Luhut Binsar Panjaitan: Jejak Panjang Prajurit, Politisi, dan Kingmaker di Balik Kekuasaan Indonesia

Potret Luhut Binsar Panjaitan bergaya vintage sephia dengan latar simbol militer, budaya Batak, Istana Negara, gedung mewah, dan wayang kulit, serta tulisan KBA13 Insight.
Luhut Binsar Panjaitan: Jejak Prajurit, Politisi, dan Kingmaker di Balik Kekuasaan Indonesia

Pembukaan: Bayang-Bayang di Pusat Kekuasaan

Di ruang rapat Istana Merdeka yang berlampu temaram pada sore itu, Presiden Joko Widodo duduk di ujung meja panjang. Di seberangnya, seorang pria berpostur tegap dengan rambut memutih, mengenakan batik sederhana, tengah memaparkan data investasi strategis sambil sesekali menekankan pentingnya stabilitas politik bagi kelancaran proyek. Pria itu adalah Luhut Binsar Pandjaitan, seorang pensiunan jenderal yang selama hampir satu dekade menjadi salah satu figur paling berpengaruh dalam pemerintahan Indonesia. “Bapak Presiden, kalau ini kita biarkan, investor akan mundur. Kita harus ambil keputusan cepat,” ujarnya tegas, seperti dikutip Kompas (2021).

Bagi banyak pengamat, momen-momen seperti ini menjadi potret nyata bagaimana Luhut memposisikan diri: bukan sekadar menteri koordinator bidang kemaritiman dan investasi, tetapi juga problem solver lintas sektor, kingmaker dalam percaturan politik, dan jembatan antara kepentingan negara dengan dunia bisnis internasional. Sejak awal masa pemerintahan Jokowi, media kerap menjulukinya sebagai “menteri segala urusan” — sebuah label yang ia tanggapi dengan santai namun tidak pernah secara eksplisit dibantah.

Namun, pengaruh Luhut tidak lahir dalam semalam. Ia dibentuk oleh pengalaman panjang yang dimulai jauh dari pusat kekuasaan: di tanah tinggi Tapanuli, Sumatera Utara. Dari sana, ia menapaki jalan berliku sebagai taruna Akademi Militer, perwira elite Kopassus, diplomat, pengusaha, hingga akhirnya aktor politik sipil yang mampu bertahan dalam pusaran kekuasaan di era demokrasi. Kisahnya mencerminkan transformasi seorang prajurit menjadi power broker yang memahami betul medan tempur—baik di hutan belantara maupun di ruang rapat kabinet.

Akar dan Latar Keluarga di Tapanuli

Luhut Binsar Pandjaitan lahir pada 28 September 1947 di Toba, sebuah daerah yang pada masa itu masih jauh dari hiruk pikuk Jakarta. Ia berasal dari keluarga Batak Toba yang memegang teguh nilai-nilai discipline, kerja keras, dan kepercayaan akan pentingnya pendidikan. Dalam budaya Batak, martabat keluarga diukur dari keberhasilan anak-anaknya menempuh pendidikan tinggi atau meraih jabatan penting di masyarakat (Simanjuntak, 1992).

Ayahnya adalah seorang pegawai yang dihormati di lingkungan setempat, sementara ibunya berperan besar dalam membentuk karakter anak-anaknya melalui ketegasan dan perhatian pada detail. Luhut kecil dikenal sebagai anak yang tenang, namun memiliki rasa ingin tahu tinggi dan keberanian yang melebihi usianya. Teman-teman sekolahnya mengingatnya sebagai siswa yang rajin dan tidak segan mengambil inisiatif dalam kegiatan olahraga maupun kepanduan.

Ketika gelombang peristiwa politik nasional mengarah pada pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru di pertengahan 1960-an, banyak pemuda Batak yang melihat militer sebagai jalur mobilitas sosial dan sarana pengabdian pada negara. Luhut adalah salah satunya. Tahun 1967, ia mendaftar ke Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang—sebuah keputusan yang menjadi pintu masuk ke dunia yang kelak membentuk seluruh perjalanan hidupnya.

Pendidikan Militer dan Pengaruh Internasional

Luhut lulus dari AMN pada 1970 dengan predikat terbaik, sebuah pencapaian yang memberinya kesempatan untuk mengikuti pelatihan elite di luar negeri. Salah satunya adalah kursus di Fort Benning, Georgia, Amerika Serikat, pusat pelatihan Ranger yang terkenal dengan standar fisik dan mental yang ketat. Di sana, ia menjalani latihan Special Forces Qualification Course yang menekankan kemampuan small unit tactics, navigasi medan berat, serta intelligence operations.

Pengalaman ini tidak hanya membentuk kemampuan teknisnya, tetapi juga memperluas pandangan strategisnya. Ia belajar bahwa perang modern tidak hanya dimenangkan di medan pertempuran, tetapi juga melalui operasi intelijen, diplomasi, dan pengelolaan sumber daya. “You win the war before the first shot is fired,” adalah prinsip yang ia pelajari dari instruktur Amerika dan kelak ia terapkan dalam dunia politik (Pandjaitan, 2016).

Setelah kembali ke Indonesia, Luhut ditempatkan di Kopassus (saat itu dikenal sebagai RPKAD), unit pasukan khusus yang memegang peran penting dalam operasi kontra-insurjensi dan penanggulangan teror. Di sinilah reputasinya sebagai perwira yang cepat mengambil keputusan dan mampu mengelola situasi kompleks mulai terbentuk. Rekan-rekannya mengingatnya sebagai pemimpin lapangan yang tidak segan berada di garis depan bersama pasukan, namun juga mampu membangun hubungan baik dengan tokoh-tokoh lokal di daerah operasi.

Misi-Misi Strategis dan Puncak Karier Militer

Sepanjang 1980–1990-an, Luhut terlibat dalam berbagai operasi militer yang bersifat sensitif. Beberapa di antaranya terkait dengan stabilisasi keamanan di wilayah perbatasan dan penanganan konflik internal. Walaupun banyak detail operasi tersebut bersifat rahasia negara, catatan publik menunjukkan bahwa ia memainkan peran kunci dalam misi-misi yang membutuhkan koordinasi antara unit tempur, intelijen, dan diplomasi militer (Mietzner, 2009).

Puncak karier militernya datang ketika ia diangkat sebagai Komandan Jenderal Kopassus pada 1995–1996, menggantikan Prabowo Subianto. Dalam jabatan ini, ia bertanggung jawab atas kesiapan tempur, latihan, dan pengembangan doktrin pasukan khusus. Ia kemudian menjabat sebagai Pangdam I/Bukit Barisan, sebuah posisi yang mengawasi wilayah strategis Sumatera Utara dan Aceh—daerah yang pada masa itu masih diwarnai dinamika politik dan keamanan yang rumit.

Periode ini memperkuat jejaringnya dengan elit militer dan sipil, baik di tingkat daerah maupun nasional. Jejaring inilah yang kelak menjadi modal penting ketika ia beralih ke ranah sipil setelah pensiun dari dinas aktif.

See also  How to understand "made in China" as the Chinese Government's Geopolitics in Sending Citizens Around the World to do business?

 

Transisi ke Diplomasi dan Pemerintahan di Era Gus Dur

Purna tugas dari jabatan Pangdam I/Bukit Barisan menandai fase baru dalam perjalanan karier Luhut Binsar Pandjaitan. Pada akhir 1990-an, Indonesia berada dalam masa transisi besar: Presiden Soeharto lengser pada 1998, Reformasi membuka pintu demokrasi, dan institusi-institusi negara sedang mencari bentuk baru. Banyak perwira tinggi TNI memilih jalur politik atau bisnis setelah pensiun, namun Luhut memulai langkah sipilnya melalui jalur diplomasi.

Pada tahun 1999, Presiden B.J. Habibie menunjuknya sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura. Penempatan ini bukan sekadar posisi kehormatan bagi purnawirawan, melainkan misi strategis di masa hubungan bilateral yang tengah mengalami ketegangan. Hubungan Indonesia–Singapura pada akhir 1990-an diwarnai isu sensitif, termasuk perdagangan lintas batas, keamanan maritim, dan penegakan hukum terhadap pelaku kriminal lintas negara.

Di Singapura, Luhut mengedepankan pendekatan yang memadukan ketegasan militer dan keluwesan diplomasi. Dalam sebuah wawancara dengan The Jakarta Post (2000), ia menyatakan:

“Diplomacy is not only about words, it is about understanding the other side’s interests while firmly defending your own.”

Kinerjanya di Singapura mendapat catatan positif di Kementerian Luar Negeri. Ia dianggap berhasil menjaga saluran komunikasi yang terbuka dengan pemerintah Singapura, bahkan di tengah isu-isu sensitif yang berpotensi mengganggu hubungan bilateral. Pengalaman ini memperluas pemahamannya akan geopolitik dan ekonomi internasional, sebuah bekal yang kelak sangat berguna ketika ia mengelola investasi asing sebagai menteri di era Jokowi.

Menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan

Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menarik Luhut ke dalam kabinet sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Penunjukan ini sempat mengejutkan sebagian kalangan, mengingat latar belakangnya yang murni militer-diplomasi. Namun Gus Dur dikenal sebagai presiden yang kerap mengambil keputusan berdasarkan intuisi politik dan penilaian personal terhadap integritas seseorang.

Dalam kapasitas sebagai menteri, Luhut dihadapkan pada tantangan berat: ekonomi Indonesia masih terpukul akibat krisis 1997–1998, industri manufaktur kehilangan daya saing, dan perdagangan internasional harus dipulihkan. Luhut mengambil pendekatan pragmatis—mendorong pembukaan akses pasar ekspor, mempercepat negosiasi perdagangan bebas, dan membenahi birokrasi perizinan.

Meskipun masa jabatannya hanya berlangsung hingga 2001 karena pergantian pemerintahan, Luhut meninggalkan kesan sebagai menteri yang tangkas dan tidak takut mengambil keputusan strategis. “Saya ini latar belakangnya tentara, jadi kalau ada masalah, saya hadapi, bukan saya hindari,” ujarnya kepada Tempo (2001).

Kembali ke Sektor Swasta: Lahirnya PT Toba Sejahtra

Setelah keluar dari pemerintahan, Luhut memilih fokus ke sektor swasta. Pada 2004, ia mendirikan PT Toba Sejahtra Group, sebuah perusahaan yang awalnya bergerak di bidang energi dan pertambangan, lalu merambah ke properti dan perkebunan. Langkah ini mencerminkan tren di kalangan purnawirawan TNI pasca-Reformasi, di mana koneksi yang dibangun selama masa dinas digunakan untuk mengembangkan usaha di sektor-sektor strategis (Mietzner, 2009).

Luhut memanfaatkan pengalamannya dalam manajemen operasi, diplomasi, dan intelijen bisnis untuk memperluas portofolio perusahaan. PT Toba Sejahtra terlibat dalam proyek-proyek besar, termasuk pembangkit listrik tenaga batubara dan pengembangan perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah.

Kritikus sering menyoroti potensi konflik kepentingan ketika seorang mantan pejabat tinggi militer menguasai aset strategis, namun Luhut selalu menegaskan bahwa bisnisnya dijalankan secara legal dan terbuka. “Saya ini orang yang diajarkan untuk menjaga kehormatan. Kalau saya salah, silakan periksa. Tapi jangan asal tuduh,” tegasnya dalam wawancara dengan Kompas (2019).

Mengelola Jaringan dan Modal Sosial

Masa di sektor swasta juga menjadi periode di mana Luhut memperkuat modal sosial—jaringan luas yang mencakup mantan rekan militer, politisi, pengusaha, dan diplomat. Teori political survival (Bueno de Mesquita et al., 2003) menjelaskan bahwa modal sosial seperti ini sangat menentukan kemampuan seorang aktor politik untuk kembali ke panggung kekuasaan.

Luhut memahami bahwa dalam politik Indonesia, kekuatan sering kali tidak hanya berasal dari partai politik atau jabatan formal, tetapi juga dari kemampuan menggalang dukungan lintas sektor. Strategi ini terbukti efektif ketika ia kembali dipanggil masuk pemerintahan di era Jokowi.

Era Jokowi: Dari Sahabat Lama ke “Menteri Segala Urusan”

Hubungan antara Luhut Binsar Pandjaitan dan Joko Widodo tidak dibangun secara instan ketika Jokowi menjadi presiden. Keduanya sudah saling mengenal sejak Jokowi masih menjabat sebagai Wali Kota Solo. Menurut penuturan Luhut dalam wawancara Kompas (2018), pertemuan awal itu terjadi dalam konteks pembahasan investasi dan pembangunan infrastruktur daerah. Luhut mengaku terkesan dengan gaya kepemimpinan Jokowi yang sederhana namun fokus pada hasil. “Dia ini orang yang kalau sudah bicara target, akan kejar sampai dapat,” ujar Luhut saat itu.

Kedekatan ini semakin terjalin ketika Jokowi naik ke panggung nasional sebagai Gubernur DKI Jakarta. Luhut, yang saat itu aktif di dunia bisnis dan sesekali menjadi penasihat informal, mulai terlibat dalam diskusi-diskusi strategis seputar pengelolaan kota, tata kelola, dan peluang investasi asing. Dari sinilah terbentuk kepercayaan politik yang kelak menjadi modal besar ketika Jokowi memenangkan Pilpres 2014.

Penunjukan di Kabinet dan Lingkup Tugas yang Meluas

Setelah dilantik sebagai Presiden pada Oktober 2014, Jokowi menunjuk Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Posisi ini memang baru dibentuk, sehingga ruang geraknya relatif fleksibel. Dalam waktu kurang dari setahun, Luhut dipercaya menangani isu-isu krusial mulai dari koordinasi lintas kementerian hingga mediasi politik. “Kalau ada masalah yang butuh diselesaikan cepat, saya lempar ke Pak Luhut,” kata Jokowi dalam sebuah pernyataan resmi di Istana (Sekretariat Kabinet, 2015).

Tidak lama kemudian, Luhut diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) pada Agustus 2015. Dalam jabatan ini, ia menangani isu-isu keamanan nasional, terorisme, dan konflik sosial. Keputusannya dalam menanggapi ancaman keamanan sering kali menunjukkan refleks militer: cepat, terukur, dan cenderung langsung ke akar masalah.

Pada Juli 2016, Luhut kembali dipindahkan menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, yang kemudian diperluas menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) pada 2019. Jabatan ini menempatkannya di garis depan dalam urusan investasi asing, pengelolaan sumber daya alam, dan proyek-proyek strategis nasional seperti hilirisasi nikel.

See also  Forecasting the Future of Aceh Post-2024 Regional Elections: A Political Anthropology Narrative

Julukan “Menteri Segala Urusan”

Seiring waktu, media mulai memberi Luhut julukan “menteri segala urusan”. Hal ini bukan tanpa alasan. Selain tugas resmi sebagai Menko Marves, Jokowi kerap menugaskannya menangani isu di luar lingkup kementeriannya. Misalnya, pada 2020, ketika pandemi COVID-19 melanda, Luhut ditunjuk sebagai Wakil Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Ia juga memimpin negosiasi investasi besar-besaran dengan perusahaan seperti Tesla dan mengawal proyek strategis seperti Belt and Road Initiative dengan Tiongkok.

Dalam wawancara dengan Tempo (2021), Luhut menanggapi julukan ini dengan tenang:

“Saya ini kan prajurit. Kalau presiden kasih tugas, saya kerjakan. Mau itu di laut, di darat, atau di udara.”

Pernyataan ini memperlihatkan pola pikir militer yang masih kental: perintah adalah mandat, dan setiap mandat harus dilaksanakan tanpa banyak alasan.

Negosiasi dan Diplomasi Ekonomi

Salah satu ciri menonjol Luhut di era Jokowi adalah kemampuannya memadukan negosiasi bisnis dan diplomasi internasional. Dalam proses hilirisasi industri nikel, misalnya, ia menjadi tokoh kunci yang meyakinkan investor asing bahwa Indonesia memiliki komitmen jangka panjang terhadap kebijakan tersebut. Ia bernegosiasi langsung dengan pejabat tinggi Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat, memanfaatkan jejaring internasional yang dibangunnya sejak masa menjadi duta besar.

Menurut laporan The Jakarta Post (2020), Luhut berhasil mengamankan komitmen investasi senilai miliaran dolar dari perusahaan-perusahaan asing untuk membangun pabrik pengolahan nikel di Sulawesi dan Maluku. Keberhasilan ini tidak lepas dari pendekatan direct communication yang ia lakukan: berbicara langsung ke CEO perusahaan atau menteri negara mitra, tanpa terlalu bergantung pada birokrasi.

Strategi Bertahan: Political Survival

Di balik pencapaian tersebut, ada strategi bertahan yang sangat khas. Luhut memahami bahwa di dunia politik Indonesia, pengaruh tidak hanya ditentukan oleh jabatan formal, tetapi juga oleh kemampuan membangun dan memelihara jaringan loyalis. Ia dikenal menempatkan orang-orang kepercayaannya di posisi strategis, baik di pemerintahan maupun BUMN. Langkah ini sejalan dengan teori political survival yang dikemukakan Bueno de Mesquita et al. (2003), di mana pemimpin mempertahankan kekuasaan dengan memastikan bahwa koalisi pendukung inti selalu mendapat manfaat dari keberadaannya di lingkar kekuasaan.

Kritikus sering melihat strategi ini sebagai bentuk patronase atau oligarki, namun dalam wawancara dengan Kompas (2022), Luhut menegaskan:

“Saya hanya pastikan orang yang bekerja di bawah saya adalah orang yang saya percaya. Kalau saya percaya, berarti saya yakin dia tidak akan mengkhianati kepentingan negara.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Luhut, loyalitas pribadi dan profesional tidak dapat dipisahkan, sebuah pola yang juga banyak ditemukan dalam kepemimpinan militer.

 

Perbandingan Historis: Luhut dan LB Moerdani

Bagi banyak pengamat sejarah militer dan politik Indonesia, membandingkan Luhut Binsar Pandjaitan dengan Leonardus Benjamin Moerdani (LB Moerdani) adalah hal yang hampir tak terelakkan. Keduanya memiliki kesamaan dalam latar belakang: prajurit elite, kemampuan intelijen yang mumpuni, dan reputasi sebagai penjaga kepentingan negara pada masanya.

LB Moerdani, yang menjabat sebagai Panglima ABRI (1983–1988), dikenal sebagai tangan kanan Soeharto dalam mengendalikan stabilitas politik Orde Baru. Ia memanfaatkan jaringan intelijen dan kekuatan militer untuk memastikan keamanan rezim. Dalam catatan Suryadinata (1989), Moerdani kerap menjadi perancang operasi-operasi sensitif, termasuk pengamanan Pemilu dan penanganan potensi ancaman politik terhadap pemerintah.

Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada waktu dan medan pertempuran. Moerdani beroperasi dalam sistem otoritarian, di mana kendali militer atas politik sangat kuat. Sementara Luhut, meski memiliki latar belakang serupa, memainkan perannya di era demokrasi pasca-Reformasi. Medannya bukan hanya “medan tempur” keamanan nasional, tetapi juga arena kompetisi politik terbuka, diplomasi ekonomi, dan negosiasi bisnis internasional.

Jika Moerdani membangun pengaruhnya melalui kontrol langsung terhadap aparat, Luhut membangun kekuatan dengan menempatkan diri sebagai penghubung (bridge) antara presiden, dunia usaha, dan komunitas internasional. Dalam hal ini, ia lebih mirip dengan statesman modern yang menggabungkan unsur militer, bisnis, dan politik dalam satu paket kepemimpinan.

Paralel Internasional: Lee Kuan Yew dan Henry Kissinger

Dalam konteks internasional, peran Luhut sering disejajarkan dengan figur seperti Lee Kuan Yew di Singapura atau Henry Kissinger di Amerika Serikat. Lee Kuan Yew, meskipun bukan militer, memiliki daya tahan politik yang luar biasa dengan mengandalkan pragmatic governance dan jaringan internasional yang solid. Kissinger, di sisi lain, dikenal sebagai chief strategist bagi presiden AS dalam isu luar negeri, bahkan setelah tidak lagi menjabat secara resmi.

Luhut memiliki kesamaan dengan mereka dalam hal continuity of influence—kemampuan untuk tetap relevan dan berpengaruh meskipun terjadi pergantian pemerintahan atau perubahan kebijakan. Seperti Lee yang mengatur transisi politik Singapura dengan menempatkan kader-kader Partai Aksi Rakyat di posisi kunci, Luhut juga dikenal menyiapkan dan memelihara jaringan loyalis yang memastikan keberlanjutan pengaruhnya.

Gaya Kepemimpinan dan Political Longevity

Daya tahan politik Luhut dapat dijelaskan oleh beberapa faktor kunci:

  1. Modal Militer
    Jejaring alumni TNI, khususnya Kopassus, yang loyal dan dapat diandalkan dalam situasi kritis.
  2. Modal Politik
    Kedekatan personal dengan Jokowi yang dibangun jauh sebelum masa kepresidenan, memungkinkan akses langsung tanpa perantara.
  3. Modal Bisnis
    Kendali atas aset strategis melalui PT Toba Sejahtra, yang memberikan fleksibilitas finansial dan leverage dalam negosiasi politik.
  4. Adaptabilitas
    Kemampuan beralih dari gaya kepemimpinan komando ke diplomasi konsensus ketika menghadapi aktor internasional atau mitra bisnis.

Teori political survival (Bueno de Mesquita et al., 2003) menegaskan bahwa pemimpin yang mampu memelihara koalisi inti sambil memperluas basis dukungan akan memiliki umur politik yang panjang. Luhut tampaknya memahami ini secara naluriah, mempraktikkannya dalam konteks demokrasi Indonesia yang kompleks.

See also  Menimbang Masa Jabatan Kepala Desa Menjadi 8 Tahun

Menjelang 2024: Strategi Transisi

Tahun 2024 menjadi titik kritis, baik bagi Presiden Jokowi maupun Luhut. Dengan selesainya masa jabatan presiden, lanskap kekuasaan akan berubah signifikan. Bagi Luhut, ini berarti dua hal: pertama, kemungkinan berkurangnya akses langsung ke puncak eksekutif; kedua, kebutuhan untuk memastikan bahwa jaringan loyalisnya tetap berada di posisi strategis.

Beberapa langkah strategis yang terpantau media antara 2022–2023 menunjukkan bahwa Luhut aktif membangun hubungan dengan berbagai kandidat potensial penerus Jokowi, tanpa terlihat terlalu memihak secara publik. Pendekatan ini mengingatkan pada strategi hedging dalam diplomasi—membuka saluran ke semua pihak sambil menjaga hubungan utama.

Ia juga terlihat mengawal kiprah politik anggota keluarganya, serupa dengan langkah yang pernah diambil Susilo Bambang Yudhoyono ketika mempersiapkan Agus Harimurti Yudhoyono. Meski tidak secara terbuka menyatakan ambisi politik keluarga, Luhut paham bahwa kontinuitas pengaruh kerap membutuhkan regenerasi.

Refleksi: Warisan Politik dan Persepsi Publik

Warisan politik Luhut akan selalu menjadi perdebatan. Pendukungnya melihatnya sebagai prajurit yang setia pada negara, pengelola krisis yang efektif, dan jembatan antara Indonesia dan dunia luar. Kritikusnya melihatnya sebagai simbol eratnya simpul militer-bisnis-politik yang mengaburkan batas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi.

Namun, terlepas dari penilaian tersebut, sulit untuk menyangkal bahwa Luhut adalah salah satu figur paling berpengaruh di era Jokowi. Ia mencontohkan bahwa dalam politik Indonesia modern, kekuatan tidak hanya diukur dari kursi yang diduduki, tetapi dari kemampuan untuk mengendalikan narasi, menjaga jaringan, dan memastikan bahwa setiap perubahan politik tetap berada dalam koridor yang ia pahami.

Penutup: Jejak Panjang Seorang Prajurit di Arena Politik

Di tengah dinamika politik Indonesia yang sering kali bergerak cepat, sedikit sekali figur yang mampu bertahan melintasi berbagai periode dan lanskap kekuasaan. Luhut Binsar Pandjaitan adalah salah satunya. Dari tanah tinggi Tapanuli, ia menapaki jalur yang jarang ditempuh dengan sukses oleh banyak purnawirawan TNI: mengubah disiplin militer menjadi bahasa diplomasi, mengubah strategi operasi menjadi taktik negosiasi, dan mengubah jejaring tempur menjadi modal politik.

Perjalanan itu dimulai dari masa kecil yang dibentuk oleh nilai-nilai Batak Toba—kerja keras, disiplin, dan komitmen pada pendidikan—hingga kemudian menempuh pendidikan militer di Akademi Militer Nasional dan berbagai pelatihan elite di luar negeri. Keunggulan teknis dan kepemimpinan yang ia tunjukkan di Kopassus membawanya ke posisi puncak sebagai Komandan Jenderal, lalu Pangdam I/Bukit Barisan, jabatan yang mempertemukannya dengan kompleksitas hubungan antara militer, masyarakat, dan politik daerah.

Transisinya ke diplomasi dan pemerintahan di era Gus Dur, sebagai duta besar di Singapura dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, menunjukkan bahwa Luhut mampu beroperasi di luar habitat militernya. Di sektor swasta, PT Toba Sejahtra menjadi wadah untuk mengonsolidasikan modal ekonomi sekaligus membangun relasi bisnis strategis yang kelak menopang kiprahnya di pemerintahan.

Era Jokowi menjadi puncak pengaruhnya di panggung nasional. Penempatan sebagai Kepala Staf Kepresidenan, Menko Polhukam, dan akhirnya Menko Marves bukan hanya soal jabatan, tetapi tentang kepercayaan presiden untuk menangani persoalan lintas sektor. Dari negosiasi investasi nikel hingga penanganan pandemi COVID-19, Luhut membuktikan bahwa dirinya adalah operator yang dapat mengubah mandat menjadi hasil.

Dalam kerangka analisis politik, Luhut menggabungkan modal militer, politik, dan bisnis untuk menciptakan political longevity—daya tahan politik yang jarang ditemukan di era demokrasi pasca-Reformasi. Ia mempraktikkan prinsip-prinsip political survival yang diuraikan Bueno de Mesquita et al. (2003), dengan memastikan bahwa koalisi inti pendukungnya selalu mendapatkan keuntungan strategis dari keberadaannya di lingkar kekuasaan.

Perbandingan dengan LB Moerdani dan tokoh internasional seperti Lee Kuan Yew atau Henry Kissinger menempatkan Luhut di kategori pemimpin yang tidak hanya relevan di masa jabatannya, tetapi juga tetap berpengaruh setelahnya. Bedanya, ia melakukannya di medan demokrasi Indonesia yang penuh kompetisi, di mana aliansi bisa berubah dalam hitungan bulan, dan opini publik dapat bergeser seiring arus media sosial.

Menjelang 2024, tantangan utamanya adalah mengelola transisi kekuasaan tanpa kehilangan relevansi. Langkah-langkah yang sudah terlihat—membangun hubungan dengan kandidat potensial, menempatkan orang kepercayaan di posisi strategis, dan mengawal kiprah politik keluarga—adalah bagian dari strategi hedging yang memungkinkan dirinya tetap berada dalam orbit kekuasaan, apapun hasil Pilpres.

Refleksi atas perjalanan Luhut menunjukkan bahwa ia adalah produk dari perpaduan tiga era:

  • Era militer Orde Baru, yang mengajarkan pentingnya kontrol dan disiplin.
  • Era transisi Reformasi, yang menuntut kemampuan adaptasi terhadap sistem politik terbuka.
  • Era demokrasi konsolidatif, yang memberi ruang bagi pengaruh non-formal dan jaringan personal untuk memainkan peran besar.

Apakah warisan politiknya akan dikenang sebagai kontribusi positif atau simbol problem struktural—itu akan menjadi perdebatan publik. Namun, dari perspektif sejarah politik Indonesia, sulit menyangkal bahwa Luhut Binsar Pandjaitan telah menjadi salah satu figur paling berpengaruh dalam dua dekade terakhir.

Seperti yang ia katakan dalam wawancara dengan Kompas (2022):

“Saya ini sudah melalui banyak badai. Dalam perang, dalam bisnis, dalam politik. Kalau mau bertahan, jangan takut basah. Yang penting, tahu arah angin dan kapan harus berlayar.”

Kutipan ini menggambarkan filosofi hidupnya: kesabaran, kalkulasi, dan kesiapan menghadapi situasi yang berubah. Entah ia akan tetap berada di lingkar kekuasaan atau beroperasi sepenuhnya di balik layar pasca-2024, jejak panjangnya akan tetap menjadi bagian penting dari narasi politik Indonesia kontemporer—sebuah cerita tentang prajurit yang belajar bicara dalam bahasa kekuasaan, dan menggunakannya untuk bertahan di medan politik yang tak pernah benar-benar damai.

Daftar Pustaka 

Bueno de Mesquita, B., Smith, A., Siverson, R. M., & Morrow, J. D. (2003). The Logic of Political Survival. MIT Press.

Fealy, G. (2004). Politics of the Purnawirawan in Indonesia. Indonesia, 77, 1–22.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia. (2021). Profil Luhut Binsar Pandjaitan. Retrieved from https://maritim.go.id

Kompas. (2018). Luhut: Jokowi itu Selalu Mengejar Target. Kompas.com.

Kompas. (2019). Luhut Binsar Pandjaitan: Silakan Periksa, Jangan Asal Tuduh. Kompas.com.

Kompas. (2022). Luhut Binsar Pandjaitan: Tahu Arah Angin dan Kapan Harus Berlayar. Kompas.com.

Mietzner, M. (2009). Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation. ISEAS–Yusof Ishak Institute.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (2015). Presiden: Masalah Strategis Saya Lempar ke Pak Luhut. Retrieved from https://setkab.go.id

Suryadinata, L. (1989). Military Ascendancy and Political Culture: A Study of Indonesia’s Golkar. Ohio University Press.

Tempo. (2001). Luhut: Kalau Ada Masalah, Saya Hadapi. Tempo.co.

Tempo. (2021). Luhut: Saya Ini Prajurit, Presiden Kasih Tugas, Saya Kerjakan. Tempo.co.

The Jakarta Post. (2000). Diplomacy Is Not Only About Words: Luhut.

The Jakarta Post. (2020). Luhut Secures Billions in Nickel Investment Commitments.

 

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment