Di suatu sore yang teduh, saat dunia seolah tengah menahan napas menunggu babak baru sejarah, Samuel P. Huntington menulis tentang sebuah gelombang yang tak kasat mata, namun mengguncang fondasi negara-negara di seluruh dunia. Gelombang itu bukanlah badai laut atau hembusan angin politik sesaat. Ia adalah arus panjang perubahan rezim, runtuhnya kediktatoran, dan lahirnya demokrasi di tempat-tempat yang sebelumnya tak pernah membayangkan kebebasan politik. The Third Wave bukan sekadar buku; ia adalah peta rahasia untuk memahami bagaimana negara-negara bertransformasi, bagaimana rakyat belajar memegang kendali, dan bagaimana kekuasaan yang lama bercokol akhirnya runtuh—kadang dengan sorak kemenangan, kadang dengan darah dan air mata.
Kini, ketika kita di Indonesia menghadapi godaan nostalgia otoritarianisme dan skeptisisme terhadap demokrasi, karya Huntington menjadi seperti cermin yang memantulkan wajah kita sendiri: apakah kita bagian dari gelombang yang terus maju, atau kita justru sedang tergulung ke belakang dalam reverse wave?
Samuel P. Huntington menulis The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century di tengah pusaran perubahan besar politik dunia. Dunia baru saja menyaksikan runtuhnya rezim-rezim otoriter di berbagai belahan dunia, dari Eropa Selatan, Amerika Latin, hingga Asia. Euforia politik ini menimbulkan keyakinan bahwa demokrasi bukan hanya mungkin, tetapi sedang menuju statusnya sebagai sistem politik dominan. Namun Huntington, yang reputasinya dibangun dari kemampuan menggabungkan data empiris dan kerangka konseptual yang kokoh, mengajak pembaca untuk melihat fenomena ini secara lebih tenang dan metodologis. Ia memperingatkan bahwa sejarah demokrasi bukanlah kisah linear menuju kemajuan; ia bergerak dalam gelombang—menerjang dengan kuat, namun bisa pula surut dengan cepat.
Gelombang ketiga demokratisasi, istilah yang menjadi judul buku ini, adalah sebutan Huntington untuk periode yang dimulai pada 1974 ketika Revolusi Anyelir di Portugal menjatuhkan kediktatoran Estado Novo. Peristiwa ini memicu serangkaian transisi di Spanyol dan Yunani, lalu merambat ke Amerika Latin, Asia Timur, dan Afrika. Huntington mengamati bahwa demokratisasi dalam periode ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari arus global yang digerakkan oleh kombinasi faktor domestik dan internasional—mulai dari krisis ekonomi yang melemahkan legitimasi rezim, perubahan nilai di masyarakat, kebijakan aktor internasional, hingga efek demonstrasi ketika keberhasilan di satu negara memberi inspirasi dan legitimasi bagi gerakan serupa di negara lain.
Huntington memulai bukunya dengan menjelaskan makna demokrasi itu sendiri. Bagi dia, demokrasi bukan sekadar ritual pemilu, melainkan sebuah sistem di mana para penguasa dipilih melalui mekanisme yang bebas dan adil, ada jaminan kebebasan sipil, serta adanya rule of law yang melindungi hak-hak minoritas. Penekanan ini penting karena Huntington ingin membedakan antara demokrasi substantif dan demokrasi semu yang hanya menyajikan façade prosedural. Dalam kerangka ini, banyak rezim yang mengaku demokratis, tetapi sebenarnya berada di wilayah abu-abu—menggunakan pemilu untuk melanggengkan kekuasaan tanpa membangun institusi demokrasi yang sejati.
Salah satu kekuatan analisis Huntington adalah kemampuannya memetakan faktor-faktor yang memicu gelombang ketiga. Ia menelusuri penurunan legitimasi rezim otoriter akibat stagnasi ekonomi, korupsi, dan represi yang memicu alienasi politik. Di sisi lain, modernisasi ekonomi membawa kelas menengah baru yang menuntut partisipasi politik lebih besar. Perubahan doktrin Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II, misalnya, mendorong peran agama dalam memperjuangkan hak asasi manusia, sebagaimana terlihat di Polandia dan Amerika Latin. Dukungan eksternal dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan lembaga-lembaga internasional juga memainkan peran penting, meski tidak selalu konsisten. Huntington menyebut “demonstration effects” atau efek domino, di mana keberhasilan transisi di satu negara memicu keyakinan bahwa hal serupa bisa terjadi di negara lain—sebuah fenomena yang sangat kentara ketika rezim-rezim komunis runtuh pada 1989–1991.
Namun Huntington tidak sekadar menginventarisasi faktor-faktor ini. Ia juga membedakan antara jalur transisi yang berbeda: reformasi dari dalam rezim otoriter (transplacement), penggulingan oleh gerakan rakyat (replacement), dan negosiasi antara rezim dan oposisi (transformation). Masing-masing jalur membawa tantangan yang berbeda dalam proses konsolidasi demokrasi. Misalnya, transisi melalui negosiasi sering kali menghasilkan kompromi yang menyisakan pengaruh kuat bagi elite lama, yang bisa menjadi batu sandungan bagi demokratisasi penuh.
Buku ini juga membahas secara mendalam masalah konsolidasi demokrasi. Bagi Huntington, tantangan setelah transisi tidak kalah berat dibanding menjatuhkan rezim otoriter. Demokrasi baru menghadapi apa yang ia sebut sebagai “masalah prajurit pretorian” (praetorian problem), yaitu militer yang terbiasa memegang peran politik dan sulit dikendalikan oleh otoritas sipil. Ia juga menyoroti dilema “lupakan atau adili” terhadap pelanggaran HAM masa lalu. Terlalu fokus pada penuntutan bisa memicu instabilitas, tetapi melupakan begitu saja bisa merusak legitimasi moral rezim baru. Huntington mendorong pentingnya membangun budaya politik demokratis, institusi yang kuat, dan sistem hukum yang dapat dipercaya sebagai pilar konsolidasi.
Salah satu bagian paling relevan dari buku ini adalah pembahasan tentang potensi “gelombang balik” atau reverse wave. Huntington mengingatkan bahwa gelombang demokratisasi sebelumnya—gelombang pertama pada awal abad ke-20 dan gelombang kedua pasca-Perang Dunia II—keduanya diikuti oleh periode kemunduran demokrasi. Ancaman ini datang dari berbagai sumber: kegagalan pemerintah demokratis memenuhi ekspektasi rakyat, krisis ekonomi yang membuka peluang bagi otoritarianisme, konflik etnis atau agama yang memecah belah masyarakat, dan intervensi asing. Dengan kata lain, demokrasi selalu rapuh, dan keberlanjutannya memerlukan kerja keras yang terus-menerus.
Jika dilihat dari kacamata Indonesia, analisis Huntington memiliki relevansi yang tajam. Reformasi 1998 bisa dipahami sebagai bagian dari gelombang ketiga, meskipun datang relatif terlambat dibanding negara-negara lain di Asia. Faktor-faktor yang ia identifikasi—krisis ekonomi, delegitimasi rezim, mobilisasi massa, serta tekanan internasional—semuanya hadir dalam proses kejatuhan Orde Baru. Jalur transisi Indonesia cenderung mendekati model transplacement, di mana elite lama (Golkar, militer) tetap mempertahankan sebagian pengaruhnya melalui kompromi politik. Hal ini sejalan dengan prediksi Huntington bahwa transisi jenis ini memerlukan upaya konsolidasi yang lebih berat untuk memutuskan warisan otoritarianisme.
Dua dekade setelah Reformasi, Indonesia menghadapi ujian konsolidasi yang nyata: korupsi yang masih merajalela, polarisasi politik yang tajam, dan ancaman kemunduran kebebasan sipil. Kecenderungan penggunaan instrumen hukum untuk membungkam kritik, misalnya, dapat dilihat sebagai gejala awal reverse wave. Dalam konteks inilah, pesan Huntington menjadi peringatan yang relevan: tanpa penguatan institusi, demokrasi bisa merosot secara perlahan menjadi rezim hibrida—tetap mengadakan pemilu, tetapi kehilangan substansi demokratisnya.
Huntington juga menawarkan panduan strategis bagi para demokrat—baik di negara yang sedang bertransisi maupun yang sudah mapan. Panduan ini bukan daftar teknis, melainkan prinsip-prinsip yang lahir dari pengamatan lintas negara: perlunya membangun koalisi luas, mengelola ekspektasi publik, mengamankan supremasi sipil atas militer, serta menciptakan aturan main yang disepakati semua pihak. Ia menekankan bahwa demokratisasi adalah proses politik yang kompleks, sering kali memerlukan kompromi yang tidak memuaskan semua pihak, tetapi menjadi satu-satunya jalan untuk menjaga stabilitas sambil bergerak ke arah yang lebih terbuka.
Salah satu kekuatan The Third Wave adalah cara Huntington menghindari determinisme sejarah. Ia tidak mengklaim bahwa demokrasi adalah takdir semua bangsa, melainkan sebuah pilihan politik yang memerlukan kondisi tertentu untuk tumbuh. Ia realistis dalam mengakui bahwa ada masyarakat yang mungkin tidak siap secara institusional atau budaya untuk mengadopsi demokrasi penuh. Namun di saat yang sama, ia menolak pandangan kulturalis yang mengatakan bahwa demokrasi hanya cocok untuk budaya tertentu. Dalam hal ini, ia mengambil posisi tengah: faktor budaya penting, tetapi bukan penentu tunggal; ekonomi dan kepemimpinan politik sama-sama berperan krusial.
Ketika membaca kembali buku ini di era sekarang—tiga dekade setelah terbit—kita bisa melihat bahwa beberapa prediksi Huntington terbukti akurat, sementara yang lain memerlukan revisi. Misalnya, ia memprediksi bahwa gelombang ketiga mungkin akan diikuti oleh kemunduran di sejumlah negara. Fakta menunjukkan bahwa sejak awal 2000-an, Freedom House melaporkan penurunan kualitas demokrasi di banyak negara, termasuk yang dulu menjadi bintang transisi seperti Turki, Thailand, dan bahkan Amerika Serikat.
Buku ini juga memberi kita lensa untuk memahami dinamika di Asia Tenggara. Negara-negara seperti Myanmar yang sempat mengalami liberalisasi politik pada 2010-an kini kembali ke otoritarianisme militer. Filipina, meski tetap mengadakan pemilu, menunjukkan kemunduran dalam kebebasan pers dan supremasi hukum di era Duterte. Sementara itu, Indonesia masih mempertahankan struktur demokratis, tetapi kualitasnya menghadapi tantangan serius. Semua ini mengingatkan bahwa demokrasi bukanlah titik akhir, melainkan sebuah proses yang terus-menerus berada dalam ancaman erosi.
Dari perspektif kebijakan, pelajaran dari The Third Wave jelas: menjaga demokrasi memerlukan kombinasi antara reformasi institusional dan penguatan budaya politik. Reformasi hukum tanpa perubahan budaya akan melahirkan demokrasi prosedural yang rapuh; sebaliknya, nilai-nilai demokratis tanpa institusi yang mendukung akan mudah dikalahkan oleh kekuatan terorganisir yang ingin membalikkan arah. Indonesia, misalnya, perlu memastikan bahwa lembaga-lembaga pengawasan seperti KPK, Mahkamah Konstitusi, dan media bebas tetap kuat dan independen, sambil mendorong pendidikan politik yang membentuk warga negara kritis dan toleran.
Huntington menutup bukunya dengan pertanyaan terbuka: apakah gelombang ketiga akan berlanjut, melemah, berubah bentuk, atau berbalik arah? Jawaban atas pertanyaan ini, menurutnya, tergantung pada pilihan yang diambil para pemimpin politik dan masyarakat sipil di setiap negara. Ia mengingatkan bahwa demokratisasi bukanlah sekadar akibat dari kekuatan struktural global, tetapi juga hasil dari tindakan manusia yang sadar akan peluang dan risiko yang ada di hadapannya.
Membaca The Third Wave hari ini, kita diingatkan bahwa euforia politik pasca-perubahan rezim sering kali diikuti oleh masa-masa sulit. Sejarah mengajarkan bahwa gelombang demokrasi selalu diikuti oleh ujian ketahanan. Tantangan kita bukan lagi hanya bagaimana menjatuhkan rezim otoriter, tetapi bagaimana memastikan demokrasi tetap hidup dan sehat di tengah godaan populisme, tekanan ekonomi, dan ancaman polarisasi sosial.
Buku ini tetap relevan bukan karena ia memberi jawaban pasti, melainkan karena ia membekali kita dengan kerangka berpikir yang memungkinkan kita memahami perubahan politik sebagai bagian dari siklus sejarah yang berulang. Dalam dunia yang kembali memperlihatkan tanda-tanda kemunduran demokrasi, pesan Huntington adalah ajakan untuk waspada, realistis, dan strategis. Demokrasi tidak akan bertahan hanya karena kita menginginkannya; ia bertahan karena kita secara aktif menjaganya—di jalanan, di parlemen, di ruang publik, dan di hati setiap warga negara.