Dalam peta sejarah Indonesia, ada tokoh-tokoh yang jarang mendapat sorotan publik, tetapi namanya bergema di lorong-lorong kekuasaan. Jenderal TNI Yoga Sugomo adalah salah satunya. Buku Memori Jenderal Yoga, seperti diceritakan kepada B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, adalah catatan panjang seorang perwira tinggi yang hidup di jantung badai politik Orde Baru. Ia bukan sekadar saksi sejarah—ia adalah pelaku utama yang terlibat langsung dalam operasi intelijen, diplomasi, dan penanganan krisis yang membentuk wajah Indonesia modern.
Dari halaman pertama, pembaca dibawa masuk ke dunia yang jarang dibicarakan di ruang publik: negosiasi rahasia, operasi militer penuh risiko, dan strategi politik yang disusun dalam ruang tertutup. Melalui kesaksian rekan-rekannya seperti Ali Moertopo, Mayjen TNI Soedibyo, hingga diplomat senior Lendy R. Tumbelaka, tergambar sosok Yoga sebagai perwira yang tidak hanya berpikir taktis, tetapi juga strategis. Keberaniannya mengambil sikap terhadap G30S/PKI, kelihaiannya mengatur operasi pembebasan sandera Woyla, serta kecakapannya membaca situasi geopolitik Asia Tenggara, membuatnya menjadi figur unik di antara jenderal-jenderal sezamannya.
Buku ini bukan sekadar biografi; ia adalah arsip intelijen dan kronik politik yang tersusun dari fragmen-fragmen peristiwa besar:
-
Peristiwa Malari (1974) yang mengguncang fondasi stabilitas politik Orde Baru.
-
Kasus Sawito, intrik politik yang nyaris tidak masuk dalam buku teks sejarah.
-
Operasi Woyla (1981) yang menempatkan Indonesia di panggung dunia dalam operasi anti-teror.
-
Integrasi Timor Timur, salah satu bab paling kontroversial dalam sejarah republik.
Yang menarik, Memori Jenderal Yoga juga memotret hubungan segitiga unik antara Soeharto – Yoga – Ali Moertopo. Hubungan ini adalah kisah tentang kepercayaan, persaingan, dan pembagian peran di lingkaran inti kekuasaan. Yoga, meski tidak seekspresif Ali Moertopo, menunjukkan pengaruhnya melalui kerja-kerja intelijen yang rapi dan hasil diplomasi yang presisi.
Secara naratif, buku ini mengalir seperti laporan intelijen yang telah disunting menjadi kisah. Bahasa yang digunakan lugas, tetapi sarat detail yang hanya bisa diceritakan oleh pelaku sejarah. Inilah yang membedakannya dari buku sejarah akademik: ia membawa pembaca masuk ke dalam suasana rapat tertutup, ruang operasi, dan detik-detik krusial pengambilan keputusan.
Lebih jauh, Memori Jenderal Yoga memberikan gambaran tentang bagaimana ABRI (sekarang TNI) pada masa itu bukan hanya kekuatan militer, tetapi juga aktor politik yang mengatur banyak aspek kehidupan berbangsa. Dari strategi perang wilayah, penindakan pemberontakan, hingga diplomasi internasional—semua dibingkai dalam pandangan Yoga yang berpijak pada disiplin militer dan kalkulasi intelijen.
Bagi pembaca yang tertarik pada sejarah militer Indonesia, buku ini adalah bahan bacaan yang langka. Ia membuka sisi sejarah yang sering kali tersembunyi di balik narasi resmi. Di sisi lain, buku ini juga memantik diskusi kritis: sejauh mana operasi intelijen dan kebijakan militer pada masa itu membentuk arah demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia?
Di tengah derasnya publikasi sejarah yang cenderung normatif, Memori Jenderal Yoga menawarkan perspektif dari dalam: sebuah testimoni yang lahir dari keterlibatan langsung dalam sejarah. Membaca buku ini sama seperti membuka arsip rahasia negara—bedanya, arsip ini dituturkan dengan nada personal, penuh refleksi, dan tanpa hiasan yang berlebihan.
Bagi saya, buku ini adalah pengingat bahwa sejarah Indonesia tidak hanya dibentuk oleh pidato di podium atau keputusan resmi pemerintah, tetapi juga oleh percakapan di ruang-ruang kecil, operasi senyap di lapangan, dan keberanian orang-orang yang memilih untuk berada di balik layar kekuasaan.
Leave a Reply