Sejarah, Tata Kelola, dan Digitalisasi Penyelenggaraan Haji Indonesia: Dari Syaikh hingga Era Syarikah 2025

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Dari sistem syaikh hingga era digital Nusuk dan SEPAKAT, perjalanan panjang penyelenggaraan haji Indonesia adalah kisah sejarah, diplomasi, dan inovasi.
Dari sistem syaikh hingga era digital Nusuk dan SEPAKAT, perjalanan panjang penyelenggaraan haji Indonesia adalah kisah sejarah, diplomasi, dan inovasi.

Pendahuluan

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pengelolaan haji yang mengalami berbagai transisi kelembagaan dan sistem. Pada masa awal kemerdekaan, penyelenggaraan haji masih melibatkan pihak swasta seperti Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (YPHI) dan perusahaan pelayaran[1]. Pemerintah mulai mengambil alih secara penuh urusan haji sejak akhir 1960-an. Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1969 menandai era baru di mana pemerintah memonopoli penyelenggaraan haji demi melindungi jemaah dari penipuan oleh agen-agen swasta[2].

Sejak itu, Departemen Agama menjadi penyelenggara tunggal ibadah haji, bekerja sama dengan maskapai nasional (Garuda Indonesia) maupun perusahaan pelayaran yang ada hingga penghentian total transportasi haji via kapal laut tahun 1979[3]. Langkah penataan ini menunjukkan bahwa ibadah haji di Indonesia bukan semata urusan ritual, tetapi juga menjadi domain kepentingan negara, agama, ekonomi, dan politik sekaligus[4].

Perubahan besar juga terjadi dalam sistem pelayanan jemaah di Arab Saudi. Sebelum 1980-an, jemaah Indonesia bergantung pada Syaikh atau muthawwif, para pemandu lokal keturunan Indonesia di Tanah Suci, yang mengatur akomodasi dan ibadah mereka. Sistem tradisional ini kemudian direformasi oleh Pemerintah Arab Saudi dengan memperkenalkan Muassasah pada tahun 1984 sebagai konsorsium resmi pelayanan haji[5].

Sejak 3 Mei 1984, fungsi para syaikh dilebur ke dalam Muassasah, dan jemaah mengikuti arahan maktab (kantor layanan) yang ditentukan Muassasah[6]. Muassasah Asia Tenggara khusus mengurusi jemaah asal Indonesia/Malaysia dengan harapan standarisasi pelayanan: mulai penyambutan kedatangan, penyediaan transportasi dan akomodasi, hingga bimbingan ibadah di Makkah-Madinah[7][8]. Kebijakan ini meningkatkan keteraturan dan pengawasan, meski pada masa transisi sempat muncul resistensi karena mengubah kebiasaan lama.

Memasuki abad ke-21, birokrasi haji Indonesia terus berevolusi menyesuaikan dinamika. Dibentuknya Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) di Kementerian Agama menandai penguatan tata kelola haji secara terpusat sejak era Orde Baru. Pasca Reformasi, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 17/1999 (kemudian direvisi menjadi UU No.13/2008 dan UU No.8/2019) yang menegaskan prinsip penyelenggaraan haji seperti akuntabilitas, transparansi, dan pelayanan prima[9][10].

Pengelolaan dana setoran haji juga dibenahi dengan pembentukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tahun 2017, memisahkan fungsi keuangan dari Kementerian Agama. Hal ini memperkuat aspek ekonomi haji – dana puluhan triliun rupiah dapat diinvestasikan secara profesional untuk subsidi biaya haji, sembari menjamin akuntabilitas publik. Dengan kata lain, negara semakin hadir dalam setiap aspek penyelenggaraan haji, mulai regulasi hingga pengelolaan dana, memastikan haji sebagai pelayanan publik berjalan efisien dan amanah sesuai tuntunan agama dan harapan umat[4].

Belakangan, perubahan fundamental datang dari kebijakan baru Arab Saudi yang menggantikan sistem Muassasah dengan Syarikah (perusahaan swasta). Mulai tahun 2022, pelayanan haji di Arafah-Muzdalifah-Mina (Armuzna) dialihkan dari satu Muassasah tunggal ke beberapa perusahaan terakreditasi yang disebut syarikah[11]. Tujuannya adalah meningkatkan profesionalisme dan kompetisi layanan dengan melibatkan swasta[12]. Pada Haji 2025, pemerintah Indonesia bermitra dengan 8 syarikah Arab Saudi untuk melayani jemaah reguler[13][14].

Masing-masing syarikah menangani puluhan ribu jemaah (antara ~11 ribu hingga ~36 ribu orang) dengan paket layanan lengkap. Era multi-syarikah ini diharapkan membawa kualitas baru: layanan lebih berorientasi pelanggan, respons cepat, dan inovatif, sejalan dengan visi Arab Saudi dalam reformasi sektor haji[15][16]. Namun, transisi ini juga menuntut adaptasi besar, baik bagi petugas Indonesia maupun jemaah.

Pola pelayanan yang dulu seragam di bawah Muassasah kini bervariasi antar perusahaan, sehingga koordinasi dan negosiasi diplomatik menjadi semakin kompleks. Pemerintah Indonesia aktif memastikan hak-hak jemaah tetap terjamin dalam skema baru ini[17][18], sembari menyiapkan mitigasi masalah yang muncul di lapangan. Dengan demikian, perjalanan sejarah sistem haji Indonesia telah melalui fase “Syaikh – Muassasah – Syarikah” yang mencerminkan dinamika hubungan Indonesia-Arab Saudi: dari model tradisional berbasis kekerabatan, beralih ke institusional birokratis, hingga kini era korporatisasi layanan.

Transisi ini menunjukkan betapa penyelenggaraan haji selalu beradaptasi dengan konteks zamannya. Jika di era kolonial Belanda dulu pemerintah lebih berfokus pada kontrol politik terhadap jamaah haji, maka di era kemerdekaan fokusnya bergeser ke perlindungan konsumen jemaah. Selanjutnya, globalisasi dan kebijakan Saudi turut membentuk pola pengelolaan haji kita. Intinya, sejarah haji Indonesia adalah narasi tentang sinergi kewajiban agama dan peran negara dalam melayani rakyatnya menunaikan rukun Islam kelima, sembari merespons tantangan zaman.

Tata Kelola Nasional dan Diplomasi Haji

Penyelenggaraan haji Indonesia melibatkan tata kelola yang kompleks di dalam negeri serta diplomasi intens dengan pemerintah Arab Saudi. Di tingkat nasional, Kementerian Agama melalui Ditjen PHU bertanggung jawab mengoordinasikan berbagai aspek: pendaftaran dan pembinaan jemaah, pengurusan visa/dokumen, transportasi, akomodasi, kesehatan, hingga pembiayaan. Kebijakan penyusunan kloter dan zonasi menjadi salah satu inovasi penting dalam meningkatkan layanan.

Mulai 2019, Ditjen PHU Nizar Ali memberlakukan sistem zonasi penempatan jemaah di Makkah berdasarkan embarkasi asal[19]. Jemaah dari embarkasi yang sama atau berdekatan ditempatkan pada zona/hotel yang sama, misalnya zona Syisyah untuk embarkasi Aceh, Medan, Batam, Padang, Makassar, dll[20]. Langkah ini mempermudah koordinasi petugas dan mengurangi kendala komunikasi, karena jemaah dalam satu hotel relatif homogen bahasanya[21].

Selain itu, sistem zonasi memungkinkan penyesuaian menu katering Nusantara sesuai selera daerah asal jemaah[22]. Sebagai contoh, jemaah asal Padang bisa mendapatkan cita rasa masakan Sumatera Barat, sementara jemaah Jawa menu masakan sesuai lidah mereka. Kebijakan zonasi dan katering berbasis wilayah ini diakui Nizar Ali meningkatkan kenyamanan jemaah, mengobati kerinduan akan masakan kampung halaman selama di Tanah Suci[19][23].

Tata kelola dokumen perjalanan jemaah juga terus dibenahi. Setiap tahun, ratusan ribu paspor harus diterbitkan dan diberikan visa Arab Saudi. Pelajaran berharga didapat dari insiden paspor tertukar pada musim haji 2016 yang menimpa seorang jemaah asal Surabaya bernama Sri Astutik. Ia terpaksa dipulangkan dari Jeddah karena paspornya memuat data orang lain yang namanya sama, sehingga foto dan identitas tak cocok saat diperiksa imigrasi Saudi[24][25].

Dirjen PHU saat itu, Prof. Abdul Djamil, bergerak cepat berkoordinasi agar Sri mendapat paspor baru dan visa dalam waktu singkat. Sri akhirnya diterbangkan kembali ke Jeddah hanya beberapa hari setelah insiden, bahkan dijemput khusus setibanya untuk segera bergabung dengan suaminya di Makkah[26][27]. Abdul Djamil menegaskan fokus utamanya adalah “bagaimana Bu Sri bisa secepatnya kembali ke Tanah Suci dan berkumpul bersama rombongannya”[28].

Kasus ini dijadikan pelajaran penting; Ditjen PHU melakukan evaluasi menyeluruh agar pemeriksaan dokumen di embarkasi lebih teliti dan human error serupa tidak terulang[29]. Prosedur penyiapan manifes diberlakukan berlapis, termasuk pencocokan identitas oleh petugas Imigrasi Indonesia sebelum keberangkatan. Upaya diplomatik pun dilakukan untuk meredam ketegangan; otoritas Saudi diberi penjelasan dan jaminan peningkatan sistem verifikasi Indonesia. Kasus “paspor tertukar” ini menggambarkan tantangan tata kelola yang harus dihadapi dengan sigap oleh pemerintah sekaligus pentingnya kolaborasi G-to-G dengan Saudi dalam penyelesaian masalah jemaah.

Di sisi diplomasi haji, pemerintah Indonesia menempuh pendekatan government-to-government yang intens setiap tahun. Kuota haji Indonesia ditetapkan melalui negosiasi dan MOU dengan Kementerian Haji Arab Saudi. Setelah sempat dipangkas akibat renovasi Masjidil Haram (2013-2016), kuota Indonesia kini kembali normal bahkan bertambah (221 ribu tahun 2019, lalu naik menjadi 267 ribu tahun 2023 pascapandemi).

Tiap awal tahun, delegasi RI yang dipimpin Menteri Agama atau Dirjen PHU bertemu Menteri Haji Saudi di Jeddah/Makkah untuk menandatangani Nota Kesepahaman penyelenggaraan haji. Dalam forum itu, Indonesia kerap mengajukan usul peningkatan layanan. Misalnya, pada Desember 2018 untuk musim haji 2019, Menag Lukman Hakim Saifuddin (didampingi Dirjen PHU Nizar Ali) mengusulkan perluasan fast track imigrasi bagi jemaah Indonesia[30]. Program fast track (jalur cepat) telah diujicoba 2018 bagi 70.000 jemaah dari embarkasi Jakarta, di mana proses imigrasi Saudi dilakukan sejak di bandara Soekarno-Hatta, sehingga jemaah setiba di Arab Saudi tidak perlu antre lama[31].

Indonesia meminta agar fasilitas ini diperluas ke semua embarkasi, mengingat manfaatnya sangat dirasakan lansia. Selain itu, Indonesia menyampaikan keberatan atas kewajiban rekam biometrik visa yang diberlakukan Saudi melalui perusahaan VFS Tasheel. Kebijakan tersebut dianggap memberatkan jemaah di daerah terpencil karena harus bepergian jauh ke kantor perekaman biometrik[32].

Nizar Ali selaku Dirjen PHU waktu itu merekomendasikan agar pengambilan biometrik dilakukan di embarkasi sebelum jemaah terbang, mirip proses fast track[33]. Diplomasi ini membuahkan hasil sebagian: otoritas Saudi setuju meningkatkan titik layanan biometrik di Indonesia hingga 34 provinsi pada 2019[34][35], dan pada 2020 Indonesia masuk program Makkah Route sehingga ribuan jemaah menikmati kelancaran imigrasi di bandara asal.

Hal-hal tersebut menunjukkan peran negosiasi bilateral yang kuat; Indonesia tak segan menyuarakan kepentingan jemaahnya demi perbaikan sistem Saudi. Berkat kerja sama baik itu, indeks kepuasan haji Indonesia terus meningkat dan beberapa inovasi pelayanan lahir dari hasil komunikasi dua negara.

Lebih jauh, tata kelola haji Indonesia menuntut koordinasi lintas sektor dalam negeri yang solid. Kementerian Agama bermitra erat dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, TNI/Polri, pemerintah daerah, hingga maskapai penerbangan. Abdul Djamil dalam berbagai kesempatan mengingatkan seluruh petugas haji untuk bekerja ikhlas, sinergis, dan menghilangkan ego sektoral demi pelayanan optimal[36].

Pengalaman di lapangan sering diceritakannya sebagai motivasi, mulai dari menangani jemaah tersesat, paspor hilang, hingga mengurus pemulangan jamaah sakit. Semua ini ditekankan agar petugas memahami keragaman dan dinamika di Tanah Suci, serta selalu sigap mencari solusi.

Salah satu kisahnya tentang jemaah meminta “membukakan pintu pesawat saat terbang” karena panik, menunjukkan betapa unik tantangan yang dihadapi petugas[37]. Berkat pembekalan seperti ini, petugas haji Indonesia terus meningkatkan profesionalitasnya. Koordinasi dengan otoritas Saudi (muassasah/syarikah) juga menjadi ranah diplomasi teknis harian selama operasional haji. Contohnya, saat terjadi kendala akomodasi atau transportasi, tim Indonesia melakukan lobi dengan mitra Saudi untuk segera mengatasinya, seringkali melibatkan komunikasi lintas bahasa dan budaya.

Intinya, tata kelola nasional yang efektif dan diplomasi haji yang luwes adalah dua pilar penopang penyelenggaraan haji Indonesia. Dengan keduanya, Indonesia mampu mengelola salah satu program mobilisasi massa terbesar di dunia secara relatif sukses, terbukti dari konsistennya penyelenggaraan haji tiap tahun meski penuh tantangan.

Akomodasi dan Negosiasi Hotel

Pelayanan akomodasi bagi jemaah haji Indonesia di Arab Saudi telah mengalami transformasi signifikan, terutama sejak satu dekade terakhir. Nasrullah Jasam, salah satu pejabat yang pernah menjabat Ketua Tim Akomodasi, memaparkan bahwa timnya bekerja jauh sebelum musim haji dimulai. Persiapan sejak Desember tahun sebelumnya menjadi kunci untuk mendapatkan hotel-hotel terbaik dekat Haram dan Nabawi.

Tim akomodasi terbang ke Saudi di luar musim haji untuk survey dan negosiasi awal dengan pengelola hotel. Mereka memetakan ketersediaan kamar di Makkah dan Madinah, mengecek kualitas fasilitas (misal hotel minimal setara bintang 3, memiliki lobby luas untuk proses check-in)[38], hingga menyusun perkiraan harga sewa. Dalam proses pengadaan, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) hotel selalu dirahasiakan agar pihak penyedia tidak menaikkan harga mendekati plafon pemerintah.

Strategi ini terbukti efektif menekan biaya sewa pemondokan. Misalnya pada musim haji 2015, anggaran awal sewa hotel Makkah ditetapkan 4.500 riyal per jemaah, namun lewat negosiasi ketat tim akomodasi berhasil menurunkan rata-rata harga menjadi 4.461 riyal[39][40]. Efisiensi ~39 riyal per jemaah tersebut jika dikalikan kuota menghasilkan penghematan sekitar Rp40 miliar bagi negara[39][40]. “Karena kita bisa menawar, sehingga harganya rata-rata turun, maka ada efisiensi kurang lebih Rp40 miliar,” ungkap Irjen Kemenag M. Jasin Mashuri tentang capaian 2015[39]. Dana efisiensi ini kemudian dialokasikan untuk meningkatkan layanan lain, termasuk subsidi silang pemondokan di Madinah dan transportasi bus shalawat[41][42].

Kebijakan blocking time diberlakukan untuk sewa hotel di Madinah sejak 2014. Sebelumnya, sistem sewa harian membuat jemaah terkadang berpindah hotel jika masa tinggal lebih lama dari kontrak. Mulai 2014, Kemenag menyewa hotel Madinah secara semi-musim (misalnya 30-40 hari kontinu) sehingga jemaah tidak perlu dirotasi hotel selama 8-9 hari di Madinah. Dampaknya, biaya sewa per jemaah di Madinah naik (dari plafon 675 riyal menjadi rata-rata 850 riyal)[42][43], namun terbayar dengan meningkatnya kenyamanan.

Dana efisiensi di Makkah tadi sengaja digunakan untuk menutup kekurangan biaya di Madinah akibat sistem blocking time[42]. Keuntungan lain, dengan sewa musim tersebut Indonesia bisa memprioritaskan hotel-hotel dekat Masjid Nabawi. Pada 2015, pemerintah berhasil memastikan semua hotel jemaah Indonesia di Madinah berada di wilayah Markaziyah, radius sekitar 500-650 meter dari Nabawi[44][45].

Jemaah dapat berjalan kaki ke masjid untuk shalat Arbain (40 waktu) tanpa kelelahan berarti. “Alhamdulillah kita dapat hotel yang bagus dan dekat, energi jemaah tidak terkuras selama di Madinah,” ujar Endang Jumali, Kasi Perumahan Daker Madinah[46][44]. Data 2018 mencatat Indonesia menyewa 107 hotel di Madinah dengan jarak terjauh 650 m dari Nabawi (semuanya dalam zona Markaziyah) dan 165 hotel di Makkah dengan jarak terjauh ~4,3 km dari Masjidil Haram[47][48]. Di Makkah, meski beberapa hotel berjarak hingga 4 km, disediakan bus shalawat 24 jam untuk shuttle jemaah dari hotel ke Masjidil Haram dan sebaliknya.

Sejak 2017, Kemenag mewajibkan hotel Makkah minimal berbintang 3 atau standar apartemen servis dengan fasilitas setara (AC sentral, lift memadai, dapur, dll)[47]. Standar pelayanan hotel pun diikat dalam kontrak, misalnya pergantian seprai/handuk terjadwal, petugas kebersihan stand by, hingga kewajiban pemilik hotel menyediakan porter khusus untuk mengangkat koper jemaah ke kamar[49] – sebuah peningkatan layanan dimana sebelumnya jemaah harus mengangkut koper sendiri dari lobi[50]. Semua ini hasil negosiasi detail antara tim akomodasi Indonesia dengan pemilik hotel di Saudi, yang sering melibatkan diplomasi kultural dan tentu kemampuan tawar-menawar harga.

Proses negosiasi hotel tidak selalu mulus, ada tantangan unik di lapangan. Nasrullah mengungkap salah satu trik: menyembunyikan HPS hingga detik akhir. Tim-nya akan menanyakan penawaran harga dari pemilik hotel terlebih dahulu. Jika penawaran lebih rendah dari HPS, langsung diambil; jika jauh lebih tinggi, tim menawar balik sambil menunjukkan data pembanding hotel lain.

Untuk mendorong kompetisi sehat, Kemenag mulai beberapa tahun terakhir menerapkan e-procurement SEPAKAT (Sistem Pengadaan Akomodasi, Katering, Transportasi) yang membuka peluang supplier mendaftar dan mengajukan penawaran secara elektronik[51][52]. Dalam aplikasi SEPAKAT Akomodasi, para calon penyedia hotel mengunggah dokumen dan harga penawaran secara online, lalu diverifikasi dan dinegosiasi oleh tim Kemenag[53][54]. “Melalui database SEPAKAT, proses pengadaan jadi lebih efisien,” ujar Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri, Subhan Cholid[55].

Keuntungan lainnya, SEPAKAT meningkatkan transparansi dan mencegah praktek kongkalikong karena semua data kontrak terdokumentasi digital[56][57]. Aplikasi ini juga memudahkan evaluasi, misalnya rekam jejak hotel (kualitas pelayanan tahun-tahun sebelumnya) terekam sehingga hanya hotel berprestasi yang kembali dikontrak[58]. Langkah digitalisasi pengadaan ini sejalan dengan semangat reformasi birokrasi dan arahan BPK/KPK untuk meminimalisir risiko korupsi.

Selain itu, tim akomodasi Indonesia berusaha memaksimalkan fasilitas hotel untuk kenyamanan jemaah. Sebagai contoh, sejak 2017 setiap hotel diwajibkan menyediakan air zamzam 5 liter per jemaah langsung di hotel saat kepulangan[59]. Lalu disepakati pula pembagian jadwal makan secara teratur: di Madinah umumnya hotel menyajikan prasmanan dua kali (siang dan malam) kepada jemaah Indonesia, sementara di Makkah katering didistribusikan terpusat (tanpa mengandalkan hotel).

Namun sempat muncul ide jamuan makan malam di Madinah di luar paket katering; melalui negosiasi, beberapa hotel di Madinah bersedia memberikan makan malam tambahan (gratis) bagi jemaah Indonesia sebagai nilai tambah layanan. Hal ini dicapai karena hubungan baik perwakilan Indonesia dengan manajemen hotel serta volume sewa kamar yang besar dari Indonesia.

See also  Persoalan Keluarga di Aceh dalam Perspektif Etnografi Antropologis

Selain jamuan, ada pula kesepakatan fasilitas seperti free laundry terbatas, Wi-Fi gratis, dan bus antar-jemput gratis ke Masjid Nabawi bagi hotel yang sedikit lebih jauh (meski akhirnya jarang digunakan karena jarak masih bisa ditempuh jalan kaki). Tuntutan transparansi juga diterapkan: pemerintah Saudi mewajibkan kontrak-kontrak akomodasi diunggah ke sistem e-Hajj (terintegrasi dengan visa) untuk menjamin jemaah mendapatkan tempat tinggal layak[60][61].

Konsekuensinya, tim akomodasi harus memastikan setiap kontrak terdetail (jumlah kamar, kapasitas, lokasi, fasilitas) sesuai peraturan Saudi sebelum visa jemaah bisa diterbitkan. Dengan kata lain, tidak ada jemaah berangkat tanpa jaminan hotel – suatu kemajuan dibanding era lampau ketika sebagian jemaah non-reguler harus mencari penginapan sendiri sesampai di Makkah.

Puncak dari upaya negosiasi ini terlihat pada musim haji 2015, ketika untuk pertama kalinya seluruh jemaah Indonesia ditempatkan di hotel (bukan rumah sewa biasa) baik di Makkah maupun Madinah. Tahun-tahun sebelumnya, sebagian jemaah terutama di Makkah masih ditempatkan di pemondokan berupa rumah/apartemen yang difungsikan seperti hotel (karena keterbatasan hotel berbintang).

Mulai 2015, Kemenag hanya menyewa bangunan berstatus hotel resmi, sehingga standar layanan lebih terjamin (ada resepsionis 24 jam, cleaning service, dsb)[46][44]. Momen ini sering disebut sebagai “Haji Ramah Hotel” bagi Indonesia. Selain meningkatkan kepuasan, strategi ini juga memudahkan pembagian zonasi karena hotel-hotel cenderung terkonsentrasi di beberapa wilayah. Adapun kekurangannya, biaya sewa cenderung naik karena tarif hotel lebih mahal daripada rumah sewa.

Namun efisiensi di pos lain dan dukungan dana nilai manfaat BPKH dapat menutupnya tanpa membebani jemaah. Tercatat pada 2019, indeks kepuasan layanan akomodasi jemaah haji Indonesia mencapai 90,62 (kategori sangat memuaskan)[62], kontribusi besarnya berasal dari kenyamanan pemondokan. Tentu masih ada ruang perbaikan, misalnya pemerataan jarak hotel Makkah (agar tidak ada yang terlalu jauh), percepatan proses check-in/out, hingga variasi menu katering di hotel.

Akan tetapi, secara keseluruhan transformasi akomodasi haji Indonesia patut diapresiasi. Melalui negosiasi gigih dan inovasi sistem, Kemenag berhasil mengubah yang dulunya kelemahan (pemondokan tersebar jauh dan kualitas beragam) menjadi kekuatan berupa pemondokan terkonsentrasi, dekat, dan nyaman.

Mekanisme Kontrak dan Keuangan Haji

Penyelenggaraan haji merupakan operasi besar dengan anggaran yang sangat besar pula. Total biaya penyelenggaraan haji reguler Indonesia (BPIH) untuk 200 ribu lebih jemaah per tahun dapat mencapai belasan hingga puluhan triliun rupiah. Mekanisme pembiayaan ini melibatkan persetujuan politik dan pengelolaan keuangan yang hati-hati. Setiap tahun, Kementerian Agama mengusulkan besaran Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) per jemaah kepada DPR. Komponen BPIH terdiri dari direct cost (dibayar langsung oleh jemaah, misal ongkos penerbangan, sebagian pemondokan, dll) dan indirect cost (disubsidi dari nilai manfaat Dana Haji yang dikelola BPKH).

Setelah dibahas Komisi VIII DPR, besaran BPIH ditetapkan melalui Keppres. Sebagai contoh, tahun 2023 BPIH rata-rata ditetapkan sekitar Rp90 juta per jemaah, di mana Rp49,8 juta dibayar jemaah dan sisanya ~Rp40 juta disubsidi dari dana nilai manfaat. Dana yang dibayarkan jemaah disetor ke BPKH bersama dana setoran awal, lalu BPKH menginvestasikannya hingga waktu berangkat tiba. BPKH kemudian mentransfer dana operasional haji ke Kemenag sesuai kebutuhan tahun berjalan.

Pada musim haji 2025 misalnya, BPKH telah mengirim sekitar Rp14 triliun kepada Ditjen PHU Kemenag untuk membayar berbagai keperluan layanan haji, terutama di Masyair (Arafah-Mina)[63][64]. “BPKH sudah transfer kira-kira Rp14 triliun ke Dirjen PHU,” ungkap Indra Gunawan, Anggota Badan Pelaksana BPKH, Maret 2025[65]. Dana tersebut dipakai Kemenag membayar invoice biaya tenda, layanan Armina, sewa tenda-tenda Muzdalifah, serta sebagian akomodasi di Saudi[66][67]. Mekanisme ini memastikan dana haji digunakan tepat sasaran untuk kepentingan jemaah pada tahun keberangkatan.

Dari sisi kontrak layanan, sejak 2014 Arab Saudi mewajibkan penerapan sistem e-Hajj bagi seluruh negara pengirim jemaah. Sistem e-Hajj ini mengintegrasikan data jemaah dengan seluruh komponen layanan di Saudi. Semua kontrak akomodasi, transportasi, katering, maupun layanan masyair harus diunggah dan terekam di sistem e-Hajj sebelum visa diterbitkan[60][61]. Tujuan utamanya adalah memberikan kepastian bahwa setiap jemaah memiliki layanan yang terjamin selama di Saudi[60][61].

Kemenag RI sejak 2014 telah berhasil menerapkan e-Hajj secara bertahap[68]. Kini, pemesanan hotel di Makkah-Madinah, bus antar-kota, layanan katering, hingga tenda Armina semuanya dilakukan melalui platform e-Hajj. Keuntungan e-Hajj antara lain: memudahkan monitoring kapasitas layanan (misal ketersediaan kamar hotel sesuai jumlah jemaah), menghindari kontrak ganda atau melebihi kuota, dan mempermudah penyelesaian komplain karena semua terdata. “Kontrak layanan diunggah dan tercatat di e-Hajj, sehingga penyediaan layanan bagi jemaah lebih pasti,” terang Ramadhan Harisman, salah satu Kasubdit di Ditjen PHU[60][61].

Bahkan penerbitan visa haji sekarang sepenuhnya tergantung sistem ini: visa baru keluar jika semua prasyarat layanan (akomodasi, transportasi, dll) sudah terpenuhi dan ter-input. Petugas Kemenag juga dapat memantau progres visa setiap jemaah secara real-time melalui e-Hajj[69], termasuk mencetak visa elektronik sendiri tanpa harus menunggu stiker fisik dari Kedubes Saudi[70]. Dengan demikian, integrasi e-Hajj meningkatkan transparansi sekaligus kecepatan dalam proses administrasi haji.

Dalam hal pengadaan barang/jasa pendukung, prinsip akuntabilitas turut dijaga. Kemenag memiliki Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) khusus haji yang menangani kontrak, didampingi tim Inspektorat Jenderal untuk review. Semua kontrak besar (contoh sewa pesawat, sewa hotel, katering) juga dilaporkan ke BPK dan diaudit setiap tahun. Pada 2014-2015, BPK sempat menemukan permasalahan administrasi yang kemudian diperbaiki seperti penentuan HPS yang kurang cermat atau denda keterlambatan layanan yang belum ditagih[71].

Rekomendasi BPK langsung ditindaklanjuti, misalnya Kemenag menagih denda ke penyedia katering yang telat mengantar makanan, lalu memperbaiki pedoman kontrak agar lebih tegas. Dalam hal transportasi udara, Indonesia menggunakan mekanisme “dua maskapai” (Garuda Indonesia dan Saudi Arabian Airlines) berdasarkan perjanjian bilateral. Kedua maskapai ini dipilih melalui direct appointment G-to-G sesuai kuota pembagian penerbangan (Indonesia berhak menunjuk maskapai nasionalnya untuk minimal 50% jemaah).

Tahun 2023, Garuda Indonesia mengangkut sekitar 104 ribu jemaah dari 9 embarkasi, sementara Saudia mengangkut 101 ribu jemaah dari 4 embarkasi[72][73]. Rute dan harga disepakati bersama Kemenhub dan General Authority of Civil Aviation (GACA) Saudi. Pembayaran charter penerbangan ini menggunakan skema Fly Now Pay Later, di mana maskapai baru menerima pembayaran penuh setelah seluruh operasional haji selesai (karena dana haji cair bertahap). Hal ini dimungkinkan berkat reputasi baik dan jaminan pemerintah.

Adapun kontrak katering jemaah di Saudi dilakukan per sektor; sejak 2016, Kemenag menggalang partisipasi puluhan perusahaan katering di Makkah, Madinah, dan Armina dengan total >250 dapur produksi. Pembayaran katering dilakukan by name by address sesuai jumlah boks tersalur harian. Sistem ini, meski rumit, berhasil memastikan jemaah mendapat layanan konsumsi 2-3 kali sehari selama di Tanah Suci tanpa ada hari kelaparan.

Satu lagi komponen krusial adalah pengelolaan dana dan nilai manfaat haji. Dana setoran haji (ONG atau setoran awal + setoran pelunasan) yang ditempatkan di perbankan syariah dioptimalkan investasinya oleh BPKH. Hasil investasi inilah yang digunakan untuk menutup kekurangan biaya per jemaah (indirect cost). Misalnya pada 2025, rata-rata indirect cost mencapai Rp30 jutaan per jemaah, sehingga total subsidi nilai manfaat sekitar Rp6-7 triliun untuk ~220 ribu jemaah.

BPKH memastikan dana tersebut tersedia sebelum musim haji, terbukti dengan pernyataan mereka bahwa dana pembayaran di muka BPIH 2026 sebesar Rp7,88 triliun sudah siap[74][75]. Arus dana berjalan sebagai berikut: BPKH mentransfer dana ke rekening Kemenag di Bank Indonesia sesuai kebutuhan tahap demi tahap (misal termin pertama untuk bayar uang muka hotel, termin berikut untuk pelunasan katering, dst).

Kemenag kemudian membayar para penyedia melalui sistem e-Hajj (yang terhubung dengan e-payment ke rekening bank di Saudi). Pada 2025, contohnya, untuk pertama kalinya Saudi mewajibkan pembayaran uang muka layanan Masyair (Arafah-Mina) jauh hari sebelum musim haji. Indonesia pun menyetor Rp2,76 triliun sebagai deposit tenda Armina 2026 ke sistem e-Hajj pada Agustus 2025[76][77].

Ini menunjukkan kemampuan likuiditas dan kredibilitas finansial Indonesia dalam kancah haji internasional. Sistem pembayaran digital lintas negara ini juga mengurangi ruang pungli, karena dana mengalir langsung ke vendor terdaftar tanpa melalui perantara tak resmi.

Secara keseluruhan, mekanisme kontrak dan keuangan haji Indonesia kini berjalan dengan prinsip akurasi perencanaan, transparansi pelaksanaan, dan akuntabilitas pelaporan. Tantangan ke depan adalah terus meningkatkan efisiensi. Misalnya, pemerintah tengah menggodok skema “virtual account” untuk setiap jemaah di mana seluruh transaksi terkait biaya haji bisa dipantau individu secara real-time.

Selain itu, restrukturisasi kelembagaan sedang berlangsung: mulai 2024-2025, fungsi operasional haji diharapkan akan ditangani oleh Kementerian Haji dan Umrah yang baru (setingkat kementerian tersendiri), terpisah dari Kementerian Agama[78]. Langkah ini diharap memperkuat perencanaan anggaran haji yang lebih mandiri dan lincah, mengingat besarnya dana yang dikelola.

Dengan fondasi regulasi dan sistem yang sudah ada, Indonesia berpotensi menjadi model manajemen keuangan haji yang modern dan amanah, sesuai prinsip syariah maupun prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Data Manifest dan Transportasi Jemaah

Operasi transportasi jemaah haji Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia, melibatkan ratusan penerbangan dan ribuan bus setiap musimnya. Data manifest 2023/2024 misalnya mencatat sekitar 525 kloter (kelompok terbang) yang diberangkatkan, dengan total jemaah reguler plus petugas lebih dari 229 ribu orang. Kloter-kloter ini dibagi dalam dua gelombang (fase) keberangkatan. Gelombang I (sekitar 280 kloter, ≈51% jemaah) diterbangkan menuju Madinah terlebih dahulu, sedangkan Gelombang II (sekitar 245 kloter sisanya) mendarat di Jeddah untuk langsung ke Makkah[79][80].

Pola route ini merupakan strategi sejak lama: setengah jemaah memulai haji dengan Arbain di Madinah, setengah lagi langsung ke Makkah agar kapasitas hotel di dua kota tersebut seimbang. Dari segi waktu, penerbangan haji fase keberangkatan berlangsung selama ±30 hari, dengan 18–21 kloter berangkat per hari secara bergelombang dari berbagai embarkasi. Hari pertama biasanya diberangkatkan 10–15 kloter, lalu meningkat hingga puncak 20 kloter/hari pada minggu kedua, kemudian melandai.

Dengan jadwal padat ini, setiap jam ada pesawat haji yang lepas landas atau mendarat di bandara embarkasi atau debarkasi. Koordinasi waktu sangat ketat; jemaah harus sudah masuk Asrama Haji minimal 1 hari sebelum terbang, kemudian diantar ke bandara ±6 jam sebelum jadwal take-off. Keterlambatan satu kloter saja bisa mengacaukan rotasi pesawat. Namun, berkat pengalaman panjang, sistem time slot penerbangan haji kita cukup andal.

Indonesia mengoperasikan 13 embarkasi haji yang tersebar di seluruh nusantara (per 2023). Embarkasi besar antara lain: Aceh, Medan, Batam, Padang, Palembang, Jakarta (Soekarno-Hatta untuk JKG dan Pondok Gede untuk JKS), Solo, Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan, Makassar, Lombok, dan embarkasi baru Kertajati (dibuka 2023). Untuk penerbangan, seperti disebut sebelumnya, digunakan dua maskapai: Garuda Indonesia dan Saudia Airlines. Garuda melayani penerbangan dari 9 embarkasi (misal Aceh, Medan, Padang, Jakarta, Solo, Banjarmasin, Balikpapan, Makassar, Lombok) dengan mengangkut sekitar 107.974 jemaah[72].

Sementara Saudia melayani 4 embarkasi (Batam, Palembang, Jakarta-Bekasi, Surabaya) dengan sekitar 98.576 jemaah[72]. Pembagian ini juga mempertimbangkan efisiensi: rute embarkasi terjauh seperti Makassar lebih ekonomis dilayani maskapai nasional yang berbasis di sini, sedangkan Saudia banyak menangani embarkasi Sumatera dan Jawa Timur. Durasi terbang bervariasi 8–11 jam tergantung kota asal.

Setiba di Arab Saudi, jemaah disambut oleh Panitia Haji di bandara Jeddah (King Abdul Aziz) atau Madinah (Prince Mohammad bin Abdulaziz). 51% jemaah mendarat di Madinah sesuai gelombang I, sehingga bandara Madinah sangat sibuk pada 15 hari pertama kedatangan[79]. Konsekuensinya, kota Madinah pun padat: tercatat pada 6 Mei 2025, sudah 86 kloter (33.475 jemaah) tiba di Madinah dari target ~203 ribu jemaah[79][80]. Penumpukan kedatangan ini diantisipasi dengan manajemen hotel berjenjang dan layanan bus shalawat ekstra di Madinah agar jemaah nyaman menunggu giliran ziarah.

Transportasi darat di Arab Saudi untuk jemaah Indonesia mencakup beberapa komponen. Antarkota: Perpindahan gelombang I dari Madinah ke Makkah dilakukan dengan bus-bus yang disediakan Naqabah (Organda) Arab Saudi. Perjalanan ~450 km ditempuh 5-6 jam, biasanya dalam konvoi 20 bus per kloter (1 bus = 45 jemaah plus muassasah). Sementara gelombang II, sebaliknya, usai haji baru ke Madinah dengan skema sama. Lokal Makkah: Disediakan bus shalawat yang beroperasi 24 jam dari hotel-hotel jemaah menuju terminal terdekat Masjidil Haram (Terminal Syib Amir, Misfalah, Aziziya, dll)[81].

Bus shalawat ini gratis untuk jemaah, diadakan sejak 2013 sebagai kompensasi akomodasi jauh. Sekitar 400 unit bus disewa Kemenag setiap musim untuk layanan shalawat. Lokal Madinah: Tidak disediakan bus karena semua hotel dalam radius bisa jalan kaki ke Nabawi, namun bagi beberapa hotel terjauh (~650 m) ada mobil golf atau bus kecil stand-by jika diperlukan (jarang dipakai). Masyair (Armina): Inilah fase paling menantang. Jemaah diberangkatkan dari Makkah ke Arafah dengan bus-bus besar pada 8 Zulhijjah. Setelah wukuf, dari Arafah ke Muzdalifah malam hari, lalu ke Mina dini hari 10 Zulhijjah.

Layanan transportasi masyair ini di-handle pemerintah Saudi (Muassasah/Syarikah) karena menyangkut seluruh dunia. Pada 2022-2023, dengan sistem multi-syarikah, jemaah Indonesia terbagi penanganannya oleh beberapa perusahaan berbeda untuk tenda dan bus masyair[82][83]. Hal ini sempat menyebabkan rombongan satu kloter terpisah di Mina karena ditangani syarikah berbeda, yang menjadi catatan penting untuk perbaikan.

Juga pada 2023, beberapa jemaah mengeluhkan bus terlambat saat dari Muzdalifah ke Mina karena koordinasi syarikah belum lancar. Petugas Indonesia sigap melakukan penjemputan tambahan bagi kelompok yang tertunda.

Tantangan lain di masyair adalah kepadatan dan cuaca ekstrem. Di Arafah/Mina, dalam satu maktab (kawasan tenda) bisa terdapat 3.000 jemaah Indonesia. Tahun 2023, terjadi insiden tenda jemaah kehabisan air dan AC mati beberapa jam akibat beban berlebih[84]. “Masalah tenda over-capacity, AC tak berfungsi, air tak mencukupi terjadi hampir setiap tahun,” demikian laporan BBC News tentang layanan di Armina[84].

Petugas PPIH segera mengatasinya dengan mendatangkan tangki air dan teknisi AC. Selain itu, pembagian katering Armina juga rawan terlambat karena jalanan padat; tapi inovasi 2022 dengan mobile kitchen cukup membantu. Ke depan, Kemenag terus bernegosiasi dengan Saudi agar lokasi tenda Indonesia lebih kompak dan dekat dengan jamarat (tempat melontar jumrah), serta meningkatkan jumlah misting kipas air di tenda. Multi-syarikah juga dievaluasi: pada 2024, Arab Saudi menerapkan satu syarikah melayani maksimal 100 ribu jemaah[85], artinya jemaah Indonesia mungkin ditangani 2-3 syarikah saja (lebih sedikit dari 8 syarikah tahun 2025). Harapannya, koordinasi di lapangan lebih mudah dan standar layanan lebih seragam.

Sementara itu, Garuda Indonesia dan Saudia selaku maskapai pengangkut jemaah juga terus meningkatkan armadanya. Garuda memakai pesawat berbadan lebar (Boeing 777-300ER dan Airbus A330-900neo) yang mampu terbang non-stop dari berbagai kota di Indonesia ke Jeddah/Madinah. Saudia menggunakan B777-300ER dan Airbus A330 serta beberapa B747 (hingga 2019 sebelum pensiun).

Setiap kloter didampingi 5 petugas kloter (TPHI, TPIHI, TKHI dll) yang memastikan manifest penumpang dan kebutuhan di pesawat terpenuhi. Menariknya, dalam penerbangan haji sering ada nuansa khusus – misal pramugari mengenakan jilbab, ada doa bersama sebelum berangkat, serta pengumuman dua bahasa (Indonesia dan Arab/Inggris). Maskapai menyediakan menu katering halal Indonesia (lengkap dengan sambal dan teh kotak) agar jemaah nyaman selama perjalanan.

Jika ada jemaah sakit di pesawat, petugas TKHI yang umumnya dokter/perawat sigap menangani dibantu awak kabin. Pada puncak musim haji, pernah terjadi drama return to base: misalnya tahun 2019 satu pesawat Garuda terpaksa kembali ke embarkasi karena satu jemaah kritis sebelum take-off, tapi berkat kecekatan penanganan, jemaah lain tetap tenang. Ini menunjukkan profesionalisme transportasi udara haji kita.

Secara keseluruhan, angkutan haji Indonesia adalah orkestrasi logistik yang melibatkan banyak pihak dan teknologi informasi. Setiap pergerakan jemaah termonitor lewat Siskohat (Sistem Komputerisasi Haji Terpadu) yang mencatat posisi kloter: kapan di embarkasi, terbang, tiba di Saudi, hingga jadwal pulang. Petugas Movement PPIH Arab Saudi bekerja 24 jam di bandara Jeddah/Madinah untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan.

See also   Korban Perang Gaza: Hukum Humaniter yang Terluka

Ada istilah “kurir paspor” yang tugasnya mengumpulkan paspor jemaah di bandara untuk proses imigrasi dan menyerahkannya kembali jelang pulang, demi mencegah paspor hilang. Semua ini bagian dari manajemen perjalanan yang terencana. Prestasi besar Indonesia, dengan jumlah jemaah terbesar di dunia, mampu menyelenggarakan pergerakan ini tiap tahun relatif lancar.

Tentu, perbaikan seperti penambahan cooling system di bus atau penjadwalan lebih fleksibel sedang diupayakan. Namun data menunjukkan bahwa dari ratusan ribu jemaah, hampir 100% berhasil diantarkan menjalankan seluruh rangkaian ibadah dan kembali ke tanah air. Hal ini tak lepas dari kekompakan tim dan kedisiplinan jemaah dalam menaati jadwal.

Pengawasan Kesehatan, Disiplin, dan Kebutuhan Sosial Jemaah

Pelayanan haji tak hanya soal logistik, tetapi juga aspek kesehatan, kedisiplinan, dan kebutuhan sosial-spiritual jemaah. Setiap tahun, Pemerintah Indonesia mengirim lebih dari seribu tenaga kesehatan (dokter dan paramedis) untuk mendampingi jemaah, di samping ratusan petugas pembimbing ibadah, keamanan, dan layanan umum. Pengawasan kesehatan jemaah dilakukan berlapis sejak dari tanah air hingga di Arab Saudi.

Sebelum berangkat, jemaah wajib menjalani pemeriksaan kesehatan lengkap dan vaksinasi (meningitis wajib, influenza dianjurkan). Data kesehatan ini terintegrasi dalam Siskohatkes yang bisa diakses tim medis di Saudi. Saat operasional haji, Kementerian Kesehatan RI mengoperasikan KKHI (Klinik Kesehatan Haji Indonesia) di Madinah dan Makkah, semacam rumah sakit lapangan berkapasitas 50-100 bed untuk rawat inap jemaah. Petugas kesehatan juga disebar: tiap kloter ada TKHI (Tim Kesehatan Haji Indonesia) berisi 1 dokter dan 2 perawat.

Mereka inilah garda depan memantau kesehatan jemaah kloter masing-masing setiap hari, mengadakan penyuluhan, dan menangani kasus ringan. Jika ada kasus berat, jemaah dirujuk ke KKHI atau Rumah Sakit Arab Saudi (RSAS). Nah, jemaah yang dirawat di RSAS tetap dalam pengawasan “tim visitasi” Indonesia. Setiap hari, tim kesehatan Indonesia mengunjungi jemaah haji yang sakit di RSAS untuk memonitor kondisi dan memberi dukungan moral[86][87]. “Jemaah haji sakit yang dirawat di RS Arab Saudi akan selalu dikunjungi petugas kesehatan setiap harinya,” kata dr. M. Imran, Kabid Kesehatan PPIH 2023[86][87].

Tim visitasi mengecek perkembangan pengobatan, berkoordinasi dengan dokter RSAS, sekaligus menjadi penghubung bahasa karena banyak jemaah lansia kesulitan berkomunikasi dalam bahasa Arab/Inggis[88][89]. Hal ini penting agar tidak terjadi miskomunikasi medis. Bahkan, tim kita kerap diminta RSAS membantu menjelaskan prosedur kepada pasien dan sebaliknya menerjemahkan keluhan pasien kepada dokter Saudi[90][91]. Kehadiran petugas Indonesia di RSAS disambut baik; jemaah merasa diperhatikan dan dokter Saudi terbantu.

Selain aspek medis, tim visitasi biasanya melibatkan petugas bimbingan ibadah yang memberi semangat spiritual (doa bersama, tilawah) bagi pasien[92]. Dengan pendekatan holistik ini, tingkat kesembuhan jemaah sakit bisa lebih baik dan mereka tidak merasa ditelantarkan. Data 2023 menunjukkan bahwa setiap jemaah sakit di RSAS dikunjungi minimal 1 kali sehari oleh petugas Indonesia[86][87]. Ini salah satu bentuk pelayanan prima kita yang diapresiasi banyak pihak.

Tingkat disiplin jemaah juga menjadi perhatian utama. Mengelola ratusan ribu orang dengan beragam latar belakang tentu menantang. Oleh karena itu, sejak di tanah air jemaah dibina manasik tidak hanya ritualnya, tetapi juga culture shock dan peraturan yang harus dipatuhi. Contoh kasus, masih ada jemaah yang kurang paham aturan barang bawaan sehingga membawa benda terlarang.

Pada 2016, seorang jemaah asal Madura kedapatan membawa jimat dan obat tradisional bersarang tawon di kopernya, yang oleh aparat Saudi dicurigai opium sehingga ia ditahan 15 hari[93]. Kasus ini menjadi pelajaran penting; Menteri Agama saat itu (Lukman Hakim) sampai mengeluarkan imbauan khusus agar jemaah tidak membawa barang-barang aneh yang melanggar hukum Saudi[94]. “Biasa orang Madura bawa jimat, kalau sarang tawon untuk sakit maag,” ujar Dirjen PHU Abdul Djamil menjelaskan kebiasaan sebagian jemaah kita[95].

Petugas kini lebih ketat mengawasi saat boarding di embarkasi: ada razia barang bawaan terlarang (termasuk jimat, jampi, obat tradisional tanpa izin, dan rokok berlebihan). Bahkan hair spray, cairan pemutih, dan kompor portable pun disita jika ditemukan. Hal ini demi kelancaran jemaah sendiri di bandara Saudi, agar tidak berurusan dengan aparat sana.

Disiplin waktu juga krusial. Jemaah diingatkan selalu tepat waktu sesuai jadwal yang ditetapkan ketua kloter/regu. Berkat sosialisasi intens, kini pemandangan jemaah terlambat berkumpul semakin jarang. Petugas menerapkan kebijakan 5T (tepat waktu, tepat jumlah, tepat tempat, tepat layanan, tepat administrasi) untuk setiap pergerakan.

Misalnya sebelum berangkat Armina, diadakan apel pengecekan dini hari 8 Zulhijjah agar tak ada yang tertinggal di hotel. Pendekatan persuasif dipakai; jemaah yang cenderung bandel didekati secara personal oleh pembimbing ibadah agar sadar pentingnya mengikuti aturan demi keselamatan bersama.

Selain aspek teknis, kebutuhan sosial dan psikologis jemaah juga difasilitasi. Satu fenomena unik adalah keinginan pasangan suami istri untuk mendapatkan privasi setelah menyelesaikan rangkaian haji. Selama di Tanah Suci, jemaah umumnya tidur terpisah berdasarkan jenis kelamin, bahkan suami-istri pun terpisah (tiap kamar diisi 4-5 orang, biasanya tidak berpasangan kecuali di Madinah kadang diatur suami-istri sekamar tapi tetap dengan pasangan lain). Setelah tahallul (selesai haji), larangan hubungan suami-istri sudah gugur.

Timbul apa yang dikenal jemaah sebagai “Kamar Barokah”, yakni istilah untuk kamar yang disediakan bagi pasutri berduaan melepas hasrat biologisnya pasca berhaji[96][97]. Realitanya, Kemenag tidak menyediakan kamar khusus untuk ini[98]. Maka pasangan yang ingin “kamar barokah” biasanya meminta bantuan ketua regu/rombongan. Cerita populer misalnya ada suami di suatu kloter stres menahan hasrat, akhirnya sang istri dengan malu-malu minta ketua regu agar mencarikan solusi[99][100].

Ketua regu lalu mengatur penghuni kamar lainnya keluar selama 1-2 jam dengan dalih si bapak sedang sakit dan butuh istirahat tenang[101]. Para roommate diajak itikaf di masjid atau belanja sejenak, memberi waktu privasi bagi pasangan tersebut. Inilah yang disebut “kamar barokah” oleh jemaah. Bahkan di Makkah ada warga mukimin yang melihat peluang: mereka menyewakan kamar di rumahnya secara diam-diam untuk pasutri jemaah (tentu ini di luar pantauan resmi)[102]. Fenomena ini menunjukkan dimensi kebutuhan manusiawi jemaah.

Petugas kita umumnya memahami dan bersikap bijak – tidak memandang tabu, namun juga tidak formalkan. Selama tidak melanggar syariah dan hukum setempat, kebutuhan itu difasilitasi semampunya dengan cara-cara informal yang santun. Upaya ini bagian dari pelayanan berperspektif human interest, karena haji bukan sekadar ibadah fisik tapi pengalaman batin dan sosial bagi jamaah.

Kemudian, terkait keamanan dan kedaruratan, tim PPIH melibatkan unsur TNI dan Polri. Personel TNI/Polri sudah sejak lama diikutsertakan sebagai petugas haji, khususnya dalam hal perlindungan jemaah dan handling situasi yang butuh kekuatan fisik[103]. Misalnya, saat ritual melontar jumrah di Mina, petugas gabungan TNI-Polri membantu memapah jemaah lansia di tanjakan, mengurai kerumunan, hingga menggendong jemaah yang kelelahan atau pingsan karena heatstroke.

Pada 2024, Komisi VIII DPR bahkan meminta porsi TNI/Polri ditambah untuk petugas haji 2025 karena terbukti andal di lapangan[104][105]. “Kami setuju, karena tentara dan polisi terlatih fisik dan mentalnya untuk membantu jamaah,” ujar Marwan Dasopang, Ketua Komisi VIII[106]. Ia menegaskan pelibatan TNI/Polri bukan sekadar wacana tetapi sudah lama terjadi dan terbukti efektif[107][103]. Dengan disiplin dan keterampilan mereka, banyak tugas menjadi lebih ringan – seperti mengawal distribusi katering agar tepat waktu, menjaga ketertiban di terminal bus, sampai pengamanan area pemondokan dari potensi kriminalitas.

TNI/Polri juga membantu petugas kesehatan dalam evakuasi medis. Jika ada jemaah sakit yang perlu dipindahkan, personel inilah yang menggotong tandu melewati keramaian. Kuatnya fisik dan mental prajurit sangat berguna di tengah kondisi ibadah yang menguras tenaga. Tahun 2023, sekitar 120 personel TNI dan 40 Polri diberangkatkan sebagai bagian PPIH Arab Saudi, bertugas menyebar di Daker Madinah, Makkah, dan Jeddah. Kuantitas ini rencananya ditambah pada 2025 sesuai kebutuhan situasional[108][105].

Selain itu, di tingkat kloter sebenarnya unsur keamanan juga ada: setiap kloter biasanya menunjuk 1-2 orang dengan latar belakang militer/polisi (seringkali diambil dari jemaah yang bersedia) sebagai pengamanan swakarsa kloter. Mereka membantu ketua kloter mengatur barisan dan memberi arahan keamanan sederhana. Dengan kolaborasi berlapis ini, jemaah merasa lebih terlindungi. Terbukti insiden kehilangan atau tindak kriminal relatif minim.

Kalaupun ada jemaah kehilangan uang atau barang, segera ditangani dengan melapor ke sektor keamanan PPIH yang diisi para polisi tersebut untuk ditindaklanjuti ke Maktab Wukala (polisi pariwisata Saudi).

Tak kalah penting adalah peran pendidikan dan bimbingan akhlak selama haji. Petugas pembimbing ibadah (biasanya para ustaz) tidak hanya mengajari manasik, tapi juga mengayomi jemaah dalam menjaga kesabaran, kebersamaan, dan kepedulian. Mereka kerap mengisi pengajian malam di hotel, menyuntikkan nasehat agar jemaah saling menolong sesama, antri rapi saat makan, tidak berebut di lift, dan hal-hal kecil lain

. Berkat ini, meski jemaah berdesakan dalam banyak kesempatan, jarang terjadi konflik berarti. Kalaupun ada cekcok kecil, dapat segera didamaikan. Soliditas regu/rombongan juga diperkuat – ketua regu berperan layaknya “keluarga” bagi 10-12 jemaah anggotanya. Di sinilah kekuatan sistem haji Indonesia: nilai gotong royong dan kekeluargaan sangat ditekankan.

Contoh nyatanya, di Mina ketika harus berbagi tenda sempit, jemaah saling bergantian istirahat dan berbagi bekal snack satu sama lain. Bagi jemaah yang sendirian (tanpa pendamping keluarga), petugas dan rekan sekamarnya berusaha menciptakan suasana nyaman, mengajak komunikasi agar tidak stres. Kemenag juga membentuk tim khusus Perlindungan Jemaah yang tugasnya menangani jemaah istitha’ah (tidak mampu mandiri) seperti lansia uzur dan penyandang disabilitas.

Mereka inilah yang mencarikan kursi roda, mendampingi thawaf, hingga membantu ke toilet jika perlu. Terdapat pula program inovatif seperti “Safari Wukuf” – menggunakan bus ber-AC untuk jemaah sakit agar bisa tetap wukuf di Arafah tanpa turun (sebagai rukhsah yang disepakati ulama). Semua upaya tersebut demi memastikan setiap jemaah, apapun kondisinya, dapat menyelesaikan ibadah hajinya. Angka jemaah yang gagal wukuf sangat kecil (< 0,1%) menandakan keberhasilan sistem pendampingan ini.

Terakhir, patut disinggung pula bahwa pasca operasional haji, pemerintah tak lepas tangan. Jemaah yang sakit dan tertinggal di Saudi akan didampingi hingga sembuh dan dipulangkan (petugas non-kloter disiagakan untuk mereka). Bila ada jemaah wafat, tim khusus mengurus jenazah dan memakamkannya di pemakaman Saudi sesuai prosedur, lalu mengabarkan keluarga di tanah air.

Santunan asuransi disalurkan kepada ahli waris. Pendekatan “melayani dari berangkat sampai kembali pulang” ini membuat jemaah merasa negara hadir secara penuh. Tentu tidak semua berjalan sempurna – masih ada catatan, misalnya terkait kamar barokah tadi yang sifatnya informal, atau antrian toilet di Mina yang melelahkan, maupun perilaku jemaah yang kadang abai (membuang sampah sembarangan, dsb).

Namun, secara umum pengawasan kesehatan, penegakan disiplin, dan pemenuhan kebutuhan sosial jemaah oleh petugas Indonesia sudah berada pada level yang membanggakan. Inilah buah evaluasi terus-menerus dan dedikasi para petugas yang dijuluki “Pelayan Tamu Allah”.

Digitalisasi dan Inovasi Layanan Haji

Memasuki era digital, penyelenggaraan haji Indonesia bertransformasi dengan berbagai inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Salah satu langkah strategis adalah pengembangan aplikasi SEPAKAT (Sistem Pengadaan Akomodasi, Katering, dan Transportasi) oleh Kementerian Agama. SEPAKAT menjadi platform e-procurement terintegrasi yang digunakan sejak 2022 untuk lelang dan negosiasi jasa layanan haji secara online[51][56].

Melalui SEPAKAT, calon penyedia layanan (hotel, katering, bus) harus mendaftar dan mengunggah dokumen penawaran mereka ke database digital[109][110]. Tim pengadaan Kemenag kemudian melakukan verifikasi dan kasyfiyah (inspeksi lapangan) untuk menilai kelayakan penyedia, sebelum proses negosiasi harga dilakukan di aplikasi[53][54]. “Dengan database SEPAKAT, proses pengadaan lebih efisien,” ujar Dir. Layanan Haji Luar Negeri, Subhan Cholid[55]. Aplikasi ini memungkinkan comparison penawaran secara cepat dan mencegah praktik monopoli karena semua vendor terdaftar bersaing terbuka. Selain itu, SEPAKAT dianggap sebagai wujud transparansi layanan haji[56].

Setiap tahap pengadaan terekam, sehingga kecil kemungkinan terjadinya mark-up atau permainan belakang layar. Bahkan Komisi VIII DPR mengapresiasi langkah ini sebagai upaya memperkuat ekosistem ekonomi haji yang fair dan memberdayakan lebih banyak mitra, termasuk dari Indonesia[111]. Ke depan, Kemenag berencana mengintegrasikan SEPAKAT dengan sistem e-government lain dan memperluas fungsinya, misal untuk manajemen stok dan distribusi katering.

Inovasi berikutnya datang dari Arab Saudi berupa aplikasi Nusuk. Nusuk adalah platform digital resmi Kementerian Haji dan Umrah Saudi yang diluncurkan 2022-2023, berfungsi sebagai one-stop app bagi jemaah haji dan umrah. Dalam konteks haji 2024/2025, Nusuk diimplementasikan berupa Kartu Nusuk sebagai identitas digital jemaah selama di Saudi[112]. Kartu Nusuk ini berbentuk kartu PVC dengan QR code dan nomor visa, serta terhubung ke aplikasi mobile Nusuk[112]. “Nusuk ini ibarat nyawa kedua jemaah, bahkan dalam operasional haji lebih penting daripada paspor,” tegas Muchlis Hanafi, Ketua PPIH Arab Saudi 2025[113][114].

Pernyataan tersebut bukan berlebihan; tanpa Kartu Nusuk, jemaah tak diizinkan masuk Kota Makkah maupun mengikuti puncak haji di Armuzna[115][79]. Kartu ini memuat data biometrik dan perizinan haji jemaah, sehingga menjadi alat verifikasi untuk mencegah penyusup (jemaah ilegal/non-kuota)[79][112]. Mulai 2024, Pemerintah Saudi memperketat keamanan dengan check-point sebelum Makkah di mana setiap bus diperiksa dan jemaah harus menunjukkan Kartu Nusuk. Jemaah tanpa kartu akan diturunkan dan tidak boleh melanjutkan perjalanan[79].

Oleh karena itu, PPIH menganggap Kartu Nusuk bahkan lebih krusial dijaga daripada paspor, karena paspor bisa disimpan petugas, tapi Nusuk harus selalu dikalungkan jemaah ke mana pun[116]. Distribusi kartu ini dilakukan oleh pihak syarikah setiba jemaah di hotel dalam 1×24 jam, disertai pemotretan sebagai bukti serah terima[112]. Kartu Nusuk juga terintegrasi dengan berbagai layanan: akses tenda Mina, konsumsi, dan transportasi di Saudi berbasis kartu ini. Misalnya, untuk naik bus masyair, kartu akan discan.

Bagi jemaah Indonesia, ini hal baru yang perlu adaptasi – karenanya sosialiasi gencar dilakukan. “Petugas harus terus edukasi jemaah, ini bukan sekadar kartu ID biasa tapi tiket utama seluruh proses haji,” kata Muchlis[117]. Hasilnya, pada 2025 meski awalnya ragu, jemaah kita cukup disiplin memakai Kartu Nusuk. Kasus kehilangan kartu pun sedikit dan dapat diurus dengan koordinasi syarikah meski prosesnya tidak mudah[118][119]. Nusuk juga punya fitur lain dalam aplikasinya, seperti info jadwal ibadah, peta interaktif lokasi hotel/tenda, hingga jadwal kunjungan Raudhah (untuk umrah/haji khusus).

Biometrik dan e-visa adalah bagian lain dari digitalisasi haji. Seperti disinggung sebelumnya, sejak 2018 Saudi mewajibkan perekaman sidik jari dan wajah calon jemaah di negara asal sebagai syarat visa. Indonesia merespons dengan membuka layanan biometrik di seluruh provinsi bekerjasama VFS Tasheel[34][120].

Inovasi lebih lanjut, pada 2020 Indonesia berhasil masuk program “Makkah Route” di mana proses imigrasi (pemeriksaan paspor, biometrik, bea cukai) dilakukan di bandara embarkasi (Jakarta dan Surabaya) sebelum terbang. Data jemaah dikirim elektronik ke imigrasi Saudi, sehingga saat tiba di Jeddah/Madinah, jemaah langsung keluar bandara tanpa antre. Ini terbukti memangkas waktu kedatangan hingga 3 jam.

Sayangnya program ini sempat terhenti karena pandemi, namun Indonesia terus melobi agar diperluas. Dengan infrastruktur e-gate imigrasi yang Saudi miliki, bukan tidak mungkin semua jemaah kita kelak menikmati proses fast track. Dari sisi pemerintah RI, integrasi data Siskohat dengan database imigrasi juga telah dilakukan.

Tiap paspor jemaah diberi penanda elektronik, sehingga pengawas di bandara bisa cepat deteksi jika ada yang mencoba berangkat dengan visa tidak sah.

Digitalisasi juga merambah layanan informasi. Kemenag mengembangkan aplikasi mobile Haji Pintar yang dirilis sejak 2015 dan disempurnakan setiap tahun. Aplikasi ini menyediakan jadwal kegiatan, informasi cuaca, do’a manasik, peta lokasi, hingga fitur pengaduan. Jemaah atau keluarga di rumah bisa memantau posisi kloter melalui Haji Pintar yang terhubung API Siskohat.

See also  Istanbul: Masyarakat Stress, Eropanisasi, De-Sekularisasi, dan Re-Islamisasi

Pada 2022, Kemenag meluncurkan portal Media Center Haji online untuk transparansi berita: setiap hari, rilis perkembangan haji disiarkan dan dapat diakses publik serta media[121]. Tidak ketinggalan, BPKH pun membuat aplikasi BPKH Virtual agar calon jemaah bisa memantau saldo dan estimasi keberangkatan. Setelah selesai haji, jemaah sekarang dapat mengunduh sertifikat haji online melalui Nusuk atau portal Kemenag, tidak perlu menunggu lembar fisik. Hal-hal ini memudahkan dan mengurangi potensi pungutan liar (misal dulu ada oknum menawarkan pengurusan sertifikat dengan biaya tambahan).

Di bidang kesehatan, inovasi digital juga hadir. Kemenkes menerapkan TeleJemaah sejak 2022, yaitu layanan konsultasi kesehatan jarak jauh lewat telemedicine bagi jemaah di kloter. Dokter spesialis di Indonesia standby memberi arahan ke dokter kloter melalui aplikasi saat menghadapi kasus khusus (misal EKG jantung dikirim via gadget untuk dianalisis dokter ahli di Jakarta).

Ada pula aplikasi Sihat (Sistem Informasi Kesehatan Haji Terpadu) yang merekam riwayat medis jemaah selama operasional, berguna untuk evaluasi pascapenyelenggaraan. Data ini menunjukkan misalnya tren penyakit, sehingga bisa dibuat langkah preventif tahun depan (contoh: banyak kasus heatstroke -> petugas diminta lebih sering semprot air ke jemaah saat di Armina, dsb).

Sisi inovasi layanan yang tak kalah penting adalah pada integritas dan anti-fraud. Dengan digitalisasi, peluang penyelewengan dana haji makin kecil. Sebelum era BPKH, dana haji pernah dipinjam pemerintah (dalam bentuk Sukuk Dana Haji) sehingga menimbulkan polemik. Kini BPKH menginvestasikan dana secara profesional dan melaporkan hasilnya tiap tahun.

Masyarakat bisa mengakses laporan keuangan BPKH yang diaudit BPK, termasuk kinerja investasi. Untuk transparansi kuota, Kemenag membuat Portal Siskohat Online di mana calon jemaah bisa cek nomor porsi dan perkiraan tahun berangkat sendiri. Tidak ada lagi era “calo bisa menggeser nomor porsi” karena sistem di-lock berjenjang. Bahkan proses pelunasan BPIH pun kini bisa dicicil online melalui bank penerima setoran, menghindari penumpukan antre di bank.

Terobosan terkini, DPR RI di pertengahan 2025 mengesahkan pembentukan Kementerian Haji dan Umrah yang terpisah dari Kemenag[78][122]. Lembaga baru ini (nantinya mulai efektif 2026) akan fokus mengelola haji-umrah dengan dukungan teknologi modern. Salah satu agendanya adalah pembangunan Command Center Haji canggih yang memantau pergerakan jemaah real-time via CCTV, GPS bus, dan dashboard digital lainnya.

Ini akan mirip ruang kendali musim haji seperti yang dimiliki pemerintah Saudi, sehingga jika ada insiden bisa cepat diketahui dan direspons. Selain itu, direncanakan integrasi data antara Kemenag, Kemenkes, Imigrasi, dan maskapai dalam satu platform Big Data Haji. Jika terwujud, maka di masa depan, jemaah cukup membawa satu kartu pintar atau bahkan wearable device yang berfungsi sebagai paspor, ID kesehatan, kartu konsumsi, sekaligus tracker lokasi.

Semua inovasi ini memiliki satu tujuan: meningkatkan pengalaman dan kenyamanan jemaah sekaligus memastikan akuntabilitas layanan. Dengan digitalisasi, jemaah merasa lebih terlayani karena informasi di genggaman, antrian berkurang, dan hak-hak mereka lebih terlindungi. Bagi petugas, teknologi mempermudah koordinasi lintas negara dan menyederhanakan birokrasi.

Tentu adaptasi membutuhkan waktu – tidak semua jemaah lansia akrab dengan gawai, misalnya. Karena itu, pendekatan digital harus dibarengi sosialisasi masif dan bantuan bagi yang gagap teknologi. Petugas kloter dan pembimbing kini dituntut melek IT agar bisa membantu jemaah scan QR Nusuk, membuka aplikasi, dan sebagainya. Namun melihat antusiasme yang ada, hal ini bukan kendala berarti.

Jemaah Indonesia relatif cepat belajar; terbukti banyak kakek-nenek yang kini bisa video call dengan keluarga di tanah air menggunakan WiFi hotel berkat bimbingan petugas milenial. Semangat transformasi digital dalam layanan haji ini sejalan dengan visi Saudi Arabia di 2030 dan tekad Indonesia untuk terus berinovasi. Kolaborasi teknologi antara kedua negara pun semakin erat.

Misalnya, Indonesia dijadikan proyek percontohan program e-Hajj dan fast track karena dianggap siap infrastruktur dan SDM-nya[123][30]. Dunia internasional mengakui, Indonesia berada di garis depan dalam pemanfaatan IT untuk manajemen haji. Ke depan, bisa dibayangkan mungkin akan ada e-Mina atau smart tent dengan sensor IoT untuk memantau suhu tenda dan detak jantung jemaah (ide-ide ini sudah dilontarkan).

Dengan fondasi kuat yang sedang dibangun, pelayanan haji Indonesia memasuki era baru: era digital yang transparan, efisien, dan semakin mendekatkan jemaah pada kenyamanan ibadah yang mereka idamkan.

Kesimpulan

Perjalanan panjang penyelenggaraan haji Indonesia, mulai dari era para syaikh mengurus jemaah di awal abad ke-20 hingga era digital dan multi-syarikah di abad ke-21, menunjukkan sebuah grand narrative yang sarat pelajaran. Haji bagi Indonesia bukan sekadar ibadah individu, melainkan sebuah institusi sosial-budaya yang melibatkan peran negara sangat intens[4].

Sejarah mencatat, sejak pemerintah memutuskan mengambil alih penuh pengelolaan haji tahun 1960-an demi melindungi jemaah, paradigma pelayanan haji terus berkembang dinamis. Dalam narasi ini, kita melihat dawai merah keterpaduan: aspek sejarah, kelembagaan, operasional teknis, hingga pemanfaatan teknologi semuanya saling terhubung membentuk pengalaman haji Indonesia.

Dari segi sejarah, transisi demi transisi menunjukkan adaptabilitas kita. Di masa kolonial, haji sempat dicurigai sebagai benih perlawanan sehingga diatur ketat (misal Ordonansi Haji 1859 oleh Belanda). Lalu pasca kemerdekaan, fokus pemerintah berubah: bagaimana memberangkatkan jemaah sebanyak mungkin dengan selamat dan tertib. Era kapal laut berganti era pesawat jet, jumlah jemaah melonjak dari ribuan menjadi ratusan ribu, dan Indonesia menegosiasikan hak-haknya di tingkat internasional.

Keputusan-keputusan berani diambil – monopoli negara untuk melawan penipuan, rekrutmen swasta pasca-1985 untuk melayani segmen ONH plus, hingga kini mendorong lahirnya Kementerian Haji tersendiri. Sejarah juga memperlihatkan trial and error: kebijakan yang kurang efektif ditinggalkan, diganti pendekatan baru. Semua langkah itu muaranya satu: peningkatan pelayanan tamu-tamu Allah.

Dari dinamika kelembagaan, penyelenggaraan haji memberi contoh menarik kolaborasi pemerintah, legislatif, dan institusi lainnya. DPR setiap tahun memegang fungsi kontrol dalam penetapan BPIH, memastikan keseimbangan antara kemampuan jemaah dan keberlanjutan dana haji. Kehadiran BPKH sebagai pengelola dana umat memperkuat akuntabilitas, menjawab kerisauan publik soal transparansi keuangan.

Sementara di akar rumput, Kanwil Kemenag di tiap provinsi bekerja menyiapkan jemaah dari daftar tunggu hingga manasik, membangun sinergi dengan Pemda dan ormas Islam (seperti KBIH – Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Kelembagaan haji kita unik karena melibatkan semua: pemerintah pusat, daerah, militer, ulama, akademisi (misal dosen-dosen kedokteran PTKIN ikut serta jadi petugas kesehatan), sampai komunitas alumni haji.

Hal ini sejalan dengan karakter haji sebagai kewajiban agama yang berdimensi sosial nasional. Inisiatif membentuk Kementerian Haji dan Umrah pada 2025 menegaskan pentingnya kelembagaan yang fokus dan lincah untuk terus berinovasi. Dengan struktur baru ini nanti, diharap koordinasi lintas sektor kian padu dan regulasi bisa lebih adaptif (misal Peraturan Menteri bisa spesifik mengatur haji tanpa “berebut” perhatian dengan urusan agama lain di Kemenag).

Dari segi teknis operasional, tantangan yang dihadapi Indonesia dalam melayani jemaah hajinya sangat kompleks namun berhasil diatasi relatif baik. Mengatur ratusan ribu orang lintas benua setiap tahun bagai menyelenggarakan migrasi massal sementara. Setiap rantai harus kuat: tiket pesawat, pemondokan, bus, katering, bimbingan ibadah, hingga koper bagasi. Evaluasi terus-menerus telah memunculkan banyak best practice. Misalnya, konsep zonasi Makkah berbasis embarkasi ternyata efektif dan kini dijadikan model oleh negara lain (Malaysia mulai menerapkan kluster Rayon mirip zonasi kita).

Sistem fast track kita dorong, kini negara Asia lain ikut meminta ke Saudi. Dalam hal akomodasi, dulu jemaah Asia Tenggara tersebar di mana-mana, sekarang relatif terpusat di wilayah Syisyah/Mahbas Jin sehingga lebih mudah penanganannya – Indonesia turut memelopori pendekatan ini lewat lobi-lobi allotment hotel jauh hari. Di sektor kesehatan, pendekatan integratif fisik-spiritual kita (dokter + pembimbing ibadah mengunjungi pasien) dikagumi negara lain; banyak yang belajar dari KKHI Indonesia.

Memang masih ada masalah seperti kemacetan Armina atau kualitas tenda, tetapi ini pun sedang diupayakan solusi inovatifnya (misal smart tent ber-AC sentral). Patut disyukuri, Indonesia belum pernah mengalami insiden fatal massal dalam operasional haji (seperti tragedi desak-desakan Mina 2015 yang menewaskan ribuan – jemaah kita selamat semua). Ini buah penerapan disiplin ketat dan kepemimpinan petugas yang sigap di lapangan.

Pada era digitalisasi, Indonesia kembali berada di garis depan. Transformasi digital yang dijalankan bukan hanya soal mengikuti tren, tapi kebutuhan nyata untuk mengelola skala sebesar ini. E-Hajj, SEPAKAT, Siskohat online, Nusuk card – semua implementasinya melibatkan peran aktif kita, bukan sekadar menerima kebijakan Saudi. Bahkan aplikasi “Haji Pintar” Indonesia sempat mendapat penghargaan di ajang World Government Summit di Dubai sebagai inovasi pelayanan publik.

Ke depan, peluang teknologi masih luas: big data bisa digunakan untuk prediksi kesehatan (contoh: data cuaca + profil jemaah bisa prediksi berapa yang akan dirawat, sehingga antisipasi obat disiapkan). IoT bisa dipasang di koper jemaah agar mudah dilacak (tak ada lagi koper tertukar). Artificial intelligence dapat dipakai untuk menerjemahkan otomatis keluhan jemaah ke dokter Saudi, mengatasi kendala bahasa.

Semua ini bukan fantasi jauh – sebagian sudah diujicoba. Intinya, Indonesia menunjukkan bahwa ibadah yang bersifat konvensional ribuan tahun lamanya pun bisa dikelola dengan sentuhan teknologi modern tanpa mengurangi kekhusyukan. Sebaliknya, teknologi justru melancarkan urusan, membuang hambatan-hambatan sehingga jemaah bisa fokus beribadah.

Pada akhirnya, dimensi humanis menjadi benang emas yang merajut semua fase tadi. Apapun sistem dan inovasinya, pusat perhatian selalu jemaah dengan segala kebutuhannya. Mulai kebutuhan spiritual – difasilitasi bimbingan manasik intensif, doa bersama, hingga tausiah selama perjalanan. Kebutuhan fisik – dilayani via katering bergizi, layanan kesehatan siaga, akomodasi nyaman.

Kebutuhan emosional – dijawab dengan hadirnya petugas-petugas yang sabar mendengar keluh kesah jemaah (petugas kita sering jadi “psikolog dadakan” bagi jamaah yang homesick atau cemas). Bahkan kebutuhan biologis pun tak luput dari perhatian seperti cerita “kamar barokah”. Semua ini menunjukkan pendekatan menyeluruh (holistik) pemerintah dalam melayani jemaah haji. Pelayanan haji adalah pelayanan hati; petugas dituntut melayani dengan empati dan cinta.

Kita bisa saksikan misalnya petugas membopong nenek tua di Masjidil Haram sambil mengusap punggungnya menenangkan – pemandangan yang mengharukan dan mencerminkan dedikasi. Tak heran kepuasan jemaah haji Indonesia termasuk tertinggi. Tahun 2019, Indeks Kepuasan Jemaah (IKJ) mencapai 85,91 (kategori memuaskan) dan bahkan pada 2022 naik jadi 90,45 (sangat memuaskan)[62]. Ini prestasi kolektif yang pantas dibanggakan sekaligus dijadikan motivasi untuk terus meningkatkan diri.

Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa pengelolaan haji Indonesia adalah salah satu contoh manajemen kolosal terbaik yang dimiliki bangsa ini. Ibadah haji – yang di satu sisi sangat personal dan sakral – di sisi lain membutuhkan penanganan administratif dan teknis yang rumit.

Negara hadir memastikan bahwa setiap warga yang memenuhi panggilan ke Baitullah dapat menunaikannya dengan tenang dan tertib. Mulai dari sejarah panjang yang penuh dinamika, tata kelola kelembagaan yang kokoh, operasi teknis yang canggih, hingga adaptasi teknologi mutakhir, semua elemen tersebut berpadu membentuk pelayanan haji Indonesia yang relatif unggul.

Tentu, tantangan zaman akan terus berubah. Namun pengalaman menunjukkan kita mampu beradaptasi: dulu dengan kapal uap, sekarang dengan pesawat jumbo; dulu manual, kini digital. Selama prinsip dasar – melayani dengan niat ibadah dan profesionalitas – terus dipegang, insyaAllah Indonesia akan selalu berhasil mengantarkan tamu-tamu Allah menuju mabrur.

Dan kisah sukses penyelenggaraan haji Indonesia ini pada akhirnya juga menjadi cermin betapa negara hadir melindungi hak warganya dalam beragama, menjalin diplomasi harmonis dengan penjaga dua tanah suci, serta memanfaatkan ilmu dan teknologi demi kemaslahatan umat. Semoga ke depan pelayanan haji kita kian berintegritas, inovatif, dan membawa berkah bagi bangsa dan negara.[4][2]

[1] [2] [3] jurnal.staialhidayahbogor.ac.id

https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/am/article/download/3013/1331/7299

[4] Perjalanan Haji Indonesia dari Masa ke Masa – Perpusnas RI

https://www.perpusnas.go.id/berita/perjalanan-haji-indonesia-dari-masa-ke-masa

[5] [6] [7] [8] Apa itu Muassasah Haji?

https://daralhijrah.co.id/blog/detail/51/apa-itu-muassasah-haji

[9] [10] ejournal.uin-suka.ac.id

https://ejournal.uin-suka.ac.id/dakwah/JMD/article/view/61-03/1329

[11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] Syarikah dalam Ibadah Haji: Arti dan Perannya bagi Jemaah

https://www.detik.com/hikmah/haji-dan-umrah/d-7914650/syarikah-dalam-ibadah-haji-arti-dan-perannya-bagi-jemaah

[19] [20] [21] [22] [23] Sistem Zonasi Akan Permudah Koordinasi dan Penyesuaian Katering Jemaah

https://kemenag.go.id/read/sistem-zonasi-akan-permudah-koordinasi-dan-penyesuaian-katering-jemaah-ao5yj

[24] [25] [26] [27] [28] [29] Kisah Sri Astutik, Naik Pesawat 4 Kali dan Paspor yang Tertukar di Tanah Suci

https://news.detik.com/berita/d-3290495/kisah-sri-astutik-naik-pesawat-4-kali-dan-paspor-yang-tertukar-di-tanah-suci

[30] [31] [32] [62] Arab Saudi Kaji Usulan Fast Track dan Rekam Biometrik Jemaah Haji

https://mediaindonesia.com/humaniora/203432/arab-saudi-kaji-usulan-fast-track-dan-rekam-biometrik-jemaah-haji

[33] Indonesia Minta Saudi Tunda Kebijakan Rekam Biometrik Calon …

https://kemenag.go.id/read/indonesia-minta-saudi-tunda-kebijakan-rekam-biometrik-calon-jemaah-umrah-3damg

[34] [35] [120] Rekam Biometrik Haji Dilakukan di 34 Provinsi – Suara Surabaya

https://www.suarasurabaya.net/infohaji/2019/Rekam-Biometrik-Haji-Dilakukan-di-34-Provinsi/

[36] Abdul Djamil Ingatkan Petugas Haji Agar Hilangkan Ego Sektoral …

https://kemenag.go.id/nasional/abdul-djamil-ingatkan-petugas-haji-agar-hilangkan-ego-sektoral-saat-bertugas-qI6d1

[37] Beri Motivasi Petugas Haji, Abdul Djamil Berbagi Ragam Kisah …

https://kemenag.go.id/read/beri-motivasi-petugas-haji-abdul-djamil-berbagi-ragam-kisah-tentang-jemaah-j79n9

[38] Perjuangan Tim Akomodasi Siapkan Hotel Jemaah Haji di Makkah

https://kemenag.go.id/read/perjuangan-tim-akomodasi-siapkan-hotel-jemaah-haji-di-makkah-4zo4p

[39] [40] [41] [42] [43] [44] [45] [46] Pemerintah Klaim Efisiensi Pemondokan Haji Capai Rp40 Miliar

https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/VNnjrA2N-pemerintah-klaim-efisiensi-pemondokan-haji-capai-rp40-miliar

[47] [48] [49] [50] [59] Sekretariat Kabinet Republik Indonesia | Dapat Makanan 75 Kali, Kemenag: Jemaah Haji Tak Perlu Bawa Bekal Makanan Terlalu Banyak – Sekretariat Kabinet Republik Indonesia

https://setkab.go.id/dapat-makanan-75-kali-kemenag-jemaah-haji-tak-perlu-bawa-bekal-makanan-terlalu-banyak/

[51] Sepakat – Haji, Kemenag

https://haji.kemenag.go.id/sepakat/

[52] Akselerasi Penguatan Layanan Haji dan Umrah Disepakati …

https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/akselerasi-penguatan-layanan-haji-dan-umrah-disepakati-pemerintah-dan-dpr-ri

[53] [54] [55] [56] [57] [58] [84] [111] Aplikasi SEPAKAT, Wujud Transparansi Layanan Haji | Humas Indonesia

https://www.humasindonesia.id/berita/aplikasi-sepakat-wujud-transparansi-layanan-haji-2440

[60] [61] [69] [70] repository.uinjkt.ac.id

https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47197/1/SAKIYNAH-FDK.pdf

[63] [64] [65] [66] [67] BPKH Transfer Rp 14 Triliun ke Kemenag untuk Persiapan Haji 2025 di Mina

https://www.detik.com/hikmah/haji-dan-umrah/d-7814238/bpkh-transfer-rp-14-triliun-ke-kemenag-untuk-persiapan-haji-2025-di-mina

[68] Pemerintah Indonesia Siap Terapkan e-hajj – Kementerian Agama RI

https://kemenag.go.id/read/pemerintah-indonesia-siap-terapkan-e-hajj-w7ybz

[71] [PDF] WARTA PEMERIKSA – BPK RI

https://www.bpk.go.id/assets/files/magazine/edisi-08-vol-i-agustus-2018_edisi_08___vol__i_agustus_2018_1535966360.pdf

[72] Tahun ini Jemaah Haji akan Dilayani 2 Maskapai Penerbangan

https://kemenag.go.id/read/tahun-ini-jemaah-haji-akan-dilayani-2-maskapai-penerbangan-zvage

[73] AWALI MUSIM HAJI 2023, HARI INI GARUDA INDONESIA …

https://www.garuda-indonesia.com/au/id/news-and-events/garuda-indonesia-terbangkan-1-932-calon-jemaah-haji-menuju-madin

[74] BPKH sebut dana untuk pembayaran biaya haji di muka telah tersedia

https://www.antaranews.com/berita/5054373/bpkh-sebut-dana-untuk-pembayaran-biaya-haji-di-muka-telah-tersedia

[75] Transfer Dana Pengelolaan Haji Lebih Rendah | IDN Times

https://www.idntimes.com/news/indonesia/transfer-dana-pengelolaan-haji-lebih-rendah-bpkh-permintaan-kemenag-00-xvwcc-dd3y6s

[76] Persiapan Haji 2026: Uang Muka Masyair Rp 2,76 Triliun Sudah …

https://www.madaninews.id/24964/persiapan-haji-2026-uang-muka-masyair-rp-276-triliun-sudah-ditransfer-ke-saudi.html

[77] Kemenag Setor DP untuk Booking Tempat di Arafah, Muzdalifah …

https://nasional.kontan.co.id/news/kemenag-setor-dp-untuk-booking-tempat-di-arafah-muzdalifah-dan-mina-pada-haji-2026

[78] Tok! Indonesia Resmi Punya Kementerian Haji dan Umrah

https://radarmojokerto.jawapos.com/berita-terbaru/826486500/tok-indonesia-resmi-punya-kementerian-haji-dan-umrah

[79] [80] [112] [113] [114] [115] [116] [117] [118] [119] [121] Ketua PPIH Arab Saudi : Nusuk Adalah Nyawa Kedua Jemaah, Tanpa Kartu Ini Ibadah Haji Bisa Tertahan

https://haji.kemenag.go.id/v5/detail/ketua-ppih-arab-saudi-nusuk-adalah-nyawa-kedua-jemaah-tanpa-kartu-ini-ibadah-haji-bisa-tertahan

[81] Layanan Jemaah di Arab Saudi Siap, Apa Saja? – Haji Kemenag

https://haji.kemenag.go.id/v5/detail/layanan-jemaah-di-arab-saudi-siap-apa-saja

[82] Jamaah Haji RI Terdampak Kebijakan Syarikah – Republika.id

https://www.republika.id/posts/57835/jamaah-haji-ri-terdampak-kebijakan-syarikah

[83] Evaluasi Syarikah Haji – Harian Bhirawa

https://harianbhirawa.co.id/evaluasi-syarikah-haji/

[85] Dirjen PHU: Penyelenggaraan Haji Butuh Keselarasan Regulasi …

https://haji.kemenag.go.id/v5/detail/dirjen-phu-penyelenggaraan-haji-butuh-keselarasan-regulasi-antarnegara

[86] [87] [88] [89] [90] [91] [92] Petugas Kesehatan Indonesia Kunjungi Jemaah Haji Sakit Setiap Hari

https://kemkes.go.id/id/petugas-kesehatan-indonesia-kunjungi-jemaah-haji-sakit-setiap-hari

[93] [94] [95] Kisah-Kisah Unik Jamaah Haji Indonesia di Tanah Suci : Okezone News

https://news.okezone.com/read/2016/09/06/337/1482280/kisah-kisah-unik-jamaah-haji-indonesia-di-tanah-suci

[96] [97] [98] [99] [100] [101] [102] Apa Itu Kamar Barokah yang Suka Diminta Jemaah Jelang Ibadah Haji Berakhir? – Lifestyle Liputan6.com

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5322807/apa-itu-kamar-barokah-yang-suka-diminta-jemaah-jelang-ibadah-haji-berakhir

[103] [104] [105] [106] [107] [108] Komisi VIII DPR setuju pelibatan TNI/Polri sebagai petugas haji 2025  – ANTARA News

https://www.antaranews.com/berita/4469977/komisi-viii-dpr-setuju-pelibatan-tni-polri-sebagai-petugas-haji-2025

[109] Kemenag Susun Regulasi Layanan Akomodasi Jemaah Haji 2025

https://kemenag.go.id/nasional/kemenag-susun-regulasi-layanan-akomodasi-jemaah-haji-2025-bp8ar

[110] Kantor Urusan Haji Indonesia Membuka Kembali Pendaftaran …

https://kantorurusanhaji.com/?p=11716

[122] RUU Haji dan Umrah Disetujui jadi UU, Kementerian … – Hukumonline

https://www.hukumonline.com/berita/a/ruu-haji-dan-umrah-disetujui-jadi-uu–kementerian-urusan-haji-dan-umrah-bakal-dibentuk-lt68ad6aab00969/

[123] Saudi Segera Sosialisasikan E-Hajj – Kementerian Agama RI

https://kemenag.go.id/read/saudi-segera-sosialisasikan-e-hajj-41lrp

 

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment