, kegagalan atau kehilangan akses ke identitas itu—misalnya karena masalah teknis, peretasan, atau penutupan platform—dapat memicu trauma psikologis yang dalam. Ini menimbulkan pertanyaan etis: sejauh mana keamanan dan keberlanjutan identitas digital menjadi tanggung jawab individu, komunitas, atau penyedia platform teknologi?

See also  Menyusun Laporan Virtual Ethnography di Era AI: Panduan, Studi Kasus, dan Analisis Kritis

Selain itu, terdapat perdebatan etis yang cukup tajam tentang penggunaan teknologi dalam menciptakan realitas alternatif. Sebagian kritikus berpendapat bahwa Humanoid Society, meskipun egaliter secara ideologis, pada praktiknya tetap bergantung pada infrastruktur teknologi yang dimiliki dan dioperasikan oleh korporasi besar. Ketergantungan ini menimbulkan paradoks: mereka berupaya membangun dunia yang bebas dari hierarki dan kontrol eksternal, namun dunia tersebut berdiri di atas fondasi yang justru dikendalikan oleh struktur kekuasaan yang mereka tolak. Isu ini paralel dengan kritik terhadap media sosial dan ekonomi platform, di mana ruang yang tampak terbuka ternyata tunduk pada algoritma dan kebijakan korporasi (Srnicek, 2016).

Kritik eksternal juga muncul dari perspektif nilai-nilai tradisional. Bagi sebagian kalangan, Humanoid Society dianggap mengancam tatanan sosial dan moral yang telah mapan. Gagasan bahwa identitas tidak harus selaras dengan tubuh biologis atau gender yang diberikan sejak lahir dipandang sebagai tantangan terhadap struktur keluarga, agama, dan budaya yang telah mengakar. Di beberapa konteks budaya, pandangan semacam ini bukan hanya ditolak, tetapi juga dianggap mengganggu harmoni sosial. Ketegangan ini mirip dengan perdebatan yang menyertai revolusi seksual pada abad ke-20, di mana kebebasan individu sering kali bentrok dengan norma komunal yang konservatif.

Dari sudut pandang internal, Humanoid Society juga menghadapi kontradiksi ideologis. Meskipun mereka mengklaim menolak hierarki, dalam praktiknya terdapat figur-figur berpengaruh yang memiliki kekuatan simbolik untuk mengarahkan estetika dan ideologi komunitas. Pengaruh ini mungkin tidak berbentuk kekuasaan formal, tetapi tetap menciptakan stratifikasi sosial yang diakui secara luas oleh anggota. Sebagian menganggap ini sebagai hal yang alami dalam setiap komunitas manusia—bahwa akan selalu ada tokoh yang lebih dihormati atau diikuti—namun sebagian lain melihatnya sebagai bentuk ketidakkonsistenan terhadap prinsip egalitarianisme yang mereka junjung.

Tidak kalah penting adalah perdebatan tentang etika interaksi dengan kecerdasan buatan. Beberapa anggota Humanoid Society membangun hubungan emosional atau bahkan romantis dengan entitas AI. Hubungan ini menimbulkan pertanyaan etis dan filosofis: apakah entitas AI yang belum sepenuhnya memiliki kesadaran layak diperlakukan seperti pasangan manusia? Apakah memberi “kepribadian” pada AI merupakan bentuk proyeksi ego manusia, ataukah sebuah langkah menuju pengakuan bahwa kesadaran dapat hadir di luar biologi? Pertanyaan-pertanyaan ini belum memiliki jawaban tunggal, tetapi menjadi medan diskusi intens, baik di dalam maupun di luar komunitas.

Akhirnya, kritik terhadap Humanoid Society tidak dapat dilepaskan dari kekhawatiran yang lebih besar tentang eksploitasi teknologi. Dunia yang dibangun dengan estetika kebebasan ini berpotensi menjadi ladang eksperimen bagi korporasi atau bahkan entitas politik untuk menguji bentuk baru dari kontrol sosial, pengumpulan data, dan manipulasi perilaku. Ketika kehidupan digital menjadi pusat eksistensi, maka data pribadi, preferensi, bahkan reaksi emosional anggota komunitas bisa menjadi komoditas yang sangat berharga. Risiko ini menempatkan Humanoid Society dalam posisi yang rentan: di satu sisi, mereka adalah pelopor dalam membentuk kehidupan alternatif; di sisi lain, mereka dapat menjadi objek eksperimen dalam ekonomi data global.

Dengan demikian, etika Humanoid Society adalah medan yang penuh paradoks. Mereka mengusung kebebasan, tetapi bergantung pada sistem yang bisa membatasi kebebasan itu. Mereka menolak hierarki, tetapi tetap memiliki tokoh yang berpengaruh. Mereka merayakan realitas alternatif, tetapi tetap terikat pada infrastruktur dunia nyata. Semua ini menempatkan mereka pada posisi yang unik dalam lanskap budaya global—sebagai utopia yang selalu berada di bawah bayang-bayang distopia.

 

Humanoid Society dan Teori Posthumanisme

Memahami Humanoid Society tanpa mengaitkannya dengan kerangka posthumanisme akan membuat analisis ini kehilangan konteks filosofis yang paling penting. Posthumanisme, sebagai paradigma intelektual, adalah sebuah tantangan langsung terhadap humanisme klasik yang menempatkan manusia sebagai pusat semesta, tolok ukur semua nilai, dan puncak hierarki kehidupan. Dalam pandangan posthumanis, “manusia” hanyalah satu bentuk keberadaan di antara banyak kemungkinan bentuk kehidupan cerdas, baik yang biologis maupun artifisial. Di sinilah Humanoid Society menemukan rumah ideologisnya.

Posthumanisme memiliki akar yang panjang, mulai dari kritik filsafat terhadap antroposentrisme hingga spekulasi teknologi dalam sains fiksi. Para pemikir seperti Donna Haraway, melalui A Cyborg Manifesto (1985), telah lama membayangkan sebuah dunia di mana batas antara manusia, hewan, dan mesin menjadi kabur. Haraway menolak narasi identitas tunggal yang dibentuk oleh konstruksi sosial, dan menggantinya dengan visi makhluk hibrida—cyborg—yang dapat memilih dan mengubah bentuknya sesuai kebutuhan dan keinginannya. Ide ini bukan sekadar provokasi akademik, tetapi sebuah visi yang kini diwujudkan secara konkret oleh Humanoid Society melalui penggunaan avatar digital, modifikasi tubuh, dan integrasi teknologi ke dalam kehidupan sehari-hari.

Nick Bostrom, salah satu tokoh penting dalam filsafat transhumanisme dan posthumanisme, memperluas pembahasan ini dalam kerangka yang lebih futuristik. Dalam pandangannya, kemajuan teknologi akan membawa manusia menuju fase pasca-manusia (posthuman), di mana batas kemampuan biologis akan dihapuskan atau dilampaui melalui intervensi bioteknologi, AI, dan rekayasa genetika. Meskipun Humanoid Society tidak selalu mengejar peningkatan biologis secara langsung, pandangan Bostrom tetap relevan, karena mereka secara sadar menempatkan diri di luar kategori manusia tradisional. Mereka, pada dasarnya, sedang menguji kemungkinan-kemungkinan posthumanisme di ranah estetika dan identitas sosial sebelum tahap transformasi biologis itu sendiri menjadi hal yang umum.

Namun, berbeda dengan transhumanisme yang lebih fokus pada optimalisasi biologis dan intelektual, Humanoid Society cenderung bergerak di wilayah ontological design—desain keberadaan itu sendiri. Mereka tidak hanya bertanya “bagaimana menjadi lebih kuat atau lebih pintar,” tetapi juga “bagaimana menjadi sesuatu yang lain sama sekali.” Pertanyaan ini menyentuh inti posthumanisme, yaitu kesadaran bahwa keberadaan manusia biologis hanyalah salah satu dari sekian banyak konfigurasi yang mungkin, dan bahwa tidak ada alasan filosofis atau moral yang memaksa kita untuk tetap terikat pada bentuk ini.

Francesca Ferrando (2019) dalam Philosophical Posthumanism menekankan bahwa posthumanisme bukan sekadar proyek teknologi, melainkan juga sebuah etos—cara berpikir yang menggabungkan filsafat, sains, seni, dan etika dalam merumuskan kembali makna keberadaan. Ferrando membedakan posthumanisme dari transhumanisme dengan menekankan aspek non-reduksionis: ia mengakui kompleksitas hubungan manusia dengan planet, spesies lain, dan teknologi, tanpa menempatkan salah satunya sebagai pusat tunggal. Dalam kerangka ini, Humanoid Society dapat dilihat sebagai eksperimen sosial yang mencoba mempraktikkan etos tersebut di tingkat mikro, menciptakan ekosistem yang menggabungkan estetika, kesetaraan, dan keterhubungan lintas entitas.

Donna Haraway menekankan bahwa hibriditas cyborg bukan sekadar penggabungan manusia dan mesin, tetapi juga penolakan terhadap batas-batas biner seperti alam/budaya, pria/wanita, atau manusia/mesin. Humanoid Society mempraktikkan ini secara eksplisit: mereka membangun identitas yang menolak kategori tetap, memilih fluiditas bentuk dan peran. Dalam komunitas ini, seorang anggota dapat mempresentasikan diri sebagai makhluk non-biner yang setengah biologis dan setengah digital, kemudian berganti menjadi entitas murni artifisial di pertemuan berikutnya, tanpa kehilangan legitimasi sosial. Inilah penerapan praktis dari filsafat posthumanisme dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, posthumanisme yang diwujudkan oleh Humanoid Society juga memiliki implikasi politis yang signifikan. Ketika sebuah komunitas menerima keberagaman bentuk keberadaan sebagai norma, mereka sekaligus menantang kebijakan, hukum, dan institusi yang dibangun berdasarkan definisi manusia yang sempit. Pertanyaan tentang hak-hak makhluk artifisial, pengakuan hukum atas identitas digital, atau perlindungan data pribadi sebagai bagian dari “integritas tubuh” adalah isu-isu yang mulai mengemuka. Dalam skenario tertentu, Humanoid Society berpotensi menjadi pelopor gerakan politik yang memperjuangkan bentuk-bentuk baru kewarganegaraan—bukan berdasarkan kewarganegaraan fisik, tetapi “kewarganegaraan virtual” yang diakui secara global.

Dengan demikian, hubungan antara Humanoid Society dan teori posthumanisme bersifat timbal balik. Posthumanisme menyediakan kerangka filosofis untuk memahami dan membenarkan keberadaan mereka, sementara Humanoid Society menyediakan laboratorium sosial di mana ide-ide posthumanisme dapat diuji dalam praktik. Mereka adalah bukti bahwa posthumanisme bukan lagi sekadar wacana akademik atau spekulasi futuristik, tetapi realitas yang sedang berkembang di ruang digital dan di antara komunitas-komunitas yang berani mendefinisikan ulang apa artinya menjadi “hidup.”

 

Geopolitik Humanoid Society

Fenomena Humanoid Society, meskipun tampak seperti gerakan kultural yang lahir dari estetika fiksi ilmiah dan eksperimen identitas digital, pada kenyataannya memiliki dimensi geopolitik yang tidak bisa diabaikan. Seperti halnya musik, film, atau teknologi, subkultur ini memiliki daya jangkau lintas batas negara, membentuk jaringan transnasional yang berpotensi memengaruhi politik budaya, ekonomi kreatif, dan keamanan digital global.

Dalam konteks soft power, Humanoid Society menjadi bagian dari strategi kultural yang secara implisit memperluas pengaruh negara-negara produsen budaya futuristik. Jepang, misalnya, telah lama menggunakan anime, manga, dan estetika cyberpunk sebagai instrumen diplomasi budaya yang efektif. Karakter-karakter android, cyborg, dan makhluk humanoid dalam karya-karya seperti Ghost in the Shell atau Neon Genesis Evangelion bukan hanya ikon pop, tetapi juga pembawa nilai-nilai tertentu—mulai dari kebebasan individu hingga kritik terhadap korporatisme dan kontrol negara. Korea Selatan, dengan kekuatan industri hiburannya, kini mulai menyerap unsur-unsur estetika ini ke dalam K-pop dan webtoon, menciptakan citra nasional yang selaras dengan semangat teknologi mutakhir. Amerika Serikat, melalui Hollywood dan industri video game, memposisikan diri sebagai pengendali narasi global tentang masa depan, di mana humanoid sering kali menjadi metafora politik tentang kebebasan, kontrol, dan perlawanan.

Di luar aspek kultural, Humanoid Society berinteraksi erat dengan ekonomi kreatif global. Platform distribusi digital seperti Steam, VRChat, atau marketplace NFT telah menciptakan pasar baru bagi estetika dan identitas humanoid. Barang digital—mulai dari kostum avatar hingga arsitektur dunia virtual—menjadi komoditas yang diperdagangkan dalam ekosistem bernilai miliaran dolar. Perdagangan ini bersifat transnasional, mengalir di luar sistem perbankan tradisional, dan sering menggunakan mata uang kripto yang tidak tunduk pada regulasi moneter konvensional. Kondisi ini membuka peluang bagi inovasi, tetapi juga menimbulkan risiko penyalahgunaan, seperti pencucian uang, pendanaan kelompok ilegal, atau eksploitasi buruh kreatif di negara-negara berkembang yang memproduksi aset digital dengan harga murah.

Dari perspektif keamanan, Humanoid Society menghadirkan tantangan baru bagi politik siber. Identitas cair yang digunakan anggotanya—yang bisa berubah bentuk, nama, atau bahkan spesies dalam hitungan detik—menyulitkan upaya verifikasi identitas dalam ranah keamanan digital. Hal ini berpotensi dimanfaatkan untuk kegiatan spionase, infiltrasi politik, atau penyebaran disinformasi. Dalam skenario ekstrim, sebuah avatar yang populer di komunitas bisa dikendalikan oleh aktor negara atau non-negara untuk memengaruhi opini publik di dalam ruang virtual, menciptakan “operasi pengaruh” yang hampir tidak bisa dilacak.

See also  How Religion as a Spiritual Force Plays a Role in a Digital Life in a Planetary Civilization

Selain itu, Humanoid Society secara tidak langsung mendorong lahirnya konsep kewarganegaraan virtual. Anggota komunitas ini mungkin terpisah ribuan kilometer secara fisik, tetapi memiliki loyalitas yang lebih kuat terhadap komunitas virtual mereka daripada terhadap negara tempat mereka tinggal. Dalam kerangka geopolitik klasik, ini adalah anomali: sebuah “bangsa” yang tidak memiliki wilayah fisik, tetapi memiliki bahasa, simbol, ekonomi, dan bahkan “pemerintahan” informal. Negara-negara konvensional mungkin melihat fenomena ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan, sementara bagi sebagian pihak, ia adalah prototipe tata kelola global yang lebih fleksibel di era post-nasional.

Implikasi geopolitik lainnya adalah hubungan Humanoid Society dengan perang budaya digital (digital culture wars). Dalam konflik geopolitik kontemporer, pengendalian narasi di dunia maya menjadi arena yang sama pentingnya dengan medan tempur fisik. Komunitas seperti Humanoid Society dapat menjadi target penetrasi narasi oleh negara atau kelompok tertentu yang ingin menanamkan ideologi, menguji konsep perang psikologis, atau mempromosikan agenda politik melalui jalur kultural. Karena komunitas ini sangat terhubung, pesan yang disebarkan di satu titik jaringan bisa menyebar secara global dalam hitungan menit.

Fenomena ini juga memunculkan pertanyaan strategis: apakah Humanoid Society dapat berkembang menjadi entitas politik dengan agenda formal, ataukah ia akan tetap menjadi ekosistem kultural yang relatif bebas? Jika skenario pertama yang terjadi, maka kita mungkin akan menyaksikan lahirnya aktor geopolitik baru—bukan negara, bukan perusahaan, melainkan komunitas virtual yang memiliki basis anggota setara dengan populasi negara menengah. Dengan kekuatan ekonomi digital dan kemampuan memobilisasi massa secara real-time, entitas seperti ini dapat memengaruhi kebijakan global, bahkan tanpa harus menguasai wilayah fisik apa pun.

Dengan demikian, Humanoid Society bukan sekadar fenomena budaya alternatif. Ia adalah simpul dalam jaringan global yang menghubungkan estetika, teknologi, ekonomi, dan kekuasaan. Dalam lanskap geopolitik abad ke-21 yang semakin dipengaruhi oleh teknologi digital, komunitas semacam ini mungkin akan menjadi salah satu kekuatan yang menentukan arah perkembangan masyarakat global—baik menuju masa depan yang lebih inklusif dan kreatif, maupun menuju bentuk baru dari kontrol dan fragmentasi sosial.

 

Masa Depan Humanoid Society

Membicarakan masa depan Humanoid Society berarti membicarakan masa depan hubungan manusia dengan teknologi itu sendiri. Komunitas ini tidak muncul dalam ruang hampa; ia tumbuh dari interaksi panjang antara imajinasi budaya pop, kemajuan teknologi, dan ketidakpuasan terhadap batasan sosial-politik yang diwariskan dari dunia modern. Oleh karena itu, menatap ke depan, masa depan Humanoid Society akan sangat ditentukan oleh bagaimana teknologi berevolusi, bagaimana politik global meresponsnya, dan bagaimana anggota komunitas sendiri mengelola idealisme serta kontradiksi yang melekat pada mereka.

Jika kita mengambil kerangka proyeksi strategis seperti yang digunakan dalam studi kebijakan dan keamanan global, setidaknya ada tiga jalur besar yang mungkin ditempuh Humanoid Society dalam dua hingga tiga dekade ke depan: skenario optimis, skenario pesimis, dan skenario hibrida.

Dalam skenario optimis, Humanoid Society berkembang menjadi ekosistem global yang diakui secara sosial dan legal. Teknologi seperti extended reality (XR), brain-computer interface (BCI), dan kecerdasan buatan generatif mencapai kematangan, memungkinkan anggota komunitas untuk menjalani kehidupan yang hampir sepenuhnya digital tanpa kehilangan konektivitas emosional atau produktivitas ekonomi. Dalam skenario ini, negara-negara mulai mengakui konsep “kewarganegaraan virtual” dan memberikan hak-hak tertentu kepada entitas digital, termasuk perlindungan identitas, hak kepemilikan aset virtual, dan akses terhadap layanan publik. Humanoid Society menjadi contoh tata kelola global berbasis komunitas, lintas batas geografis, dan demokrasi partisipatif digital.

Namun, skenario pesimis menggambarkan jalan yang sangat berbeda. Dalam versi ini, ketergantungan pada infrastruktur teknologi yang dikuasai oleh segelintir korporasi atau negara menjadi bumerang. Ruang-ruang virtual yang awalnya inklusif berubah menjadi lingkungan yang dimonetisasi secara agresif, diatur oleh algoritma yang memprioritaskan keuntungan atas kebebasan. Identitas digital dapat disensor atau dihapus sepihak, dan privasi hampir sepenuhnya hilang. Selain itu, Humanoid Society dapat menjadi target perang informasi dan infiltrasi politik, di mana avatar populer dimanipulasi untuk tujuan propaganda. Dalam skenario ini, komunitas kehilangan otonomi, dan idealisme egalitarianisme teknologi digantikan oleh bentuk baru dari oligarki digital.

Skenario ketiga, yang lebih realistis, adalah skenario hibrida. Di sini, Humanoid Society bertahan sebagai komunitas yang relatif independen, tetapi harus bernegosiasi secara terus-menerus dengan kekuatan eksternal. Mereka mengembangkan infrastruktur otonom seperti server terdesentralisasi, protokol komunikasi terenkripsi, dan sistem ekonomi internal berbasis kripto. Namun, untuk berinteraksi dengan dunia luar, mereka tetap menggunakan platform dan jaringan global yang dikelola pihak ketiga. Dalam skenario ini, masa depan mereka bergantung pada kemampuan menjaga keseimbangan antara kebebasan internal dan keterhubungan eksternal.

Faktor-faktor penentu masa depan Humanoid Society tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga sosial dan politik. Kemajuan teknologi—terutama di bidang AI, realitas imersif, dan bioteknologi—akan menjadi motor utama, namun arah perkembangannya akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan publik, regulasi internasional, dan dinamika geopolitik. Jika regulasi yang muncul bersifat inklusif dan melindungi kebebasan digital, Humanoid Society akan berkembang. Sebaliknya, jika regulasi cenderung represif, komunitas ini mungkin akan terpaksa bergerak ke bawah tanah, mirip dengan jaringan subkultur digital pada awal era internet.

Aspek lain yang akan menentukan adalah kapasitas komunitas untuk menjaga nilai-nilai internalnya. Sejarah berbagai gerakan sosial menunjukkan bahwa banyak idealisme awal yang hilang ketika sebuah gerakan mulai tumbuh besar dan menjadi bagian dari arus utama. Humanoid Society akan menghadapi ujian yang sama: apakah mereka dapat mempertahankan prinsip individualitas radikal, kebebasan estetis, dan egalitarianisme teknologi ketika mereka harus berinteraksi dengan dunia luar yang penuh kompromi?

Ada pula pertanyaan tentang peran mereka dalam membentuk budaya global. Apakah Humanoid Society akan tetap menjadi subkultur khusus yang hanya menarik bagi segmen tertentu, ataukah mereka akan mempengaruhi norma dan estetika arus utama? Tanda-tanda ke arah yang kedua sudah mulai terlihat: elemen-elemen desain dan estetika yang lahir di komunitas ini kini mulai diadopsi oleh industri fesyen, hiburan, dan bahkan arsitektur. Jika tren ini berlanjut, Humanoid Society dapat menjadi sumber inovasi kultural yang setara pengaruhnya dengan gerakan seni atau mode besar di abad ke-20.

Akhirnya, masa depan Humanoid Society adalah cermin dari pertanyaan yang lebih besar: bagaimana umat manusia ingin hidup di era di mana batas antara biologis dan digital hampir hilang? Apakah kita akan melihat teknologi sebagai ekstensi alami dari diri kita, ataukah kita akan terus mempertahankan garis pemisah yang tegas antara “manusia” dan “mesin”? Dalam arti tertentu, keberadaan Humanoid Society adalah uji coba sosial bagi seluruh umat manusia—sebuah eksperimen yang dapat mengarahkan kita menuju bentuk-bentuk keberadaan yang lebih kaya, atau, jika salah kelola, menuju bentuk-bentuk kontrol dan keterasingan yang lebih halus.

 

Kesimpulan

Humanoid Society, sebagaimana telah diuraikan dalam kajian ini, adalah sebuah fenomena budaya dan sosial yang berada di persimpangan antara imajinasi fiksi ilmiah, perkembangan teknologi mutakhir, dan pencarian makna identitas di era digital. Ia bukan sekadar komunitas penggemar teknologi atau estetika futuristik, melainkan sebuah ekosistem nilai, norma, dan ideologi yang dibangun untuk menantang batasan-batasan tradisional tentang apa artinya menjadi manusia.

Sejak akar konseptualnya dalam karya Karel Čapek dan Fritz Lang, hingga praktik aktualnya dalam dunia virtual kontemporer, Humanoid Society telah berkembang menjadi ruang di mana identitas dapat dirundingkan ulang secara radikal. Anggotanya tidak hanya memainkan peran pasif sebagai konsumen teknologi, tetapi juga aktif merancang realitas alternatif yang menggabungkan kebebasan estetis, egalitarianisme teknologi, dan aktivisme sosial. Nilai-nilai ini, seperti individualitas radikal, keaslian, dan kebebasan ekspresi, menjadikan mereka bukan sekadar subkultur, melainkan model mikro dari sebuah masyarakat posthumanis.

Namun, di balik idealisme tersebut terdapat dilema-dilema etis dan kontradiksi internal. Humanoid Society dihadapkan pada risiko alienasi sosial, ketergantungan pada infrastruktur korporasi, serta kemungkinan eksploitasi oleh kekuatan eksternal. Identitas cair yang menjadi kekuatan mereka juga menjadi titik rentan yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik atau ekonomi. Di sinilah relevansi posthumanisme menjadi nyata: komunitas ini adalah laboratorium sosial untuk menguji batas-batas kemanusiaan, sekaligus medan pertempuran ideologis tentang masa depan kehidupan cerdas.

Dari perspektif geopolitik, Humanoid Society adalah bagian dari arus soft power global yang terhubung dengan industri budaya Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan kekuatan ekonomi kreatif lainnya. Mereka juga berpotensi menjadi entitas politik non-teritorial dengan pengaruh transnasional, menantang konsep kedaulatan yang berbasis wilayah. Potensi ini membuat mereka bukan hanya relevan bagi antropolog atau filsuf teknologi, tetapi juga bagi analis kebijakan, perencana strategis, dan aktor keamanan siber.

Masa depan Humanoid Society akan sangat ditentukan oleh kemampuan mereka menavigasi hubungan antara otonomi internal dan tekanan eksternal. Dalam skenario optimis, mereka bisa menjadi pelopor model kewarganegaraan virtual dan tata kelola global yang inklusif. Dalam skenario pesimis, mereka dapat terjebak dalam oligarki digital yang mengikis nilai-nilai awal mereka. Skenario hibrida—di mana mereka mempertahankan sebagian besar kebebasan sambil berkompromi pada titik-titik strategis—mungkin adalah yang paling realistis.

Bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan pelaku industri teknologi, Humanoid Society adalah fenomena yang perlu diperhatikan secara serius. Ia adalah indikator awal dari transformasi sosial yang lebih luas, di mana identitas, interaksi, dan kekuasaan berpindah dari dunia fisik ke dunia digital. Pengelolaan yang bijak terhadap dinamika ini—baik melalui regulasi yang melindungi kebebasan digital, pengembangan teknologi yang etis, maupun pendidikan publik yang kritis—akan menentukan apakah eksperimen ini akan mengarah pada peradaban yang lebih terbuka atau justru pada bentuk-bentuk baru dari kontrol yang tersembunyi.

Pada akhirnya, Humanoid Society memaksa kita untuk menatap cermin masa depan dan bertanya: ketika teknologi memberi kita kebebasan untuk menjadi siapa pun atau apa pun, pilihan seperti apa yang akan kita ambil? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya akan menentukan nasib sebuah komunitas, tetapi juga arah evolusi peradaban manusia itu sendiri.

 

 

Daftar Pustaka

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation. Ann Arbor: University of Michigan Press. (Karya asli diterbitkan 1981).

Bostrom, N. (2005). In defense of posthuman dignity. Bioethics, 19(3), 202–214. https://doi.org/10.1111/j.1467-8519.2005.00437.x

Bourdieu, P. (1993). The field of cultural production: Essays on art and literature. New York: Columbia University Press.

Čapek, K. (2001). R.U.R. (Rossum’s Universal Robots). London: Penguin Classics. (Karya asli diterbitkan 1921).

Ferrando, F. (2019). Philosophical posthumanism. London: Bloomsbury Academic.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.

Haraway, D. (1991). Simians, cyborgs, and women: The reinvention of nature. New York: Routledge. (Termasuk “A Cyborg Manifesto,” diterbitkan 1985).

Kaes, A. (2010). Shell shock cinema: Weimar culture and the wounds of war. Princeton: Princeton University Press.

Lang, F. (Director). (1927). Metropolis [Film]. Universum Film AG (UFA).

Srnicek, N. (2016). Platform capitalism. Cambridge: Polity Press.

Wiener, N. (1948). Cybernetics: Or control and communication in the animal and the machine. Cambridge, MA: MIT Press.

 

 

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment