Pengantar
Buku Keeping the Trust for Peace karya Farid Husain adalah sebuah dokumen hidup tentang bagaimana perdamaian Aceh tidak pernah lahir dalam ruang kosong, melainkan dari ruang perjumpaan, kompromi, dan keberanian untuk menjaga kepercayaan di antara pihak-pihak yang pernah berhadapan dalam medan konflik. Buku ini merekam bukan hanya momen Helsinki 2005, tetapi juga denyut nadi pasca-perdamaian, di mana tugas menjaga jauh lebih berat dibanding meraih kesepakatan.
Farid Husain, seorang dokter yang kemudian menjadi mediator ulung, menghadirkan kisah-kisah di balik layar, yang jarang diungkap dalam laporan resmi. Di sini, kita melihat bukan sekadar narasi politik, tetapi juga wajah manusiawi dari perdamaian.
Mengikuti Jejak Jusuf Kalla
Farid menempatkan Jusuf Kalla (JK) sebagai figur sentral dalam proses damai. Bukan karena posisinya sebagai wakil presiden semata, tetapi karena keberanian mengambil risiko politik dan personal demi sebuah tujuan yang lebih besar. Buku ini menyingkap bagaimana teladan kepemimpinan JK, termasuk gaya komunikasinya yang lugas, menjadi energi penggerak bagi lahirnya kepercayaan.
Ada sebuah analogi yang disampaikan JK: membeli mobil bisa selesai dalam hitungan jam, tetapi menjaga layanan purna jual membutuhkan waktu bertahun-tahun. Begitulah perdamaian Aceh—MoU bisa ditandatangani, tetapi komitmen menjaganya membutuhkan kerja keras kolektif.
Dari Senjata ke Dialog
Salah satu bagian paling dramatis dalam buku ini adalah dokumentasi penyerahan senjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Foto-foto dan narasi tentang proses itu menunjukkan bagaimana sebuah simbol kekerasan ditransformasikan menjadi simbol perdamaian.
Penyerahan senjata bukan hanya formalitas, melainkan titik balik sejarah. Farid mengisahkan bagaimana setiap tahapan harus dilalui dengan kehati-hatian: dari persiapan kedatangan AMM (Aceh Monitoring Mission), hingga dinamika internal GAM sendiri. Tidak ada jalan mulus, tetapi ada keberanian mengambil langkah.
Melembagakan Damai
Buku ini tidak berhenti pada narasi teknis perundingan. Farid juga menekankan pentingnya pelembagaan damai. Ia menyinggung peran lembaga internasional seperti Interpeace, serta lahirnya gagasan mendirikan Institut Perdamaian Indonesia.
Pelembagaan ini penting karena damai tidak bisa hanya ditopang oleh goodwill individu. Ia harus ditanamkan dalam struktur, lembaga, dan ingatan kolektif. Inilah salah satu kontribusi besar buku ini: menegaskan bahwa perdamaian Aceh adalah sebuah proses institusional, bukan sekadar momen sejarah.
Narasi di Balik Layar
Kekuatan buku ini justru terletak pada detail-detail yang selama ini mungkin hanya menjadi obrolan di ruang sempit. Misalnya, tentang bagaimana bendera GAM diperdebatkan, atau bagaimana memo singkat Jusuf Kalla kepada Malik Mahmud menjadi penentu arah langkah politik.
Detail kecil itu memberi kesan otentik. Farid menulis bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku yang ikut berpeluh, bernegosiasi, bahkan berhadapan dengan ketegangan. Membaca buku ini, pembaca seolah duduk di ruang rapat, mendengar langsung denyut perdebatan dan kegelisahan.
Damai Sebagai Pelajaran
Pada akhirnya, Keeping the Trust for Peace adalah sebuah refleksi. Farid menulis bukan hanya untuk merekam, tetapi juga untuk memberi pelajaran. Bahwa perdamaian itu rapuh, dan bisa runtuh bila tidak dirawat. Bahwa menjaga lebih berat daripada menandatangani.
Buku ini sekaligus menjadi arsip berharga bagi generasi muda Aceh dan Indonesia. Sebuah pengingat bahwa damai bukan hadiah, melainkan hasil dari keberanian, pengorbanan, dan kepercayaan yang dijaga bersama.
Kesimpulan
Buku Farid Husain adalah jendela untuk memahami dimensi lain dari perdamaian Aceh. Ia bukan karya akademik penuh teori, melainkan catatan lapangan dari seorang mediator yang hidup di jantung peristiwa.
Bagi peneliti, aktivis perdamaian, atau siapa saja yang ingin belajar bagaimana konflik bisa ditransformasikan, buku ini adalah bacaan wajib. Ia tidak hanya menceritakan apa yang terjadi, tetapi juga bagaimana menjaga apa yang telah dicapai.