Strategi Amerika Serikat Menghadapi Gangguan Cina di Laut Cina Selatan: Perspektif Indo-Pacific Security

Trakteer Saya

Pendahuluan

Laut Cina Selatan (LCS) telah lama menjadi ruang kontestasi strategis yang kompleks, di mana geografi, sumber daya alam, dan jalur perdagangan internasional berinteraksi dengan ambisi kekuatan besar. Di mata Beijing, wilayah ini adalah bagian dari โ€œcore interestsโ€ yang tidak dapat ditawar, seperti Taiwan dan Tibet. Sebaliknya, bagi Washington, Laut Cina Selatan adalah arena kunci dalam kerangka Free and Open Indo-Pacific (FOIP), sebuah strategi yang memadukan kepentingan kebebasan navigasi, supremasi hukum laut internasional, dan pencegahan dominasi regional oleh satu kekuatan (Belfer Center, 2023; CRS, 2023).

Sejak 2013, langkah-langkah China di LCSโ€”mulai dari reklamasi pulau, pembangunan fasilitas militer, hingga penggelaran sistem radar dan rudalโ€”telah mengubah lanskap fisik dan strategis kawasan. Analisis SCSPI (2023) menunjukkan bahwa kehadiran militer Tiongkok di Mischief Reef, Subi Reef, dan Fiery Cross Reef kini memiliki kemampuan anti-access/area denial (A2/AD) yang signifikan, dengan radius operasi yang dapat menjangkau hampir seluruh perairan LCS. Selain itu, laporan Chatham House (2024) mengungkap pembangunan radar counter-stealth di Triton Island, menandakan ambisi Beijing memperkuat jaringan intelijen dan pengawasan maritim.

Dari sudut pandang Amerika Serikat, pergeseran status quo ini bukan sekadar isu maritim atau hukum internasional, melainkan ujian terhadap kredibilitas dan efektivitas arsitektur keamanan Indo-Pasifik. FOIP Strategy AS menempatkan LCS sebagai salah satu titik tumpu dalam skema forward presence dan deterrence by denial. Melalui inisiatif seperti Pacific Deterrence Initiative (PDI), Washington mengalokasikan sumber daya besar untuk memperkuat postur militer di Guam, Jepang, dan Filipina, serta memperluas maritime domain awareness (MDA) bagi mitra-mitra ASEAN (RAND, 2023).

Namun, interaksi antara langkah Beijing dan respons Washington membentuk dinamika security dilemma yang semakin dalam. Setiap langkah militerisasi oleh China memicu intensifikasi operasi freedom of navigation (FONOPs) AS, yang pada gilirannya dijadikan pembenaran oleh Beijing untuk memperkuat posisinya. Situasi ini menciptakan action-reaction cycle yang secara bertahap menurunkan ruang diplomasi, sekaligus meningkatkan risiko insiden di lautโ€”baik disengaja maupun tidakโ€”yang dapat memicu eskalasi.

Bagi Asia Tenggara, terutama negara-negara yang menjadi pihak sengketa seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia, dinamika ini menempatkan mereka pada dilema strategis. Mereka harus menyeimbangkan kebutuhan akan keamanan maritim dan kedaulatan teritorial dengan ketergantungan ekonomi pada China. Studi ISEAS (Lin & Sothirak, 2025) menunjukkan bahwa meski ASEAN berupaya memajukan Code of Conduct (CoC) dengan Beijing, fragmentasi posisi internal menghambat tercapainya kesepakatan yang efektif.

Sementara itu, Asia Timurโ€”termasuk Jepang, Korea Selatan, dan Taiwanโ€”memandang LCS sebagai bagian integral dari keamanan jalur perdagangan dan rantai pasok global. Sebuah krisis terbuka di LCS akan berdampak langsung pada stabilitas ekonomi regional dan global. Laporan IISS (2025) menekankan bahwa dalam simulasi blokade Taiwan oleh China, jalur alternatif logistik yang melalui Laut Cina Selatan akan menjadi โ€œlifelineโ€ yang harus dipertahankan oleh koalisi AS dan mitra regional.

Dengan demikian, pertanyaan strategis yang harus dijawab bukan hanya โ€œapa yang akan dilakukan AS jika China terus mengganggu LCSโ€, tetapi juga โ€œbagaimana AS dapat merespons secara efektif tanpa memicu eskalasi tak terkendaliโ€ dan โ€œbagaimana kawasan dapat mempertahankan otonomi strategis di tengah persaingan dua raksasa iniโ€. Jawaban atas pertanyaan ini akan membentuk bukan hanya keamanan maritim, tetapi juga tatanan strategis Indo-Pasifik dalam dekade-dekade mendatang.

Trakteer Saya

Langkah Strategis Tiongkok di Laut Cina Selatan

Strategi Tiongkok di Laut Cina Selatan (LCS) bersifat bertahap, konsisten, dan multidomain: militerisasi bertopang A2/AD, lawfare untuk mendefinisikan โ€œnormal baruโ€, diplomasi format ganda (bilateral menekan, multilateral mengulur), serta instrumen ekonomi dan kehadiran maritim semiโ€‘negara (coast guard dan militia). Intinya adalah mengubah fakta di lapangan (facts on the sea) menjadi status quo yang sukar dibalik tanpa biaya eskalasi yang tinggi bagi pihak lain.

Pertama, pada lini militer, Beijing mengonversi fitur maritim hasil reklamasiโ€”Fiery Cross, Subi, dan Mischiefโ€”menjadi kompleks udaraโ€‘laut dengan landasan, radar, rudal SAM/AShM, dan fasilitas ISR yang memperluas jangkauan deteksi serta penyangkalan wilayah (A2/AD). Pembaruan terakhir yang terpantau di Pulau Triton (Paracel)โ€”instalasi radar jarak jauh, termasuk kemampuan kontraโ€‘stealthโ€”menandai penutupan surveillance gaps dan peningkatan maritime domain awareness Beijing atas alur utama LCS. Ini mempertegas transformasi infrastruktur menjadi jejaring sensorโ€‘shooter yang menekan ruang operasi lawan, termasuk aset AEW&C dan kapal permukaan yang beroperasi di jalur sempit dekat chokepoints.

Kedua, lawfare: Beijing menggabungkan perangkat hukum domestik (UU Penjaga Pantai/CCG), peraturan penegakan โ€œzona yurisdiksiโ€, dan narasi โ€œhak historisโ€ untuk menormalisasi patroli agresif CCG di sekitar Scarborough, Second Thomas/BRP Sierra Madre, hingga Natuna Utara. Pola ini didesain mendorong negara penggugat lain ke spiral kepatuhan administratif (misalnya permintaan prior notification), meskipun bertentangan dengan tafsir arus utama UNCLOS dan putusan arbitrase 2016. Ketika berhadapan dengan operasi FONOPs AS atau patroli mitra (Filipina, Australia, Jepang), CCG dan kapal maritime militia meningkatkan taktik shouldering, waterโ€‘cannoning, dan blockingโ€”menciptakan risiko tabrakan yang dapat dieksploitasi sebagai krisis terbatas. Laporan CRS merekam kuantum insiden dan dorongan normatif AS terhadap kebebasan navigasi yang secara implisit menguji narasi hukum Beijing.

See also  Modernisasi di Dunia Melayu/Asia Tenggara: Identitas, Agama, dan Arah Masa Depan

Ketiga, diplomasi format ganda. Di ASEAN, Beijing mendorong Code of Conduct (CoC) yang โ€œaspirasionalโ€ namun minim mekanisme enforcement, sementara pada level bilateral memanfaatkan asimetri kekuatan untuk mengikat perilaku pihak lawan (misalnya pengaturan fishing moratorium atau tacit deโ€‘confliction)โ€”hasilnya adalah timeโ€‘buying, bukan penyelesaian. Analisis ISEAS menunjukkan kebuntuan CoC akibat divergensi strategis, ambiguitas hukum, dan perpecahan intraโ€‘ASEANโ€”kondisi yang diuntungkan Beijing karena menunda penyetaraan rules of the road yang mengikat.

Trakteer Saya

Keempat, instrumen ekonomi & kehadiran semiโ€‘negara. Pipa state capitalismโ€”investasi pelabuhan/energiโ€”berjalan paralel dengan kehadiran kapal survei, fishing fleets, dan CCG, sehingga konflik yurisdiksi sumber daya (hidrokarbon, perikanan) selalu bisa diaktifkan sebagai pengungkit politik. Data activity mapping SCSPI juga menunjukkan Tiongkok membaca pola operasi lawan dan menyeimbangkannya dengan kehadiran kapal intelijen serta UAV/USVโ€”meningkatkan frekuensi interaksi closeโ€‘in reconnaissance dan peluang friksi tak terduga.

Kesimpulannya: dengan ISR lapisโ€‘berlapis (termasuk radar Triton), CCG/militia sebagai ujung tombak, dan narasi hukum domestik yang ditautkan ke โ€œcore interestsโ€, Beijing telah memindahkan garis batas de facto. Membalik tren ini tanpa arsitektur deterrence by denial yang kredibel akan mengundang eskalasi berbiaya tinggi bagi pihak mana pun yang mencoba menantang.

Respons Amerika Serikat dalam Bingkai Indoโ€‘Pacific Security

Kerangka berpikir Washington di LCS bertumpu pada Free and Open Indoโ€‘Pacific (FOIP)โ€”memastikan kebebasan navigasi/overflight, supremasi hukum internasional, serta pencegahan konsolidasi hegemoni tunggal. Dokumen U.S. Indoโ€‘Pacific Strategy (Feb 2022) menegaskan networked security, forward presence, dan integrated deterrence bersama sekutu/mitra; LCS diposisikan sebagai medan uji kredibilitas komitmen tersebut.

Operasionalisasinya mengambil beberapa bentuk:

(1) FONOPs, kehadiran berkelanjutan, dan ISR gabungan. Armada Pasifik memelihara ritme operasi yang menguji klaim โ€œstraight baselinesโ€ dan โ€œregulatory overreachโ€ Beijing. Di saat yang sama, ISR gabungan (ASโ€‘Jepangโ€‘Australiaโ€‘Filipina) memperluas maritime domain awareness (MDA) negaraโ€‘negara pesisir, mengurangi fog of war pada insiden berisiko tabrakan yang meningkat akhirโ€‘akhir iniโ€”misalnya siklus benturan di sekitar Scarborough dan Second Thomas yang memicu pelayaran surface action group AS di area 30 NM dari shoal sebagai sinyal stabilisasi.

(2) Deterrence by denial melalui Pacific Deterrence Initiative (PDI). PDI mengarahkan investasi pada postur (Guam โ€‘ Kadena โ€‘ Yokosuka โ€‘ Darwin), arsitektur sensor/penembak berpencar, hardening, dan latihan gabungan guna menurunkan ekspektasi sukses lawan bila memaksakan perubahan status quo secara paksa. RAND menekankan bahwa pure denial harus dilengkapi instrumen costโ€‘imposition untuk skenario berlarut di bawah ambang nuklir; dokumen anggaran PDI 2026 mengafirmasi fokus pada kekuatan combatโ€‘credible di front barat Pasifik untuk mencegah penetrasi A2/AD lawan.

(3) Alliance networking dan minilateralism. AS memanfaatkan tiga cincin: aliansi formal (Jepang, Australia, Filipina, Korea Selatan), minilateral (AUKUS, USโ€‘Japanโ€‘ROK, USโ€‘Japanโ€‘Philippines), dan kemitraan fungsional (India, Singapura, Indonesia, Vietnam). Jepang, melalui NSS 2022, secara eksplisit mengaitkan LCS dengan kebebasan navigasi dan sea lane security, mengisyaratkan kontribusi lebih besar SDF pada MDA dan latihan maritimโ€”sebuah lengan kapasitas yang menambah bobot FOIP di selatan

(4) Lawfare tandingan dan diplomasi normatif. CRS menempatkan LCS sebagai medan kontestasi narasi hukum: AS mendorong UNCLOSโ€‘consistent behaviors (meski Senat belum meratifikasi), mendukung award 2016, dan menegaskan bahwa klaim โ€œhak historisโ€ tidak memiliki dasar hukum internasional arus utama. Ini memperkuat coalition messaging ketika insiden dengan Filipina meningkatโ€”mendorong namingโ€‘andโ€‘shaming pada taktik CCG (water cannon, lasing, ramming) sembari menahan eskalasi kinetik.

(5) Crisis gaming dan kontinuitas rencana kontingensi. Permainan perang tingkat kawasanโ€”termasuk yang disorot media internasionalโ€”menunjukkan bahwa konflik di sekitar Taiwan akan beresonansi ke LCS (logistik, seaโ€‘control, evakuasi WN, rute alternatif). Wawasan ini mempertebal argumen bahwa Indoโ€‘Pacific deterrence tak bisa dipisah antara Selat Taiwan dan LCSโ€”keduanya satu teater berkelanjutan dalam kalkulus Beijing dan Washington.

Apa artinya bagi jalur ke depan?
Arsitektur integrated deterrence AS dirancang untuk menurunkan confidence level Beijing bahwa coercion without war akan berhasil (melalui ISR + kehadiran + networking + lawfare), sembari menjaga agar kompetisi tidak melompat ke eskalasi terbuka. Namun model ini hanya efektif bila: (a) ritme FONOPs dan kehadiran dapat dipertahankan; (b) mitra regional melihat biaya reputasi bagi pelanggar norma; dan (c) MDA negara pesisir cukup kuat sehingga insiden tak dapat dinegasikan secara naratif. Itulah mengapa Washington menekankan capacity building dan common operating picture di pesisir ASEAN sebagai force multiplier deteren, bukan sekadar showing the flag.

Trakteer Saya

Analisis Interaksi Cinaโ€“AS: Security Dilemma, Eskalasi, dan Skenario

Hubungan tindakanโ€‘balasan di Laut Cina Selatan (LCS) kini terkunci dalam security dilemma: setiap langkah penguatan satu pihak terbaca sebagai ancaman oleh pihak lain sehingga memicu konsolidasi balasan. Bagi Beijing, reklamasi, sensorโ€‘shooter network, dan CCG/militia adalah โ€œdefensifโ€ untuk mengamankan core interests dan mengawasi lintasan operasi pihak ketiga. Namun begitu radar jarak jauh berkemampuan counterโ€‘stealth di Triton Island beroperasi, persepsi Washington adalah penyempitan surveillance gaps yang menurunkan ruang manuver dan menaikkan operational risk bagi aset udaraโ€‘laut sekutu di seluruh busur Paracelโ€“Spratly. Ini mendorong FONOPs dan kehadiran ISR teratur untuk menegaskan hak lintas yang diakui UNCLOS serta mencegah normalisasi โ€œhak historisโ€ versi Beijing. Siklus respons inilah yang mempercepat actionโ€“reaction di lapangan, menekan ruang deโ€‘eskalasi diplomatik.

Di level operasional, komposisi kekuatan menunjukkan asimetrisasi instrumen. Beijing mengandalkan layered ISR, rudal daratโ€‘laut, CCG, dan maritime militia untuk grayโ€‘zone coercion di bawah ambang perang terbuka. Washington menahan eskalasi dengan kehadiran kredibel (FONOPs, combined patrols, ISR) yang disangga investasi Pacific Deterrence Initiative (PDI) pada postur, hardening, dan jaringan sekutu/mitra. Hasilnya adalah kontestasi berlarut: cukup intens untuk mengubah facts on the sea, namun terkelola agar tidak melompat ke konflik konvensional. Bagi keduanya, menjaga kompetisi โ€œdi bawah perangโ€ sekaligus mempertahankan kredibilitas menjadi garis haluan yang krusial.

See also  Eksploitasi Pekerja Migran Indonesia di Perkebunan Malaysia

Tiga skenario menonjol ke depan. Pertama, status quo koersi berlarut: CCG/militia melanjutkan shouldering, lasing, waterโ€‘cannoning di titik panas (Scarborough, Second Thomas), sementara AS mempertahankan ritme FONOPs dan multiโ€‘ship sails dengan sekutu untuk menutup celah reputasi dan hukum. Risiko utama: insiden tak terkendali akibat closeโ€‘in maneuvers yang memicu krisis 72 jam sebelum hotline efektif bekerja. Kedua, krisis terbatas: senggolan fatal terhadap kapal pemerintah Filipinaโ€”dengan Perjanjian Pertahanan Bersama 1951โ€”menarik respons AS berupa presence surge, escort, dan operasi MDA gabungan; Beijing menjawab dengan gelar CCG/PLAN untuk cordon sanitaire di area sengketa. Ketiga, theater linkage: krisis Taiwan memantik contested logistics dan seaโ€‘control melebar ke LCS (jalur selatan sebagai lifeline), menguji simultanitas FOIP di dua front. Matriks ini sudah lama menjadi perhatian perencana permainan perang Barat dan Asia.

Inti persoalan: norma versus keterputusan persepsi ancaman. Beijing membaca FONOPs sebagai provokasi politik; Washington membacanya sebagai pemulihan hak lintas universal. Tanpa rules of the road yang tuntas dan deโ€‘confliction yang operasional, setiap manuver penegakan klaim berpotensi menjadi katalis flashpoint.

Dampak bagi Asia Tenggara: ASEAN, Maritim, dan Otonomi Strategis

Bagi Asia Tenggara, LCS adalah barometer otonomi strategis. Negara penggugat (Filipina, Vietnam, Malaysia) menghadapi tekanan simultan: keamanan maritim dan ketergantungan ekonomi pada Tiongkok. Di Manila, intensitas insiden 2023โ€“2025โ€”dangerous maneuvers, water cannon, rammingโ€”mendorong policy shift: perjanjian akses basis tambahan bagi AS, patroli gabungan, dan public diplomacy yang menayangkan bukti insiden ke media global untuk membangun koalisi opini. Di Hanoi dan Kuala Lumpur, kalkulus lebih tenang namun konsisten meningkatkan MDA, law enforcement at sea, dan kerja sama diamโ€‘diam dengan mitra eksternal guna mempersempit ruang intimidasi di blocks migas dan perikanan.

Di tingkat regional, ASEAN terbelah antara dorongan CoC yang โ€œaspirasionalโ€ dan kebutuhan enforceability. Analisis ISEAS menilai negosiasi CoC berlarut karena ambiguitas hukum (cakupan wilayah, status hak historis, rezim penegakan), divergennya kepentingan anggota, serta preferensi sebagian pihak terhadap bilateralism yang memberikan Beijing keunggulan asimetri. Implikasi langsung: tanpa compliance mechanism, CoC berisiko menjadi payung politis tanpa gigi, sementara grayโ€‘zone coercion berlanjut. Satuโ€‘satunya penyeimbang realistis dalam jangka pendek ialah MDA regional dan transparansi insidenโ€”mencegah narrative capture serta memberi rendezvous fakta bagi thirdโ€‘party diplomacy

Secara ekonomi, eskalasi berlarut menaikkan biaya asuransi, premi risiko pengiriman, dan volatilitas perikananโ€‘energi. Bahkan tanpa perang, sengketa yang memanjang mengganggu jadwal offtake LNG, investasi eksplorasi, dan memaksa reโ€‘routing kapal pasokanโ€”semuanya menekan negara pesisir yang bergantung pada sea lanes LCS. Karena itu, game plan yang paling kredibel bagi ASEAN adalah strategi dua jalur: memajukan CoC dengan minimum enforceable clauses (incident reporting, hotline, pemberitahuan aktivitas berisiko) sambil menguatkan kapasitas maritim nasional (radar pesisir, AIS, satelit SAR, fusion centers) lewat kemitraan terbuka dengan AS, Jepang, Australia, India, dan Uni Eropa.

Dalam lanskap ini, kebijakan Washington efektif bila membesarkan kapasitas setempat alihโ€‘alih menggantikan peran negara pesisir. FOIP yang kredibel adalah FOIP yang membuat Manila, Hanoi, Kuala Lumpur, dan Jakarta mampu menegakkan hukum sendiri di perairannya, dengan dukungan situational awareness yang realโ€‘time dan protokol deโ€‘confliction yang dinormalisasi. Itu esensi deterrence by denial pada level kawasan.

Dampak bagi Asia Timur: Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Rantai Pasok

Jepang melihat LCS sebagai seaโ€‘lane security yang melekat pada keselamatan energi dan perdagangan. Dokumen keamanan terbaru Tokyo mensinyalir kontribusi yang lebih besar pada MDA, capacity building penjaga pantai kawasan, serta integrasi latihan lautโ€‘udara dengan AS dan Australia. Northโ€“South theater linkage (Laut Cina Timurโ€“LCS) membuat Tokyo memandang radar Triton dan jejaring ISR Spratly sebagai tantangan operasional bagi maritime presence Jepang di barat daya Okinawa dan throughโ€‘transit ke Asia Tenggara. Maka, USโ€‘Japan alliance diproyeksikan semakin aktif di selatan untuk menutup celah domain awareness dan menyeimbangkan ritme CCG/PLAN.

Korea Selatan lebih berhitung, tetapi stabilitas LCS penting bagi alur pasok industri dan jalur energi. Seoul akan mendukung norma kebebasan navigasi dan memperkuat kerja sama teknologi (satkom, ISR, siber) dalam kerangka trilateral USโ€‘Japanโ€‘ROK, sembari menahan diri dari surface presence yang berpotensi memicu friksi langsung. Pengungkit Seoul berada pada teknologi dualโ€‘use dan interoperability informasi.

Taiwan dan LCS tidak bisa dipisahkan. Simulasi krisis memperlihatkan bahwa blokade atau quarantine terhadap Taiwan akan menjadikan jalur selatan melalui LCS sebagai jalur penopang logistik sekutu/mitra. Dalam skenario demikian, seaโ€‘control di segmen LCS baratโ€‘daya menjadi center of gravity; konsekuensinya, jaringan radar seperti Triton plus runwayโ€‘capable reefs memberi Beijing opsi situational dominance di fase awal. Ini menjelaskan mengapa rencana kontinjensi AS menekankan pencitraan bersama (COP) lintas sekutu dan distributed logistics dari Jepang hingga Filipinaโ€”agar throughput tetap hidup bahkan ketika jalur utama di utara tertekan.

Bagi rantai pasok global, ketidakpastian LCS menambah risiko singleโ€‘node dependency. Pengalihan rute, penjadwalan ulang pelayaran, dan mitigasi asuransi akan memicu biaya yang pada akhirnya menekan inflasi impor di Asia Timur. Dengan kata lain, bahkan tanpa peluru ditembakkan, coercion by delay dan maritime harassment sudah cukup menciptakan supplyโ€‘chain taxโ€”suatu bentuk grayโ€‘zone economic warfare berbiaya murah namun berdampak luas. Inilah alasan coalition signaling dan presence harus dipadukan dengan resiliensi logistik: prasarana pelabuhan alternatif, preโ€‘positioned stock, dan perkuatan pelayaran feeder dari/ke jalur selatan.

See also  Gerakan Politik Kontemporer di Asia Tenggara: Islam, Demokrasi, dan Transformasi Geopolitik

Analisis di atas bertumpu pada SCSPI (perspektif dan data aktivitas militer), CRS (kerangka hukumโ€‘strategis dan kronik FONOPs), dokumen FOIP/PDI (kerangka kebijakan serta postur), ISEAS (status CoC dan preferensi ASEAN), serta liputan analitis Chatham House/Business Insider/Breaking Defense tentang radar Triton sebagai capability marker terbaru. Ini memberikan kombinasi data proโ€‘Beijing, proโ€‘norma, dan thirdโ€‘party assessments untuk menjaga keseimbangan sudut pandang.

Skenario ke Depan: Opsi Kebijakan, Indikator Peringatan Dini, dan Off-Ramps

1. Eskalasi Terbatas dan Coercion Without War

Skenario paling mungkin dalam 3โ€“5 tahun ke depan adalah koersi berlarut yang mempertahankan intensitas di bawah ambang perang terbuka. Beijing akan memaksimalkan CCG, maritime militia, UAV/USV, dan gray-zone tactics untuk menekan negara penggugat tanpa memicu Pasal 5 atau perjanjian pertahanan. Indikator peringatan dini mencakup:

  • Lonjakan patroli CCG di luar pola normal (pattern-of-life).

  • Penggelaran sistem ISR baru di fitur Paracel/Spratly.

  • Peningkatan insiden lasing, water cannon, atau pemblokiran jarak dekat terhadap kapal pemerintah ASEAN.
    Jika pola ini berakumulasi tanpa respons terukur, Beijing akan menciptakan โ€œnormal baruโ€ yang menguntungkan klaimnya.

2. Krisis Memicu Respons Aliansi

Insiden fatal yang melibatkan kapal atau personel negara sekutu AS (terutama Filipina) dapat memicu respons cepat dalam bentuk presence surge, operasi pengawalan, atau penegakan zona aman (safe transit corridors). Tripwire utamanya:

  • Kerusakan serius atau korban jiwa akibat aksi CCG/militia.

  • Penolakan evakuasi medis oleh kapal pengganggu.
    Dalam skenario ini, AS akan mengaktifkan contingency planning PDI, sementara Beijing menguji ambang batas eskalasi melalui operasi โ€œpembatasan wilayahโ€ (cordon sanitaire).

3. Linkage dengan Krisis Taiwan

Krisis di Selat Taiwan dapat memicu contest for sea-control di LCS, terutama jalur selatan sebagai lifeline logistik sekutu. AS akan berusaha mengamankan rute Laut Suluโ€“Selat Makassar sebagai pengganti jalur utara. Beijing kemungkinan memperluas A2/AD envelope dari Spratly untuk menutup celah tersebut. Indikatornya:

  • Penggelaran rudal jarak jauh ke fitur Spratly.

  • Aktivasi patroli udara maritim PLAN dari Hainan hingga Spratly.

4. Stabilisasi Bersyarat

Jalur off-ramp paling realistis adalah kesepakatan rules of the road teknis (pemberitahuan manuver, hotline, larangan penggunaan laser) di luar kerangka CoC yang formal. Mekanisme ini dapat dinegosiasikan melalui ASEAN Defence Ministersโ€™ Meeting Plus (ADMM-Plus) atau jalur Track-1.5 yang di-backchannel oleh negara netral. Namun, efektivitasnya hanya akan terjaga jika kedua pihak melihat manfaat langsung dalam mencegah insiden besar.

Kesimpulan Strategis & Rekomendasi Kebijakan

Persaingan Cinaโ€“AS di Laut Cina Selatan adalah pertarungan kontrol maritim yang sudah melampaui sengketa kedaulatan semata. Bagi Beijing, ini adalah ujian mempertahankan core interests dan membangun strategic depth di perairan vital. Bagi Washington, ini adalah uji kredibilitas Free and Open Indo-Pacific dan arsitektur aliansi yang menopangnya.

Strategi Tiongkok menunjukkan konsistensi: membangun kapasitas A2/AD, memanfaatkan instrumen semi-negara untuk gray-zone coercion, serta menanamkan narasi hukum domestik yang diulang di forum internasional. Respons ASโ€”melalui FOIP, PDI, dan alliance networkingโ€”mencerminkan pendekatan integrated deterrence: menggabungkan postur militer, hukum internasional, dan diplomasi normatif untuk menjaga status quo.

Dampak regional menegaskan bahwa:

  • Asia Tenggara memerlukan kombinasi Code of Conduct yang memiliki minimum enforceable clauses dan peningkatan maritime domain awareness nasional.

  • Asia Timur harus mengintegrasikan keamanan LCS dalam kalkulasi sea-lane security, terutama dalam skenario krisis Taiwan.

  • Rantai pasok global bergantung pada stabilitas perairan ini; bahkan gangguan non-kinetik sudah cukup menciptakan โ€œpajak logistikโ€ bagi ekonomi regional.

Rekomendasi kebijakan:

  1. Bagi ASEAN: memprioritaskan incident transparency mechanism dan hotline yang operasional.

  2. Bagi AS dan sekutu: fokus pada capacity building maritim negara pesisir, bukan hanya kehadiran simbolis.

  3. Bagi Beijing: jika ingin menghindari coalition balancing, harus bersedia menguji mekanisme de-eskalasi teknis di luar kerangka formal CoC.

  4. Bagi mitra eksternal: mendukung resiliensi logistik dan alternative routing untuk memitigasi risiko sea-lane closure.

Ke depan, Laut Cina Selatan akan tetap menjadi medan uji utama apakah Indo-Pacific mampu mempertahankan keterbukaan, atau justru bergerak menuju tatanan maritim yang terfragmentasi di bawah pengaruh kekuatan besar.

Daftar Pustaka (APA)

Belfer Center for Science and International Affairs. (2023). U.S.-China competition in the South China Sea: Strategic implications. Harvard Kennedy School. https://www.belfercenter.org

Center for Strategic and International Studies (CSIS). (2024). Asia Maritime Transparency Initiative. https://amti.csis.org

Chatham House. (2024). Chinaโ€™s radar expansion in the South China Sea: Implications for regional security. https://www.chathamhouse.org

Congressional Research Service. (2023). U.S. role in the South China Sea. CRS Report R42784. https://crsreports.congress.gov

Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) โ€“ Yusof Ishak Institute. (2025). The State of Southeast Asia 2025. Singapore: ISEAS.

International Institute for Strategic Studies (IISS). (2025). Asia-Pacific Regional Security Assessment. London: IISS.

RAND Corporation. (2023). The Pacific Deterrence Initiative and U.S. defense strategy in Asia. RAND Report RR-A100-2. https://www.rand.org

South China Sea Probing Initiative (SCSPI). (2023). Activity tracking and maritime incidents in the South China Sea. Peking University. http://www.scspi.org

U.S. Department of Defense. (2022). Indo-Pacific Strategy of the United States. Washington, DC: DoD.

Trakteer Saya

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *