Ketegangan Awal: Antara Nihilisme dan Obsesi Historis
Dalam bagian ini Berlin menyinggung bagaimana Tolstoy sering dipandang secara kontradiktif: di satu sisi ia dituduh melakukan penolakan keras terhadap sejarah, bahkan dianggap โanti-historisโ karena menolak segala bentuk justifikasi abstrak atas tindakan manusia. Kritik itu kemudian melekat pada dirinya sebagai tanda dari netovshchina atau negativisme. Namun di sisi lain, Tolstoy justru menunjukkan minat yang begitu kuat terhadap sejarah, seakan-akan hidupnya dikuasai oleh obsesi untuk menelusuri akar penyebab dari berbagai peristiwa. Kontradiksi inilah yang langsung menarik perhatian Berlin, karena di balik tuduhan nihilisme tersembunyi semangat yang sebaliknya: hasrat untuk memahami sejarah dengan cara yang berbeda.
Tolstoy memang menolak teori besar sejarah yang menempatkan individu sebagai tokoh penentu. Baginya, segala upaya yang hendak menjelaskan tindakan manusia melalui konsep universal terasa keliru dan palsu. Namun penolakan ini tidak membuatnya apatis. Justru, ia menunjukkan gairah untuk memeriksa sejarah melalui detail-detail kecil, fakta-fakta konkret, dan gerak sosial yang tak terlihat. Dengan cara ini, Tolstoy menolak mistifikasi sejarah, tetapi tetap menganggap sejarah sebagai medan penting untuk memahami kehidupan manusia.
Apa yang tampak paradoksal itu sesungguhnya menjadi kunci pembacaan Berlin: Tolstoy menolak abstraksi demi realitas, tetapi hasratnya pada realitas justru melahirkan pandangan filosofis yang besar. Ia mengabaikan teori, namun secara tak sadar membangun teori alternatif tentang sejarah yang menempatkan massa dan peristiwa kecil sebagai kekuatan utama. Dengan demikian, tuduhan nihilisme seolah tidak tepat; lebih tepatnya, Tolstoy menjalani ketegangan permanen antara sikap anti-historis dan obsesi historis.
Berlin menilai bahwa sisi ini perlu mendapat perhatian serius. Ia menyebut bahwa kritik pedas yang diarahkan kepada Tolstoy sering kali datang dari para pengamat yang sebenarnya simpatik, tetapi tidak memahami bahwa penolakan Tolstoy bukanlah tanda kelemahan intelektual. Sebaliknya, ia sedang mencari cara lain untuk menafsirkan sejarah. Dari sini, kita mulai melihat Tolstoy bukan sebagai penyangkal sejarah, melainkan sebagai sosok yang berusaha merebut kembali sejarah dari tangan teori-teori besar yang abstrak.
Dorongan untuk Menyelami Akar Masalah
Bagian berikutnya menampilkan sikap khas Tolstoy terhadap sejarah: ia tidak tertarik pada masa lalu sebagai narasi peristiwa, melainkan terdorong untuk menembus akar persoalan. Baginya, sejarah harus menjawab pertanyaan fundamental: mengapa sesuatu terjadi? Mengapa peristiwa berlangsung sebagaimana adanya, dan bukan dengan cara lain? Dorongan untuk mencari sebab pertama inilah yang membentuk seluruh hidup intelektualnya.
Tolstoy tidak pernah puas dengan penjelasan yang umum diterima. Ia selalu merasa bahwa teori yang ada tidak memadai. Karena itu, ia terbiasa meragukan segala hal, menolak jawaban yang setengah-setengah, dan siap membayar harga apa pun demi mendapatkan kepastian. Sikap ini menciptakan semacam ketegangan batin yang berlangsung sepanjang hidupnya: selalu ingin ke akar masalah, tetapi tak pernah benar-benar menemukan jawaban final.
Berlin menegaskan bahwa sikap Tolstoy ini bukan sekadar rasa ingin tahu, melainkan kebutuhan eksistensial. Ia merasa tak tenang bila suatu masalah hanya diselesaikan di permukaan. Penjelasan yang tidak tuntas membuat pikirannya gelisah. Karena itu, ia lebih suka menghancurkan teori yang ada, lalu memulai pencarian baru, meskipun itu berarti ia harus terjerembab dalam keraguan yang tak berujung.
Sikap ini, menurut Berlin, menjadi fondasi dari keunikan Tolstoy. Ia bukanlah filsuf yang menawarkan sistem tertutup, melainkan seorang penulis besar yang selalu gelisah, selalu membongkar, selalu mencari. Dari sinilah terlihat mengapa Tolstoy tidak bisa benar-benar masuk dalam kategori landak atau rubah secara murni. Ia seorang rubah yang penuh detail, tetapi gelisah karena ingin menemukan satu akar tunggal layaknya landak.
Cinta pada yang Konkret, Ketidakpercayaan pada yang Abstrak
Tolstoy, sebagaimana ditulis Berlin, memiliki โcinta yang tak tersembuhkanโ terhadap hal-hal konkret. Ia lebih percaya pada detail empiris ketimbang teori abstrak. Baginya, fakta yang bisa diverifikasi lebih berharga dibanding spekulasi metafisik. Sikap ini melahirkan gaya penulisan yang kaya detail, penuh dengan realitas sehari-hari, dan menghadirkan pengalaman manusia secara langsung dan nyata.
Namun bersamaan dengan itu, ia juga memiliki sikap curiga yang dalam terhadap abstraksi. Hal-hal yang kabur, yang tidak bisa diverifikasi, cenderung ia anggap berbahaya. Tolstoy menolak sistem filosofis yang hanya menawarkan gagasan-gagasan tanpa pijakan empiris. Penolakannya terhadap abstraksi inilah yang membuatnya sering dianggap dangkal oleh para filsuf, tetapi justru menjadikan karyanya memiliki daya hidup yang kuat di mata para pembaca.
Kecenderungan ini menciptakan dualitas yang khas: di satu sisi Tolstoy adalah realis murni, tetapi di sisi lain ia juga gelisah mencari makna besar dari sejarah. Ia menolak abstraksi, tetapi tidak bisa melepaskan diri dari obsesi untuk menemukan hukum universal. Inilah yang membuatnya tampak ambiguโia menolak metafisika, tetapi tidak bisa melepaskan diri dari pertanyaan-pertanyaan metafisik.
Berlin melihat kontradiksi ini bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai sumber kekuatan Tolstoy. Justru karena ketegangan itu, ia mampu melahirkan karya yang besar. War and Peace misalnya, adalah buah dari cinta pada detail konkret yang berpadu dengan pencarian makna universal. Novel itu bukan hanya kisah tentang individu, tetapi juga meditasi tentang hukum sejarah.
Tolstoy dan Obsesi Sejarah sebagai Takdir Intelektual
Berlin menutup bagian ini dengan menyimpulkan bahwa obsesi Tolstoy terhadap sejarah bukanlah minat intelektual biasa, melainkan takdir yang membentuk seluruh hidupnya. Ia tidak pernah berhenti menggali, selalu ingin menemukan penyebab terdalam, selalu mencurigai jawaban yang ada. Dari sikap inilah lahir kekuatan dan tragedi intelektualnya sekaligus.
Tolstoy tidak bisa menerima sejarah hanya sebagai kumpulan peristiwa. Ia selalu ingin menafsirkan, mencari pola, atau menolak pola yang terlalu sederhana. Sikap ini menjadikannya tokoh yang berdiri di persimpangan: seorang seniman rubah yang terikat pada detail, sekaligus seorang moralis landak yang haus akan kebenaran tunggal.
Berlin menyadari bahwa dilema ini tidak pernah terselesaikan dalam hidup Tolstoy. Justru, dari dilema inilah lahir karya yang monumental. War and Peace adalah gambaran paling jelas dari kegelisahan itu: detail yang kaya berpadu dengan refleksi filosofis yang keras kepala.
Pada akhirnya, Berlin mengajak pembaca melihat Tolstoy bukan hanya sebagai novelis atau filsuf, tetapi sebagai cermin dari kontradiksi manusia itu sendiri. Kita semua, dalam derajat yang berbeda, memikul ketegangan yang sama: antara mencintai detail konkret dan merindukan makna universal, antara menjadi rubah dan bercita-cita menjadi landak.
Kesimpulan
Membaca The Hedgehog and the Fox karya Isaiah Berlin berarti menelusuri bukan hanya tipologi sederhana antara โlandakโ dan โrubah,โ tetapi juga paradoks mendalam yang membentuk jalan intelektual Leo Tolstoy. Berlin memperlihatkan bahwa Tolstoy sesungguhnya adalah seorang rubah, dengan kecerdasan yang gemar merayakan detail, pluralitas, dan kompleksitas hidup. Namun, di balik itu, ia terus terobsesi menjadi landak: mencari satu hukum universal, satu prinsip tunggal, yang mampu menjelaskan sejarah dan moralitas manusia.
Ketegangan ini melahirkan sebuah dilema yang tidak pernah selesai. Tolstoy menolak abstraksi, tetapi ia sendiri tak bisa lepas dari pencarian abstrak tentang hukum sejarah. Ia cinta pada yang konkret, namun resah bila tidak menemukan akar tunggal dari peristiwa. Karya besarnya War and Peace menjadi bukti nyata dari kontradiksi itu: novel yang kaya dengan detail realistis, tetapi sekaligus penuh renungan filosofis tentang determinisme sejarah.
Berlin tidak menilai paradoks ini sebagai kelemahan semata, melainkan sebagai sumber daya kreatif yang membuat Tolstoy abadi. Justru karena pertarungan batin itu, Tolstoy mampu melahirkan karya yang melampaui zamannya. Dengan kata lain, ketidakmampuannya menjadi landak sejati atau rubah sepenuhnya adalah alasan mengapa ia menjadi salah satu penulis terbesar dalam sejarah.
Melalui tipologi landak dan rubah, Berlin tidak hanya memberi kita kunci untuk memahami Tolstoy, tetapi juga cara untuk merenungkan diri sendiri. Kita semua, dalam kehidupan sehari-hari, sering terjebak di antara cinta pada detail dan kerinduan akan kebenaran tunggal. Dengan demikian, esai Berlin tetap relevan: ia mengingatkan bahwa kekuatan manusia justru terletak pada kontradiksi yang tidak pernah sepenuhnya terselesaikan.
Leave a Reply