Perempuan Indonesia dari berbagai latar budaya memimpin dialog komunitas perdamaian dengan simbol damai seperti burung merpati dan latar desa pascakonflik.

Perempuan, Perdamaian & Pencegahan Ekstremisme: Strategi Indonesia di Era Disrupsi

Pendahuluan:

Dalam era yang dipenuhi disrupsi sosial, transformasi digital, dan krisis multidimensi โ€” dari pandemi hingga perubahan iklim โ€” isu perdamaian dan keamanan bukan lagi sekadar urusan elit politik atau aparat militer. Kehancuran monolit elit membuat ruang-ruang privat seperti keluarga, komunitas lokal, dan ruang digital lintas negara menjadi medan penting bagi konflik atau rekonsiliasi. Di tengah konteks tersebut, agenda Women, Peace and Security (WPS) dan strategi Preventing Violent Extremism (PVE) menemukan sinergi yang esensial. Indonesiaโ€”dengan keragaman sosial yang kaya dan pengalaman panjang dalam menangani konflik serta radikalisasiโ€”menjadi laboratorium hidup tentang bagaimana perempuan berperan strategis dalam menciptakan perdamaian dan mencegah ekstremisme.


1. WPS dalam Konteks Indonesia

Pada tahun 2000, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1325 yang menjadi dasar global agenda WPS โ€” menekankan perlunya keterlibatan perempuan dalam pencegahan konflik, perdamaian, dan keamanan. Indonesia merespons lewat Rencana Aksi Nasional P3AKS II (2020โ€“2025), yang menempatkan perempuan sebagai bagian integral dalam kebijakan keamanan nasional. Namun lebih dari sekadar kebijakan formal, yang membedakan Indonesia adalah bagaimana agenda ini diterjemahkan secara lokal. Organisasi perempuan, komunitas adat, dan LSM berbasis gender di daerah-daerah konflik melaksanakan praktek WPS dalam konteks mereka sendiri, seringkali tanpa dukungan aparat formal.

See also  Iris Murdoch dan Filsafat Moral Menurut Charles Taylor | KBA13 Insight

2. Praktik Baik: Dari Poso hingga Aceh

2.1 Poso โ€” Dialog Lintas-Agama dan Pendidikan Perdamaian

Di Poso, Sulawesi Tengah, jaringan perempuan lintas agama telah membentuk platform komunitas yang secara aktif menengahi konflik horizontal. Forum-forum ini fokus membina generasi muda agar tidak terjebak dalam narasi kebencian melalui diskusi, pelatihan antisipasi provokasi, dan dukungan sosial untuk keluarga terdampak konflik. Perempuan di sini berperan sebagai mediator sosial, membangun kepercayaan lokal, dan merawat jaringan perdamaian yang autentik.

2.2 Aceh โ€” Koperasi Janda dan Healing Kolektif

Di Aceh, janda korban konflik membentuk koperasi ekonomi sebagai gerakan perempuan yang memulihkan trauma kolektif secara kolegial. Koperasi ini tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tapi juga ruang dialog, pembelajaran toleransi, dan pemberdayaan ekonomi. Dengan demikian, solidaritas perempuan menjelma sebagai modal sosial yang kuat untuk memperkuat ketahanan terhadap narasi ekstremisme.

2.3 AMAN Indonesia โ€” Pendekatan Gender dan Lokalitas

Organisasi masyarakat seperti AMAN Indonesia memadukan perspektif gender dan budaya lokal dalam membangun perdamaian. Melalui program pelatihan WPS dan jaringan advokasi di pedesaan, mereka menjadikan perempuan sebagai pemimpin komunitas sekaligus duta perdamaian. Praktik ini menembus ruang-ruang yang tak terjangkau oleh pendekatan keamanan formal.


3. Nilai Strategis Perempuan dalam PVE

UN Women menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam perencanaan serta implementasi strategi PVE meningkatkan efektivitas intervensi dan ketahanan komunitas terhadap infiltrasi ideologi kekerasan. Partisipasi perempuan memungkinkan deteksi dini tanda-tanda radikalisasi dan promosi narasi alternatif damai.

See also  Tradisi Flexing di Sekolah SMA: Antara Gaya, Gengsi, dan Identitas Anak Muda

Penelitian tentang inisiatif Peace Villages di Indonesia memperlihatkan bahwa suksesnya intervensi ekstremisme sangat dipengaruhi oleh keterlibatan perempuan lokal dalam dialog, pendidikan perdamaian, dan advokasi naratif di komunitas. Alih-alih menjadi korban, mereka menjadi agen perubahan yang aktif.


4. Hambatan: Persepsi, Kebijakan, dan Representasi

4.1 Stereotip Gender

Perempuan masih sering dilihat sebagai pihak yang pasif atau terdampak, bukan sebagai penggerak perubahan. Pada kenyataannya, peran mereka memasok modal sosial yang kuat dan solusi inovatif untuk pencegahan konflik serta radikalisasi.

4.2 Kebijakan yang Maskulin dan Militeristik

Kebijakan anti-terorisme Indonesia masih dominan militeristik. Pendekatan yang humanistik dan berbasis komunitas sedikit ruangnya dalam struktur kebijakan maupun pendanaan.

4.3 Representasi Rendah dalam Pengambilan Keputusan

Menurut laporan McKinsey Global Institute (2023), meski negara ini menunjukkan peningkatan dalam indeks kesetaraan gender global, representasi perempuan dalam sektor keamanan dan penanggulangan ekstremisme masih di bawah 20%. Hal ini menunjukkan hambatan institusional dan budaya yang signifikan, termasuk resistensi dari lembaga keamanan terhadap pendekatan inklusif.


5. Strategi Reformasi untuk Meningkatkan Peran Perempuan

Untuk menjadikan perempuan sebagai pion perdamaian dan pencegah ekstremisme, reformasi kebijakan berikut merupakan hal mendesak:

  1. Integrasi eksplisit prinsip WPS dalam Undang-Undang Anti-Terorisme dan dokumen strategi PVE.

  2. Pengembangan pelatihan gender-sensitif bagi aparat keamanan, termasuk pendekatan dialog dan komunitas.

  3. Perluasan dan prioritas alokasi anggaran untuk organisasi perempuan berbasis komunitas dan LSM lokal.

  4. Penerapan sistem pemantauan dan evaluasi berbasis data terpilah gender agar dapat mengukur dampak program dengan lebih akurat dan adil.

Reformasi ini akan mendukung program PVE yang responsif terhadap realitas serta kebutuhan perempuan sebagai agen oksigen sosial dan penjaga perdamaian informal.

See also  Hidup Anak Banda Aceh dan Warkop: Cerita dari Seorang Siswa SMA

6. Peran Regional & Global: Leadership Indonesia di ASEAN

Di tingkat regional, Indonesia memainkan peran strategis melalui tempat duduknya di ASEAN Regional Forum (ARF) dan Rencana Aksi Regional ASEAN untuk Pencegahan dan Penanggulangan Radikalisasi dan Ekstremisme Kekerasan (RPoAโ€‘PCRVE). Di sini, pendekatan WPS bisa diangkat sebagai paradigma keamanan alternatif yang humanis dan inklusif.

Pengalaman Indonesia bisa dijadikan bahan advokasi bahwa keamanan tidak melulu soal kekuatan keras. Pendekatan yang berbasis komunitas, dialog, dan penguatan modal sosial lebih menjawab tantangan era disrupsi. Pengakuan internasional โ€” seperti N-Peace Awards โ€” juga menunjukkan bagaimana perempuan Indonesia telah menjadi panutan regional dalam kepemimpinan perdamaian.


7. Strategi Komunikasi Publik dan Pendidikan

7.1 Narasi Media yang Inklusif

Media nasional kerap menampilkan sosok pemberantas ekstremisme sebagai wajah maskulin militeristik. Perempuan sebagai penjaga perdamaian jarang disorot. Ada kebutuhan mendesak untuk membangun narasi yang menampilkan perempuan sebagai pendidik nilai toleransi dan mediator konflik.

7.2 Platform Digital dan Generasi Muda

Pemanfaatan media sosial, podcast, vlog, dan webinar komunitas menjadi sarana efektif menyebarkan cerita damai yang ditopang perempuan. Target audiens adalah generasi muda yang rentan terpapar konten ekstrem di ruang digital. Moderator komunitas perempuan bisa menjadi narator positif yang memengaruhi kultur digital kolektif.

7.3 Pendidikan Formal dan Nonformal

Sekolah, pesantren, serta organisasi pendidikan lokal perlu memasukkan modul toleransi, resolusi konflik, dan peran perempuan sebagai agen perdamaian. Pendidikan berbasis gender-sensitive tidak hanya mendidik nilai tetapi juga membentuk identitas kolektif yang menolak kekerasan ekstrem.


Kesimpulan: Perempuan sebagai Fondasi Keberlanjutan Perdamaian

Indonesia telah membuka jalan sebagai contoh bagaimana perempuan dapat memainkan peran strategis dalam agenda perdamaian dan pencegahan ekstremisme. Dari praktik komunitas di Poso dan Aceh hingga advokasi kebijakan di Jakarta, perempuan bukan lagi pelengkap, melainkan inti dari narasi transformasi sosial.

Meja perundingan elit dan kebijakan militer saja tidak cukup. Perdamaian sejati tumbuh dari kerja kolektif berbasis lokal yang inklusif, berjangka panjang, dan peka gender. Untuk itu, memperkuat peran perempuan dalam strategi PVE tidak sekadar soal keadilan, tapi juga fondasi yang membuat perdamaian tahan uji.

Jika kita serius mendengar, memberi ruang, dan mempercayai perempuan sebagai pemimpin โ€” bukan hanya peserta โ€” maka masa depan perdamaian Indonesia dan dunia akan berbentuk lebih manusiawi, transformatif, dan penuh harapan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *