Komunisme, khilafah, dan investasi asing hanyalah bumbu dalam dapur republik. Jakarta ibarat Jurassic Park politik, tempat para jenderal, presiden, dan oligarki saling memangsa. Sementara rakyat hanya menjadi penikmat hidangan akhir

Komunisme, Dapur Republik, dan Kereta Kekuasaan: Membaca Politik Indonesia di Era Jokowi

Pendahuluan: Politik Dapur Republik dan Hantu Komunisme

Sejarah politik Indonesia selalu dihantui oleh satu kata yang menimbulkan trauma kolektif: komunisme. Sejak tragedi 1965, isu ini tidak pernah benar-benar hilang. Ia selalu hadir sebagai semacam gema laten yang muncul dalam berbagai momentum politik. Di satu sisi, komunisme diposisikan sebagai “hantu” yang ditakuti; di sisi lain, ia menjadi bumbu ampuh untuk mengatur suhu politik sesuai kebutuhan penguasa. Dalam bahasa populer, isu PKI adalah semacam “remote control” politik: bisa dinyalakan atau dimatikan, tergantung siapa yang memegang kendali.

Pada masa Orde Baru, komunisme menjadi narasi resmi yang dijadikan alasan untuk membenarkan otoritarianisme. Negara membangun imajinasi tentang ancaman laten PKI yang terus-menerus mengintai, sehingga represi terhadap oposisi bisa dilegitimasi. David Jenkins (2013) menulis bahwa militer Indonesia selama Orde Baru memainkan isu komunisme bukan semata untuk keamanan, tetapi juga untuk menjaga hegemoni politiknya. Dengan cara itu, “dapur republik” pada era Soeharto sepenuhnya dikendalikan oleh tentara. Rakyat hanya bisa menerima hidangan politik yang disajikan, tanpa pernah tahu bumbu apa yang dipakai di balik layar.

Namun, pasca-Reformasi 1998, dapur republik mulai berubah. Demokrasi membawa banyak juru masak baru: partai politik, oligarki bisnis, aktivis sipil, bahkan aktor asing. Narasi komunisme tetap dipelihara, tetapi fungsinya bergeser. Ia tidak lagi menjadi “bahan utama,” melainkan bumbu tambahan yang sewaktu-waktu bisa diangkat. Jeffrey Winters (2011) menyebut oligarki Indonesia sangat lihai menggunakan simbol-simbol lama untuk mempertahankan posisi. Artinya, komunisme bukan lagi soal ideologi, melainkan soal strategi bertahan hidup dalam persaingan politik.

Di era Jokowi, isu ini kembali menemukan relevansinya. Kontroversi tentang apakah presiden perlu meminta maaf kepada PKI dalam pidato kenegaraan 2015 hanyalah satu contoh. Narasi itu muncul, diperdebatkan, lalu menguap begitu saja. Lima tahun kemudian, menjelang Pilpres 2019, isu komunisme kembali digoreng oleh sebagian kelompok, tetapi segera ditekan setelah muncul teguran dari seorang jenderal purnawirawan. Di sini terlihat dengan jelas bahwa isu komunisme diatur bukan oleh data atau fakta, melainkan oleh kepentingan politik saat itu.

Apa yang membuat isu ini begitu lentur? Jawabannya terletak pada dapur republik. Seperti sebuah rumah tangga, politik Indonesia memiliki ruang khusus yang tersembunyi dari publik. Di sanalah resep kekuasaan disusun, aliansi dibentuk, bumbu dipilih, dan keputusan diambil. Publik hanya menikmati hidangan yang sudah jadi: pemilu, pidato, baliho, dan berita media. Tetapi proses memasak—siapa yang menambahkan garam, siapa yang mengaduk kuah, siapa yang menyembunyikan rempah tertentu—tetap menjadi rahasia.

Dalam dapur ini, isu komunisme hanyalah salah satu dari sekian banyak bumbu. Kadang ia dipakai untuk menyerang lawan, kadang untuk mengalihkan perhatian publik, kadang untuk menegaskan legitimasi. Namun, ketika dianggap mengganggu arus investasi, khususnya dari Cina, bumbu itu segera disingkirkan. Sebagai gantinya, muncul bumbu baru: khilafah. Isu radikalisme agama dipandang lebih aman untuk dikapitalisasi karena bisa mengonsolidasikan nasionalisme sekaligus menunjukkan komitmen Indonesia di hadapan mitra internasional.

Dengan cara inilah dapur republik selalu beroperasi: fleksibel, adaptif, tetapi juga penuh intrik. Publik sering kali tidak sadar bahwa apa yang mereka perdebatkan di ruang publik hanyalah “rasa akhir” dari sebuah masakan yang sudah lama diproses di belakang layar. Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (2019) menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia pasca-Reformasi tetap dikuasai oleh oligarki, meskipun tampilannya lebih terbuka. Inilah paradoks yang menjadikan politik Indonesia unik: demokratis di permukaan, oligarkis di inti.

Analogi lain yang menarik adalah “kereta kekuasaan.” Dalam republik ini, ada banyak gerbong, tetapi tidak semua orang bisa masuk. Siapa yang berada di dalam kereta, akan menikmati perjalanan dan hasilnya. Siapa yang di luar, hanya bisa melihat dari kejauhan, bahkan bisa ditabrak jika mencoba menghalangi. Komunisme, khilafah, bahkan nasionalisme hanyalah tiket retoris untuk masuk ke salah satu gerbong. Tetapi sekali berada di dalam, yang berlaku hanyalah kepatuhan terhadap aturan elit yang mengendalikan lokomotif.

Dengan kerangka ini, kita bisa memahami mengapa Jakarta kerap disebut sebagai “Jurassic Park” politik. Di sana, predator besar saling mengintai dan memangsa. Publik hanya melihat pertarungan simbolik di televisi atau media sosial, tetapi sesungguhnya intrik yang menentukan arah republik terjadi di balik pintu tertutup. Dari pertemuan di rumah duta besar asing, obrolan santai di Blok M, hingga teguran keras seorang jenderal purnawirawan—semua adalah bagian dari dapur yang jarang terlihat.

Esai ini tidak dimaksudkan untuk menghidupkan kembali trauma lama atau membela ideologi tertentu. Sebaliknya, ia mencoba membaca ulang politik Indonesia melalui metafora dapur dan kereta kekuasaan. Dengan cara itu, kita bisa melihat bagaimana narasi komunisme, khilafah, investasi asing, dan diplomasi global hanyalah bahan-bahan yang dimasukkan sesuai kebutuhan. Pertanyaan besarnya: sampai kapan rakyat hanya akan menjadi penikmat, tanpa pernah diajak masuk ke dapur?

Mari kita telusuri bersama. Bacalah esai ini tidak hanya sebagai kisah pribadi, tetapi sebagai refleksi tentang bagaimana politik republik dijalankan. Jika komunisme hanyalah bumbu, lalu siapa sebenarnya yang mengendalikan resep? Jika rakyat hanya penikmat, lalu bagaimana cara kita masuk ke dapur? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya akan menjelaskan masa lalu, tetapi juga menentukan arah masa depan Indonesia.

Wacana Permintaan Maaf Presiden Jokowi

Kontroversi tentang kemungkinan Presiden Jokowi meminta maaf kepada keluarga korban PKI pada 2015 menjadi salah satu episode paling menarik dalam sejarah politik kontemporer Indonesia. Wacana itu muncul ketika teks pidato kenegaraan sedang dipersiapkan, dan muncul pertanyaan apakah presiden berani membuka lembaran lama tragedi 1965 dengan permintaan maaf resmi. Meskipun pada akhirnya permintaan maaf itu tidak tercantum dalam pidato, fakta bahwa isu tersebut sempat menjadi pertimbangan sudah cukup menggambarkan betapa sensitifnya memori komunisme dalam politik nasional.

Bagi sebagian pihak, permintaan maaf presiden dianggap penting sebagai langkah rekonsiliasi sejarah. Anthony Reid (2017) menulis bahwa tragedi 1965 meninggalkan luka mendalam tidak hanya bagi korban, tetapi juga bagi bangsa yang membangun identitas nasionalnya di atas narasi anti-komunis. Dengan permintaan maaf, Indonesia seolah berkesempatan untuk melepaskan diri dari beban sejarah dan membuka jalan menuju rekonsiliasi. Namun, wacana ini juga memicu resistensi keras dari kelompok-kelompok yang masih melihat komunisme sebagai ancaman nyata bagi negara.

Di sinilah tampak jelas dilema seorang kepala negara. Jokowi, yang sejak awal dikenal sebagai presiden dengan gaya populis dan pembangunan infrastruktur sebagai agenda utama, harus berhadapan dengan warisan ideologis yang belum selesai. Jika ia meminta maaf, risiko politiknya besar: dituduh pro-PKI, dianggap melemahkan legitimasi Orde Baru, dan kehilangan dukungan dari kelompok nasionalis serta sebagian militer. Jika ia tidak meminta maaf, ia dianggap menutup mata terhadap sejarah kelam bangsa dan mengabaikan suara para korban.

Akhirnya, pilihan yang diambil adalah jalan kompromi: pidato kenegaraan tetap disampaikan tanpa permintaan maaf. Menurut analisis Eve Warburton (2018), keputusan semacam ini mencerminkan pola kepemimpinan Jokowi yang cenderung pragmatis. Ia mengutamakan stabilitas politik dan ekonomi, terutama untuk menjaga arus investasi, dibanding membuka luka lama yang bisa memecah belah masyarakat. Dengan kata lain, isu komunisme kembali diposisikan sebagai bumbu politik: bisa dipakai untuk menghangatkan suasana, tetapi tidak boleh sampai mengganggu selera utama, yakni stabilitas.

Namun, absennya permintaan maaf bukan berarti wacana itu hilang sama sekali. Justru sebaliknya, wacana itu menjadi simbol betapa isu komunisme tetap laten dalam memori bangsa. Setiap kali muncul perdebatan tentang HAM, demokrasi, atau hubungan dengan Cina, isu PKI kembali diangkat, baik oleh media maupun oleh kelompok tertentu. Hal ini sesuai dengan tesis Benedict Anderson (1999) tentang “politics of memory,” di mana narasi sejarah digunakan sebagai instrumen politik yang bisa dipanggil ulang kapan saja sesuai kebutuhan.

Yang menarik, perdebatan seputar permintaan maaf Jokowi juga menunjukkan keterkaitan erat antara politik domestik dan geopolitik. Pada saat itu, Indonesia sedang memperkuat kerjasama ekonomi dengan Cina. Permintaan maaf kepada PKI berpotensi menimbulkan tafsir ganda: di satu sisi sebagai rekonsiliasi sejarah, di sisi lain bisa dibaca sebagai sinyal politik bahwa Indonesia lebih condong ke Beijing dibanding Washington. Dalam konteks global yang sedang berubah, wacana permintaan maaf tidak hanya soal masa lalu, tetapi juga soal arah orientasi politik luar negeri.

Dengan demikian, episode pidato 2015 bukan sekadar peristiwa biasa. Ia adalah cermin bagaimana dapur republik bekerja: mempertimbangkan bumbu sejarah, mengukur reaksi elit, membaca sentimen publik, dan memperhitungkan geopolitik internasional. Pada akhirnya, pilihan Jokowi untuk tidak meminta maaf menunjukkan bahwa dalam politik Indonesia, narasi ideologis selalu tunduk pada logika pragmatis. Komunisme tetap hadir sebagai “hantu,” tetapi hantu yang hanya dipanggil jika sesuai dengan kepentingan dapur republik.

Tekanan terhadap Kampanye Anti-Komunis

Isu komunisme di Indonesia sering kali muncul bukan sebagai persoalan ideologi yang hidup, melainkan sebagai instrumen politik yang dipakai atau dibungkam sesuai kebutuhan penguasa. Pengalaman seorang aktivis yang ditegur keras oleh seorang jenderal purnawirawan berpengaruh menjelang Pilpres 2019 memperlihatkan hal itu secara gamblang. Aktivis tersebut berkeliling Indonesia untuk mengingatkan tentang bahaya laten komunisme, namun tiba-tiba diminta menghentikan kampanye. Pesannya jelas: jangan mengganggu stabilitas politik dan terutama jangan merusak citra Indonesia di mata investor, khususnya dari Cina. Teguran ini menunjukkan bagaimana isu komunisme diperlakukan sebagai variabel yang bisa dimatikan ketika dianggap merugikan kepentingan strategis negara.

See also  Berpikir Kritis Mahasiswa Gen Z: Antara Aktivisme, Ide, dan Realitas Sosial di Aceh

Situasi ini sejalan dengan tesis Benedict Anderson (1999) dalam Indonesian Nationalism Today and in the Future, bahwa negara Indonesia sering menjadikan isu politik tertentu sebagai alat untuk mengelola konsensus, bukan sebagai perdebatan substansial. Dalam kasus komunisme, ketika narasi itu dianggap berpotensi memecah belah atau mengganggu arus investasi, maka ia segera ditutup rapat. Sebaliknya, ketika dibutuhkan sebagai alat mobilisasi massa atau untuk mendeligitimasi lawan politik, isu tersebut bisa kembali dimunculkan. Pola ini memperlihatkan bahwa komunisme dalam politik Indonesia lebih berfungsi sebagai “empty signifier” dalam istilah Ernesto Laclau (2005), sebuah istilah kosong yang bisa diisi dengan makna apa pun sesuai kebutuhan penguasa.

Banyak analisis menegaskan bahwa keputusan membungkam isu komunisme pada 2019 erat kaitannya dengan geopolitik dan ekonomi. Eve Warburton (2018) menulis bahwa pemerintah Indonesia pada periode Jokowi sangat bergantung pada investasi asing, terutama dari Cina, untuk mendukung agenda pembangunan infrastruktur. Dalam konteks itu, retorika anti-komunis berpotensi menimbulkan kegelisahan investor karena mengingatkan pada sejarah konflik ideologis yang bisa memicu instabilitas. Teguran sang jenderal purnawirawan kepada aktivis tadi bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan representasi dari mekanisme negara dalam menjaga citra ekonomi di tengah arus globalisasi.

Namun, pembungkaman isu komunisme justru membuka ruang bagi menguatnya narasi alternatif: khilafah. Dalam beberapa tahun terakhir, isu khilafah lebih sering dipakai untuk mengatur wacana publik. Kajian Greg Fealy dan Sally White (2020) dalam Indonesia: Divisions over Islam and Nationalism menunjukkan bahwa elit politik lebih mudah membingkai bahaya khilafah ketimbang bahaya komunisme, karena yang pertama sesuai dengan konteks kontemporer pasca-Arab Spring dan gerakan Islam transnasional. Dengan demikian, publik diarahkan untuk memusatkan perhatian pada ancaman radikalisme agama, sementara isu komunisme dibiarkan meredup.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa narasi politik di Indonesia bersifat sangat adaptif. Negara tidak memiliki satu garis ideologi yang konsisten, melainkan mempraktikkan apa yang disebut Vedi Hadiz dan Richard Robison (2017) sebagai “populisme pragmatis,” yaitu penggunaan simbol-simbol ideologi untuk mempertahankan kekuasaan oligarki. Aktivis yang bersikeras mengampanyekan bahaya komunisme akhirnya menjadi korban dari pragmatisme ini. Mereka dipandang sebagai pengganggu stabilitas dan tidak sejalan dengan strategi politik yang sedang ditempuh elit negara.

Dari perspektif keamanan, pembungkaman isu komunisme juga mencerminkan adanya “security framing” yang dikontrol oleh elit. David Jenkins (2013) dalam studinya tentang militer Indonesia menekankan bahwa isu keamanan kerap dikelola sebagai wacana politik, bukan semata-mata sebagai ancaman objektif. Ketika elit militer atau purnawirawan melihat isu komunisme tidak lagi relevan dengan arah kebijakan nasional, maka isu itu didefinisikan ulang: bukan ancaman. Sebaliknya, khilafah dijadikan sebagai ancaman utama, lengkap dengan perangkat hukum dan propaganda yang menyertainya.

Akhirnya, tekanan terhadap kampanye anti-komunis menjelang Pilpres 2019 memperlihatkan wajah asli politik Indonesia pasca-Reformasi. Isu ideologis tidak lagi lahir dari bawah, melainkan dikontrol dari atas oleh elit yang menentukan mana isu boleh berkembang dan mana yang harus dihentikan. Dalam bahasa Pierre Bourdieu (1991), hal ini adalah praktik kekuasaan simbolik: penguasa tidak hanya mengontrol sumber daya material, tetapi juga bahasa dan simbol yang boleh beredar. Dengan demikian, kampanye anti-komunis dihentikan bukan karena hilangnya data atau fakta di lapangan, melainkan karena ia tidak sesuai dengan kepentingan hegemonik yang sedang dibangun di dapur republik.

Dapur Republik dan Kereta Kekuasaan

Politik Indonesia sering digambarkan dalam istilah formal seperti demokrasi elektoral, birokrasi, atau partai politik. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks. Politik tidak hanya berlangsung di ruang sidang parlemen atau forum publik, melainkan juga di ruang-ruang tertutup yang bisa disebut “dapur republik.” Di sinilah resep kekuasaan disusun, bahan dipilih, dan bumbu ditambahkan sesuai selera para juru masak politik. Publik hanya melihat hasil akhir yang tersaji di meja, bukan proses yang penuh intrik di belakang layar. Gambaran ini sesuai dengan analisis Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (2019) yang menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia pasca-Reformasi ditopang oleh oligarki yang lihai memainkan narasi publik, sembari mengatur alokasi sumber daya dalam lingkaran terbatas.

Dalam “dapur republik” itu, isu-isu besar seperti komunisme, khilafah, atau bahkan demokrasi, hanyalah bumbu yang bisa digunakan untuk memperkuat legitimasi atau menekan lawan. Sebagaimana ditulis oleh Vedi R. Hadiz (2017), politik Indonesia bergerak dengan logika pragmatis: ideologi hanya dipakai sejauh menguntungkan jaringan oligarkis. Karena itu, wacana tentang bahaya laten PKI atau ancaman khilafah tidak selalu mencerminkan kekhawatiran ideologis, melainkan lebih sering menjadi instrumen untuk mengatur ulang aliansi dan memobilisasi dukungan massa. Dengan demikian, publik sebenarnya bukan sedang melihat pertarungan ideologi, melainkan permainan simbolik di mana yang dipertaruhkan adalah distribusi kekuasaan.

Konsep “kereta kekuasaan” muncul dari cara kerja elit politik yang cenderung membagi lingkaran kekuasaan ke dalam gerbong-gerbong eksklusif. Seseorang yang berhasil masuk ke gerbong itu akan mendapatkan akses pada sumber daya negara, proyek, dan patronase. Tetapi bagi mereka yang mencoba mengkritik atau membawa isu yang tidak dikehendaki, segera akan dilabeli sebagai pengganggu, bahkan “rowdy,” sebagaimana dicap oleh jenderal purnawirawan kepada aktivis yang dianggap terlalu lantang mengkampanyekan bahaya komunisme. Dalam logika ini, seperti dijelaskan oleh Harold Crouch (2010), stabilitas politik Indonesia sering kali dijaga dengan cara meredam suara-suara kritis, bukan dengan meresponsnya secara substantif.

Dinamika dapur republik juga erat kaitannya dengan kepentingan ekonomi, khususnya investasi asing. Ketika isu komunisme dianggap berpotensi merusak citra Indonesia di mata investor Cina, maka isu itu segera dimatikan. Sebaliknya, narasi khilafah lebih dimunculkan karena bisa mengonsolidasikan konsensus nasional tanpa mengganggu arus modal. Studi terbaru dari Eve Warburton (2020) menegaskan bahwa hubungan ekonomi-politik Indonesia-Cina semakin menentukan arah kebijakan domestik, sehingga wacana publik sering kali diarahkan agar selaras dengan kebutuhan menjaga iklim investasi. Dengan kata lain, dapur republik tidak hanya diisi oleh para juru masak lokal, melainkan juga oleh aroma asing yang ikut menentukan resep kekuasaan.

Metafora dapur ini juga menjelaskan mengapa publik sering kali bingung dengan inkonsistensi narasi politik. Hari ini bahaya komunisme digaungkan, besoknya isu itu hilang, diganti dengan bahaya radikalisme agama. Lalu muncul jargon nasionalisme, tetapi segera bersandingan dengan kerjasama ekonomi besar dengan Cina. Semua ini adalah bagian dari resep yang terus diubah sesuai dengan kondisi. Richard Robison dan Vedi R. Hadiz (2004) menyebut fenomena ini sebagai “reorganisasi kekuasaan oligarkis” pasca-Soeharto, di mana elit politik menggunakan isu apapun untuk menyesuaikan diri dengan tantangan zaman, tanpa kehilangan cengkeraman pada distribusi keuntungan.

Namun, metafora dapur juga menyimpan bahaya. Jika publik hanya disuguhi hasil jadi tanpa diberi akses pada proses, maka yang terjadi adalah depolitisasi masyarakat. Demokrasi bisa tampak hidup, dengan pemilu dan partai, tetapi sesungguhnya rakyat tidak pernah benar-benar ikut menentukan apa yang dimasak. Ini yang disebut oleh Jeffrey Winters (2011) sebagai “oligarchy by wealth,” di mana keputusan-keputusan penting hanya ditentukan oleh segelintir orang yang punya akses pada modal ekonomi dan politik. Dalam situasi semacam itu, label ideologis seperti komunis, radikal, atau asing hanyalah bumbu untuk memperdaya selera publik, bukan untuk menyelesaikan masalah bangsa secara nyata.

Akhirnya, “kereta kekuasaan” menjadi simbol bagaimana politik Indonesia bergerak. Siapa yang ada di dalam kereta akan ikut menikmati perjalanan dan hasilnya, sementara yang di luar kereta hanya bisa melihat dari kejauhan atau bahkan ditabrak jika mencoba menghalangi. Dapur republik dan kereta kekuasaan sesungguhnya adalah dua sisi dari koin yang sama: politik Indonesia pasca-Reformasi tetap berada di bawah kendali elit terbatas, yang lihai memainkan bumbu narasi untuk memastikan kursi mereka tetap aman. Publik hanya bisa menikmati sajian akhir di meja, tanpa tahu siapa yang sebenarnya mengaduk kuali di balik tirai.

Diplomasi, Investasi, dan Kontrol Narasi

Politik domestik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dimensi internasional. Pertemuan dengan seorang diplomat asing di Jakarta mengungkapkan betapa telitinya dunia luar mengamati pergerakan elit republik. Mereka tidak hanya memperhatikan pidato resmi, melainkan juga ekspresi wajah, intonasi suara, hingga gaya interaksi para pemimpin. Hal ini menunjukkan bahwa diplomasi bukan sekadar soal hubungan antarnegara, tetapi juga pengamatan cermat terhadap “politik dalam negeri” yang berdampak pada kepentingan global. Sebagaimana dijelaskan oleh Rizal Sukma (2009), diplomasi Indonesia selalu memainkan dua arah: menjaga citra nasional di luar negeri sekaligus meredam turbulensi internal yang bisa merusak reputasi negara.

Dalam konteks ekonomi, kontrol narasi politik sangat erat kaitannya dengan investasi asing, terutama dari Cina. Pemerintahan Jokowi dikenal dengan “politik infrastruktur” yang membutuhkan aliran dana besar. Cina hadir dengan Belt and Road Initiative (BRI), menawarkan pinjaman dan proyek pembangunan strategis. Eve Warburton (2020) mencatat bahwa masuknya investasi Cina bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga mengubah lanskap politik domestik, karena narasi publik harus diarahkan agar tidak menciptakan resistensi terhadap modal asing tersebut. Di titik ini, isu komunisme dianggap berbahaya karena bisa membangkitkan trauma sejarah dan memicu penolakan publik terhadap kerjasama dengan Cina.

Kontrol narasi terlihat jelas dalam bagaimana media nasional menyajikan isu. Data dari Ross Tapsell (2017) menunjukkan bahwa kepemilikan media di Indonesia sangat terkonsentrasi pada segelintir oligarki yang juga memiliki kepentingan politik. Dengan demikian, narasi tentang komunisme, khilafah, atau nasionalisme tidak pernah netral, melainkan diproduksi sesuai dengan kebutuhan elit dan selaras dengan kepentingan diplomatik. Misalnya, isu khilafah sering dipakai untuk menegaskan identitas kebangsaan di hadapan mitra internasional, sementara isu komunisme diredam agar tidak mengganggu hubungan dengan Beijing.

See also  Cassandra Complex, Kota Pandora, dan Patologi Sosial di Aceh

Fenomena ini sejalan dengan temuan Clive Hamilton dan Mareike Ohlberg (2020) dalam Hidden Hand: Exposing How the Chinese Communist Party is Reshaping the World. Mereka menunjukkan bahwa strategi Cina tidak hanya lewat investasi fisik, tetapi juga melalui pembentukan opini publik dan kontrol wacana di negara mitra. Indonesia sebagai negara besar di Asia Tenggara menjadi sasaran penting dari strategi ini. Ketika isu komunisme mencuat, ia bisa dianggap sebagai ancaman terhadap citra kerjasama dengan Cina. Karena itu, tidak mengherankan jika muncul tekanan dari berbagai pihak agar narasi bahaya komunisme ditutup rapat, sementara isu lain yang lebih “aman” untuk hubungan internasional justru didorong.

Selain Cina, dunia Barat juga memainkan peran penting dalam kontrol narasi. Pertanyaan para diplomat tentang “bagaimana kekuasaan dijaga” atau “bagaimana oposisi dilumpuhkan” memperlihatkan kekhawatiran mereka terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Edward Aspinall (2014) menulis bahwa Indonesia selalu menjadi “staging ground” bagi negara-negara besar untuk menguji sejauh mana demokrasi di dunia Muslim bisa bertahan. Oleh karena itu, setiap retakan dalam narasi demokrasi Indonesia segera menjadi perhatian internasional. Dalam konteks ini, komunisme bukan hanya hantu masa lalu, tetapi juga instrumen untuk menilai kualitas demokrasi kontemporer Indonesia.

Kontrol narasi domestik juga sering kali dijustifikasi dengan alasan keamanan. Menurut Jun Honna (2021), militer dan aparat keamanan di Indonesia kerap menggunakan logika keamanan untuk menjustifikasi pembatasan wacana tertentu. Dalam hal komunisme, ketika narasi itu dianggap bisa mengganggu hubungan diplomatik atau investasi, maka ia diposisikan sebagai ancaman yang harus diamankan. Namun, berbeda dengan ancaman terorisme atau separatisme, ancaman komunisme sering kali bersifat simbolik dan politis, lebih terkait dengan persepsi publik ketimbang realitas lapangan.

Akhirnya, diplomasi, investasi, dan kontrol narasi bertemu dalam satu titik: pengelolaan citra. Politik Indonesia bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu dipresentasikan di dalam dan luar negeri. Isu komunisme, khilafah, bahkan nasionalisme semuanya hanyalah elemen retoris untuk mengatur narasi sesuai kepentingan saat itu. Publik diposisikan sebagai audiens, sementara dapur republik dan ruang diplomasi menjadi arena sesungguhnya di mana resep kekuasaan dimasak. Dengan kata lain, kontrol narasi adalah bagian dari strategi survival negara di era globalisasi, di mana reputasi dan modal politik menjadi sama pentingnya dengan modal finansial.

Dari Gatot Nurmantyo hingga Blok M

Munculnya kembali isu komunisme setelah Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo berziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) memperlihatkan bagaimana simbol-simbol militer masih sangat efektif dalam menggugah sentimen publik. Ziarah itu tidak hanya bernuansa religius, melainkan juga sarat makna politik, karena Gatot selama menjabat Panglima TNI dikenal sebagai figur yang sering menggaungkan isu bahaya laten PKI. Kehadirannya di ruang publik setelah purna tugas kembali memicu perdebatan tentang posisi komunisme dalam lanskap politik Indonesia. Sebagaimana dicatat oleh Marcus Mietzner (2019), peran militer Indonesia dalam politik pasca-Reformasi memang mengalami transformasi, tetapi figur-figur purnawirawan masih mampu mengintervensi opini publik lewat simbol-simbol kebangsaan.

Isu komunisme yang hidup kembali melalui Gatot menunjukkan bahwa narasi ini dapat dihidupkan kapan saja ketika ada kepentingan politik tertentu. Retorika semacam ini sering digunakan untuk menguji sensitivitas publik, sekaligus untuk membangun basis dukungan politik bagi aktor-aktor tertentu. Dalam konteks ini, ziarah ke TMP bukan hanya ritual, melainkan “pesan” yang dikirimkan ke berbagai arah: kepada pemerintah, militer aktif, kelompok sipil, dan bahkan komunitas internasional. Edward Aspinall dan Burhanuddin Muhtadi (2021) menekankan bahwa politik simbolik di Indonesia kerap memainkan peran penting dalam membentuk persepsi massa, jauh lebih kuat dibandingkan argumen rasional tentang isu yang diperdebatkan.

Namun, di sisi lain, pertemuan-pertemuan informal di ruang privat—seperti obrolan santai di Blok M bersama sejumlah perwira—menunjukkan realitas yang berbeda. Banyak perwira sebenarnya menyimpan keresahan terkait komunisme, tetapi mereka tidak berani menyuarakannya secara terbuka. Risiko karier dan ancaman internal membuat mereka hanya bisa berbicara dalam lingkaran terbatas. Fenomena ini menegaskan analisis Harold Crouch (2010) bahwa loyalitas internal militer Indonesia sering kali dipelihara dengan menekan suara-suara kritis agar tidak berkembang ke ruang publik.

Perwira-perwira menengah dan tinggi kerap memiliki data intelijen yang valid mengenai dinamika sosial-politik, termasuk indikasi pergerakan ideologi tertentu. Namun, data tersebut hanya berhenti di meja internal. Politik dapur republik memastikan bahwa isu yang boleh keluar ke publik hanyalah isu yang sesuai dengan arah kebijakan negara. Di sinilah terlihat apa yang disebut oleh David Jenkins (2013) sebagai “kebijakan keamanan yang politis,” yaitu ketika informasi intelijen tidak digunakan semata-mata untuk keamanan nasional, tetapi disaring berdasarkan kepentingan politik elit. Dengan begitu, meskipun intelijen militer jarang salah dalam pengamatan, suara mereka sering terbungkam oleh logika kekuasaan.

Momen diskusi di Blok M memperlihatkan paradoks: di satu sisi, militer masih menjadi institusi dengan kepekaan tinggi terhadap potensi ancaman ideologi; di sisi lain, mereka terikat pada garis politik penguasa. Ketika komunisme dianggap tidak sejalan dengan arah pembangunan dan diplomasi, isu itu dibiarkan tenggelam. Sebaliknya, isu khilafah mendapat ruang lebih besar untuk didorong, karena dianggap selaras dengan kepentingan konsolidasi nasional. Fenomena ini mencerminkan apa yang dikatakan Jun Honna (2021), bahwa militer Indonesia pasca-Reformasi tetap menjadi aktor politik penting, tetapi mereka beroperasi dengan cara yang lebih subtil, melalui pembatasan narasi ketimbang intervensi langsung.

Situasi ini memperkuat persepsi publik bahwa isu komunisme di Indonesia lebih bersifat politis ketimbang ideologis. Gatot Nurmantyo, dengan simbol TMP, berhasil menyalakan kembali diskusi tentang bahaya laten PKI, tetapi pertemuan-pertemuan privat seperti di Blok M justru mengungkapkan bahwa isu itu sengaja dibatasi. Politik simbolik dijalankan di depan layar, sementara politik kontrol dijalankan di balik layar. Kontradiksi inilah yang menjadikan politik Indonesia tampak penuh paradoks, sekaligus menunjukkan bahwa narasi nasional selalu bisa dinegosiasikan sesuai kebutuhan.

Akhirnya, episode dari Gatot hingga Blok M memperlihatkan dua wajah politik Indonesia: simbolik dan pragmatis. Di ruang publik, simbol-simbol kebangsaan dipakai untuk membangkitkan sentimen dan memperkuat legitimasi. Namun di ruang privat, isu-isu sensitif dipendam demi menjaga stabilitas kekuasaan dan arus investasi. Dengan demikian, komunisme tetap menjadi “hantu” yang sewaktu-waktu bisa dibangunkan, tetapi tidak pernah dibiarkan hidup terlalu lama. Republik ini, dengan dapurnya yang rumit, mengatur apa yang harus menjadi bumbu masakan politik hari ini, dan apa yang harus disimpan rapat di lemari dapur hingga waktu yang tepat.

Jakarta sebagai Jurassic Park Politik

Ibu kota Jakarta kerap dipersepsikan sebagai pusat segala intrik politik Indonesia. Sebuah ungkapan dari seorang sahabat yang menyamakan Jakarta dengan Jurassic Park terasa relevan: kota ini dipenuhi “dinosaurus” politik yang saling mengintai, siap menerkam satu sama lain ketika kesempatan muncul. Analogi tersebut menggambarkan betapa kerasnya persaingan di ibu kota, di mana aktor politik, pengusaha, aparat keamanan, dan media saling berkelindan. Vedi Hadiz dan Richard Robison (2004) telah menekankan bahwa pasca-Soeharto, oligarki Indonesia tidak lenyap, melainkan bermetamorfosis dalam ruang demokrasi, terutama di Jakarta sebagai pusat ekonomi dan politik.

Di Jakarta, pertarungan politik sering kali tidak terlihat di permukaan. Apa yang tampak dalam sidang DPR atau pidato presiden hanyalah puncak gunung es. Di balik layar, berlangsung manuver, lobi, dan negosiasi yang lebih menentukan arah republik. Edward Aspinall (2014) menyebut fenomena ini sebagai “hidden contestation” di mana politik formal hanya menjadi panggung, sementara kekuatan sesungguhnya bergerak dalam ruang-ruang tertutup. Analogi Jurassic Park tepat untuk menjelaskan situasi ini: predator terbesar jarang muncul di ruang terbuka, tetapi sekali muncul, dampaknya bisa mengubah seluruh lanskap.

Salah satu ciri khas Jakarta adalah bagaimana kekuatan ekonomi dan politik saling menunggangi. Pemilik modal besar mendanai partai, sementara partai membuka akses regulasi dan proyek. Ross Tapsell (2017) menulis bahwa media-media besar di Jakarta yang dikuasai oleh oligark tertentu ikut memperkuat jaringan patronase ini, menjadikan narasi politik sebagai senjata untuk menyerang lawan atau melindungi kawan. Maka, di kota ini, “narasi” bisa menjadi senjata paling tajam, setara dengan senjata militer atau kekuatan finansial. Tidak heran, aktor politik sangat hati-hati menjaga bahasa, gestur, dan simbol yang mereka tampilkan.

Dalam konteks isu komunisme, Jakarta memainkan peran unik. Isu itu jarang muncul secara konsisten, tetapi sekali dilempar ke publik, ia bisa memicu ketakutan massal yang mengganggu stabilitas politik nasional. Ketika Gatot Nurmantyo atau kelompok tertentu menggaungkannya, Jakarta segera menjadi arena utama perdebatan. Namun, seperti ditunjukkan dalam penelitian Fealy & White (2020), isu komunisme dengan cepat bisa diredam jika dianggap mengganggu arus investasi dan stabilitas elit. Dengan kata lain, Jakarta bukan hanya tempat lahirnya isu, tetapi juga tempat isu itu bisa dikubur dalam-dalam oleh tangan-tangan yang menguasai panggung.

Selain itu, Jurassic Park politik Jakarta juga mencerminkan dualitas persahabatan dan permusuhan. Elit yang tampak bersahabat di depan kamera, bersalaman dan berpelukan, bisa saling menikam di belakang layar. Harold Crouch (2010) menggambarkan hal ini sebagai “fragile alliances” yang menjadi ciri khas politik Indonesia. Hubungan antarelite di Jakarta sangat cair: hari ini menjadi koalisi, esok bisa menjadi oposisi, tergantung pada distribusi “kue kekuasaan.” Dinamika ini menegaskan bahwa politik di ibu kota lebih menyerupai perburuan oportunitas ketimbang perjuangan ideologis.

See also  Keluarga Muslim, Perubahan Sosial, dan Konflik Gender

Dalam skema demokrasi elektoral, Jakarta menjadi titik gravitasi utama. Kandidat presiden atau kepala daerah harus mendapat restu dan dukungan dari jaringan yang kuat di ibu kota. Marcus Mietzner (2019) menyebutnya sebagai “Jakarta-centric politics,” di mana keputusan penting tentang siapa yang bisa naik ke panggung nasional selalu ditentukan oleh kekuatan yang berpusat di Jakarta. Dengan kondisi semacam ini, analogi Jurassic Park bukan sekadar retorika, melainkan gambaran faktual tentang bagaimana ekosistem politik Indonesia bekerja: predator besar menguasai, sementara aktor kecil hanya bertahan hidup.

Akhirnya, melihat Jakarta sebagai Jurassic Park politik membantu memahami bahwa pertarungan politik di Indonesia bersifat brutal sekaligus penuh kamuflase. Publik hanya melihat senyum dan simbol, tetapi di balik itu terdapat intrik, pengawasan, dan serangan balik yang tidak kalah ganas dari pertarungan predator di hutan belantara. Dengan perspektif ini, rakyat daerah seperti di Aceh hanya bisa mengamati dari kejauhan, sementara arah republik ditentukan oleh predator besar yang beroperasi di ibu kota. Pertanyaannya: apakah republik ini akan terus dikuasai oleh “dinosaurus” lama, ataukah suatu hari akan muncul “spesies baru” yang mampu mengubah ekosistem kekuasaan di Jakarta?

Penutup: Bumbu Dapur Kekuasaan

Isu komunisme di Indonesia selalu kembali sebagai “hantu politik” yang bisa dipanggil atau diusir sesuai kebutuhan. Dalam perjalanan sejarahnya sejak 1965, komunisme telah menjadi simbol ketakutan yang terus-menerus direproduksi. Namun, dalam politik kontemporer, isu ini lebih banyak dipakai sebagai bumbu untuk menjaga aroma dapur republik tetap kuat, ketimbang sebagai ancaman ideologi nyata. Benedict Anderson (1999) menyebut fenomena semacam ini sebagai “politics of memory,” di mana narasi sejarah dipelihara bukan untuk rekonsiliasi, tetapi untuk alat kontrol politik.

Sebagaimana tampak dari pengalaman antara pidato Jokowi tahun 2015 hingga munculnya kembali Gatot Nurmantyo, isu komunisme tidak pernah hadir sebagai diskursus akademik murni. Ia hadir sebagai komoditas politik. Jeffrey Winters (2011) menyebut bahwa oligarki di Indonesia memiliki kemampuan untuk mengatur wacana sesuai dengan distribusi kekuasaan. Dalam hal ini, komunisme adalah bahan yang bisa dicampur kapan saja ke dalam resep, tetapi juga bisa dikeluarkan bila dianggap merusak rasa. Dengan demikian, komunisme adalah bumbu fleksibel dalam masakan politik Indonesia.

Bumbu ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan investasi asing. Ketika Cina masuk dengan proyek Belt and Road Initiative, narasi tentang komunisme dipandang berisiko mengganggu jalannya investasi. Maka, elit segera menutup rapat isu ini, dan menggantinya dengan bumbu lain: khilafah. Vedi Hadiz (2017) menegaskan bahwa populisme Islam di Indonesia sering muncul bukan karena ideologi yang kuat, melainkan sebagai respons politik terhadap kebutuhan konsolidasi elit. Dengan demikian, isu khilafah lebih aman dijadikan bumbu, karena bisa mengonsolidasikan nasionalisme sekaligus mengalihkan perhatian publik dari kerentanan ekonomi.

Dalam konteks ini, dapur republik berfungsi sebagai ruang seleksi narasi. Narasi yang menguntungkan kekuasaan dibiarkan beredar, sementara yang berisiko segera dipangkas. Fenomena ini sejalan dengan teori Pierre Bourdieu (1991) tentang “kekuasaan simbolik,” di mana elit menentukan bahasa, simbol, dan wacana yang boleh hidup. Ketika komunisme dianggap merugikan, simbol itu ditekan. Namun, ketika diperlukan untuk menyerang lawan atau mengingatkan sejarah, komunisme segera dipanggil kembali. Mekanisme inilah yang menjaga republik tetap bisa mengatur suhu politik sesuai selera penguasa.

Namun, logika bumbu dapur juga menimbulkan masalah serius. Publik yang hanya menerima sajian akhir tidak pernah benar-benar tahu apa yang dimasak di belakang layar. Transparansi demokrasi menjadi semu, karena rakyat dipaksa untuk mempercayai narasi yang sudah diolah. Harold Crouch (2010) menekankan bahwa reformasi politik Indonesia sering kali berhenti pada level institusional, tanpa menyentuh cara kerja oligarki di balik layar. Dengan demikian, dapur tetap eksklusif, dan rakyat hanya menjadi penikmat pasif dari “hidangan” kekuasaan.

Di titik ini, pertanyaan besar muncul: sampai kapan bumbu komunisme atau khilafah bisa dipakai untuk mengatur selera publik? Sejarah menunjukkan bahwa narasi politik yang terlalu lama direproduksi tanpa solusi substantif akan kehilangan daya tariknya. Eve Warburton (2020) menekankan bahwa generasi muda Indonesia semakin kritis terhadap narasi politik lama, dan lebih peduli pada isu-isu nyata seperti ekonomi, lingkungan, dan keadilan sosial. Artinya, dapur republik harus menemukan resep baru agar tidak ditinggalkan oleh rakyatnya.

Akhirnya, metafora bumbu dapur kekuasaan memberi kita pemahaman bahwa politik Indonesia bukan hanya tentang ideologi atau kebijakan, tetapi tentang bagaimana narasi diolah, dipilih, dan disajikan. Komunisme, khilafah, nasionalisme, bahkan demokrasi hanyalah bahan-bahan yang bisa ditambahkan atau dikurangi sesuai kebutuhan elit. Publik hanya bisa menilai rasa akhir dari hidangan itu, tetapi jarang diberi akses ke proses memasaknya. Inilah realitas politik kontemporer Indonesia: sebuah dapur besar yang penuh intrik, di mana aroma bumbu lebih sering menutupi bau gosong dari masakan yang sebenarnya.

Pada akhirnya, politik Indonesia selalu dihidangkan sebagai sebuah jamuan besar, tetapi rakyat jarang diajak masuk ke dapur tempat segala bumbu dipilih dan masakan dimasak. Isu komunisme, khilafah, nasionalisme, bahkan investasi asing hanyalah bahan-bahan yang dipakai elit untuk mengatur rasa politik sesuai kebutuhan mereka. Pertanyaan yang harus kita ajukan: sampai kapan kita rela hanya menjadi penikmat, bukan penentu resep?

Jika republik ini terus dijalankan seperti dapur eksklusif, maka yang menikmati hidangan sesungguhnya hanyalah mereka yang duduk di meja kekuasaan. Sementara rakyat hanya diberi kesempatan mencicipi remah-remah yang tersisa. Demokrasi yang sejati seharusnya memberi ruang bagi publik untuk ikut menentukan bahan, resep, dan arah masakan. Tanpa itu, kita hanya akan terus dihidangkan menu yang sama dengan rasa yang itu-itu juga.

Karena itu, mari kita ubah cara pandang. Jangan hanya puas dengan suguhan simbol, narasi, dan propaganda. Mulailah menuntut transparansi, keberanian, dan keterlibatan nyata. Mari suarakan hak untuk melihat proses di dapur republik: siapa yang memasak, siapa yang mengatur bumbu, dan siapa yang pertama kali mencicipi.

Apa pendapat Anda? Apakah rakyat Indonesia cukup puas sebagai penikmat politik, atau sudah waktunya membuka pintu dapur republik? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar dan media sosial, karena republik ini bukan hanya milik para juru masak di kekuasaan, tetapi milik kita semua.

Daftar Pustaka

  • Anderson, B. (1999). Indonesian Nationalism Today and in the Future. Southeast Asian Journal of Social Science, 27(1), 1–17.

  • Aspinall, E. (2014). Indonesian Politics and Democracy: A View from the Regions. Singapore: ISEAS.

  • Aspinall, E., & Mietzner, M. (2019). Indonesia: The irony of stability. Journal of Democracy, 30(4), 5–19.

  • Aspinall, E., & Muhtadi, B. (2021). Policy, Patronage, and Protests: The Politics of Contentious Collective Action in Indonesia. Journal of East Asian Studies, 21(1), 1–23.

  • Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Cambridge: Harvard University Press.

  • Crouch, H. (2010). Political Reform in Indonesia after Soeharto. Singapore: ISEAS.

  • Fealy, G., & White, S. (2020). Indonesia: Divisions over Islam and Nationalism. In Indonesia in the New World (pp. 12–30). Canberra: ANU Press.

  • Hadiz, V. R. (2017). Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge: Cambridge University Press.

  • Hadiz, V. R., & Robison, R. (2017). Populism and the State in Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 47(4), 507–528.

  • Hamilton, C., & Ohlberg, M. (2020). Hidden Hand: Exposing How the Chinese Communist Party is Reshaping the World. London: Oneworld Publications.

  • Honna, J. (2021). Security Politics in Indonesia: The Military, Modernisation and Democracy. Abingdon: Routledge.

  • Jenkins, D. (2013). Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975–1983. Jakarta: Equinox Publishing.

  • Laclau, E. (2005). On Populist Reason. London: Verso.

  • Mietzner, M. (2019). Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation. Singapore: NUS Press.

  • Reid, A. (2017). Ghosts of the Past in Southern Thailand, Indonesia and the Philippines: Nurturing Historical Memory in Southeast Asia. Asian Studies Review, 41(2), 171–187.

  • Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon.

  • Sukma, R. (2009). Indonesia’s Foreign Policy: A Quest for Identity. London: Routledge.

  • Tapsell, R. (2017). Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution. London: Rowman & Littlefield.

  • Warburton, E. (2018). Jokowi and the New Developmentalism. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(3), 297–320.

  • Warburton, E. (2020). Oligarchs, Money, and Democracy: The Politics of Economic Reform in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

  • Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge: Cambridge University Press.

About The Author