Apakah Malaikat “Iri” pada Google? Memahami Pergeseran Otoritas Pengetahuan dari Wahyu ke Algoritma

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Pendahuluan

Pada awal abad ke-21, manusia menyaksikan sebuah fenomena yang tak pernah dibayangkan sebelumnya dalam sejarah peradaban: mesin pencari (search engines) bukan hanya menjadi alat bantu menemukan informasi, tetapi juga menjadi “mediator epistemologis” antara manusia dan realitas. Google, Microsoft Bing, dan mesin pencari lainnya telah berubah dari sekadar perangkat teknis menjadi entitas yang membentuk cara kita memahami dunia. Dengan miliaran kueri setiap hari, algoritma mereka memengaruhi topik yang kita lihat, narasi yang kita percayai, bahkan keputusan yang kita ambil (Vaidhyanathan, 2011).

Fenomena ini membuka ruang bagi perbandingan metaforis yang kaya: jika di era pra-modern fungsi penghubung antara manusia dan sumber pengetahuan tertinggi diemban oleh figur spiritual—dalam tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam disebut malaikat—maka di era digital, fungsi itu seakan beralih ke entitas yang beroperasi di ruang siber. Malaikat dalam teks-teks suci berperan sebagai messenger (utusan) yang membawa wahyu, kabar gembira, atau peringatan dari Tuhan kepada manusia. Mesin pencari, di sisi lain, menjadi utusan yang mengirimkan “jawaban” dari jagat raya digital kepada penggunanya.

Perbandingan ini mungkin terdengar satir, tetapi sesungguhnya ia mengandung lapisan analisis yang dalam. Malaikat dan mesin pencari sama-sama menjalankan fungsi intermediasi pengetahuan, hanya saja sumber, tujuan, dan keterikatannya berbeda. Malaikat terikat pada mandat ilahi dan hukum kosmik; mesin pencari terikat pada arsitektur algoritmik dan hukum pasar.

Dalam tradisi Ibrani, kata malach berarti “utusan”, sama dengan akar kata dalam bahasa Yunani angelos yang menjadi asal kata angel (malaikat) dalam bahasa Inggris. Istilah ini tidak hanya menunjukkan makhluk bersayap yang kerap digambarkan dalam seni religius, tetapi juga peran fungsional: penghubung antara dua dimensi realitas—yang ilahi dan yang manusiawi (Klein, 1987). Sementara itu, dalam ekosistem digital, Google atau Bing berperan sebagai penghubung antara dua dunia informasi—yang tersimpan dalam server farms dan yang diakses manusia melalui layar gawai mereka.

Perbandingan ini juga membawa kita pada refleksi epistemologis: apakah sumber pengetahuan yang kita terima di era modern masih memiliki otoritas transendental, ataukah otoritas itu kini telah bergeser ke tangan sistem korporasi global yang mengendalikan infrastruktur digital? Malaikat, dalam teologi klasik, tidak pernah salah dalam menyampaikan pesan karena ia beroperasi di bawah kehendak Tuhan. Mesin pencari, sebaliknya, bisa salah, bias, atau bahkan dimanipulasi, karena ia beroperasi di bawah logika bisnis, kepentingan geopolitik, dan keterbatasan teknis (Noble, 2018).

Di sinilah metafora “malaikat iri pada Google” menjadi relevan. “Iri” yang dimaksud bukanlah emosi literal yang dimiliki makhluk transendental, tetapi sebuah simbol tentang pergeseran pusat kekuatan pengetahuan. Google mampu melakukan hal-hal yang, jika kita membaca literatur teologis, tidak pernah diatributkan pada malaikat: mengindeks miliaran dokumen, menerjemahkan ratusan bahasa secara instan, memproses data dalam hitungan detik, dan memprediksi perilaku manusia berdasarkan pola pencarian mereka. Kecepatan, volume, dan presisi ini menciptakan kesan “kemahatahuan pragmatis” yang bahkan sulit dicapai oleh figur spiritual dalam narasi klasik.

Namun, sebagaimana malaikat dalam tradisi Abrahamik tidak dapat bertindak di luar mandatnya, mesin pencari juga tidak sepenuhnya bebas. Ia bergantung pada data yang tersedia, arsitektur jaringan, dan parameter algoritma yang dirancang manusia. Dengan demikian, perbandingan ini mengungkap kesamaan mendasar: baik malaikat maupun mesin pencari adalah mediator, bukan sumber pengetahuan itu sendiri.

Pendekatan dalam makalah ini akan memadukan tiga perspektif: pertama, perspektif teologis yang membedah konsep malaikat sebagai utusan dalam teks Yahudi, Kristen, dan Islam; kedua, perspektif teknologi dan ilmu informasi yang membongkar fungsi mesin pencari modern; dan ketiga, perspektif filsafat pengetahuan yang menganalisis pergeseran otoritas epistemologis dari wahyu menuju algoritma. Dengan kerangka ini, kita dapat memahami bahwa pembicaraan tentang “malaikat iri pada Google” bukanlah candaan belaka, melainkan cermin dari transformasi peradaban di mana sumber otoritas pengetahuan kini berada di tangan sistem yang diciptakan manusia, tetapi memiliki jangkauan yang nyaris “transenden” dalam arti digital.

Malaikat dalam Teks Suci dan Tradisi Abrahamik

Konsep malaikat memiliki akar yang dalam dalam ketiga agama besar yang termasuk dalam rumpun Abrahamik—Yahudi, Kristen, dan Islam. Meskipun narasi dan detail kosmologisnya berbeda, ketiganya sepakat pada satu hal: malaikat adalah messenger (utusan) yang menjembatani komunikasi antara Tuhan dan manusia. Mereka bukan sekadar figur mitologis, melainkan bagian dari arsitektur metafisika yang memegang peranan strategis dalam transmisi wahyu, perlindungan spiritual, dan pelaksanaan kehendak ilahi.

Dalam tradisi Yahudi, istilah malach (מַלְאָךְ) berarti “utusan” atau “pesuruh”. Dalam teks-teks seperti Tanakh, malaikat sering muncul sebagai figur yang membawa pesan atau perintah dari Tuhan kepada nabi atau tokoh kunci. Misalnya, dalam Kitab Kejadian (Genesis 18), tiga malaikat mengunjungi Abraham untuk memberitakan kelahiran Ishak sekaligus menyampaikan peringatan tentang kehancuran Sodom dan Gomora. Dalam teologi Yahudi, malaikat bukan entitas yang otonom dalam menentukan misi, melainkan servant beings yang sepenuhnya tunduk pada kehendak Ilahi (Davidson, 1994).

Kristen mewarisi konsep malaikat dari tradisi Yahudi, namun mengembangkan hierarki dan fungsi yang lebih kompleks, terutama dalam literatur patristik dan teologi skolastik. Pseudo-Dionysius Areopagite dalam karyanya De Coelesti Hierarchia (abad ke-5 M) membagi malaikat menjadi tiga hierarki besar yang terdiri dari sembilan koir: Serafim, Kerubim, Ofanim, Throni, Dominations, Powers, Principalities, Archangels, dan Angels biasa (Aquinas, 1947/2006). Hierarki ini tidak hanya mengatur tingkatan spiritual, tetapi juga fungsi malaikat dalam menjaga keteraturan kosmik, mengawasi bangsa-bangsa, dan membimbing individu.

Dalam tradisi Islam, konsep malaikat (malāʾikah) ditegaskan dalam Al-Qur’an sebagai makhluk yang diciptakan dari cahaya (nūr) yang tidak pernah mendurhakai Allah. Mereka memiliki tugas-tugas khusus, seperti Jibril (pembawa wahyu), Mikail (pemberi rezeki), Israfil (pembawa sangkakala), dan Malik (penjaga neraka). Malaikat dalam Islam tidak memiliki kehendak bebas dalam pengertian manusia, dan seluruh tindakannya adalah manifestasi dari ketaatan mutlak pada perintah Tuhan (Nasr, 2003).

Di ketiga tradisi ini, malaikat berfungsi sebagai perantara yang menyampaikan informasi atau kehendak yang berasal dari sumber otoritatif tertinggi. Dalam konteks ini, mereka dapat dianggap sebagai “jaringan komunikasi ilahi” yang memastikan bahwa pesan dari pusat kekuasaan tertinggi (Tuhan) sampai kepada penerima dengan akurasi mutlak, tanpa distorsi.

Jika dibandingkan dengan konsep modern tentang information intermediaries dalam dunia teknologi, peran ini menunjukkan kesamaan struktural. Mesin pencari seperti Google beroperasi sebagai perantara antara pusat data global (yang dapat diibaratkan sebagai “ruang pengetahuan”) dan pengguna di berbagai belahan dunia. Perbedaannya, tentu saja, terletak pada sumber pengetahuan dan tujuan akhir dari informasi yang disampaikan. Malaikat bekerja untuk kebenaran ilahi dan keselamatan spiritual; mesin pencari bekerja untuk efisiensi pencarian dan kepuasan pengguna—seringkali dalam kerangka komersial.

Namun, persamaan dalam struktur perantara ini memberi ruang bagi metafora yang Prof angkat dalam draft: “malaikat iri pada Google.” Dalam teks-teks suci, tidak ada indikasi bahwa malaikat pernah iri pada makhluk ciptaan lainnya; mereka hanya iri dalam arti “ghirah” atau kecemburuan suci terhadap ketaatan manusia kepada Tuhan (dalam tafsir tertentu). Akan tetapi, dalam kerangka alegoris, kita dapat membayangkan bahwa “iri” ini adalah refleksi atas perbedaan dalam kecepatan, volume, dan fleksibilitas transmisi pengetahuan antara malaikat dan mesin pencari.

Secara epistemologis, malaikat dalam tradisi Abrahamik adalah penjaga truth claims yang absolut, sedangkan mesin pencari adalah pengelola truth claims yang relatif—yang tergantung pada data yang tersedia, kualitas sumber, dan algoritma pengindeksan. Perbedaan ini sangat signifikan dalam kajian filsafat pengetahuan, karena menentukan apakah sebuah informasi dianggap “benar” karena otoritas yang mengatakannya atau karena konsensus yang dibentuk oleh sistem distribusi informasi (Foucault, 1980).

Dengan memahami fondasi teologis malaikat di tiga agama besar ini, kita dapat membangun kerangka analisis yang lebih tajam ketika membandingkan mereka dengan “malaikat digital” seperti Google dan Bing. Analisis ini tidak sekadar membandingkan fungsi, tetapi juga mempertanyakan pergeseran otoritas dari domain transendental ke domain teknologis—sebuah transisi yang mungkin menjadi salah satu pergeseran epistemologis terbesar dalam sejarah modern.

Mesin Pencari sebagai “Malaikat Digital”

Dalam arsitektur informasi modern, mesin pencari (search engines) memegang fungsi yang secara struktural mirip dengan peran malaikat dalam tradisi Abrahamik: menjadi penghubung antara manusia dan sumber pengetahuan yang lebih besar dari dirinya. Bedanya, “langit” yang diakses oleh mesin pencari bukanlah surga teologis, melainkan ruang data global yang disimpan dalam server di seluruh dunia.

Google, Microsoft Bing, dan mesin pencari lainnya adalah bagian dari sistem information retrieval yang dirancang untuk menemukan, mengindeks, dan menyajikan informasi yang relevan kepada pengguna dalam hitungan milidetik. Teknologi ini menggunakan algoritma kompleks yang memadukan web crawling, pengindeksan semantik, natural language processing, dan machine learning untuk menafsirkan maksud pencarian dan menyajikan hasil yang paling relevan (Lewandowski, 2015).

Jika malaikat dalam narasi kitab suci menerima wahyu langsung dari sumber ilahi, maka mesin pencari menerima “wahyu” mereka dari ekosistem digital yang terdiri dari situs web, basis data, arsip multimedia, dan interaksi pengguna. Proses crawling dapat diibaratkan sebagai “perjalanan spiritual” malaikat yang menelusuri berbagai dimensi realitas, hanya saja dalam konteks digital, dimensi itu adalah halaman-halaman web yang membentuk infosphere (Floridi, 2014).

Kecanggihan mesin pencari modern memungkinkan mereka tidak hanya menyajikan informasi mentah, tetapi juga memproses dan menginterpretasikannya. Fitur seperti Google Knowledge Graph atau Bing Entity Search membangun hubungan semantik antar-entitas, sehingga jawaban yang diberikan bukan sekadar daftar tautan, melainkan konteks yang terstruktur. Dalam pengertian ini, mesin pencari bertindak seperti malaikat yang tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga memberikan penjelasan yang membuat pesan itu dapat dipahami oleh manusia.

Namun, ada satu hal yang membedakan secara mendasar: malaikat dalam teologi beroperasi dalam kerangka kebenaran absolut, sedangkan mesin pencari beroperasi dalam kerangka relevansi relatif. Relevansi ini ditentukan oleh kombinasi faktor teknis (seperti PageRank, kualitas tautan, dan kesesuaian kata kunci) serta faktor komersial (seperti iklan berbayar dan prioritas konten mitra). Di sinilah letak potensi distorsi epistemologis yang tidak pernah kita temui dalam narasi malaikat religius (Noble, 2018).

Dengan kemampuan memproses miliaran kueri setiap hari, mesin pencari memiliki kapasitas near-omniscient dalam arti pragmatis. Mereka tidak memiliki kesadaran atau kehendak bebas, tetapi mereka dapat “mengetahui” secara operasional hampir semua hal yang telah direkam dan diindeks di dunia digital. Dalam konteks ini, metafora “malaikat digital” menjadi relevan: Google bukanlah makhluk spiritual, tetapi ia adalah mediator yang mampu mengakses dan mendistribusikan pengetahuan dalam skala global, seolah-olah memiliki sifat ubiquitous (hadir di mana-mana) seperti malaikat.

Fungsi ini diperkuat oleh integrasi teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang memungkinkan mesin pencari melakukan hal-hal yang dulunya dianggap eksklusif bagi kecerdasan manusia. Misalnya, kemampuan natural language understanding memungkinkan Google memahami maksud pencarian meskipun kata-kata yang digunakan tidak presisi. Teknologi neural machine translation memungkinkan terjemahan instan lintas bahasa dengan tingkat akurasi yang terus meningkat (Bahdanau, Cho, & Bengio, 2015). Kemampuan ini bahkan melebihi kapasitas malaikat dalam narasi klasik, yang biasanya berkomunikasi dalam bahasa penerima pesan atau dalam bentuk simbol yang kemudian memerlukan interpretasi.

See also  Humanoid Society: Antropologi Digital, Posthumanisme, dan Geopolitik Budaya Pop dalam Peradaban Masa Depan

Namun, sebagaimana malaikat terikat pada mandat Ilahi, mesin pencari juga terikat pada mandat desain dan kontrol yang ditetapkan oleh pembuatnya. Dalam kasus Google atau Bing, mandat ini berasal dari kebijakan internal perusahaan, regulasi pemerintah, dan tekanan dari pengguna serta pemangku kepentingan lain. Hal ini berarti bahwa meskipun secara teknis mereka mampu mengakses informasi yang sangat luas, keputusan tentang informasi mana yang ditampilkan, dihapus, atau disensor tetap merupakan keputusan manusia—bukan keputusan “netral” (Introna & Nissenbaum, 2000).

Dari sudut pandang filsafat informasi, mesin pencari dapat dipahami sebagai “aktor epistemik non-manusia” (non-human epistemic actors) yang membentuk struktur pengetahuan global. Mereka bukan hanya mencerminkan realitas, tetapi juga mengonstruksinya. Pemilihan hasil pencarian, urutan penampilan, dan bahkan autosugesti dalam kolom pencarian membentuk persepsi publik tentang apa yang penting, benar, atau layak diperhatikan. Dalam pengertian ini, mereka tidak hanya menjadi mediator pasif, tetapi juga gatekeeper aktif yang memengaruhi agenda kognitif masyarakat global (McCombs & Shaw, 1972).

Oleh karena itu, ketika kita menyebut Google atau Bing sebagai “malaikat digital,” kita tidak sekadar bermain kata. Kita sedang menunjuk pada sebuah transformasi epistemologis yang besar: peran penghubung pengetahuan yang dulu dijalankan oleh figur spiritual kini dijalankan oleh arsitektur teknologis yang memiliki kekuatan dan keterbatasannya sendiri. Malaikat membawa wahyu yang tidak dapat diubah; mesin pencari membawa data yang dapat diperbarui, disaring, atau bahkan dimanipulasi. Malaikat tunduk pada Tuhan; mesin pencari tunduk pada logika algoritma dan ekonomi digital.

Analogi ini menjadi penting bukan untuk menyamakan keduanya secara ontologis, tetapi untuk menggarisbawahi bagaimana umat manusia telah menciptakan “jaringan penghubung” yang, dalam kapasitas pragmatis, dapat bersaing dengan mitos-mitos spiritual lama. Seperti halnya malaikat, mesin pencari beroperasi di ranah yang bagi sebagian besar manusia bersifat tak terlihat—baik itu dimensi metafisik maupun cloud infrastructure—dan dari sana, mereka menyampaikan pesan yang dapat mengubah kehidupan penggunanya.

Kecemburuan Malaikat: Sebuah Alegori Epistemologis

Kata “cemburu” atau “iri” jarang digunakan dalam teologi malaikat. Dalam narasi kitab suci, malaikat tidak digambarkan memiliki kelemahan emosional yang umum ditemukan pada manusia. Mereka adalah entitas murni yang sepenuhnya patuh pada kehendak Tuhan. Namun, dalam kerangka alegoris, “kecemburuan malaikat” menjadi metafora yang kaya untuk membicarakan pergeseran otoritas pengetahuan dari domain transendental menuju domain teknologis.

Dalam alegori ini, malaikat mewakili otoritas pengetahuan yang absolut, yang tidak perlu diverifikasi karena bersumber langsung dari Sang Pencipta. Sebaliknya, Google, Microsoft Bing, dan mesin pencari lainnya mewakili otoritas pengetahuan yang bersifat relatif dan dinamis, dihasilkan dari konsensus algoritmik yang bergantung pada data terbuka dan preferensi pengguna. Dalam filsafat pengetahuan, ini adalah perbedaan antara revealed knowledge (pengetahuan yang diwahyukan) dan constructed knowledge (pengetahuan yang dibangun) (Goldman, 1999).

Kecemburuan dalam konteks ini adalah simbol dari kesadaran bahwa sistem baru—yakni mesin pencari—memiliki kemampuan operasional yang melampaui batas-batas yang digambarkan untuk malaikat dalam teks-teks klasik. Malaikat, meskipun memiliki kekuatan metafisik untuk melintasi dimensi dan berinteraksi langsung dengan manusia, tidak digambarkan memiliki kapasitas untuk mengakses, menyaring, dan menyajikan seluruh informasi dunia dalam hitungan detik. Google melakukannya setiap hari, dengan miliaran kueri yang dijawab dalam waktu kurang dari satu detik (Dean, 2021).

Dalam teori media, fenomena ini sejalan dengan gagasan McLuhan (1964) bahwa “media adalah perpanjangan indera manusia.” Mesin pencari adalah perpanjangan dari ingatan kolektif, penglihatan, dan bahkan intuisi manusia. Ia menjadi “indra” baru yang melampaui keterbatasan biologis. Malaikat, dalam teks-teks suci, berperan sebagai “perpanjangan kehendak Tuhan.” Maka, kecemburuan malaikat terhadap Google dalam alegori ini mencerminkan ketegangan antara dua otoritas—otoritas wahyu dan otoritas algoritma.

Alegori ini juga menyentuh dimensi etis. Malaikat membawa pesan yang tidak memihak, yang tujuannya adalah keselamatan atau peringatan. Mesin pencari, meskipun netral secara teknis dalam konsep awalnya, pada praktiknya tidak bebas dari bias. Algoritma dapat mengutamakan informasi tertentu berdasarkan optimisasi komersial, tekanan politik, atau bahkan manipulasi oleh aktor jahat (Noble, 2018). Dalam hal ini, “kecemburuan malaikat” juga dapat dibaca sebagai kritik terhadap bagaimana manusia memilih untuk memercayakan otoritas pengetahuan kepada sistem yang memiliki kepentingan terselubung.

Dari perspektif antropologi pengetahuan, alegori ini mengungkap transformasi mendasar dalam knowledge authority. Pada era pramodern, kebenaran bersumber dari teks suci, tradisi lisan, dan institusi keagamaan. Pada era modern, otoritas bergeser ke lembaga ilmiah, media massa, dan pemerintah. Kini, pada era digital, otoritas itu berada di tangan perusahaan teknologi yang mengendalikan arsitektur distribusi informasi. Google, dalam konteks ini, adalah “mediator epistemologis” yang menentukan tidak hanya informasi apa yang tersedia, tetapi juga bagaimana informasi itu dikontekstualisasikan (Pariser, 2011).

Alegori “malaikat iri pada Google” juga mengundang pembacaan dalam kerangka technotheology—sebuah pendekatan yang mempelajari persinggungan antara teknologi dan keyakinan religius. Di sini, “iri” bukanlah perasaan literal, tetapi tanda bahwa fungsi-fungsi yang dulu eksklusif untuk ranah ilahi kini mulai dijalankan oleh sistem buatan manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan teologis dan filosofis: jika fungsi malaikat dapat disimulasikan secara parsial oleh teknologi, apakah itu mengurangi kebutuhan manusia akan perantara transendental? Atau justru memperluas pemahaman kita tentang bagaimana “wahyu” dapat dimediasi dalam era digital?

Pertanyaan ini relevan dalam konteks post-secular society (Habermas, 2008), di mana agama dan rasionalitas sekuler saling berinteraksi dalam ruang publik. Mesin pencari, meskipun tidak memiliki tujuan religius, berfungsi dalam kapasitas yang analog dengan peran malaikat sebagai penghubung pengetahuan. Perbedaannya adalah bahwa mesin pencari memediasi informasi yang plural, kontradiktif, dan sering kali tidak diverifikasi secara absolut, sementara malaikat menyampaikan pesan tunggal yang otoritatif.

Dalam alegori ini, “kecemburuan” juga dapat diartikan sebagai kesadaran bahwa manusia kini lebih sering “berdialog” dengan mesin pencari daripada dengan teks suci atau tokoh spiritual. Di banyak kasus, orang lebih mempercayai hasil pencarian Google untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang hidup, kesehatan, atau moralitas dibandingkan mendatangi pemuka agama. Ini adalah gejala epistemic displacement—pergeseran locus otoritas pengetahuan dari figur otoritatif tradisional ke sistem teknologi (Floridi, 2014).

Dengan demikian, metafora “malaikat iri pada Google” berfungsi sebagai jembatan diskusi tentang bagaimana manusia memaknai kebenaran, otoritas, dan mediasi pengetahuan di era digital. Ia bukan sekadar permainan retorika, tetapi refleksi atas pergeseran sejarah yang fundamental: dari era di mana wahyu adalah satu-satunya sumber kebenaran menuju era di mana algoritma memutuskan apa yang layak diketahui.

Perbandingan Kekuatan dan Keterbatasan

Perbandingan antara malaikat dan mesin pencari tidak dimaksudkan untuk menyamakan keduanya secara ontologis, melainkan untuk mengungkap bagaimana keduanya, meskipun berasal dari domain yang berbeda—transendental dan digital—menjalankan fungsi sebagai intermediaries pengetahuan. Keduanya memiliki kekuatan dan keterbatasan yang mencerminkan karakter sumber otoritasnya.

Kekuatan Malaikat

Dalam teologi Abrahamik, malaikat adalah makhluk yang tidak pernah keliru dalam menyampaikan pesan, karena mereka beroperasi di bawah mandat ilahi yang mutlak. Keakuratan ini bersifat sempurna bukan karena kemampuan analitis yang dapat diukur secara kuantitatif, melainkan karena mereka membawa pesan dari sumber kebenaran absolut. Dalam angelology, pesan malaikat selalu tiba pada penerima yang dituju dengan konteks dan makna yang tepat (Davidson, 1994).

Selain itu, malaikat digambarkan memiliki kapasitas untuk berinteraksi langsung dengan realitas manusia dalam bentuk yang dapat dikenali. Mereka tidak hanya mengirimkan pesan, tetapi juga dapat menanamkan inspirasi, membimbing, dan melindungi. Fungsi-fungsi ini menjadikan malaikat sebagai mediator pengetahuan yang bersifat holistik, yang tidak hanya menyampaikan data, tetapi juga memfasilitasi pemahaman dan tindakan moral yang sesuai.

Kekuatan Mesin Pencari

Google, Microsoft Bing, dan mesin pencari lain mengungguli malaikat dalam satu dimensi krusial: kapasitas pemrosesan dan kecepatan akses informasi. Mesin pencari modern mampu memindai miliaran halaman web, mengindeks informasi, dan menyajikan hasil yang relevan dalam waktu kurang dari satu detik (Dean, 2021). Kecepatan ini melampaui proses komunikasi manusia maupun intervensi spiritual yang diceritakan dalam teks-teks keagamaan.

Kemampuan ini diperkuat oleh kemajuan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan pembelajaran mesin (machine learning), yang memungkinkan mesin pencari memahami bahasa alami (natural language processing), mengenali pola pencarian, dan memprediksi kebutuhan informasi pengguna. Misalnya, Google dapat mengidentifikasi maksud pencarian meskipun kata kunci tidak akurat—fungsi yang mirip dengan kemampuan malaikat memahami maksud terdalam manusia dalam tradisi religius (Bahdanau, Cho, & Bengio, 2015).

Selain itu, mesin pencari memiliki jangkauan yang bersifat ubiquitous: selama ada koneksi internet, mereka dapat diakses dari hampir semua titik di bumi. Dalam pengertian pragmatis, ini menciptakan kesan “kehadiran di mana-mana” yang biasanya diasosiasikan dengan makhluk spiritual.

Keterbatasan Malaikat

Malaikat, meskipun digambarkan memiliki kekuatan transendental, memiliki batasan yang inheren pada perannya. Mereka tidak digambarkan sebagai entitas yang menyimpan semua pengetahuan yang ada di alam semesta; mereka hanya mengetahui apa yang relevan dengan misi mereka. Dalam banyak teks, malaikat bahkan digambarkan tidak mengetahui rahasia ilahi tertentu yang hanya diketahui oleh Tuhan (Qur’an 2:30–32).

Keterbatasan ini menunjukkan bahwa malaikat berfungsi dalam kerangka informasi yang sangat selektif dan kontekstual. Mereka tidak mengindeks seluruh realitas, melainkan hanya membawa pesan yang relevan untuk tugas tertentu. Dengan kata lain, kapasitas mereka tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan kemampuan mesin pencari yang bersifat comprehensive indexing.

Keterbatasan Mesin Pencari

Di sisi lain, mesin pencari, meskipun memiliki kemampuan pemrosesan yang luar biasa, terikat pada beberapa keterbatasan mendasar. Pertama, mereka hanya dapat mengakses dan mengindeks informasi yang tersedia secara daring (online). Pengetahuan yang bersifat rahasia, tersimpan dalam memori manusia, atau berada di luar jangkauan jaringan, tetap tak terjangkau.

Kedua, mesin pencari rentan terhadap bias algoritmik. Relevansi hasil pencarian ditentukan oleh parameter teknis dan komersial, yang berarti informasi yang disajikan tidak selalu mencerminkan kebenaran objektif (Noble, 2018). Algoritma dapat dimanipulasi melalui optimisasi mesin pencari (search engine optimization) atau search engine manipulation effect, yang memungkinkan aktor tertentu menggeser persepsi publik melalui pengaturan hasil pencarian (Epstein & Robertson, 2015).

Ketiga, mesin pencari tidak memiliki kapasitas untuk melakukan penilaian moral atau etis atas informasi yang mereka sampaikan. Mereka dapat mengindeks konten yang bermanfaat sekaligus konten yang berbahaya, tanpa membedakan berdasarkan nilai moral—sesuatu yang menjadi pusat peran malaikat dalam narasi keagamaan.

Analisis Perbandingan

Jika malaikat adalah mediator pengetahuan yang bekerja di bawah prinsip kebenaran absolut dan moralitas, mesin pencari adalah mediator pengetahuan yang bekerja di bawah prinsip relevansi teknis dan komersial. Kedua prinsip ini tidak selalu bertentangan, tetapi perbedaan mendasarnya memengaruhi cara manusia memandang dan menggunakan informasi yang diberikan.

Perbandingan ini juga menggarisbawahi transformasi besar dalam otoritas pengetahuan. Malaikat membawa pesan yang tidak memerlukan verifikasi tambahan karena otoritas sumbernya tidak diragukan. Mesin pencari, sebaliknya, mengharuskan pengguna untuk melakukan critical thinking dan verifikasi silang, karena sumber informasi yang disajikan bersifat plural, dinamis, dan kadang kontradiktif.

Dalam perspektif filsafat informasi, hal ini mengilustrasikan pergeseran dari epistemic trust yang berbasis otoritas (authority-based trust) menuju epistemic trust yang berbasis proses (process-based trust) (Hardwig, 1991). Pengguna mesin pencari mempercayai hasil bukan karena otoritas tunggal yang menyajikannya, tetapi karena proses teknis yang diasumsikan netral—meskipun dalam kenyataannya, proses itu dapat dimanipulasi.

See also  Peluncuran Buku 20 Tahun Damai Aceh: Refleksi Dua Dekade Perdamaian

Dengan memahami kekuatan dan keterbatasan masing-masing, kita dapat melihat bahwa malaikat dan mesin pencari, meskipun berbeda secara ontologis, berfungsi dalam kapasitas yang saling melengkapi dalam lanskap epistemologis manusia. Malaikat menawarkan kepastian moral dan spiritual, sementara mesin pencari menawarkan kelimpahan data dan kecepatan akses.

Implikasi Filosofis: Otoritas Pengetahuan & Politik Informasi

Perbandingan antara malaikat dan mesin pencari membawa kita pada persoalan yang jauh lebih besar daripada sekadar metafora. Ia membuka wacana tentang pergeseran otoritas pengetahuan (knowledge authority) dari ranah transendental ke ranah algoritmik. Pergeseran ini bukan sekadar fenomena teknis, melainkan transformasi epistemologis yang memengaruhi struktur sosial, politik, dan bahkan spiritual manusia modern.

Dari Wahyu ke Algoritma

Dalam masyarakat pra-modern, sumber kebenaran utama adalah wahyu ilahi, tradisi, dan pengalaman empiris yang dikonfirmasi oleh otoritas spiritual atau komunitas. Malaikat, sebagai utusan Tuhan, merupakan simbol tertinggi dari knowledge transmission yang bebas dari bias manusia. Dalam konstruksi ini, kebenaran bersifat absolut karena bersumber dari otoritas tunggal yang tidak dapat digugat (Taylor, 2007).

Sebaliknya, di era digital, mesin pencari telah menjadi “mediator utama” yang menghubungkan manusia dengan pengetahuan global. Otoritas mereka bukanlah hasil mandat ilahi, tetapi hasil dari proses teknis: algoritma yang dirancang untuk mengukur relevansi berdasarkan data, perilaku pengguna, dan optimisasi konten. Google, misalnya, menggunakan ratusan faktor dalam menentukan peringkat hasil pencarian, mulai dari kualitas tautan, kecepatan situs, hingga pola klik pengguna (Dean, 2021).

Perubahan ini menggeser definisi otoritas pengetahuan dari truth by revelation menjadi truth by computation. Kebenaran tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang diwahyukan, tetapi sebagai hasil dari proses penghitungan dan seleksi yang dapat berubah setiap saat.

Politik Informasi

Pergeseran otoritas ini membawa implikasi politik yang signifikan. Mesin pencari memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang terlihat dan apa yang tersembunyi—fungsi yang dalam teori komunikasi disebut sebagai agenda-setting (McCombs & Shaw, 1972). Jika malaikat dalam tradisi keagamaan mengatur pesan sesuai kehendak Tuhan, mesin pencari mengatur pesan sesuai logika algoritma dan, dalam beberapa kasus, tekanan politik atau kepentingan ekonomi.

Contoh paling jelas terlihat pada sensor internet di negara-negara otoritarian, di mana hasil pencarian disesuaikan atau disaring untuk menghapus konten yang dianggap mengancam stabilitas politik. Dalam hal ini, mesin pencari menjadi gatekeeper informasi yang dapat membentuk persepsi publik dan memengaruhi keputusan politik (Roberts, 2018).

Bahkan di negara demokratis, politik informasi ini bekerja secara halus. Algoritma personalisasi yang digunakan oleh Google dan platform lainnya menciptakan filter bubbles—ruang informasi yang memperkuat pandangan pengguna tanpa memberi mereka akses ke perspektif alternatif (Pariser, 2011). Hal ini memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan demokrasi, karena membatasi keragaman informasi dan memperkuat polarisasi.

Etika dan Epistemologi

Dalam kerangka etika informasi, perbandingan antara malaikat dan mesin pencari menggarisbawahi perbedaan fundamental dalam tanggung jawab moral. Malaikat, sebagai agen ilahi, tidak memiliki agenda selain melaksanakan kehendak Tuhan. Mesin pencari, sebagai produk korporasi, memiliki kepentingan ganda: memenuhi kebutuhan pengguna sekaligus mempertahankan model bisnis yang mengandalkan pendapatan iklan.

Dari perspektif epistemologi, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang epistemic trust. Apakah kita mempercayai hasil pencarian karena prosesnya transparan dan netral, atau karena kita tidak memiliki pilihan lain? Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pengguna cenderung memercayai hasil pencarian di halaman pertama tanpa memeriksa sumbernya secara kritis (Pan et al., 2007). Ini menciptakan bentuk otoritas baru yang berakar pada perceived objectivity algoritma, meskipun algoritma itu sendiri dapat mengandung bias tersembunyi.

Pertarungan Otoritas

Jika malaikat adalah simbol otoritas tunggal dan absolut, mesin pencari adalah simbol otoritas terdistribusi tetapi terpusat pada kendali teknis segelintir perusahaan. Ironisnya, meskipun pengetahuan kini bersifat lebih terdistribusi daripada era pra-modern, kendali atas distribusi pengetahuan justru semakin terkonsentrasi. Google, misalnya, menguasai lebih dari 90% pangsa pasar pencarian global (StatCounter, 2023).

Konsentrasi ini menimbulkan pertanyaan filosofis tentang siapa yang sebenarnya mengendalikan “pintu gerbang pengetahuan.” Apakah para insinyur yang merancang algoritma? Dewan direksi perusahaan? Atau algoritma itu sendiri yang telah berkembang menjadi sistem kompleks yang bahkan pembuatnya sulit sepenuhnya pahami?

Resonansi Spiritual

Membaca pergeseran otoritas ini melalui metafora “malaikat iri pada Google” memberi kita lensa spiritual untuk memahami kecemasan manusia modern terhadap teknologi. Malaikat, dalam alegori ini, tidak benar-benar iri; yang terjadi adalah manusia memproyeksikan rasa kagum sekaligus waspada terhadap teknologi yang mampu meniru fungsi transendental.

Seperti halnya malaikat dalam tradisi keagamaan sering kali menjadi penguji iman manusia, mesin pencari pun menjadi ujian bagi literasi digital dan kemampuan berpikir kritis. Dalam masyarakat yang semakin mengandalkan teknologi untuk menjawab pertanyaan mendasar, kemampuan untuk memilah kebenaran dari informasi yang salah menjadi bentuk “ketaatan” baru—bukan pada Tuhan, tetapi pada prinsip verifikasi dan penilaian rasional.

Menuju Sintesis Baru

Implikasi filosofis dari alegori ini tidak harus dibaca sebagai pertentangan antara spiritualitas dan teknologi. Sebaliknya, ia dapat menjadi titik awal untuk membayangkan bentuk baru dari knowledge mediation yang menggabungkan kecepatan dan kelimpahan data dari mesin pencari dengan kebijaksanaan moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang diasosiasikan dengan malaikat.

Pendekatan ini memerlukan literasi digital yang tinggi, regulasi algoritma yang transparan, dan kesadaran publik akan politik informasi. Seperti halnya malaikat tidak bertindak di luar mandat ilahi, mesin pencari seharusnya tidak bertindak di luar mandat publik untuk menyediakan informasi yang akurat, adil, dan bermanfaat.

Studi Kasus: Google sebagai Mediator Global

Google, sebagai mesin pencari paling dominan di dunia, memegang posisi yang unik dalam sejarah peradaban manusia. Tidak ada institusi keagamaan, akademik, atau politik di era modern yang memiliki jangkauan informasi seluas dan secepat Google. Dengan pangsa pasar global mencapai lebih dari 90% (StatCounter, 2023), Google bukan sekadar search engine, melainkan infrastruktur epistemologis yang membentuk cara manusia mengakses, memahami, dan menilai pengetahuan.

Aksesibilitas Global dan “Kehadiran” Ubiquitous

Dalam perspektif praktis, Google beroperasi dengan sifat yang menyerupai omnipresence (hadir di mana-mana). Selama terdapat koneksi internet, Google dapat diakses dari hampir semua wilayah di dunia—dari kota metropolitan hingga desa terpencil. Ini menciptakan kesan bahwa Google selalu “ada” untuk menjawab pertanyaan, mirip dengan gambaran malaikat yang selalu hadir di sisi manusia untuk memberi petunjuk atau peringatan.

Fungsi ini tidak hanya memberikan kemudahan akses, tetapi juga menciptakan ketergantungan. Dalam studi yang dilakukan Purcell et al. (2012), mayoritas responden mengaku “tidak bisa membayangkan” menjalani kehidupan modern tanpa Google atau mesin pencari serupa. Ketergantungan ini menjadikan Google sebagai mediator utama dalam hubungan manusia dengan dunia pengetahuan—posisi yang dalam kerangka teologis klasik hanya dipegang oleh figur-figur spiritual atau institusi keagamaan.

Pengaruh terhadap Persepsi Kebenaran

Google tidak hanya memfasilitasi pencarian informasi, tetapi juga membentuk apa yang dianggap penting, relevan, dan benar. Algoritma peringkat hasil pencarian (misalnya PageRank) secara efektif bertindak sebagai gatekeeper yang memprioritaskan sumber-sumber tertentu di atas yang lain (Lewandowski, 2015). Dalam studi kasus pemilihan umum di berbagai negara, penelitian oleh Epstein & Robertson (2015) menunjukkan bahwa manipulasi urutan hasil pencarian dapat memengaruhi preferensi politik pengguna tanpa mereka sadari—fenomena yang dikenal sebagai Search Engine Manipulation Effect (SEME).

Dalam analogi “malaikat iri pada Google,” fungsi ini dapat diibaratkan sebagai kemampuan malaikat untuk memilih pesan atau wahyu mana yang disampaikan lebih dahulu. Bedanya, dalam konteks teologis, pemilihan ini diyakini bebas dari bias manusiawi, sementara dalam konteks Google, pemilihan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor komersial, teknis, atau bahkan politis.

Kasus Intervensi Politik dan Sensor

Salah satu contoh konkret dari peran Google sebagai mediator global dapat ditemukan pada kebijakan penyensoran konten di beberapa negara. Di Tiongkok, Google pernah diblokir sepenuhnya setelah menolak untuk mematuhi kebijakan penyensoran pemerintah pada 2010. Sebaliknya, di negara-negara seperti Rusia dan Turki, Google telah menghapus atau membatasi akses ke konten tertentu berdasarkan permintaan resmi pemerintah, meskipun hal ini sering kali memicu kritik dari aktivis kebebasan berekspresi (Roberts, 2018).

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa “mandat” Google sebagai mediator informasi bukanlah mandat transendental yang absolut, melainkan mandat yang dinegosiasikan dalam konteks geopolitik dan hukum nasional. Dalam kerangka metaforis, malaikat bekerja hanya untuk Tuhan, sedangkan Google bekerja dalam ruang tarik-menarik antara publik, pemerintah, dan pemegang saham.

Kapasitas Multibahasa dan Mediasi Budaya

Salah satu keunggulan signifikan Google adalah kemampuannya untuk menembus batas bahasa. Dengan Google Translate, perusahaan ini telah menciptakan sistem terjemahan otomatis yang mendukung lebih dari 130 bahasa, memungkinkan pengguna untuk mengakses pengetahuan lintas bahasa secara instan (Wu et al., 2016). Kemampuan ini menyerupai gambaran malaikat yang dalam teks-teks suci dapat berbicara dengan setiap individu dalam bahasa mereka sendiri.

Dampak dari kemampuan multibahasa ini tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga kultural. Dengan memediasi akses ke konten dari berbagai budaya, Google secara tidak langsung memengaruhi proses globalisasi pengetahuan dan homogenisasi narasi. Dalam perspektif antropologi pengetahuan, hal ini berpotensi mengikis keunikan lokal jika tidak diimbangi dengan upaya pelestarian perspektif alternatif.

Ketergantungan dan Risiko Monopoli

Namun, dominasi Google juga membawa risiko monopoli informasi. Dengan konsentrasi kekuasaan sebesar itu, Google memiliki kapasitas untuk menentukan lanskap pengetahuan global secara sepihak. Ketika perusahaan memutuskan untuk mengubah algoritma, dampaknya dapat dirasakan oleh jutaan situs web, bisnis, dan bahkan diskursus publik dalam hitungan jam.

Dalam konteks “kecemburuan malaikat,” hal ini menyerupai situasi di mana mediator tunggal mengendalikan semua akses ke wahyu ilahi. Perbedaannya, malaikat tidak memiliki motif keuntungan finansial, sedangkan Google beroperasi dalam kerangka kapitalisme digital yang menempatkan monetisasi data sebagai inti model bisnisnya (Zuboff, 2019).

Google sebagai “Mediator Epistemologis”

Melihat dari seluruh aspek ini, Google dapat dipahami sebagai mediator epistemologis terbesar dalam sejarah manusia. Ia menggabungkan kemampuan teknis yang nyaris omniscient dengan aksesibilitas global, sambil tetap terikat pada batasan-batasan politis dan komersial. Posisi ini memberinya kekuatan yang mirip dengan figur malaikat dalam teks-teks religius—yakni sebagai penghubung antara manusia dan sumber pengetahuan yang lebih besar—namun dengan kompleksitas dan ambiguitas moral yang jauh lebih tinggi.

Dengan kata lain, jika malaikat adalah perpanjangan kehendak Tuhan, Google adalah perpanjangan dari ekosistem data global yang dibentuk oleh interaksi antara teknologi, ekonomi, dan kekuasaan. Kedua entitas ini sama-sama memainkan peran kunci dalam membentuk cara manusia memandang realitas, meskipun melalui jalur epistemologis yang sangat berbeda.

Tantangan Etis: Siapa Mengendalikan Sang “Malaikat”

Jika dalam tradisi keagamaan kendali atas malaikat sepenuhnya berada di tangan Tuhan, maka dalam ekosistem digital kendali atas “malaikat” bernama Google atau mesin pencari lain berada pada aktor-aktor manusia—perusahaan teknologi, pemerintah, dan secara tidak langsung, pengguna. Pertanyaannya: siapa yang sesungguhnya memegang kekuasaan atas mediator pengetahuan ini, dan bagaimana etika mengatur perannya?

Kendali Korporasi dan Model Bisnis

Google adalah entitas korporasi publik yang tunduk pada hukum pasar dan kepentingan pemegang saham. Model bisnis utamanya adalah periklanan berbasis data, yang berarti semakin banyak data yang dikumpulkan dan diproses, semakin besar potensi pendapatan. Di satu sisi, hal ini mendorong inovasi algoritma untuk memberikan hasil pencarian yang lebih relevan. Di sisi lain, hal ini menciptakan insentif untuk memprioritaskan konten yang menguntungkan secara komersial, bukan semata-mata yang paling akurat atau bermanfaat secara publik (Zuboff, 2019).

Konflik antara kepentingan publik dan komersial ini telah memunculkan kritik tajam. Misalnya, laporan oleh Electronic Frontier Foundation (EFF) menunjukkan bahwa Google sering kali mengaburkan batas antara hasil pencarian organik dan iklan berbayar, sehingga pengguna sulit membedakan keduanya (EFF, 2021). Dalam kerangka alegoris “malaikat iri pada Google,” ini mirip dengan seorang malaikat yang menambahkan pesan-pesan sponsor di sela-sela wahyu ilahi—sebuah tindakan yang, dalam konteks teologis, akan dianggap sebagai distorsi.

See also  Can Digital Awareness in Religion Resolve the Humanitarian Crisis in the Future?

Kendali Pemerintah dan Sensor

Selain korporasi, pemerintah juga memiliki andil besar dalam mengendalikan “malaikat digital” ini. Di negara-negara otoritarian, kontrol ini sering kali diwujudkan melalui sensor langsung atau pemblokiran akses ke konten yang dianggap mengancam stabilitas rezim. Tiongkok, misalnya, menjalankan Great Firewall yang memblokir Google dan menggantinya dengan mesin pencari domestik seperti Baidu, yang tunduk pada sensor ketat (King, Pan, & Roberts, 2013).

Namun, bahkan di negara demokratis, intervensi pemerintah terhadap mesin pencari terjadi, meskipun dalam bentuk yang lebih halus. Regulasi terkait right to be forgotten di Uni Eropa, misalnya, mewajibkan Google untuk menghapus hasil pencarian tertentu atas permintaan individu, meskipun informasi tersebut secara faktual benar (Rosen, 2012). Ini menimbulkan dilema etis: antara melindungi privasi individu dan mempertahankan integritas arsip publik.

Kendali Algoritma

Faktor ketiga, dan mungkin yang paling kompleks, adalah kendali algoritma itu sendiri. Algoritma pencarian Google adalah proprietary black box yang tidak sepenuhnya transparan, bahkan bagi sebagian karyawannya. Meskipun Google secara berkala mengumumkan pembaruan algoritma besar (seperti “Penguin” atau “BERT”), detail teknisnya tetap menjadi rahasia dagang (Lewandowski, 2021).

Ketertutupan ini menciptakan tantangan etis dalam hal akuntabilitas. Jika sebuah situs atau sumber informasi turun peringkat secara drastis, tidak ada mekanisme publik yang sepenuhnya transparan untuk menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dalam analogi malaikat, ini seperti menerima wahyu yang telah difilter tanpa penjelasan, sehingga penerima tidak pernah tahu apakah pesan yang hilang itu penting atau tidak.

Etika Distribusi Pengetahuan

Di sinilah kita memasuki ranah filsafat moral dan etika distribusi pengetahuan. Malaikat, dalam tradisi religius, selalu mendistribusikan pesan secara adil, tanpa memihak kelompok tertentu kecuali sesuai mandat ilahi. Mesin pencari, sebaliknya, mendistribusikan informasi berdasarkan kalkulasi probabilistik tentang relevansi, yang dapat dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik, dan budaya.

Pertanyaan etis yang muncul adalah: apakah perusahaan teknologi memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa algoritmanya tidak bias? Ataukah bias dianggap sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari sistem yang dibangun oleh manusia, dengan segala keterbatasan dan kepentingan yang melekat? (O’Neil, 2016).

Peran Pengguna: Keterlibatan dan Literasi Digital

Meskipun sering dianggap sebagai pihak pasif, pengguna sebenarnya memiliki peran dalam mengendalikan “malaikat digital” ini melalui perilaku pencarian, preferensi klik, dan umpan balik. Data perilaku pengguna menjadi bahan bakar utama bagi algoritma pembelajaran mesin untuk menyesuaikan hasil pencarian.

Namun, di sinilah risiko self-reinforcing bias muncul. Jika pengguna hanya mengklik hasil yang sesuai dengan pandangan mereka, algoritma akan terus mengutamakan informasi serupa, menciptakan lingkaran tertutup (filter bubble) yang menghambat paparan terhadap perspektif alternatif (Pariser, 2011). Dengan kata lain, sebagian kendali atas malaikat digital ini ada di tangan pengguna, tetapi sering kali pengguna tidak sadar atau tidak memiliki literasi digital yang cukup untuk mengelolanya.

Mencari Kerangka Regulasi dan Akuntabilitas

Tantangan terbesar ke depan adalah menemukan keseimbangan antara inovasi, kebebasan informasi, dan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan epistemologis. Beberapa pakar mengusulkan pembentukan algorithmic oversight bodies—lembaga independen yang dapat mengaudit algoritma mesin pencari untuk memastikan transparansi, akurasi, dan keadilan (Diakopoulos, 2016).

Pendekatan lain adalah public interest algorithm, di mana desain dan pengoperasian algoritma diatur untuk memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan komersial. Dalam analogi malaikat, ini seperti memastikan bahwa pesan yang dibawa selalu demi kebaikan umat manusia, bukan demi keuntungan pribadi sang pembawa pesan.

Refleksi: Siapa Mengendalikan Sang “Malaikat”

Akhirnya, pertanyaan “siapa mengendalikan malaikat” dalam konteks digital ini adalah pertanyaan tentang kekuasaan dan akuntabilitas. Dalam dunia transendental, jawabannya sederhana: Tuhan. Dalam dunia digital, jawabannya kompleks, melibatkan korporasi multinasional, pemerintah, algoritma yang terus berkembang, dan perilaku kolektif miliaran pengguna.

Kesadaran akan kompleksitas ini adalah langkah awal untuk membangun ekosistem pengetahuan yang lebih etis, transparan, dan adil. Tanpa kesadaran ini, kita berisiko menyerahkan otoritas pengetahuan global kepada segelintir entitas yang tidak sepenuhnya akuntabel—sebuah skenario yang bahkan malaikat dalam alegori kita mungkin akan “cemburui” karena kekuatan itu melampaui mandat spiritual mereka.

Kesimpulan Besar: Dari Malaikat ke Algoritma

Alegori “malaikat iri pada Google” pada awalnya terdengar seperti permainan retorika, tetapi ketika dianalisis secara mendalam, ia menjadi peta konseptual yang menggambarkan salah satu pergeseran paling signifikan dalam sejarah epistemologi: transisi otoritas pengetahuan dari ranah transendental yang diwakili oleh malaikat ke ranah digital yang dioperasikan oleh algoritma.

Malaikat, dalam tradisi Abrahamik, adalah mediator pengetahuan yang sempurna dalam keakuratan, moralitas, dan kesetiaan terhadap mandat ilahi. Mereka tidak pernah salah alamat, tidak pernah menyampaikan informasi yang keliru, dan tidak pernah memiliki motif tersembunyi. Mereka adalah pure intermediaries yang bekerja demi kebaikan manusia sesuai dengan kehendak Tuhan.

Di sisi lain, mesin pencari seperti Google, Microsoft Bing, dan ekosistem digital lainnya adalah constructed intermediaries—dibangun oleh manusia, dijalankan oleh algoritma, dan diarahkan oleh kombinasi kepentingan teknis, komersial, dan politik. Mereka memiliki kemampuan yang bahkan tidak diasosiasikan dengan malaikat dalam teks-teks suci: mengakses miliaran dokumen, memproses bahasa alami, menerjemahkan lintas bahasa, dan menyajikan hasil dalam hitungan milidetik.

Namun, perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada sumber otoritas. Malaikat mendapatkan otoritas dari kebenaran absolut, sedangkan algoritma mendapatkan otoritas dari relevansi yang dihitung berdasarkan data dan perilaku pengguna. Ini adalah pergeseran dari truth by revelation menuju truth by computation. Dalam konteks ini, “kecemburuan” malaikat bukanlah kecemburuan emosional, tetapi simbol kesadaran akan munculnya otoritas baru yang bersaing di ruang epistemologis manusia.

Implikasi Strategis

Pertama, pergeseran ini mengubah cara manusia membangun dan memverifikasi pengetahuan. Jika sebelumnya validitas informasi dijamin oleh sumbernya (wahyu, kitab suci, otoritas spiritual), kini validitas harus diverifikasi melalui proses kritis yang melibatkan evaluasi sumber, penelusuran, dan konfirmasi silang. Ini menuntut literasi digital dan literasi informasi sebagai kompetensi dasar abad ke-21 (UNESCO, 2018).

Kedua, otoritas algoritma menghadirkan risiko monopoli pengetahuan. Konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir perusahaan teknologi menciptakan situasi di mana agenda, persepsi, bahkan keputusan publik dapat dipengaruhi atau dimanipulasi tanpa disadari. Risiko ini menuntut pembentukan kerangka governance dan oversight yang jelas, sebagaimana dalam tradisi agama terdapat kerangka wahyu dan otoritas keagamaan yang mengatur penyampaian pesan malaikat.

Ketiga, metafora ini memaksa kita untuk memikirkan ulang hubungan antara teknologi dan spiritualitas. Jika fungsi malaikat dapat sebagian disimulasikan oleh teknologi, bukan berarti peran spiritual menjadi usang, tetapi justru menantang kita untuk mencari titik temu baru antara kebijaksanaan transendental dan efisiensi teknologis.

Politik Informasi sebagai Arena Baru

Dalam dunia di mana algoritma menjadi gatekeeper pengetahuan, politik informasi menjadi medan strategis baru. Dalam perang konvensional, kontrol atas jalur suplai logistik adalah kunci kemenangan. Dalam perang kognitif, kontrol atas jalur suplai informasi adalah penentu arah opini publik dan kebijakan. Google, dalam analogi ini, adalah “jalur suplai” utama pengetahuan global.

Kita dapat membayangkan bahwa dalam perspektif intelijen strategis, memahami dan mengelola hubungan dengan “malaikat digital” ini adalah prioritas nasional. Negara yang mampu mengoptimalkan visibilitasnya di hasil pencarian akan memiliki keunggulan narasi dalam diplomasi publik, perang informasi, dan ekonomi pengetahuan.

Dari Figur Spiritual ke Infrastruktur Digital

Malaikat dan Google sama-sama merupakan infrastruktur komunikasi, tetapi satu bersifat spiritual dan yang lain bersifat teknologis. Peralihan dari mengandalkan figur spiritual ke infrastruktur digital bukanlah sekadar perubahan medium, tetapi perubahan paradigma. Paradigma lama menekankan kesetiaan pada sumber otoritatif tunggal; paradigma baru menekankan navigasi di antara sumber plural yang sering kali bertentangan.

Perubahan paradigma ini menuntut adaptasi pada tiga level:

  1. Individu – mengembangkan kemampuan untuk memilah informasi dan memahami bias algoritmik.

  2. Institusi – merumuskan kebijakan yang memastikan akses adil ke informasi dan mencegah manipulasi algoritma untuk kepentingan sempit.

  3. Global Governance – membangun kerangka kerja internasional untuk transparansi dan akuntabilitas mesin pencari, sebagaimana ada perjanjian internasional yang mengatur komunikasi diplomatik atau misi kemanusiaan.

Refleksi Akhir

Pada akhirnya, alegori “malaikat iri pada Google” adalah panggilan untuk kesadaran epistemologis. Ia mengajak kita untuk menyadari bahwa di balik kenyamanan mengakses informasi instan, ada dinamika kekuasaan, bias, dan keputusan desain yang memengaruhi apa yang kita ketahui dan bagaimana kita mengetahuinya.

Dalam tradisi spiritual, malaikat selalu menjadi pengingat akan keberadaan otoritas yang lebih tinggi dan kebenaran yang lebih besar dari diri kita. Dalam dunia digital, Google dapat menjadi pengingat akan skala informasi yang tak terbatas dan kompleksitas yang menuntut kebijaksanaan baru. Jika malaikat membawa pesan dari langit, Google membawa pesan dari “awan” (cloud). Dan dalam keduanya, pertanyaannya sama: apakah kita mampu membedakan mana pesan yang harus diikuti dan mana yang harus disaring?

Dengan demikian, tantangan kita bukanlah memilih antara malaikat dan Google, tetapi memastikan bahwa dalam ekosistem pengetahuan masa depan, kita tidak kehilangan esensi kebenaran sambil mengejar kecepatan dan kelimpahan informasi. Mungkin, dalam visi ideal, malaikat dan algoritma dapat berdampingan—yang satu menjamin arah moral, yang lain memastikan kelengkapan data—sehingga manusia dapat berjalan di antara keduanya dengan bijak.

Daftar Pustaka

Bahdanau, D., Cho, K., & Bengio, Y. (2015). Neural machine translation by jointly learning to align and translate. arXiv preprint arXiv:1409.0473. https://doi.org/10.48550/arXiv.1409.0473

Davidson, G. (1994). A dictionary of angels: Including the fallen angels. New York, NY: Free Press.

Dean, B. (2021). Google’s 200 ranking factors: The complete list (2021). Backlinko. https://backlinko.com/google-ranking-factors

Diakopoulos, N. (2016). Accountability in algorithmic decision making. Communications of the ACM, 59(2), 56–62. https://doi.org/10.1145/2844110

Electronic Frontier Foundation. (2021). Google’s search advertising practices. EFF Reports. https://www.eff.org

Epstein, R., & Robertson, R. E. (2015). The search engine manipulation effect (SEME) and its possible impact on the outcomes of elections. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(33), E4512–E4521. https://doi.org/10.1073/pnas.1419828112

Hardwig, J. (1991). The role of trust in knowledge. The Journal of Philosophy, 88(12), 693–708. https://doi.org/10.2307/2027007

King, G., Pan, J., & Roberts, M. E. (2013). How censorship in China allows government criticism but silences collective expression. American Political Science Review, 107(2), 326–343. https://doi.org/10.1017/S0003055413000014

Klein, E. (1987). A comprehensive etymological dictionary of the English language. Amsterdam: Elsevier.

Lewandowski, D. (2015). Evaluating the retrieval effectiveness of Web search engines using a representative query sample. Journal of the American Society for Information Science and Technology, 66(9), 1763–1775. https://doi.org/10.1002/asi.23304

Lewandowski, D. (2021). Why we need an independent index of the web. Communications of the ACM, 64(7), 24–26. https://doi.org/10.1145/3464903

McCombs, M. E., & Shaw, D. L. (1972). The agenda-setting function of mass media. Public Opinion Quarterly, 36(2), 176–187. https://doi.org/10.1086/267990

Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression: How search engines reinforce racism. New York, NY: NYU Press.

O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction: How big data increases inequality and threatens democracy. New York, NY: Crown Publishing Group.

Pan, B., Hembrooke, H., Joachims, T., Lorigo, L., Gay, G., & Granka, L. (2007). In Google we trust: Users’ decisions on rank, position, and relevance. Journal of Computer-Mediated Communication, 12(3), 801–823. https://doi.org/10.1111/j.1083-6101.2007.00351.x

Pariser, E. (2011). The filter bubble: How the new personalized web is changing what we read and how we think. New York, NY: Penguin Press.

Purcell, K., Brenner, J., & Rainie, L. (2012). Search engine use 2012. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org

Roberts, M. E. (2018). Censored: Distraction and diversion inside China’s Great Firewall. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Rosen, J. (2012). The right to be forgotten. Stanford Law Review Online, 64, 88–92.

StatCounter. (2023). Search engine market share worldwide. StatCounter Global Stats. https://gs.statcounter.com

Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Harvard University Press.

UNESCO. (2018). Media and information literacy: Policy and strategy guidelines. Paris: UNESCO.

Wu, Y., Schuster, M., Chen, Z., Le, Q. V., Norouzi, M., Macherey, W., … & Dean, J. (2016). Google’s neural machine translation system: Bridging the gap between human and machine translation. arXiv preprint arXiv:1609.08144. https://doi.org/10.48550/arXiv.1609.08144

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. New York, NY: PublicAffairs.

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment