Ilustrasi Kick-Off Meeting Riset Tenurial di Universitas Syiah Kuala: Menata ulang hak masyarakat adat Aceh Besar melalui penguatan peran mukim.

Kick-Off Riset Tenurial: Revitalisasi Mukim dan Hak Masyarakat Adat Aceh Besar

Pagi Jum’at, 22 Agustus 2025, suasana di Ruang Senat Universitas Syiah Kuala terasa berbeda. Sejak pukul sepuluh pagi, para undangan sudah memenuhi ruangan untuk menghadiri Kick-Off Meeting Riset Tenurial Subyek dan Obyek Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Aceh Besar. Pertemuan ini menghadirkan tokoh-tokoh penting, mulai dari Wakil Rektor I Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Agussabti, yang hadir mewakili Rektor, Bupati Aceh Besar Muharram Idris, hingga Direktur Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo. Turut hadir Kepala Dinas Pertanahan Aceh, Kepala Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat (PRHIA) Prof. Dr. Azhari, S.H., MCL., MA., tim peneliti, serta Staf Khusus Gubernur Muhammad Taufik Abda. Acara dipandu oleh Dr. M. Adli Abdullah, yang sejak awal membuka pertemuan dengan memperkenalkan para peserta, sebelum diskusi mengalir ke arah yang lebih substansial: perkembangan pengembangan penetapan tanah adat di Aceh.

Prof. Azhari memulai dengan memperkenalkan kiprah PRHIA. Pusat riset ini didirikan pada 2022 melalui SK Rektor dan keputusan LPPM USK. Sejak kelahirannya, PRHIA mengambil peran penting dalam mengkaji hubungan hukum, Islam, dan adat. Kini, riset tenurial ini menjadi salah satu langkah besar yang mereka emban. Dalam kepengurusan PRHIA, Prof. Azhari bertindak sebagai Kepala, dibantu Dr. M. Sulaiman sebagai Wakil Ketua, Dr. Teuku Muttaqin Mansur sebagai Sekretaris, dan Nellyana Roesa sebagai Bendahara.

Riset yang baru dimulai ini membawa tujuan besar: mengidentifikasi sumber daya mukim yang menjadi harta kekayaan masyarakat hukum adat, memastikan siapa yang memanfaatkan dan mengelola sumber daya itu, menelaah siapa yang berhak serta syarat-syarat penggunaannya, hingga menelusuri mekanisme pengalihan harta kekayaan adat kepada pihak lain. Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini bukan hanya menyangkut hak kepemilikan, tetapi juga menyangkut kepastian subyek dan obyek adat. Subyek adat yang dimaksud adalah imeum mukim, keuchik, dan panglima laot lhok, sementara obyeknya berupa tanah ulayat, hutan adat, dan ulayat laut.

Dalam penjelasan teknis, riset ini tidak hanya berhenti pada tataran normatif. Analisis spasial menjadi salah satu pijakan utama. Tanah, hutan, dan wilayah laut akan dipetakan secara detail melalui citra satelit, peta lahan indikatif, hingga teknologi sistem informasi geografis. Semua itu dikonstruksi dalam bentuk polygon yang memperlihatkan batas-batas wilayah adat secara visual. Laboratorium Spasial Fakultas Pertanian USK menjadi mitra teknis penting dalam proses ini, didukung perangkat komputer, scanner, aplikasi GIS, kompas, GPS, hingga kamera survei. Analisis spasial ini kemudian dipadukan dengan analisis nonspasial berupa keterangan langsung dari masyarakat adat, sehingga peta yang lahir bukan sekadar data teknis, melainkan representasi hidup dari realitas di lapangan.

See also  Delegasi FSH UIN Ar-Raniry Ikuti Workshop Internasional dan Internship di Thailand

Penelitian ini dijadwalkan berlangsung sejak Agustus 2025 hingga Maret 2026. Pada tahap awal, peneliti akan melakukan identifikasi dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan, kemudian melanjutkan dengan kajian literatur, penelitian lapangan, analisis data, diskusi terpumpun, hingga penyusunan laporan akhir. Proses ini melibatkan tiga tim inti yang masing-masing terdiri dari peneliti lintas disiplin. Tim pertama dipimpin langsung oleh Prof. Azhari, didampingi Dr. Muazzin, Muhammad Rusdi, dan Nazar. Tim kedua dipimpin Dr. Teuku Muttaqin Mansur, bersama Dr. M. Adli, Musliadi bin Usman, dan Fachrizal Rama. Sementara tim ketiga terdiri dari Dr. Sulaiman, Prof. Kamaruzzaman, Dr. Syahrul Ridha, Nellyana Roesa, dan Kasmita Widodo.

Kick-Off ini juga menjadi ruang apresiasi atas kerja sama antara BRWA dan PRHIA. Sejak 2010, pengakuan terhadap masyarakat adat di Indonesia masih terbilang minim. Hanya sedikit wilayah yang benar-benar berhasil memperoleh pengakuan hukum, salah satunya adalah komunitas Baduy. BRWA, sebagai badan otonom dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, terus mendorong agar pengakuan itu semakin meluas. Hingga kini, baru sekitar 6,7 juta hektar atau 18 persen dari seluruh wilayah adat yang berhasil ditetapkan. โ€œRegulasi, kepemimpinan, kapasitas teknis, dan ketersediaan data adalah kunci,โ€ ujar Kasmita. Ia menambahkan, peran generasi muda juga sangat mendesak, karena kini kampung-kampung mulai sepi ditinggalkan pemudanya. Karena itu, BRWA dan PRHIA mendorong lahirnya Sekolah Adat serta integrasi isu masyarakat adat ke dalam kurikulum kampus, sehingga generasi mendatang tetap memahami khazanah adat.

See also  SEMARAK RAMADHAN KMK UIN AR-RANIRY BERSAMA ANAK PANTI ASUHAN

Dalam sambutannya, Prof. Agussabti, mewakili Rektor USK, menekankan peran strategis mukim dalam sejarah Aceh. Mukim, katanya, lahir bersamaan dengan kedatangan Islam dan berfungsi sebagai jembatan antara gampong dan kecamatan. Seiring berjalannya waktu, mukim sempat terpinggirkan oleh konsep desa. โ€œMelalui penelitian ini, kita ingin menghidupkan kembali peran mukim, agar dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat,โ€ ungkapnya.

Bupati Aceh Besar, Muharram Idris, memberi penekanan lain. Ia mengingatkan pentingnya adat dan budaya sebagai bagian dari identitas rakyat Aceh. Hak rakyat, katanya, perlu dikembalikan melalui mekanisme adat. Ia menyinggung hutan adat yang kini diklaim sebagai hutan lindung dan hutan tanaman industri, serta kebun rakyat yang harus dipulihkan melalui lembaga mukim. Ia bahkan menyoroti persoalan tanah yang muncul akibat rencana pembangunan kota satelit di Aceh Besar, serta gagasan agar dua universitas besar, USK dan UIN Ar-Raniry, ditempatkan kembali di wilayah Aceh Besar. โ€œTanah rakyat yang dulu dirampas kolonial dan kemudian dikuasai uleebalang, kini harus dikembalikan. Program ini sangat penting, dan kami mendukung penuh,โ€ tegasnya.

Di penghujung acara, optimisme terasa menguat. Hasil penelitian ini nantinya akan berupa profil mukim se-Aceh Besar, peta spasial wilayah adat, serta rekomendasi kebijakan yang akan diserahkan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan kantor pertanahan. Lebih dari sekadar dokumen, riset ini diharapkan menjadi langkah nyata mengembalikan martabat adat. Dari Aceh Besar, semangat ini diharapkan menyebar ke seluruh Nusantara, menunjukkan bahwa adat bukan hanya peninggalan masa lalu, melainkan pedoman hidup yang dapat menata masa depan lebih adil dan sejahtera.

See also  UIN Ar-Raniry Gelar Pembinaan ASN: Integritas, Disiplin, dan Moderasi Beragama Jadi Fokus Utama

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *