Pesona Masjid Raya Baiturrahman

Perspektif Kemelayuan: Dari Kebatinan ke Kosmologi Pengetahuan

Kebatinan Melayu dan Jantung Spiritualitas Nusantara

Kebatinan Melayu tidak sekadar praktik esoterik, melainkan fondasi spiritual yang membentuk pola pikir, etika, dan relasi manusia dengan alam. Dalam tradisi ini, manusia dianggap bagian dari keseluruhan semesta, bukan penguasa atasnya. Ajaran kebatinan Melayu berakar pada kesadaran bahwa kehidupan harus dijalani dengan harmoni batin, bukan sekadar rasionalitas lahiriah. Maka, nilai “budi” menjadi konsep sentral: ia memadukan akal dan hati, logika dan rasa.

Dalam kebatinan Melayu, pencarian hakikat bukan hanya upaya intelektual, tetapi juga perjalanan ruhani. Simbol-simbol seperti air, pohon, dan cahaya sering digunakan untuk menggambarkan perjalanan manusia menuju “asal kejadian.” Di sinilah pertemuan antara falsafah lokal dengan sufisme Islam menjadi nyata. Tasawuf yang datang dari dunia Arab tidak menghapus tradisi kebatinan, melainkan memperkaya dan menstrukturkannya dalam kerangka tauhid.

Kebatinan Melayu juga memiliki dimensi sosial. Ia membentuk tata moral yang menekankan keseimbangan, kesantunan, dan penghormatan terhadap hierarki. Tidak heran jika dalam masyarakat Melayu, sopan santun bukan sekadar etiket, tetapi cermin dari kebersihan batin. Seseorang yang “halus budi”-nya dianggap telah mencapai taraf spiritual yang tinggi.

Ketika Islam datang ke Alam Melayu, terutama melalui jalur perdagangan dan dakwah para sufi, ajaran kebatinan ini mengalami proses islamisasi tanpa kehilangan jati dirinya. Kata “makrifat,” “hakikat,” dan “syariat” mulai menggantikan istilah lama, namun substansinya tetap sama: kesatuan antara manusia dan Tuhan dalam kesadaran batin. Di titik ini, sufisme menjadi jembatan antara kebatinan lokal dan doktrin Islam universal.

Pemikiran tokoh-tokoh seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani menjadi bukti konkret bagaimana kebatinan Melayu dan tasawuf Islam bertemu secara organik. Keduanya tidak memisahkan antara ilmu dan iman, antara akal dan rasa. Dalam puisi-puisi mereka, konsep “wahdat al-wujud” diartikulasikan dalam bahasa Melayu yang lembut namun mendalam.

Dengan demikian, kebatinan Melayu bukan warisan masa lalu yang mistis semata, tetapi fondasi ontologis bagi kesadaran Melayu modern. Ia adalah upaya terus-menerus untuk memahami diri, alam, dan Tuhan melalui keseimbangan batin yang suci. Dalam dunia yang kini serba bising dan terfragmentasi, warisan kebatinan ini menghadirkan alternatif epistemologi yang menenangkan dan memulihkan makna hidup.

 Kosmologi Melayu: Menyelami Alam sebagai Kitab Kedua

Kosmologi Melayu menempatkan alam sebagai teks yang harus dibaca dengan mata batin. Dalam pandangan ini, dunia bukanlah objek untuk dikuasai, tetapi wahyu yang terbuka bagi mereka yang memahami tanda-tanda Tuhan. Alam dilihat sebagai manifestasi “ayat-ayat kauniyyah” yang sejajar dengan wahyu tertulis dalam Al-Qur’an. Maka, membaca semesta sama nilainya dengan membaca kitab suci.

See also  Indonesia: Tempat Paling Keren dengan Alam, Budaya, dan Kreativitas Anak Muda

Pandangan ini berakar pada pemahaman sufistik bahwa setiap elemen alam mengandung makna spiritual. Gunung melambangkan keteguhan iman, laut menggambarkan keluasan ilmu, dan angin menunjukkan rahmat ilahi. Orang Melayu, dalam kesadarannya yang halus, menafsirkan gejala alam bukan dengan kalkulasi ilmiah, tetapi dengan simbol-simbol moral dan spiritual.

Dalam tradisi sastra klasik seperti Bustan al-Salatin atau Taj al-Salatin, kosmologi ini termanifestasi dalam kisah raja-raja dan alam semesta. Dunia dipandang sebagai cerminan kerajaan Tuhan, di mana setiap raja sejati harus menjadi bayangan Tuhan di bumi. Raja yang lalim dianggap telah melanggar tatanan kosmos, bukan sekadar hukum manusia. Dengan demikian, etika politik Melayu bersumber dari pemahaman kosmologis, bukan dari kekuasaan semata.

Kosmologi Melayu juga bersifat transendental. Ia menolak dikotomi antara dunia dan akhirat, antara ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi. Dalam pandangan ini, semua pengetahuan adalah suci jika digunakan untuk mengenal Tuhan. Sebab itu, orang Melayu klasik tidak mengenal istilah “sekuler.” Segala sesuatu dikembalikan kepada sumber ilahiah yang satu.

Menariknya, kosmologi Melayu tidak tertutup terhadap pengaruh luar. Dari India, ia menyerap simbolisme kosmik; dari Arab, ia menerima doktrin tauhid; dari China, ia belajar harmoni. Semua itu diramu dalam bingkai lokal yang unik. Maka, Melayu bukanlah etnis tertutup, melainkan peradaban terbuka yang mampu menyerap, menafsir, dan mengislamkan pengaruh global tanpa kehilangan jati diri.

Dalam dunia modern yang dikuasai paradigma sains positivistik, kosmologi Melayu mengajarkan pentingnya dimensi spiritual dalam memahami alam. Alam bukan mesin tanpa makna, melainkan ruang sakral yang menghubungkan manusia dengan Pencipta. Ini adalah pelajaran penting bagi masa depan ekoteologi Islam di Nusantara.

Intelektual Melayu dan Jalur Sastra sebagai Filsafat

Intelektual Melayu tidak menulis filsafat dalam bentuk traktat seperti para filsuf Barat, tetapi melalui puisi, hikayat, dan karya sastra yang sarat makna simbolik. Dalam setiap bait syair atau gurindam, tersimpan renungan metafisik yang mendalam. Bahasa sastra menjadi laboratorium bagi kesadaran filsafat. Dengan cara ini, sastra Melayu bukan hiburan, melainkan wahana pengetahuan.

Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, dan Raja Ali Haji adalah contoh klasik bagaimana tradisi intelektual Melayu beroperasi dalam medan sastra. Mereka berbicara tentang Tuhan, jiwa, dan pengetahuan dalam bentuk pantun atau syair, bukan dalam bahasa logika. Inilah keunikan epistemologi Melayu: ia mengutamakan rasa dan intuisi sebagai jalan menuju kebenaran.

See also  PDI-P Pasca-Megawati: Suksesi, Kalkulus dengan Prabowo, dan Arsitektur Kekuasaan 2024–2029

Sastra Melayu juga berfungsi sebagai media pendidikan moral. Gurindam Dua Belas misalnya, bukan sekadar kumpulan nasihat, tetapi sistem etika yang menggabungkan agama, akal, dan budaya. Ia mengajarkan manusia untuk mengenal diri sebelum mengenal dunia. Konsep “mengenal diri” ini sejalan dengan prinsip sufistik man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu — siapa mengenal dirinya, mengenal Tuhannya.

Karya sastra menjadi bentuk perlawanan intelektual terhadap kolonialisme epistemik. Dalam masa penjajahan, bahasa Melayu menjadi alat resistensi halus yang mengekalkan identitas dan nilai-nilai Islam. Di tengah proyek modernisasi yang sering meminggirkan budaya lokal, intelektual Melayu tetap menulis dalam bahasa jiwa mereka sendiri.

Melalui sastra, intelektual Melayu juga menciptakan sistem pengetahuan alternatif yang berakar pada “hikmah.” Ini berbeda dengan sistem Barat yang berbasis “logos.” Hikmah bukan sekadar pengetahuan rasional, melainkan kebijaksanaan yang diperoleh melalui pengalaman ruhani dan refleksi moral. Oleh sebab itu, filsafat Melayu tidak bisa dipisahkan dari dimensi etika dan spiritualitas.

Kini, ketika dunia intelektual didominasi oleh teori-teori postmodern yang memecah makna, kita perlu kembali membaca sastra Melayu sebagai sumber filsafat hidup. Di dalamnya, ada kesadaran kosmik, moral, dan estetika yang dapat menghidupkan kembali “jiwa Timur” yang semakin redup. Bahasa Melayu, dengan kehalusannya, masih menyimpan getaran hikmah yang belum habis dibaca.

Dari Melayu ke Asia Tenggara: Identitas yang Meluas

Pertanyaan “Dari Melayu ke Asia Tenggara?” bukan sekadar geografis, tetapi epistemologis. Melayu bukan hanya etnis, melainkan peradaban yang melintasi batas politik dan bahasa. Dari Sumatra, Semenanjung, hingga kepulauan Filipina, jejak budaya Melayu membentuk jaringan kesadaran regional yang berakar pada nilai Islam, kebatinan, dan kesantunan sosial.

Konsep “Melayu Raya” yang pernah diimpikan para pemikir seperti Za’ba, Syed Hussein Alatas, dan Ungku Aziz bukan nostalgia masa lalu, melainkan cita-cita peradaban yang belum selesai. Mereka membayangkan Melayu sebagai pusat pemikiran dan moral Asia Tenggara, bukan sekadar kategori administratif. Dalam pengertian ini, Melayu adalah ide universal yang lahir dari lokalitas Nusantara.

Namun, kolonialisme Eropa mengubah peta identitas ini. Melayu terpecah menjadi nasionalisme sempit: Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei. Bahasa Melayu pun dikodifikasi menjadi bahasa nasional yang berbeda. Padahal sebelumnya, ia adalah lingua franca yang menyatukan dunia kepulauan. Proses ini membuat Melayu kehilangan elan peradaban dan menjadi sekadar simbol negara.

See also  Bagan Metode Studi Islam: Epistemologi, Pengetahuan, Worldview, dan Struktur dalam Kajian Sains Islam

Dalam konteks globalisasi, identitas Melayu kembali diuji. Ketika Barat mendominasi wacana modernitas, bangsa-bangsa Melayu berusaha menegosiasi antara tradisi dan kemajuan. Malaysia misalnya, menggunakan slogan “Malaysia Truly Asia” untuk menegaskan pluralitasnya. Namun di balik itu, pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah Melayu masih punya peran sebagai subjek peradaban, atau hanya objek pariwisata budaya?

Sebagai jawaban, kita perlu menafsir ulang “Kemelayuan” bukan sebagai etnisitas, tetapi sebagai worldview — pandangan hidup yang menekankan keseimbangan antara jasmani dan ruhani, tradisi dan inovasi, lokal dan global. Dalam pengertian ini, Melayu menjadi model alternatif bagi pembangunan manusia Asia Tenggara yang berakar pada spiritualitas dan kemanusiaan.

Kesadaran semacam ini penting bagi masa depan kawasan. Di tengah krisis identitas global, konsep Kemelayuan dapat menjadi basis bagi integrasi budaya Asia Tenggara. Ia menawarkan visi kebudayaan yang inklusif namun berakar, terbuka namun berprinsip. Dari Melayu, kita belajar bagaimana menjadi modern tanpa kehilangan diri.

Penutup: Siapa Merumuskan Filsafat Ilmunya

Pertanyaan akhir dari naskah ini — “Siapa merumuskan filsafat ilmunya?” — adalah refleksi atas krisis pengetahuan di dunia Melayu modern. Ilmu yang diajarkan di universitas sering kali tercerabut dari akar kebudayaan sendiri. Padahal, Hamzah Fansuri telah lebih dulu berbicara tentang epistemologi rasa, Nuruddin al-Raniri tentang kebenaran hakiki, dan Raja Ali Haji tentang moralitas ilmu.

Filsafat ilmu Melayu tidak menolak rasionalitas, tetapi menempatkannya dalam keseimbangan dengan spiritualitas. Ia menyatukan akal dan hati, empiris dan batiniah. Prinsip ini mendesak untuk dihidupkan kembali dalam sistem pendidikan kita, agar ilmu tidak sekadar menghasilkan teknokrat, tetapi juga manusia arif.

Membangun kembali filsafat ilmu Melayu berarti merekonstruksi jati diri intelektual Nusantara. Ia menuntut keberanian untuk membaca kembali teks klasik, menafsirnya dalam konteks modern, dan menulis ulang epistemologi kita sendiri. Hanya dengan begitu, peradaban Melayu dapat bangkit bukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai visi masa depan.

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *