Situasi Keamanan Maritim Indonesia di Tengah Ancaman Regional

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di antara benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Hindia dan Pasifik[1]. Wilayah perairan Indonesia yang luas (sekitar 5,8 juta km^2 termasuk Zona Ekonomi Eksklusif) menyimpan potensi sumber daya besar sekaligus kerawanan terhadap berbagai ancaman keamanan maritim[2][3]. Ancaman tersebut bersifat ancaman nyata (aktual) maupun ancaman potensial (tidak langsung), dan dapat berasal dari negara maupun aktor non-negara[4]. Dalam konteks geopolitik saat ini, keamanan maritim Indonesia dipengaruhi oleh dinamika regional di Laut Cina Selatan, Selat Malaka-Selat Singapura, dan Samudera Hindia, termasuk interaksi dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Australia, Filipina, serta Tiongkok (China).

Kajian  ini akan mengulas secara komprehensif situasi keamanan maritim Indonesia dalam menghadapi berbagai ancaman dari lima negara tersebut di kawasan-kawasan strategis. Pembahasan mencakup ancaman tradisional berupa sengketa kedaulatan dan konflik militer, hingga ancaman non-tradisional seperti perompakan, terorisme maritim, pelanggaran batas oleh kapal patroli atau nelayan asing, serta pengaruh persaingan kekuatan besar di perairan Indonesia. Analisis didukung data terkini dari berbagai lembaga kajian internasional (Amerika Serikat, Australia, Tiongkok, Singapura, Malaysia, dan Indonesia) serta dilengkapi tabel, peta, dan diagram strategis untuk memberikan gambaran visual.

Untuk memudahkan pemahaman, studi ini disusun dengan analisis per negara – menguraikan potensi ancaman dan hubungan maritim Indonesia dengan Malaysia, Singapura, Australia, Filipina, dan Tiongkok – diikuti analisis per kawasan – meninjau dinamika keamanan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka (termasuk Selat Singapura), dan Samudera Hindia. Setiap bagian akan mengidentifikasi ancaman nyata yang sudah dihadapi maupun ancaman potensial yang perlu diantisipasi, disertai contoh insiden maupun kerjasama yang terjadi. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan tergambar strategi Indonesia dalam menjaga keamanan maritimnya di tengah lingkungan regional yang kompleks.

Ancaman Maritim dari Negara-Negara Tetangga

Indonesia menganut prinsip “seribu kawan, nol lawan”, berupaya menjaga hubungan baik dengan semua negara. Namun, dalam ranah maritim, perbedaan kepentingan kerap menimbulkan friksi hingga potensi ancaman. Tabel berikut merangkum ancaman utama terhadap keamanan maritim Indonesia yang terkait lima negara: Malaysia, Singapura, Australia, Filipina, dan Tiongkok, beserta contoh kasus atau isu terkait.

Tabel 1. Ancaman Maritim Utama Indonesia dan Contoh Insiden per Negara

Negara Ancaman Utama Contoh Insiden/Isu
Malaysia Sengketa perbatasan maritim; aktivitas ilegal di perbatasan laut. Sengketa Ambalat – klaim tumpang-tindih blok migas di Laut Sulawesi (akhirnya disepakati joint development 2025)[5][6]. Insiden Tanjung Berakit 2010 – patroli Malaysia menahan petugas Indonesia di perairan perbatasan Bintan, picu protes anti-Malaysia[7]. Penangkapan nelayan ilegal dan kapal patroli kedua negara pernah memicu ketegangan.
Singapura Tantangan keselamatan pelayaran; isu perbatasan maritim yang belum tuntas. Perompakan dan pencurian bersenjata di Selat Singapura – peningkatan insiden (50 insiden perampokan dilaporkan di Selat Singapura sejak awal 2025)[8] menunjukkan kerawanan jalur sempit ini. Batas laut wilayah – segmen perbatasan laut wilayah di timur Selat Singapura belum disepakati antara RI-Singapura[9], meski kedua negara sudah menyepakati batas ZEE di area tersebut (2014).
Australia Perubahan keseimbangan militer regional; potensi perlombaan senjata; pelanggaran batas tak disengaja. Kemitraan AUKUS – rencana Australia mendukung kapal selam bertenaga nuklir memicu kekhawatiran arms race di kawasan[10][11]. Indonesia menyatakan “prihatin mendalam terhadap perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan di kawasan” pasca AUKUS[10]. Insiden Operasi Border Protection – 2014, kapal Angkatan Laut Australia tercatat memasuki perairan Indonesia saat menghalau imigran ilegal, menimbulkan protes Jakarta (contoh ancaman non-militer terhadap kedaulatan). Meskipun demikian, Australia juga mitra penting dalam patroli bersama antipenyelundupan dan latihan keamanan maritim.
Filipina Ancaman non-negara di perbatasan: perompakan, penyelundupan, terorisme maritim. Penculikan ABK Indonesia – 2016-2017, kelompok Abu Sayyaf berbasis Filipina menculik sejumlah awak kapal WNI di perairan Sulu/Celebes, memicu kerjasama trilateral patroli laut[12]. Kerjasama Trilateral – Indonesia, Malaysia, Filipina meluncurkan patroli bersama 2017 di Laut Sulu untuk mengurangi perompakan, penyelundupan senjata, dan ancaman teroris[12] (insiden menurun meski koordinasi masih tantangan). Tidak ada sengketa wilayah laut signifikan sejak perjanjian batas ZEE RI-Filipina 2014 (berlaku 2019).
Tiongkok Klaim Nine-Dash Line tumpang-tindih ZEE Indonesia; intrusi kapal nelayan, coast guard, dan survei; grey zone operations. Insiden Natuna Maret 2016 – kapal ikan Tiongkok Kway Fey ditangkap di ZEE Natuna, lalu dihalangi oleh Coast Guard Tiongkok; Beijing pertama kali klaim “traditional fishing grounds” dan “klaim tumpang-tindih” dengan Indonesia[13]. Konflik eksplorasi migas 2021-2024 – Tiongkok protes pengeboran di Blok Tuna (Natuna Utara) dan mengerahkan kapal Coast Guard berhari-hari mengganggu survei seismik Pertamina (Oktober 2024)[14][15]; Bakamla dan TNI AL terlibat aksi shadowing hingga kapal Tiongkok keluar sementara. Kapal riset & drone bawah laut – Bakamla pernah mengintersep kapal riset Tiongkok Xiang Yang Hong 03 yang berlayar dengan AIS dimatikan di Selat Sunda (2021)[16], serta menemukan perangkat underwater drone diduga milik Tiongkok di perairan Sulawesi (indikasi pemetaan militer)[17]. Tiongkok tidak mengklaim pulau Natuna, namun aktivitas coast guard dan armada nelayan milisi (maritime militia) mereka di Laut Natuna Utara menjadi ancaman nyata bagi kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia[18][19].

Keterangan: Ancaman di atas bersifat dinamis. Sebagian isu (misal Ambalat dengan Malaysia, batas ZEE dengan Filipina) telah atau sedang menuju solusi damai, sedangkan ancaman lain (klaim Tiongkok di Natuna) cenderung meningkat intensitasnya[18][19]. Di bawah ini disajikan analisis terperinci per negara untuk memahami konteks ancaman dan respon Indonesia.

Malaysia: Sengketa Perbatasan dan Kerjasama Bertetangga

Secara historis, hubungan Indonesia-Malaysia diwarnai persaudaraan serumpun namun tak luput dari perselisihan, terutama terkait perbatasan maritim. Ancaman nyata terbesar dari Malaysia berupa sengketa wilayah laut, meski sejauh ini dikelola tanpa konflik bersenjata. Ambalat adalah contoh sengketa menonjol: blok laut kaya minyak/gas di Laut Sulawesi yang diklaim kedua negara. Ketegangan memuncak pada 2005 dan 2009 ketika kapal perang nyaris berkonfrontasi, memicu sentimen nasionalisme. Baru-baru ini, perkembangan positif tercapai – pada Juli 2025 kedua negara sepakat melakukan pengembangan bersama (joint development) di Ambalat sambil menegosiasikan penyelesaian hukum jangka panjang[5][6]. Langkah Prabowo Subianto dan PM Anwar Ibrahim ini pragmatis meredakan stand-off puluhan tahun, dengan komitmen eksploitasi hasil migas secara adil tanpa mengesampingkan klaim kedaulatan masing-masing[6][20].

Namun, sebelum upaya damai tersebut, insiden-insiden perbatasan sempat memanaskan relasi. Insiden Tanjung Berakit (Agustus 2010) di dekat Bintan adalah contohnya: patroli Malaysia menahan tiga petugas Kementerian Kelautan RI yang tengah menangkap nelayan Malaysia, dengan dalih para petugas RI masuk wilayah Malaysia. Indonesia bersikeras penangkapan terjadi di perairannya sendiri[7]. Ketegangan mereda setelah petugas dilepas, tapi kejadian ini memicu unjuk rasa anti-Malaysia di Jakarta dan seruan agar pemerintah lebih tegas mengamankan perbatasan[21]. Akar masalahnya adalah belum tuntasnya delimitasi batas laut di beberapa segmen dengan Malaysia, antara lain di Selat Malaka bagian selatan, Selat Singapura, Laut Cina Selatan dekat Sabah/Serawak, dan Laut Sulawesi[9]. Ketiadaan garis batas jelas membuka peluang insiden patroli tumpang-tindih. Untuk itu, percepatan negosiasi batas maritim dengan Malaysia menjadi prioritas, selain tentunya memperkuat kehadiran penjaga perbatasan laut.

Di sisi lain, ancaman tidak langsung dari Malaysia mencakup aktivitas ilegal lintas batas seperti penangkapan ikan ilegal, penyelundupan, dan pencurian sumber daya. Nelayan tradisional kedua negara kadang tertangkap melintasi batas tidak resmi. Indonesia kerap menenggelamkan kapal ikan asing ilegal (termasuk beberapa berbendera Malaysia) pada periode penegakan hukum 2014-2019[22]. Malaysia pun meningkatkan patroli maritimnya. Kedua negara menyadari bahwa ketimbang bersitegang, perlu pendekatan kolaboratif mengamankan perairan bersama. Contohnya, Indonesia dan Malaysia aktif dalam Patroli Terkoordinasi di Selat Malaka, bersama Singapura (Malacca Strait Patrols sejak 2004) untuk menekan perompakan[23]. Hasilnya efektif – insiden perompakan di Malaka turun drastis dibanding awal 2000-an ketika selat ini pernah disebut “perairan terbahaya dunia”[23]. Selain itu, bersama Filipina ketiga negara menjalankan Trilateral Cooperative Arrangement (TCA) di Laut Sulu sejak 2017, berbagi intelijen dan patroli udara/laut untuk menangkal kelompok kriminal dan teroris[12].

Upaya diplomasi bilateral juga berjalan baik. Dialog perbatasan rutin dan mekanisme Joint Commission Indonesia-Malaysia membantu meredam gesekan. Faktor penting lainnya, Malaysia dan Indonesia berada dalam ASEAN yang menjunjung penyelesaian damai sengketa. Walau publik kedua pihak kadang sensitif (media sosial mudah menyulut emosi terhadap isu “pencaplokan wilayah”), pemimpin Indonesia-Malaysia belakangan memilih menitikberatkan pendekatan persahabatan. Joint development Ambalat dan penyelesaian sebagian besar batas darat menjadi bukti kemajuan terbaru. Secara militer, ancaman langsung dari Malaysia relatif rendah – kekuatan angkatan laut kedua negara berimbang di kawasan, dan keduanya enggan konflik terbuka karena saling tergantung secara ekonomi dan sosial. Dengan kata lain, Malaysia bagi Indonesia lebih sebagai tantangan pengelolaan perbatasan ketimbang ancaman agresi. Fokus ke depan adalah mempercepat delimitasi sisa batas laut (misal di sekitar perairan Natuna dan Sulawesi)[9] dan memperkuat kerjasama keamanan maritim regional, sehingga insiden seperti 2010 tak terulang.

Singapura: Jalur Sempit dan Kerawanan Keamanan Non-Tradisional

Hubungan maritim Indonesia-Singapura ditandai oleh kedekatan geografis di ujung selatan Selat Malaka dan bagian barat Selat Singapura. Meski Singapura negara kecil dan sekutu dekat, Indonesia tetap waspada terhadap ancaman non-tradisional di perairan yang menghubungkan kedua negara. Tidak ada ancaman militer langsung dari Singapura – Angkatan Laut Singapura (RSN) memang maju, namun Singapura adalah mitra strategis Indonesia dan sama-sama anggota FPDA (walau Indonesia bukan anggota FPDA, Singapura punya pakta pertahanan dengan Malaysia, Inggris, Australia, NZ). Justru tantangan utama adalah memastikan keamanan pelayaran di Selat Singapura, salah satu chokepoint tersibuk dunia[24], serta menyelesaikan isu perbatasan maritim yang tersisa.

Selat Singapura yang sempit rawan tindak kriminal maritim. Setelah perompakan di Selat Malaka berhasil ditekan, para pelaku bergeser ke Selat Singapura dalam beberapa tahun terakhir. Insiden perompakan dan pencurian bersenjata meningkat di perairan antara Singapura dan Batam/Bintan. ReCAAP ISC (organisasi kerjasama anti-perompakan yang bermarkas di Singapura) melaporkan 84 insiden di Asia tahun 2022, di mana 65% (55 insiden) terjadi di Selat Singapura[25]. Bahkan pada 2025, hingga Mei sudah 50 insiden terjadi di sekitar Selat Singapura[8] – kebanyakan pencurian kecil di kapal kargo yang melintas. Meski tidak menelan korban besar, maraknya insiden ini mengancam keselamatan pelayaran dan citra keamanan Indonesia-Singapura sebagai pengelola selat. TNI AL, Bakamla, dan Police Coast Guard Singapura meningkatkan patroli terkoordinasi. Kedua negara berbagi informasi melalui Information Fusion Center (IFC) di Singapura sejak 2009[26]. Koordinasi ini contoh positif penanganan ancaman tidak kasatmata (kriminalitas) di jalur perdagangan vital (sepertiga perdagangan dunia melewati Malaka-Singapura[24]). Tantangannya adalah keterbatasan kapasitas patroli Indonesia di wilayah yang padat kapal; perlu peningkatan maritime domain awareness dengan dukungan teknologi (radar, AIS) untuk memantau ribuan kapal per tahun.

Dari sisi perbatasan, Indonesia dan Singapura telah menyepakati beberapa segmen batas maritim. Perjanjian 1973 menetapkan garis batas laut wilayah di Selat Singapura bagian barat; kemudian perjanjian 2009 (diratifikasi 2010) menetapkan batas teritorial sea di bagian timur Selat Singapura sekitar Changi-Batam. Juga pada 2014 ditandatangani perjanjian batas ZEE di Selat Singapura timur (diratifikasi 2017). Satu segmen kecil batas laut wilayah di timur laut Singapura (sekitar Pedra Branca – Bintan) masih pending menunggu penyelesaian tripoin dengan Malaysia[9]. Isu Pedra Branca (Pulau Batu Puteh) sendiri antara Singapura-Malaysia telah diputus ICJ (2008) – Singapura dapat Pedra Branca, Malaysia dapat Middle Rocks, dan South Ledge akan ditentukan sesuai batas laut terdekat[27][28]. Posisi Indonesia di segitiga itu penting karena South Ledge berada dekat Bintan[29]. Potensi ancaman di sini lebih berupa kerumitan diplomatik tiga negara ketimbang konflik; semua pihak berkomitmen negosiasi damai. Indonesia berperan proaktif menawarkan trilateral technical talks dengan Malaysia-Singapura untuk menetapkan batas tiga negara di perairan tersebut[30].

Singapura juga sempat dikaitkan isu sand war (perdagangan pasir laut ilegal) dan dampak reklamasi pantainya terhadap lingkungan Kepri, namun ini termasuk non-sekuritis. Di bidang intelijen, hubungan sempat terganggu ketika terungkap aparat Singapura membantu intelijen asing memantau jaringan teroris di Indonesia, namun hal ini diatasi lewat komunikasi tertutup. Secara umum, Singapura bukan ancaman keamanan, melainkan partner dalam menjaga perairan strategis. TNI AL dan RSN rutin latihan bersama (contoh: Latma Eagle Indopura). Stabilitas Selat Malaka-Singapura adalah kepentingan bersama; Singapura mendukung inisiatif Indonesia menjaga kekebasan navigasi dan menolak intervensi kekuatan asing di selat tanpa persetujuan negara pantai. Kesimpulannya, dari Singapura ancaman yang dihadapi Indonesia bersifat non-tradisional (kriminalitas, kecelakaan kapal, polusi tumpahan minyak) dan diatasi lewat kerjasama erat kedua negara serta forum ASEAN. Prioritas ke depan ialah meningkatkan surveillance dan respon cepat di Selat Singapura demi menekan insiden perampokan, serta merampungkan perjanjian batas laut yang tersisa agar tak ada celah sengketa.

Australia: Mitra Strategis dengan Dilema Keamanan Regional

Indonesia dan Australia berbagi perbatasan maritim di selatan (Samudera Hindia dan perairan utara Australia). Meski pernah tegang pada masa lalu (konfrontasi era 1960an, isu Timor Timur 1999), hubungan pertahanan kedua negara kini relatif kuat. Australia tidak dianggap musuh, namun perkembangan strategis Australia dapat menjadi ancaman tidak langsung bagi Indonesia bila mengganggu stabilitas kawasan. Dua hal menonjol: rencana akuisisi kapal selam nuklir Australia (AUKUS) dan insiden terkait patroli perbatasan.

Pada September 2021, Australia mengumumkan pakta AUKUS dengan AS dan UK, termasuk rencana memperoleh kapal selam bertenaga nuklir. Langkah ini disambut waspada di Jakarta. Pemerintah Indonesia secara resmi menyatakan keprihatinan mendalam terhadap potensi perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan di kawasan imbas AUKUS[10][11]. Kekhawatiran Indonesia beralasan: kapal selam nuklir memungkinkan Australia beroperasi lebih jauh dan lama, mungkin hingga perairan sekitar Indonesia. Walau Australia menegaskan kapal selamnya tidak berpersenjata nuklir[31], Jakarta cemas ini bisa memicu respons Tiongkok memperbanyak aset anti-kapal selam di Laut Cina Selatan atau bahkan Samudera Hindia[32][33] – yang pada gilirannya meningkatkan aktivitas militer di sekitar Indonesia. Pakar pertahanan Indonesia juga mengingatkan bahwa kapal selam canggih Australia bisa dilengkapi misil jelajah berkemampuan tinggi[34]. Sejumlah kalangan hawkish di Jakarta memandang Australia berpotensi menjadi “tetangga selatan yang mengancam” di masa depan, mengingat trauma masa lalu (peran Australia dalam lepasnya Timor Timur 1999 dan skandal spionase 2013)[35]. Tokoh strategis seperti Prof. Evan Laksmana menyoroti kemungkinan eskalasi jika Australia kelak mempertimbangkan opsi persenjataan nuklir di kapal selamnya[36]. Walaupun skenario itu hipotetis, ia menunjukkan adanya trust deficit yang masih tersisa. Pemerintahan Jokowi dan sekarang Prabowo terus berupaya menjaga komunikasi strategis dengan Canberra agar modernisasi militer Australia tidak disalahartikan. Pada prinsipnya, Indonesia mendukung Australia memperkuat pertahanannya selama tidak memicu instabilitas regional dan tetap transparan. Indonesia mendorong Australia berkomitmen pada rezim non-proliferasi nuklir dan mematuhi UNCLOS jika kapal selamnya melintas di ALKI Indonesia[37]. Diskusi bilateral mengenai AUKUS dilakukan melalui forum 2+2 Menlu-Menhan kedua negara.

See also  Non-Collateral Impact of the Trade War on China and the United States

Selain itu, ancaman nyata minor pernah muncul di perbatasan selatan: insiden pelanggaran wilayah oleh kapal Australia dalam operasi penanggulangan imigran ilegal. Pada 2013-2014, dalam rangka Operation Sovereign Borders, Angkatan Laut Australia secara tidak sengaja memasuki perairan Indonesia beberapa kali saat mencegat kapal pencari suaka. Pelanggaran ini diakui Canberra dan mereka meminta maaf. Meski tidak berbahaya secara militer, insiden tersebut menyinggung kedaulatan Indonesia dan memicu ketegangan diplomatik. Indonesia sempat menghentikan kerjasama militer tertentu sebagai protes. Ancaman serupa masih mungkin terjadi mengingat Australia keras mencegah migran lewat jalur laut. Namun, kedua pihak kini lebih berhati-hati berkoordinasi di lapangan demi menghindari salah paham.

Di luar itu, hubungan maritim RI-Australia justru diwarnai kerjasama erat menangani ancaman bersama: illegal fishing, penyelundupan, keamanan perbatasan dan SAR. Keduanya rutin melakukan patroli terkoordinasi di perairan Arafura untuk memberantas illegal fishing (banyak kapal Vietnam dan regional memasuki ZEE Australia/Indonesia secara ilegal). Contohnya, Operation Gannet dan AUSINDO CORPAT melibatkan patroli bersama di Laut Timor hingga Arafura. Australia juga membantu peningkatan kapasitas Bakamla dan Polair melalui pelatihan dan hibah peralatan. Sebagai sesama anggota Indian Ocean Rim Association (IORA), Indonesia-Australia mendorong keamanan maritim di Samudera Hindia, termasuk penanggulangan perompakan di Samudera Hindia Barat dan pembangunan Maritime Domain Awareness (Australia mendukung inisiatif IPMDA – Indo-Pacific Maritime Domain Awareness yang juga bermanfaat bagi Indonesia)[38][39].

Singkatnya, Australia bagi Indonesia adalah mitra strategis penting yang kontribusinya positif pada keamanan maritim kawasan, misalnya melalui latihan multilateral (Kakadu, RIMPAC) dan forum keamanan (ADMM-Plus). Ancaman dari Australia lebih berupa dilema keamanan: modernisasi militer Australia yang dimaksudkan menghadapi Tiongkok bisa berdampak samping menekan Indonesia (misal memacu Indonesia meningkatkan persenjataan). Untuk mengatasi hal ini, diperlukan peningkatan kepercayaan strategis. Tragedi masa lalu (East Timor) dan isu sensitif (AUKUS) harus dihadapi dengan dialog terbuka. Indonesia dapat memperkuat diplomasi pertahanan, contohnya dengan mengaktifkan Joint Maritime Cooperation yang disepakati 2018, agar setiap operasi Australia di sekitar Indonesia (termasuk lalu lintas kapal selam) dikomunikasikan. Dengan demikian, ancaman potensial bisa dieliminasi dan kerjasama nyata diperkuat, menghadirkan stabilitas di perairan selatan Nusantara.

Filipina: Perbatasan Damai, Ancaman Non-Negara di Laut Sulu

Hubungan maritim Indonesia-Filipina relatif bersahabat tanpa sengketa teritorial signifikan. Kedua negara bahkan berhasil menyelesaikan perundingan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah berlarut 20 tahun, ditandai penandatanganan Perjanjian Batas ZEE di Mindanao Sea/Laut Celebes pada 2014 (mulai berlaku 2019)[40][41]. Perjanjian ini menetapkan garis batas sepanjang 627,5 mil laut[41], menjadi batas ZEE terpanjang di dunia, dan menghilangkan overlap klaim antara Sulawesi Utara dan Mindanao. Dengan demikian, tidak ada sengketa klaim maritim antara RI dan Filipina saat ini. Hal ini mengurangi ancaman tradisional, berbeda dengan Filipina-Vietnam atau Filipina-Tiongkok yang masih bersengketa di Laut Cina Selatan.

Meski demikian, Indonesia menghadapi ancaman nyata non-negara di perbatasan maritim dengan Filipina, khususnya di kawasan Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Kawasan perairan yang mencakup kepulauan Sulu (Filipina selatan), perairan Sabah timur (Malaysia), dan perbatasan Kalimantan Utara serta Sulawesi utara, historis rawan kejahatan transnasional. Kelompok militan Abu Sayyaf di Filipina selatan sejak lama melakukan pembajakan kapal dan penculikan awak untuk tebusan. Dalam rentang 2016-2018, belasan warga Indonesia – umumnya kru kapal tunda dan tongkang batubara yang berlayar dari Borneo – diculik oleh kelompok ini di perairan perbatasan[12]. Kasus-kasus tersebut menimbulkan tekanan publik agar pemerintah mengamankan WNI dan rute pelayaran. Abu Sayyaf telah menjadi ancaman terorisme maritim nyata bagi Indonesia. Selain penculikan, mereka terlibat penyelundupan senjata dan bahan peledak melalui jalur laut yang porus.

Menjawab ancaman ini, Indonesia tidak bisa bertindak sendiri mengingat yurisdiksi sebagian besar insiden di perairan Filipina/Malaysia. Solusinya adalah kerjasama trilateral. Sejak 2016, Indonesia aktif memprakarsai Trilateral Maritime Patrols dengan Malaysia dan Filipina di Laut Sulu/Celebes[12]. Pada 2017 diluncurkan resmi Trilateral Cooperative Arrangement (TCA): ketiga negara membuka Communication Hotline, Joint Maritime Coordinating Centers (JMCC) di Tarakan (RI), Tawau (MY), Bongao (PH), serta patroli terkoordinasi laut dan udara. Hasilnya cukup signifikan: jumlah insiden perompakan dan penculikan di kawasan Sulu turun dibanding puncaknya pada 2016[42]. Keberhasilan parsial ini diakui, walau tantangan koordinasi dan prosedur hukum (pemburuan lintas batas) masih ada[42].

Di sisi lain, Filipina sendiri kini lebih fokus pada ancaman Tiongkok di Laut Filipina Barat (LCS). Hal ini membuka peluang Indonesia- Filipina bersinergi diplomatik dalam menghadapi tekanan Tiongkok. Contohnya, Filipina di bawah Presiden Marcos Jr gencar mengungkap aksi coast guard Tiongkok ke publik (transparency strategy), dan Indonesia tampaknya mulai terinspirasi melakukan hal serupa pada insiden Natuna 2024[43]. Kedua negara sama-sama mendukung penegakan hukum laut internasional (UNCLOS); Filipina menang gugatan arbitrase terhadap Tiongkok 2016, Indonesia mendukung putusan tribunal tersebut yang menyatakan klaim 9 garis putus Tiongkok tak punya dasar hukum[44].

Kemungkinan ancaman lain adalah penyelundupan narkoba dan perdagangan manusia via laut antara Filipina dan Sulawesi/Maluku. Jaringan kriminal memanfaatkan rute laut terpencil. Untuk ini, Bakamla dan Penjaga Pantai Filipina menjajaki patroli bilateral skala kecil. Patroli perbatasan juga rutin dilaksanakan antara angkatan laut kedua negara untuk mencegah pelintas batas ilegal dan memastikan keamanan traditional fishing grounds yang diizinkan bagi nelayan kedua pihak berdasarkan kesepakatan tradisional. Sebagai ilustrasi, nelayan Filipina diizinkan penampungan darurat di wilayah Indonesia saat cuaca buruk, dan sebaliknya, demi alasan kemanusiaan.

Secara militer, Filipina bukan ancaman bagi Indonesia. Angkatan bersenjatanya lemah dalam aset laut, dan Filipina sangat bergantung pada aliansi dengan AS. Interaksi militer Indonesia-Filipina bersifat bersahabat, misalnya latihan CARAT/SEAGULL bersama AS. Isu yang perlu diwaspadai mungkin imbas konflik internal Filipina (misal jika terjadi gejolak di Mindanao yang memicu eksodus pengungsi via laut ke Sulawesi). Indonesia telah berperan dalam proses perdamaian Moro, sehingga cukup siap membantu memastikan konflik tak meluber ke wilayahnya.

Kesimpulannya, ancaman maritim dari Filipina didominasi oleh kejahatan lintas batas dan terorisme maritim, bukan ancaman state-actor. Pendekatan Indonesia adalah memperkuat kerjasama keamanan dengan Filipina dan Malaysia di kawasan perairan trilateral, sembari mendukung Filipina dalam upaya hukum menghadapi klaim Tiongkok yang juga berdampak pada stabilitas regional. Stabilitas di perairan selatan Filipina adalah kepentingan bersama ASEAN, dan Indonesia berkomitmen menjaga kawasan Laut Sulu-Sulawesi tetap aman demi kelancaran perdagangan dan keselamatan warga.

Tiongkok (China): Tantangan Kedaulatan di Laut Natuna Utara

Dari kelima negara yang dibahas, Tiongkok (China) menonjol sebagai sumber ancaman nyata paling kompleks bagi keamanan maritim Indonesia. Hal ini ironis mengingat Indonesia dan Tiongkok secara resmi tidak memiliki sengketa teritorial – Indonesia bukan pengklaim pulau di Laut Cina Selatan (LCS), dan Tiongkok mengakui kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna[45]. Namun masalahnya terletak pada klaim maritim sepihak Tiongkok yang diwakili garis putus sembilan (nine-dash line) yang mencakup perairan utara Natuna (Laut Natuna Utara). Klaim tersebut tumpang tindih dengan ZEE Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982[46]. Indonesia menolak tegas klaim historis Tiongkok itu sebagai tak berdasar hukum[46], namun Tiongkok tetap bersikukuh hingga terjadi serangkaian insiden di lapangan.

Sejak 2010-an, Tiongkok semakin aktif mengirim kapal nelayan (sering dikawal kapal Penjaga Pantai/Coast Guard) memasuki perairan Natuna Utara untuk menangkap ikan atau menunjukkan keberadaan (presence). Puncaknya, Insiden Maret 2016: kapal patroli KKP Indonesia berhasil menangkap kapal ikan Tiongkok Kway Fey yang menangkap ikan ilegal di ZEE Natuna. Namun saat hendak ditarik, datang kapal coast guard Tiongkok menabrakkan diri secara provokatif hingga kapal Kway Fey lepas (meski ABK sempat ditahan)[13][47]. Kemenlu Tiongkok kala itu menyatakan protes, beralasan area tersebut “traditional fishing grounds” nelayan Tiongkok dan merupakan “perairan dengan klaim tumpang tindih hak maritim” antara Tiongkok dan Indonesia[13][48]. Ini pertama kalinya Tiongkok terang-terangan menganggap ada “dispute” dengan Indonesia, berbeda dari pernyataan sebelumnya bahwa “tidak ada sengketa karena Tiongkok tak klaim Natuna”[45][49]. Indonesia merespon dengan mengirim nota diplomatik menolak konsep traditional fishing rights di ZEE (tidak diakui UNCLOS)[50]. Sejak itu, bisa dikatakan terbentuk sengketa de facto terkait hak maritim (bukan kedaulatan pulau) di Natuna Utara.

Insiden berlanjut dalam tahun-tahun berikutnya. Desember 2019 – Januari 2020, sejumlah kapal penjaga pantai Tiongkok dan puluhan kapal ikan memasuki ZEE Natuna secara persisten. Indonesia merespon dengan mengerahkan kapal perang TNI AL dan bahkan menggelar latihan besar di Natuna pada 2020[51]. Presiden Jokowi saat itu terbang ke Natuna (2016 dan 2020) untuk menunjukkan kedaulatan. Kapal-kapal Tiongkok akhirnya mundur, namun kehadiran mereka berulang di waktu berbeda. Data menyebut sejak 2016, frekuensi pelanggaran oleh Tiongkok meningkat dan Indonesia menyesuaikan dengan memperkuat pangkalan militer di Natuna serta patroli[18][52]. Tahun 2019, Indonesia membentuk Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) I bermarkas di Natuna, sebagai respon strategis. Lalu Agustus 2021, ketegangan naik level ketika Tiongkok mengirim surat diplomatik menuntut Indonesia menghentikan pengeboran minyak/gas di Blok “Tuna” (ladang gas di landas kontinen Indonesia dekat perbatasan ZEE Vietnam)[51]. Tiongkok menganggap area itu bagian klaimnya. Indonesia menolak mentah-mentah; pengeboran terus dilakukan. Namun, langkah Tiongkok ini menandai ekspansi klaim: bukan hanya ikan, tapi juga sumber daya migas yang sah milik Indonesia ikut dipermasalahkan Beijing[53].

Puncak terbaru, Oktober 2024, saat Indonesia (Pertamina) melakukan survei seismik di blok gas Natuna D-Alpha. Kapal Coast Guard Tiongkok (CCG 5302 dan 5402) muncul dan berpatroli di sekitar kapal survei Geo Coral hingga 12 hari lamanya[14][15]. Bakamla menurunkan KN Tanjung Datu dan KN Pulau Dana untuk menghalau, di-backup KRI Bontang dari kejauhan[54]. Terjadi shadowing game di mana kapal Bakamla dan CCG saling mengikuti, bahkan sempat berjarak 500 meter[55]. Meski sempat keluar, kapal CCG kembali lagi – menunjukkan keteguhan Tiongkok mempertahankan presence. Uniknya, kali ini Indonesia secara terbuka merilis foto dan video konfrontasi tersebut ke media[43], berbeda dari biasanya yang cenderung diam. Pengamat mengaitkan transparansi ini dengan strategi Filipina yang sejak 2023 mempublikasikan agresi Tiongkok untuk mendapat dukungan dunia[43]. Langkah Indonesia bisa menandai sikap lebih tegas, meski ada pergantian presiden (kebetulan insiden terjadi tepat setelah Prabowo Subianto dilantik Oktober 2024)[56].

Sikap pemerintah Indonesia terhadap Tiongkok selama ini terkesan ambigu atau “soft-balancing”. Di satu sisi, Indonesia tegas secara legal – menolak nine-dash line di forum PBB sejak 2010, mendukung putusan arbitrase 2016 bahwa klaim historis Tiongkok illegal[44], dan bahkan mengganti nama perairan utara Natuna menjadi “Laut Natuna Utara” pada 2017 sebagai upaya memperkuat klaim yuridiksi[57][58]. Di sisi lain, secara praktis Indonesia tidak mau memprovokasi konflik terbuka dengan Tiongkok. Pendekatan cenderung tenang namun waspada: meningkatkan kapasitas militer di Natuna, tapi diplomasi tetap dijaga. Hal ini karena Indonesia juga mempertimbangkan hubungan ekonomi dengan Tiongkok (investasi dan perdagangan). Ada dilema antara menjaga kedaulatan versus mengakomodasi kepentingan ekonomi. Misalnya, tokoh militer dan Menko Luhut Pandjaitan beberapa kali membuka opsi joint fishing atau joint development terbatas dengan Tiongkok di Natuna untuk meredakan ketegangan, meski menuai kritik karena dianggap mengakui klaim ilegal Beijing.

Di era Prabowo, kecenderungan akomodatif tampak menguat. November 2024, Presiden Prabowo dalam kunjungan ke Beijing menandatangani kesepakatan kerjasama maritim yang mencakup komitmen untuk joint development perikanan, minyak dan gas di “wilayah laut yang tumpang tindih klaim”[59][60]. Ini memicu kekhawatiran banyak pihak, karena dianggap inkonsisten dengan prinsip Indonesia selama ini yang menolak mengakui adanya sengketa[61][62]. Analis RSIS menilai langkah itu berisiko melegitimasi klaim Tiongkok dan merusak reputasi Indonesia di ASEAN[61][63]. Kesepakatan ini seolah mengiyakan klaim Tiongkok demi manfaat ekonomi jangka pendek, padahal sejak 2016 Indonesia selalu menolak konsep “historical rights” Tiongkok[64][65]. Respons domestik pun cukup keras; parlemen mempertanyakan komitmen pemerintah menjaga kedaulatan Natuna. Namun pemerintah Prabowo berargumen joint development bukan berarti menyerahkan kedaulatan, melainkan solusi pragmatic sementara sambil “setuju untuk tidak setuju”. Situasi ini masih berkembang, dan akan diuji apakah Tiongkok benar-benar moderat di lapangan pasca kesepakatan atau justru makin agresif.

Selain Natuna, ancaman Tiongkok di perairan Indonesia juga muncul berupa operasi “grey zone” dan intelijen maritim. Contoh, penemuan drone bawah laut (Sea Glider) berteknologi Tiongkok di perairan Sulawesi (dekat Selayar) pada Desember 2020[17][66]. Alat ini diduga memetakan karakteristik laut (bathymetry, salinitas) untuk kepentingan kapal selam PLA Navy. Sudah beberapa kali nelayan menemukan drone serupa di sekitar ALKI (Arus Laut Kepulauan Indonesia) yang strategis sebagai jalur kapal selam dari Pasifik ke Hindia[67]. Lalu, insiden kapal riset Xiang Yang Hong 03 yang berlayar “dark” (AIS dimatikan) di Selat Sunda Januari 2021[16]. Bakamla mengawal kapal itu keluar ZEE Indonesia karena dicurigai melakukan survei ilegal. Kejadian ini mengindikasikan minat strategis Tiongkok terhadap choke points Indonesia (Selat Sunda, Lombok, Makassar) sebagai alternatif jika Selat Malaka tertutup[17]. Walau belum ada pelanggaran hukum serius (kapal riset asing boleh lewat innocent passage selama tidak riset di ZEE tanpa izin), aktivitas sembunyi-sembunyi Tiongkok jelas menimbulkan trust issue. Indonesia meningkatkan kewaspadaan dengan mewajibkan kapal asing tidak boleh mematikan AIS di ALKI, dan jika ketahuan akan diusir seperti kasus di atas.

Dari uraian di atas, ancaman maritim Tiongkok terhadap Indonesia mencakup: (1) Ancaman kedaulatan dan hak berdaulat – klaim sepihak di Natuna menggerus hak Indonesia atas sumber daya hayati dan non-hayati; (2) Ancaman keamanan – masuknya kapal-kapal coast guard asing tanpa izin bisa memicu konflik tak disengaja dengan patroli Indonesia; (3) Ancaman stabilitas regional – aksi agresif Tiongkok melemahkan sentralitas ASEAN dan rezim hukum laut, yang dapat mendorong keterlibatan militer kekuatan besar (AS, sekutu) di perairan sekitar Indonesia. Indonesia menghadapi dilema: perlu menghadapi Tiongkok dengan tegas demi hukum dan kedaulatan, namun juga menjaga hubungan baik agar tidak tereskalasi. Pendekatan Indonesia sejauh ini: diplomasi aktif (mendukung Code of Conduct ASEAN-Tiongkok di LCS), penegakan hukum (tangkap-sita kapal ikan ilegal, meski belakangan kebijakan penenggelaman berkurang), dan pembangunan kapasitas pertahanan di Natuna. Beberapa analis menyarankan Indonesia memperkuat Coast Guard (Bakamla) untuk first responder insiden grey zone[68], karena mengandalkan TNI AL saja tidak cukup mengingat sifat konfrontasi yang bukan perang terbuka. Selain itu, Indonesia mulai mencari dukungan mitra lain: misalnya bekerja sama dengan Jepang dan AS dalam proyek radar maritim, atau India dalam informasi maritim di Samudera Hindia[38][39].

Sebagai kesimpulan bagian ini, Tiongkok adalah ujian terbesar bagi keamanan maritim Indonesia dewasa ini. Respon Indonesia akan menentukan wibawa negara di mata internasional – apakah mampu mempertahankan prinsip “tanpa kompromi kedaulatan” seperti diucapkan para pemimpin[69][70], atau terseret ke strategi bandwagoning karena bujukan ekonomi. Tantangan Indonesia ialah menjaga keseimbangan: mencegah ancaman nyata Tiongkok di laut tanpa memicu konflik terbuka, sembari terus mendorong solusi damai jangka panjang berdasarkan hukum laut.

See also  Australia dan Jepang: Trauma, Diplomasi, dan Pertarungan Moral Demokrasi Asia-Pasifik

Dinamika Keamanan di Kawasan Strategis

Setelah menelaah per negara, penting untuk melihat gambaran lintas-kawasan karena ancaman maritim Indonesia seringkali beririsan dengan konstelasi regional. Tiga kawasan utama – Laut Cina Selatan, Selat Malaka (dan Selat Singapura), serta Samudera Hindia – memiliki karakteristik ancaman dan aktor yang berbeda, namun saling terkait dalam kerangka keamanan maritim Nusantara. Berikut analisis per kawasan, termasuk keterlibatan negara-negara yang telah dibahas.

Laut Cina Selatan dan Laut Natuna Utara

Laut Cina Selatan (LCS) adalah arena sengketa multilateral yang kompleks, melibatkan klaim Tiongkok vs beberapa negara ASEAN (Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei) atas kepulauan dan perairan di dalamnya. Indonesia secara geografis berada di tepi selatan LCS, dengan Kepulauan Natuna sebagai penanda batas. Meskipun Indonesia bukan claimant dalam sengketa kepemilikan pulau (Spratly/Paracel), situasi LCS sangat mempengaruhi keamanan Indonesia. Ancaman di LCS bagi Indonesia terutama datang dari aktivitas ekspansionis Tiongkok dan meningkatnya militerisasi kawasan oleh kekuatan besar.

Seperti diuraikan sebelumnya, Tiongkok dengan klaim nine-dash line mencoba menjangkau hingga Natuna, yang bagi Indonesia adalah garis merah kedaulatan. Di LCS pula, Tiongkok telah membangun pangkalan militer di pulau buatan (Fiery Cross, Subi, Mischief Reef, dsb), mengerahkan rudal anti kapal dan jet tempur di sana. Ini membuat LCS kini padat aset militer yang dapat menjangkau wilayah Indonesia. Risiko kalkulasi salah (miscalculation) meningkat seiring seringnya kapal militer berbagai negara berpapasan di LCS. Contohnya, kapal perang AS rutin lakukan Freedom of Navigation Operations (FONOPs) menantang klaim Tiongkok, sementara Angkatan Laut PLA mengawal ketat. Indonesia khawatir terseret jika konflik pecah antara AS-Tiongkok di LCS, mengingat kedekatan lokasi. Oleh karena itu, Indonesia terus menyuarakan penghormatan hukum internasional dan mendorong finalisasi Kode Etik Laut Cina Selatan (COC) yang mengikat. Indonesia pernah menjadi tuan rumah perundingan COC pada 2023, berusaha mempercepat hasil, meskipun tantangan besar mengingat tarik ulur Tiongkok.

Di sisi lain, Indonesia juga telah mengambil langkah unilateral seperti penamaan Laut Natuna Utara pada peta resmi 2017, sebagai bagian dari LCS yang berada dalam ZEE Indonesia. Ini memperkuat posisi diplomatik bahwa Indonesia punya hak berdaulat di area itu, bukan “perairan sengketa” seperti yang Tiongkok klaim[58][71]. Tindakan ini sempat diprotes Tiongkok, tetapi Indonesia bergeming. Dalam forum PBB (nota diplomatik 2020), Indonesia bahkan terang-terangan meminta PBB mengedarkan peta baru RI dan menegaskan putusan arbitrase 2016 berlaku erga omnes. Ini sinyal bahwa Indonesia mencoba memagari Natuna dari implikasi sengketa LCS.

Kawasan LCS juga mendatangkan ancaman non-tradisional seperti IUU fishing (penangkapan ikan ilegal) oleh nelayan asing dalam jumlah besar. Selain Tiongkok, nelayan Vietnam banyak tertangkap di Natuna. Indonesia telah menenggelamkan puluhan kapal Vietnam di Natuna selama 2014-2018 sebagai efek jera. Namun belakangan pendekatan berubah ke diplomasi (Indonesia-Vietnam capai MoU perikanan 2023). Persaingan sumber daya ini menjadi dimensi lain keamanan di LCS.

Lebih luas, Laut Cina Selatan merupakan tempat ujian konsep Indo-Pasifik. Rivalitas AS-Tiongkok terpampang jelas di sini: AS bersama sekutu (Jepang, Australia, India) menggagas Quad dan berbagai latihan di sekitar LCS, sementara Tiongkok menanggapinya dengan klaim historis dan unjuk kekuatan maritim. Bagi Indonesia, hal ini ancaman dua tingkat – pertama, ancaman langsung dari perilaku Tiongkok; kedua, ancaman terseret rivalitas kekuatan besar. Sikap Indonesia konsisten: bebas aktif, tidak memihak, namun menekankan rules-based order. Indonesia ingin LCS damai agar perdagangannya (utamanya jalur tanker energi lewat LCS ke Jepang/Korea) aman. Sebagai negara poros maritim, Indonesia menginginkan LCS dikelola stabil, mungkin melalui pendekatan cooperative management jangka panjang[72].

Upaya konkrit Indonesia misalnya melanjutkan Workshop “Managing Potential Conflict in the South China Sea” (Track 2 yang dimulai sejak 1990-an)[73], memfasilitasi dialog informal klaim. Indonesia juga pernah usulkan “zone of peace” di LCS. Meski belum terwujud, peran sebagai honest broker masih diharapkan oleh ASEAN. Tantangan terbaru adalah memastikan COC yang efektif – Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 berhasil mendorong isi COC yang lebih progresif, namun Tiongkok kerap mengulur.

Bagi pertahanan Indonesia, area LCS/Natuna kini jadi prioritas. Komando Armada RI I bermarkas di Tanjung Pinang, ditugasi fokus Natuna. Pangkalan udara di Ranai Natuna ditingkatkan (landas pacu perpanjang agar bisa didarati jet Sukhoi). Latihan gabungan skala besar seperti Latihan Gabungan TNI 2023 diselenggarakan di Natuna. Semua ini untuk mengirim pesan deterensi. Walau kemampuan TNI AL belum sepadan dengan PLA Navy, minimal kehadiran dan reaksi cepat Indonesia di perbatasan LCS dapat mencegah pelanggaran terang-terangan.

Sebagai penutup sub-bab ini: Situasi keamanan maritim Indonesia di Laut Cina Selatan ditandai oleh ketegangan rendah ke tinggi dengan Tiongkok terkait Natuna, yang dikelola melalui kombinasi diplomasi (nota protes, dialog bilateral dan ASEAN) dan aksi di lapangan (patroli intensif, pembangunan kekuatan). Ancaman di LCS tergolong ancaman nyata (aktual) karena insiden sudah terjadi berkali-kali. Ke depan, stabilitas di LCS akan sangat mempengaruhi ketenangan perairan Indonesia. Selama sengketa multilateral belum terselesaikan, Indonesia harus selalu siap menghadapi kemungkinan terburuk di utara Natuna, sambil terus menggalang dukungan internasional untuk tegaknya UNCLOS di Laut Cina Selatan[63][65].

Gambar 1. Peta perbatasan laut Indonesia-Malaysia di sekitar Ambalat (Laut Sulawesi), kawasan sengketa yang akhirnya disepakati dikelola bersama tahun 2025. Terlihat Blok Ambalat di lepas pantai Kalimantan (garis merah menunjukkan klaim kedua negara) dan wilayah perairan sekitarnya.

Selat Malaka dan Selat Singapura

Selat Malaka beserta Selat Singapura adalah jalur sempit strategis yang memisahkan Sumatra dan Semenanjung Malaya, menghubungkan Samudra Hindia dengan Laut Cina Selatan/Pasifik. Selat Malaka sepanjang ±900 km ini merupakan salah satu choke point terpenting dunia, dilewati sekitar 1/3 perdagangan dunia setiap tahun[24]. Bagi Indonesia, selat ini vital sebagai jalur ALKI I (Alur Laut Kepulauan Indonesia) dan urat nadi ekonomi (Pelabuhan Belawan, Dumai bergantung padanya). Namun posisinya yang strategis juga menjadikan Malaka rawan ancaman maritim, baik tradisional maupun non-tradisional.

Pada era Perang Dingin, Selat Malaka sempat dikhawatirkan jadi sasaran perebutan pengaruh (misal oleh Uni Soviet atau AS). Namun, ancaman tradisional antar-negara relatif rendah karena ada kesepahaman bahwa selat ini milik tiga negara pantai (Indonesia, Malaysia, Singapura) dan harus bebas navigasi. Tidak ada sengketa kedaulatan di Malaka selain isu batas maritim RI-Malaysia yang belum rampung di segmen dekat Singapura[9]. Ancaman utama justru non-tradisional: perompakan, penyelundupan, terorisme, kecelakaan tanker, dsb.

Sekitar awal 2000-an, Selat Malaka dikenal sebagai perairan paling rawan perompakan. Kelompok bersenjata (sering berafiliasi dengan jaringan kriminal lokal) kerap menyerbu kapal niaga di selat ini. Puncaknya tahun 2000-2004, puluhan insiden per tahun terjadi, termasuk kapal tanker dan kapal tunda disandera. Situasi membaik setelah ketiga negara pantai meluncurkan Malacca Straits Coordinated Patrol (MSP) pada 2004[23], ditambah patroli udara Eyes in the Sky. Jumlah serangan menurun drastis – dari 38 insiden 2004 menjadi hanya 2 insiden 2011, misalnya[23]. Keberhasilan ini sering dijadikan model sukses kerjasama littoral states. Namun, belakangan tren perompakan bergeser ke Selat Singapura (sebagaimana dibahas di bagian Singapura). Para perompak menyasar kapal di ujung selat yang pengawasannya mungkin longgar karena berbatas tiga yurisdiksi. ReCAAP ISC mencatat kenaikan insiden di Selat Singapura setiap tahun sejak 2018. Jenis ancaman ini cenderung berupa armed robbery kecil (mencuri bahan bakar, peralatan kapal) ketimbang pembajakan besar. Meski demikian, jika dibiarkan, bisa meningkat serius dan mengganggu kelancaran pelayaran.

Ancaman lain di Malaka adalah penyelundupan dan perdagangan ilegal. Selat ini dilalui bukan hanya kapal dagang internasional, tapi juga kapal kecil cepat yang dipakai menyelundupkan barang terlarang: narkotika, senjata, hingga manusia (TKI ilegal atau trafficking). Perairan Malaka yang penuh ceruk dan pulau kecil memudahkan pelaku bersembunyi. Indonesia dan Malaysia kerap menangkap penyelundup narkoba jaringan Golden Triangle yang membawa sabu ke Aceh via Malaka, atau penyelundupan senjata dari Thailand ke Aceh (saat konflik GAM) dulunya melewati Malaka. Kini, potensi penyelundupan senjata mungkin menurun, tapi narkoba dan migran gelap tetap tantangan. Patroli Bakamla, Bea Cukai, Polisi Air di sepanjang Selat Malaka perlu ditingkatkan koordinasinya dengan APMM (Coast Guard Malaysia) dan Polisi Maritim Singapura.

Ada pula ancaman terorisme maritim: pasca 9/11, kekhawatiran muncul bahwa teroris bisa menenggelamkan kapal tanker di Selat Malaka untuk memblokir jalur atau menciptakan bencana lingkungan. Skenario “maritime terrorism” tersebut pernah hampir terjadi pada 2001 ketika Jemaah Islamiyah berencana meledakkan LNG tanker di Singapura, meski berhasil digagalkan[23]. Saat itu dunia luar, terutama AS dan Jepang, sangat cemas akan keamanan Malaka karena dampaknya global. Usulan sempat muncul agar pasukan asing membantu patroli (RMSI – Regional Maritime Security Initiative oleh AS). Namun Indonesia-Malaysia menolak keras ide militer asing berpatroli di selat mereka, dengan alasan kedaulatan. Sebagai gantinya, ketiga negara pantai meyakinkan dunia bahwa mereka mampu menjaga Selat Malaka. Hingga kini, tak ada serangan teroris terjadi di Malaka, meski intelijen terus memantau kemungkinan. Ancaman teror lebih ke arah soft target seperti pelabuhan.

Dari segi lingkungan, Selat Malaka berisiko kecelakaan kapal dan polusi. Lalu lintas >80 ribu kapal per tahun berarti kemungkinan tabrakan atau kandas selalu ada. Tumpahan minyak besar pernah terjadi (misal tanker Showa Maru 1975 menumpahkan 4 ribu ton minyak). Indonesia rentan terdampak karena pantai timur Sumatra kaya ekosistem mangrove. Penanganan tumpahan membutuhkan koordinasi trilateral plus bantuan internasional. Ini juga aspek keamanan (environmental security) yang makin diperhatikan Indonesia.

Secara geopolitik, Selat Malaka menarik minat banyak negara besar. China, Jepang, Korea Selatan mengandalkan impor minyak melewati selat ini – itulah “Malacca Dilemma” bagi China misalnya, yang khawatir selat bisa diblokir AS saat konflik. Karena itu, China pernah menawarkan bantuan keamanan (patroli antipembajakan) di Malaka, tapi ditolak halus. China kemudian giat membangun rute alternatif (jalur pipa Myanmar, rencana Terusan Kra di Thailand, OBOR via darat) untuk mengurangi ketergantungan Malaka. Sementara India sebagai negara tetangga Samudera Hindia mulai aktif di perairan dekat Malaka – Angkatan Laut India berpatroli sampai Selat Malaka bagian barat secara terkoordinasi dengan TNI AL sejak 2002 (India-Indonesia coordinated patrol). Tujuannya mencegah perompakan dan menunjukkan eksistensi India di choke point ini[23]. AS juga membantu lewat kerjasama info intelijen. Indonesia menyambut kerjasama informasi dan capacity building (contoh: Information Fusion Centre di Singapura terbuka bagi Indonesia), namun tetap berprinsip hanya negara pantai yang berhak penegakan hukum di Malaka.

Kondisi strategis Malaka juga mendorong Indonesia memperkuat diplomasi navigasi. Indonesia aktif di IMO memastikan aturan Traffic Separation Scheme di selat diterapkan untuk keselamatan. Juga membentuk forum Cooperative Mechanism bersama Malaysia-Singapura dan user states (Jepang, India, dll) untuk kerjasama teknis (pengerukan, rambu navigasi, anti-pencemaran). Ini contoh bahwa ancaman di Malaka ditangani bukan dengan militerisasi, tapi dengan kerjasama multilateral fungsional.

Dalam konteks militer, memang pernah ada spekulasi ancaman tradisional: misal blokade Selat Malaka oleh kekuatan asing di skenario perang. Bagi Indonesia, ini ancaman serius karena memutus jalur logistik. Namun skenario ini kecil kemungkinannya jika Indonesia menjaga netralitas. Justru, hal yang lebih mendesak adalah memastikan kapasitas respon cepat terhadap insiden di selat. Pencurian di Selat Singapura akhir-akhir ini menunjukkan celah dimana pelaku memanfaatkan lambatnya respon lintas yurisdiksi. Untuk itu, ada wacana membentuk Malacca Strait Patrol 2.0 yang lebih terintegrasi dengan pusat komando bersama. Juga penggunaan teknologi seperti surveillance drone, kamera pengawas selat (Singapura sudah pasang sistem radar canggih, Indonesia mulai meningkatkan di Batam/Belawan).

Secara keseluruhan, situasi keamanan maritim Indonesia di Selat Malaka/Singapura saat ini terkendali namun memerlukan kewaspadaan. Ancaman nyata berupa perompakan/kejahatan maritim relatif kecil dan menurun, tapi ancaman potensial (kembali naiknya aksi kriminal, atau munculnya terorisme) selalu ada. Peran Indonesia krusial sebagai penjaga gerbang. Upaya berkelanjutan meliputi: peningkatan patroli Bakamla/TNI AL di choke points, kerjasama info dengan negara lain, latihan penanggulangan tumpahan minyak, dan penyelesaian sisa isu batas dengan Malaysia/Singapura agar tidak dimanfaatkan pihak ketiga. Selat Malaka ibarat urat nadi perdagangan Indonesia sendiri (ekspor impor via Pelabuhan Klang, Singapura, Belawan bergantung padanya). Menjaga Malaka aman sama dengan menjaga ekonomi nasional dan ASEAN.

Samudera Hindia dan Perairan Nusantara di Barat & Selatan

Samudera Hindia merupakan kawasan maritim luas yang berbatasan dengan pantai barat Indonesia (Aceh hingga Nusa Tenggara) serta selatan (Samudera Hindia selatan Jawa hingga selatan Nusa Tenggara/laut Timor). Wilayah ini selama era Perang Dingin relatif tenang bagi Indonesia, namun kini mendapat perhatian lebih seiring konsep Indo-Pasifik menghubungkan keamanan Samudera Hindia dan Pasifik sebagai satu kesatuan. Bagi Indonesia, Samudera Hindia adalah ruang strategis yang menyimpan potensi ancaman maupun kerjasama baru.

Salah satu perhatian utama Indonesia di Samudera Hindia adalah kehadiran kekuatan ekstra-regional, terutama Angkatan Laut India dan China. India sejak lama menganggap Samudera Hindia sebagai halaman depannya (Indian Ocean as India’s Ocean). Sementara China, melalui inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), meningkatkan profilnya di Samudera Hindia dengan pembangunan pelabuhan (Gwadar di Pakistan, Hambantota di Sri Lanka) dan mengirim kapal AL/penelitian. Persaingan India-China di Samudera Hindia dapat berdampak ke Indonesia secara tidak langsung[74]. Misalnya, jika ketegangan mereka meningkat, kemungkinan patroli kapal selam atau kapal perang mereka mendekati ALKI Selatan Indonesia (sekitar Selat Lombok atau Selat Sunda) makin besar. Bagi Indonesia, ini berarti perlu memantau aktivitas militer asing di ALKI II dan III. Sudah ada indikasi: kapal selam nuklir India dan China terdeteksi pernah lewat ALKI, dan kapal riset China beberapa kali masuk ZEE barat Sumatra tanpa izin (kasus Shiyan 1 di ZEE barat Aceh 2019 dihadang AL India)[75]. Bahkan di 2023, terungkap kapal selam nuklir China sempat lego jangkar darurat di perairan Sabang karena kerusakan (tidak terkonfirmasi resmi, tapi rumor ini bikin heboh). Intinya, Samudera Hindia tidak lagi sepi – ia sudah menjadi arena baru “shadow boxing” militer negara besar.

See also  Strategi Cina di Laut China Selatan: Dominasi Jangka Panjang di Asia Tenggara

Dari perspektif ancaman, Australia menjadi aktor penting di Samudera Hindia bagi Indonesia. Australia mengoperasikan pangkalan Angkatan Laut di Perth (HMAS Stirling) yang mengawasi Hindia timur. Rencana AUKUS akan membuat Australia punya armada kapal selam jarak jauh yang mungkin beroperasi di Hindia Utara dekat Indonesia[76]. Indonesia waspada jangan sampai pergerakan kapal selam asing di wilayah ALKI selatan melanggar prosedur (harus di permukaan saat melintas menurut UNCLOS). Isu ini disinggung Menlu Retno Marsudi pasca AUKUS bahwa Indonesia mengingatkan komitmen saling menjaga stabilitas[77]. Secara geografis, basis Australia di Pulau Cocos (Keeling) juga dekat ALKI, kabarnya akan dikembangkan untuk pangkalan pesawat patroli P-8 Poseidon AS-Australia. Ini meningkatkan kemampuan monitoring selatan Indonesia oleh Australia. Bagi sebagian kalangan di Indonesia, hal ini menimbulkan ketidaknyamanan (merasa diawasi). Namun, pemerintah melihat sisi positif: informasi yang dikumpulkan sekutu bisa dibagi untuk keamanan bersama, misal deteksi kapal illegal fishing atau penyelundup.

Ancaman non-tradisional di Samudera Hindia bagi Indonesia termasuk illegal fishing oleh kapal asing jarak jauh (distant water fishing). Kawasan Samudera Hindia barat Sumatra hingga selatan Jawa merupakan fishing ground tuna. IUU Fishing Index menempatkan beberapa negara Samudera Hindia (termasuk Indonesia) sebagai yang paling rawan[78]. Banyak kapal asing (dari Thailand, Sri Lanka, Taiwan) coba memasuki ZEE Indonesia di Samudera Hindia mencuri tuna dan cakalang. Indonesia rutin patroli di sana meski tantangannya luas sekali wilayahnya. Penangkapan dan penenggelaman kapal ilegal juga terjadi di perairan barat Sumatra (misal kapal Sri Lanka pernah ditenggelamkan 2018 karena curi ikan). Selain itu, Samudera Hindia rute migrasi hewan dilindungi (penyu, paus); aktivitas ilegal bisa mengganggu biodiversitas. Terkait ini, Maritime Environmental Security jadi salah satu pilar kebijakan maritim Indonesia[79][80].

Ancaman penyelundupan dan kejahatan terorganisir juga ada: contohnya penyelundupan narkotika via laut dari India/Pakistan/Irán ke Indonesia. BNN dan Polri beberapa kali menggagalkan upaya penyelundupan heroin dari India ke Aceh melalui kapal laut. Kemudian, penyelundupan migran (human smuggling) menuju Australia lewat perairan Indonesia selatan sempat marak sebelum 2015. Ribuan pencari suaka dari Timur Tengah menggunakan perahu dari Jawa/NTB menuju Christmas Island. Ini menyebabkan krisis kemanusiaan dan ketegangan diplomatik (Australia cenderung mendorong balik perahu ke perairan Indonesia). Saat ini arus itu berkurang karena Australia memperketat dan mengkampanyekan anti-people smuggling. Meski begitu, Indonesia tetap harus mengawasi garis pantai selatan yang panjang agar tidak jadi koridor perdagangan manusia.

Bencana alam juga bagian dari keamanan maritim Hindia: Tsunami 2004 di Aceh mengingatkan betapa Samudera Hindia bisa menjadi sumber ancaman non-manusia. Indonesia berperan aktif membangun Indian Ocean Tsunami Warning System pasca 2004 untuk mitigasi. Dalam konteks security, militer Indonesia pun belajar dari tsunami – TNI AL dan Bakamla perlu siap untuk tugas HADR (Humanitarian Assistance Disaster Relief) di perairan luas Hindia.

Dalam hal kerjasama, Indonesia menggagas konsep “Sabuk Maritim” dalam Poros Maritim Dunia yang salah satunya memperkuat peran di Samudera Hindia. Indonesia aktif di IORA (Indian Ocean Rim Association) dan pernah menjadi Ketua IORA (2015-2017). Lewat IORA, Indonesia mendorong isu keamanan maritim di Hindia seperti pemberantasan IUU fishing dan keselamatan navigasi. Misalnya, IORA menetapkan Concord 2017 dengan fokus keamanan maritim. Selain IORA, Indonesia terlibat latihan multilateral KOMODO yang melibatkan negara-negara Hindia-Pasifik dalam misi non-perang. Ini membantu membina interoperabilitas di Samudera Hindia.

Satu perkembangan penting adalah kerja sama trilateral Indonesia-India-Australia yang mulai dijajaki. Ketiga negara ini sama-sama ingin Samudera Hindia stabil dan bebas dari dominasi tunggal Tiongkok. Dalam beberapa pertemuan (misal di sela KTT G20 2023), dibahas kemungkinan patroli bersama anti penangkapan ikan ilegal di Samudera Hindia. Bahkan, ada yang mengusulkan Indonesia bergabung ke latihan Malabar (India-AS-Jepang-Australia), namun Indonesia masih hati-hati karena tak mau dianggap memihak blok tertentu.

Dari perspektif pertahanan nasional, Indonesia telah menyiagakan Koarmada III di Sorong untuk patroli Samudera Pasifik dan sebagian Hindia timur, sementara Koarmada II di Surabaya membawahi perairan selatan Jawa hingga ALKI III. Koopsau II (AU) juga mengawasi udara selatan. Pangkalan AL di Sabang (Aceh) ditingkatkan statusnya menjadi Lantamal (penting mengawal pintu masuk barat). Kapal-kapal Indonesia rutin operasi Garda Samudera di barat Sumatra. Meski intensitas ancaman di Hindia belum setinggi di Natuna, Indonesia bersiap agar tidak under-estimate.

Menariknya, sebagian ancaman di Hindia justru muncul sebagai spillover dari kawasan lain: misal, jika konflik LCS pecah, kapal dagang bisa mengalihkan rute lewat Lombok/Sunda, menambah kepadatan dan risiko di sana. Atau jika terorisme di Timur Tengah terdesak, ada kekhawatiran mereka menyusup melalui jalur laut ke Asia Tenggara lewat Samudera Hindia. Maka, pandangan keamanan Indonesia kini lebih holistik: ancaman di Pasifik bisa berdampak ke Hindia dan sebaliknya.

Sebagai kesimpulan sub-bab ini, Samudera Hindia bagi Indonesia ibarat frontier baru – relatif aman dari konflik langsung, namun menjadi ajang kompetisi terselubung (ancaman potensial). Indonesia perlu antisipatif: meningkatkan kehadiran penjaga laut di ALKI selatan, memperkuat diplomasi pertahanan dengan India, Australia, dan negara pantai Hindia lainnya, serta membangun kapasitas respons menghadapi skenario terburuk (dari tumpahan minyak tanker VLCC hingga penyusupan kapal selam asing). Prinsip “keamanan kolektif regional” sangat relevan di sini; Indonesia menggalang inisiatif seperti Indo-Pacific Oceans Initiative (IPOI) di forum East Asia Summit untuk fokus kerjasama keamanan maritim di Indo-Pasifik, termasuk Samudera Hindia. Dengan demikian, perairan luas di barat dan selatan Indonesia tetap menjadi jalur damai yang aman bagi semua, sekaligus melindungi kepentingan maritim nasional dari Sabang sampai Pulau Rote.

Gambar 2. Peta Selat Malaka (Straße von Malakka) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Selat ini berbatasan dengan Indonesia (Sumatra), Malaysia, dan Singapura, serta merupakan choke point strategis dengan lalu lintas pelayaran tersibuk di dunia. Keamanan selat dijaga bersama oleh negara pantai dengan patroli terkoordinasi.

Kesimpulan

Keamanan maritim Indonesia berada di persimpangan berbagai ancaman nyata dan potensial yang berasal dari interaksi dengan negara-negara tetangga di kawasan strategis. Analisis di atas menunjukkan bahwa tingkat ancaman bervariasi untuk tiap aktor:

  • Malaysia: Ancaman cenderung berupa perselisihan perbatasan yang dikelola secara damai. Sengketa Ambalat menjadi contoh bahwa solusi inovatif (joint development) dapat meredam potensi konflik[5][6]. Kerjasama bilateral dalam patroli perbatasan dan keamanan selat cukup efektif menekan ancaman non-tradisional. Tantangan ke depan adalah menyelesaikan batas maritim tersisa[9] dan menjaga sentimen publik agar insiden kecil tak membesar.
  • Singapura: Bukan ancaman militer, namun vital partner dalam mengamankan choke point Malaka-Singapura. Ancaman yang ada lebih kepada kriminalitas maritim (pencurian bersenjata) yang memerlukan peningkatan koordinasi dan teknologi pengawasan[8]. Dengan hubungan yang sangat dekat dan saling percaya, tantangan keamanan dengan Singapura dapat diatasi melalui mekanisme bilateral dan ASEAN.
  • Australia: Sebuah mitra strategis sekaligus sumber dilema keamanan. Modernisasi militer Australia (AUKUS) menimbulkan kekhawatiran Indonesia terhadap stabilitas kawasan[10][11], namun transparansi dan dialog 2+2 berhasil menjaga situasi terkendali. Kerjasama konkret di lapangan (patroli bersama, latihan) justru mendominasi hubungan, menunjukkan manfaat strategis yang besar. Penting bagi Indonesia untuk terus membangun trust dan menetapkan guardrails (rambu batas) agar ambisi pertahanan Australia tidak mengancam Indonesia.
  • Filipina: Sahabat dekat yang ancaman utamanya berasal dari aktor non-negara. Keberhasilan menurunkan insiden kejahatan di Laut Sulu lewat patroli trilateral[12] memperlihatkan efektifitas solidaritas ASEAN. Tanpa sengketa teritorial, Indonesia-Filipina dapat fokus pada pemberantasan terorisme dan kejahatan lintas batas. Ke depan, keduanya bisa saling mendukung menghadapi tekanan Tiongkok di laut, selaras dengan komitmen pada hukum internasional.
  • Tiongkok: Inilah ujian terberat keamanan maritim Indonesia saat ini. Tiongkok menguji batas toleransi Indonesia di Natuna melalui intrusi grey zone. Indonesia telah menegaskan posisi hukum dan meningkatkan kehadiran militer[18][51], namun Tiongkok masih terus menantang. Ancaman Tiongkok bersifat multi-dimensi: pelanggaran ZEE, tekanan diplomatik, hingga operasi intelijen maritim tersembunyi[17]. Ini menuntut respon komprehensif: diplomasi tegas, penguatan coast guard, aliansi strategis fleksibel dengan negara-negara yang sepemahaman, serta kesiapan pertahanan berlapis di perbatasan utara. Kesepakatan ekonomi jangan sampai mengorbankan prinsip kedaulatan[63][64].

Dalam konteks kawasan, Laut Cina Selatan tetap menjadi hotspot yang perlu terus dipantau – baik melalui ASEAN (COC) maupun peningkatan penegakan hukum di Laut Natuna Utara. Selat Malaka dan Singapura, meski lebih aman, tak boleh luput dari perhatian karena signifikan secara ekonomi dan bisa menjadi target empuk bagi aktor ilegal. Samudera Hindia membuka babak baru bagi strategi maritim Indonesia; upaya memperkuat kehadiran di wilayah barat dan selatan harus dipercepat agar Indonesia benar-benar menjadi Poros Maritim Dunia yang disegani, bukan hanya slogan.

Untuk menghadapi semua itu, Indonesia perlu mengimplementasikan secara konsisten kebijakan maritim terpadu. Dokumen seperti Visi Global Maritime Fulcrum (GMF) sudah memberikan arah, namun pelaksanaannya perlu ditegaskan kembali dan disesuaikan tantangan terkini[79][81]. Peningkatan koordinasi antar lembaga (TNI AL, Bakamla, KKP, Bea Cukai, Polair) mutlak agar respons terhadap insiden cepat dan efektif. Reformasi kelembagaan Bakamla sebagai coast guard sipil yang kuat juga penting[82][83], mengingat sebagian besar ancaman maritim bersifat non-militer di grey zone. Selain itu, anggaran dan kemampuan (kapal patroli, pesawat intai) harus ditambah – sayangnya anggaran Bakamla/TNI AL masih jauh dari memadai[84].

Dari sisi kerjasama internasional, diplomasi maritim Indonesia hendaknya tetap aktif dan berprinsip. Memanfaatkan forum ASEAN untuk solidaritas regional (misal solidaritas hadapi coast guard asing yang agresif[43]), diikuti diplomasi di PBB untuk menegakkan UNCLOS (seperti yang sudah dilakukan terkait nine-dash line). Kerjasama dengan mitra seperti AS, Jepang, India, Australia dapat dilakukan secara selektif di bidang capacity-building, tanpa terjebak aliansi formal yang bertentangan dengan bebas aktif. Pendekatan “friends to all” ini sudah berjalan misalnya dalam latihan multilateral Komodo yang melibatkan China dan AS sekaligus.

Sebagai penutup, situasi keamanan maritim Indonesia menuntut keseimbangan strategi: di satu sisi, peningkatan kekuatan dan kewaspadaan di laut untuk menangkal ancaman nyata; di sisi lain, diplomasi yang cerdas untuk mencegah potensi ancaman mewujud menjadi konflik. Indonesia memiliki modal besar: posisi geo-strategis, kepemimpinan ASEAN, tradisi diplomasi aktif, dan dukungan internasional terhadap integritas teritorialnya. Dengan mengoptimalkan modal ini, Indonesia dapat menjaga lautnya aman dan produktif, menghadapi ancaman baik yang tampak nyata maupun yang tidak kasatmata, dari siapapun aktornya. Keamanan maritim bukan hanya isu kedaulatan, tetapi juga jaminan bagi kesejahteraan dan kehormatan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat penuh di antara dua samudera.

Daftar Pustaka (Sumber Terhubung):

  • Chairil, T. (2023). Assessing Indonesia’s Maritime Governance Capacity: Priorities and Challenges. Asia Maritime Transparency Initiative – CSIS[85][22].
  • Basundoro, A.F. (2025). Indonesia-China Agreement and Jakarta’s Inconsistency on the South China Sea Issue. RSIS Commentary[63][65].
  • Sambhi, N. (2021). Australia’s nuclear submarines and AUKUS: The view from Jakarta. Brookings / ASPI[10][11].
  • AMTI – CSIS (2024). Seismic Strife: China and Indonesia clash over Natuna Survey[14][15].
  • Maritime Executive / Lowy (2024). Understanding Indonesia’s Gambit With China in the Natuna Islands[13][48].
  • SCMP (2025). With Ambalat pact, Indonesia and Malaysia seek to bridge territorial differences[5][6].
  • Indonesia–Malaysia border[7]; Nine-dash line[46].
  • Tumilaar, J.M. et al. (2025). Kerjasama Indonesia, Malaysia dan Filipina dalam Menjaga Stabilitas Keamanan Maritim di Laut Sulu 2016–2018. Global Insights Journal[12].
  • Maritime Executive (2021). Indonesia Intercepts Chinese Research Vessel Running “Dark”[16][17].
  • Wilson Center (2023). Southeast Asia Maritime Security and Indo-Pacific Strategic Competition[24][38].
  • ReCAAP ISC (2023/2025). Laporan Insiden Perompakan di Selat Singapura[8].

[1] [2] [3] [4] jurnal.idu.ac.id

https://jurnal.idu.ac.id/index.php/JPBH/article/download/315/190

[5] [6] [20] With Ambalat pact, Indonesia and Malaysia seek to bridge territorial differences | South China Morning Post

https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3316660/ambalat-pact-indonesia-and-malaysia-seek-bridge-territorial-differences

[7] [21] [27] [28] [29] [30] Indonesia–Malaysia border – Wikipedia

https://en.wikipedia.org/wiki/Indonesia%E2%80%93Malaysia_border

[8] [16] [17] [66] [67] Indonesia Intercepts Chinese Research Vessel Running “Dark”

https://maritime-executive.com/article/indonesia-intercepts-chinese-research-vessel-running-dark

[9] ejournal.undip.ac.id

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/ip/article/download/22350/14789

[10] [11] [32] [33] [34] [35] [36] [76] [77] Australia’s nuclear submarines and AUKUS: The view from Jakarta | Brookings

https://www.brookings.edu/articles/australias-nuclear-submarines-and-aukus-the-view-from-jakarta/

[12] [42]  KERJASAMA INDONESIA, MALAYSIA DAN FILIPINA DALAM MENJAGA STABILITAS KEAMANAN MARITIM DI LAUT SULU TAHUN 2016 – 2018 | Global Insights Journal : Jurnal Mahasiswa Hubungan Internasional

https://ejournal.fisip.unjani.ac.id/index.php/GIJ/article/view/2727

[13] [45] [47] [48] [49] [50] [51] [53] Understanding Indonesia’s Gambit With China in the South China Sea

https://maritime-executive.com/editorials/understanding-indonesia-s-gambit-with-china-in-the-natuna-islands

[14] [15] [43] [54] [55] [56] Seismic Strife: China and Indonesia clash over Natuna Survey | Asia Maritime Transparency Initiative

https://amti.csis.org/seismic-strife-china-and-indonesia-clash-over-natuna-survey/

[18] [19] [22] [44] [52] [79] [80] [81] [82] [83] [85] Assessing Indonesia’s Maritime Governance Capacity: Priorities and Challenges | Asia Maritime Transparency Initiative

https://amti.csis.org/assessing-indonesias-maritime-governance-capacity-priorities-and-challenges/

[23] [24] [26] [38] [39] [78] Southeast Asia Maritime Security and Indo-Pacific Strategic Competition | Wilson Center

https://plasticpipeline.wilsoncenter.org/article/southeast-asia-maritime-security-and-indo-pacific-strategic-competition

[25] Piracy and armed robbery in the Singapore Strait – Wikipedia

https://en.wikipedia.org/wiki/Piracy_and_armed_robbery_in_the_Singapore_Strait

[31] AUKUS and Maritime Security in the Indo-Pacific

https://en.kims.or.kr/issubrief/kims-periscope/peri277/

[37] Could Indonesia legally stop transit by nuclear-powered AUKUS …

https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/could-indonesia-legally-stop-transit-nuclear-powered-aukus-subs

[40] Treaty Setting PH, Indonesia EEZ Boundary Enters into Force – DFA

https://dfa.gov.ph/dfa-news/dfa-releasesupdate/23966-treaty-setting-ph-indonesiaeez-boundaryenters-into-force

[41] Indonesia, Philippines Officially Adopt 2014 Maritime Boundary …

https://www.benarnews.org/english/news/indonesian/maritime-boundary-08022019133242.html

[46] Nine-dash line – Wikipedia

https://en.wikipedia.org/wiki/Nine-dash_line

[57] [71] [PDF] Sengketa Laut Cina Selatan: Analisis Realis Terhadap Perebutan …

https://jurnalsyntaxadmiration.com/index.php/jurnal/article/download/1041/1457/9186

[58] [PDF] KEBIJAKAN SEKURITISASI DAN PERSEPSI ANCAMAN DI LAUT …

https://jurnal.dpr.go.id/index.php/politica/article/download/1237/717

[59] [60] [61] [62] [63] [64] [65] Indonesia-China Agreement and Jakarta’s Inconsistency on the South China Sea Issue – RSIS

https://rsis.edu.sg/rsis-publication/rsis/indonesia-china-agreement-and-jakartas-inconsistency-on-the-south-china-sea-issue/

[68] Grey Zone Conflict in the South China Sea – jstor

https://www.jstor.org/stable/27352210

[69] [70] [73] Indonesia – Maritime Awareness Project

https://map.nbr.org/2020/09/indonesia/

[72] IP25034 | The Legacy of Hasjim Djalal: Indonesia’s Strategy of …

https://rsis.edu.sg/rsis-publication/idss/ip25034-the-legacy-of-hasjim-djalal-indonesias-strategy-of-lawfare-in-the-south-china-sea/

[74] [PDF] PRC Research Vessel Operating “Dark” in Indonesian Waters Kapal …

https://www.cna.org/CNA_files/PDF/PRC-Research-Vessel-Operating-Dark-in-Indonesian-Waters.pdf

[75] Indonesia and China Face Off Over Increasing Maritime Intrusions

https://www.recordedfuture.com/blog/indonesia-china-maritime-intrusions

[84] Budget cuts threaten to sink the Indonesian Maritime Security …

https://eastasiaforum.org/2025/03/27/budget-cuts-threaten-to-sink-the-indonesian-maritime-security-agencys-operations/

Also Read

Bagikan:

Avatar photo

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) has followed his curiosity throughout life, which has carried him into the fields of Sociology of Anthropology of Religion in Southeast Asia, Islamic Studies, Sufism, Cosmology, and Security, Geostrategy, Terrorism, and Geopolitics. Prof. KBA is the author of over 30 books and 50 academic and professional journal articles and book chapters. His academic training is in social anthropology at La Trobe University, Islamic Political Science at the University of Malaya, and Islamic Legal Studies at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. He received many fellowships: Asian Public Intellectual (The Nippon Foundation), IVLP (American Government), Young Muslim Intellectual (Japan Foundation), and Islamic Studies from Within (Rockefeller Foundation). Currently, he is Dean of Faculty and Shariah, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia.

Leave a Comment