Para Komando: Jejak Seorang Prajurit di Pusaran Sejarah Indonesia

Ada satu hal yang membedakan prajurit biasa dengan seorang komando sejati: keberanian untuk berada di garis depan ketika sejarah sedang ditulis, sekalipun itu berarti mempertaruhkan nyawa, reputasi, dan masa depan. Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan adalah sosok yang menghidupi prinsip itu.

Buku Para Komando: Perjalanan Seorang Prajurit, yang ditulis Hendro Subroto, bukan sekadar kumpulan kisah tempur. Ia adalah mosaik panjang yang merekam denyut nadi republik dari medan pertempuran di pelosok Papua hingga ruang-ruang rapat strategis di pusat kekuasaan. Setiap bab adalah fragmen dari sebuah perjalanan panjang โ€” perjalanan yang penuh risiko, pengkhianatan, kemenangan, dan luka.

Memasuki Arena Tempur yang Sesungguhnya

Halaman-halaman awal membawa kita langsung ke badai besar Mei 1998. Bukan sebagai penonton, melainkan sebagai bagian dari pasukan yang berada di jantung gejolak. Sintong memulai cerita dari pusaran itu, lalu menarik kita mundur ke masa-masa awal kariernya โ€” ketika ia masih seorang perwira muda yang mencicipi operasi kilat di medan perang.

Dari memburu Kahar Muzakkar di Sulawesi, menumpas G30S/PKI di Jakarta hingga Jawa Tengah, sampai misi-misi rahasia di pedalaman Irian Barat โ€” setiap operasi digambarkan bukan hanya dengan detail taktik, tetapi juga atmosfer yang membuat pembaca bisa merasakan aroma mesiu, tatapan tegang prajurit, dan detik-detik keputusan yang menentukan hidup dan mati.

See also  AI, Pubertas, dan Krisis Generasi Z: Ancaman Kecerdasan Buatan bagi Anak dan Remaja

Puncaknya, kisah Operasi Antiteror Woyla. Dalam tiga menit, pasukan khusus menutup semua ruang gerak para pembajak, membebaskan sandera, dan meninggalkan catatan emas di sejarah operasi antiteror dunia. Bukan sekadar keberhasilan taktis, tetapi pesan bahwa Indonesia punya pasukan yang bisa diandalkan di level global.

Kemanusiaan di Balik Senjata

Di tengah narasi kerasnya medan tempur, buku ini memperlihatkan sisi lain seorang komando. Operasi Lembah X di Irian Barat, misalnya, adalah kisah bagaimana prajurit tidak hanya memanggul senjata, tetapi juga membangun kepercayaan. Di wilayah-wilayah yang penuh curiga, hubungan dengan masyarakat lokal menjadi senjata paling ampuh untuk memenangkan pertempuran tanpa peluru.

Narasi ini menegaskan bahwa menjadi komando berarti menguasai seni perang dan seni merangkul hati.

Politik, Kepemimpinan, dan Pertarungan di Balik Layar

Bab-bab akhir memperlihatkan Sintong Panjaitan di medan yang sama berbahayanya dengan garis depan: dunia politik dan kekuasaan. Sebagai Panglima Kodam IX/Udayana saat Peristiwa Dili 1991, ia berada di titik krusial yang menghubungkan militer, diplomasi, dan opini publik internasional.

Sebagai penasihat presiden di bidang pertahanan dan keamanan, Sintong menyaksikan dari dekat bagaimana arah bangsa ini dibentuk, dinegosiasikan, dan kadang dikorbankan demi kepentingan tertentu. Buku ini tidak menghindar dari fakta bahwa medan kekuasaan juga memiliki tembakan, hanya saja pelurunya tak terlihat.

See also  The Long and Winding Road to Helsinki: Aceh dalam Perang dan Damai

Lebih dari Sekadar Memoar

Yang membuat Para Komando begitu bernilai adalah otentisitasnya. Setiap peristiwa diceritakan oleh pelaku langsung yang tahu rasa tanah yang diinjak, bunyi radio komunikasi, dan wajah-wajah yang hadir di momen kritis itu. Tidak ada glorifikasi kosong, tidak ada dramatisasi murahan โ€” hanya fakta, pengalaman, dan refleksi seorang prajurit yang belajar bahwa kemenangan kadang berarti bertahan hidup dengan harga yang sangat mahal.

Mengapa Buku Ini Penting Dibaca

Bagi siapa pun yang ingin memahami bagaimana TNI membentuk dan dibentuk oleh sejarah Indonesia modern, buku ini adalah pintu masuk yang jujur. Ia menunjukkan bahwa militer bukan entitas yang bekerja di ruang hampa, tetapi selalu berinteraksi dengan politik, diplomasi, dan dinamika masyarakat.

Untuk generasi muda, Para Komando adalah pengingat bahwa keberanian dan integritas tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari tempaan di situasi paling ekstrem.

About The Author