Di Jalan Raya Chittagong–Bandarban
Perjalanan ini dimulai dari Asian University for Women melalui Chittagong–Bandarban Highway, jalan berliku yang seakan menembus rimba hijau. Dari balik jendela mobil, aku melihat bukit-bukit menjulang dengan warna hijau pekat, sebagian diselimuti kabut tipis. Langit mendung sore itu menambah nuansa dramatis, seolah bukit sedang bernafas pelan menunggu hujan turun. Nama “Bandarban” sendiri berarti hutan bukit, dan sejak detik pertama aku tiba, nama itu terasa begitu tepat.
Wajah-Wajah di Bandarban
Di sepanjang perjalanan, aku bertemu masyarakat lokal dari berbagai etnis: Marma, Chakma, Mru, Tripura, hingga Bawm. Mereka hidup dalam keanekaragaman budaya, memakai pakaian tradisional, berbicara dengan bahasa yang berbeda, dan menyambut dengan senyum sederhana. Aku belajar bahwa Bandarban bukan sekadar sebuah daerah, melainkan sebuah mosaik identitas yang kaya dan rumit.
Jejak Sejarah dan Suara Damai
Bandarban menyimpan sejarah panjang, termasuk masa-masa konflik antara komunitas adat dan pemerintah pusat Bangladesh. Banyak yang bercerita padaku tentang Perjanjian Damai 1997, yang mengakhiri ketegangan bersenjata. Kini, mereka mencoba melanjutkan hidup, membangun rumah, menenun kain, dan merawat ladang di lereng bukit. Tetapi, jejak sejarah itu masih terasa dalam cerita-cerita mereka.
Agama dan Spiritualitas di Bukit
Aku juga menemukan kuil Buddha, masjid kecil, dan gereja sederhana di sini. Semua berdiri berdampingan, mencerminkan keragaman agama yang hidup dalam keseharian. Setiap suara doa, setiap lonceng kuil, dan setiap lantunan azan seakan menyatu dengan suara alam dari hutan. Bandarban, bagiku, adalah ruang spiritual yang luas, di mana agama dan tradisi berjalan berdampingan, meski tidak selalu tanpa gesekan.
Festival dan Tradisi
Beruntung aku bisa menyaksikan persiapan festival panen di salah satu desa. Masyarakat menyiapkan tarian tradisional, musik bambu, serta makanan khas. Aku melihat betapa eratnya hubungan mereka dengan tanah dan alam. Dari cara mereka menenun kain berwarna cerah hingga cara mereka menanam padi di ladang berpindah (jhum), semuanya mengajarkan tentang kearifan hidup yang bersumber dari alam.
Antara Pariwisata dan Tradisi
Bandarban kini juga mulai ramai dikunjungi wisatawan. Tempat-tempat seperti Nilgiri Hills dan Boga Lake menjadi magnet. Namun aku juga merasakan kegelisahan: apakah pariwisata akan membantu mereka atau justru menggerus identitas mereka? Banyak pemuda lokal mulai bekerja di sektor wisata, sementara orang tua masih berpegang pada ladang dan ritual leluhur.
Refleksi Pribadi
Sebagai seorang anak muda yang tumbuh di Aceh, aku menemukan banyak kemiripan antara Bandarban dan kampung halamanku. Keduanya adalah daerah perbatasan, sama-sama pernah mengalami konflik, sama-sama memiliki identitas kuat, dan sama-sama sedang bergulat antara tradisi dan modernitas. Melihat Bandarban seolah aku bercermin pada Aceh: sebuah ruang yang sarat sejarah, kaya budaya, dan selalu mencari cara untuk berdamai dengan masa lalu.