Wajah Agama di Aceh: dari tarian Saman, perjalanan haji, warung kopi, hingga pasar tradisional. Potret historis dalam nuansa Vintage + Sephia yang merekam perjalanan agama dari masa lalu hingga tantangan kontemporer.

Wajah Agama di Aceh: Dari Simbol Sejarah Menuju Tantangan Kontemporer

ย 

Pendahuluan

Agama di Aceh bukan sekadar soal keyakinan dan ibadah ritual, melainkan sebuah konstruksi historis yang telah membentuk mentalitas kolektif masyarakatnya. Dalam sejarahnya, agama tidak hanya berfungsi sebagai sarana spiritual, tetapi juga sebagai kekuatan politik, budaya, dan simbol perlawanan. Oleh karena itu, memahami pola keberagamaan masyarakat Aceh berarti membaca ulang sejarah panjang hubungan antara kepercayaan, praktik keagamaan, dan institusi sosial yang saling berkait dalam membentuk identitas Aceh.

Masyarakat Aceh hampir seratus persen beragama Islam. Jawaban seragam โ€œIslamโ€ ketika ditanya soal agama adalah sebuah refleksi identitas kolektif. Namun, di balik homogenitas statistik ini, pola keberagamaan masyarakat Aceh menyimpan keragaman interpretasi, ketegangan historis, serta transformasi yang membentuk wajah religius Aceh hingga hari ini. Esai ini mencoba merekam dinamika tersebut, dengan menelisik sejarah, intelektual, politik, hingga fenomena keberagamaan kontemporer.

Warisan Sejarah: Ulama, Umara, dan Syariat

Sejarah keagamaan Aceh selalu ditautkan pada peran kerajaan dan ulama. Tokoh-tokoh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Ar-Raniry, hingga Abdurrauf as-Singkili adalah bukti nyata bahwa Aceh pernah menjadi pusat produksi intelektual Islam di Asia Tenggara. Perdebatan teologis yang mereka bangun bukan hanya menunjukkan dinamika pemikiran, tetapi juga relasi kuasa antara kerajaan dan ulama dalam membentuk tafsir keagamaan.

Pada masa kesultanan, hukum Islam tidak hanya berhenti sebagai fatwa, melainkan diformalisasi dalam bentuk qanun kerajaan. Masyarakat Aceh diberikan panduan konkret dalam menjalankan syariat. Namun, sejak kolonialisme Belanda masuk, agama kemudian dipakai sebagai roh perlawanan. Islam menjadi bendera jihad yang membuat kolonial tidak pernah sepenuhnya menundukkan Aceh. Snouck Hurgronje bahkan sampai pada kesimpulan: cara menaklukkan Aceh adalah dengan memisahkan ulama dari ulee balang.

Kebijakan ini menimbulkan friksi antara ulama dan elit tradisional, yang berujung pada revolusi sosial. Dari sini terlihat bahwa agama di Aceh bukan sekadar urusan privat, melainkan instrumen kuasa yang bisa menentukan arah sejarah.

See also  Dialektika Aceh dan Jawa dalam Struktur Kultural Indonesia: Membaca Kuntowijoyo dan Charles Taylor

Agama sebagai Identitas Politik dan Sosial

Pasca kemerdekaan Indonesia, peran agama di Aceh semakin kompleks. Tuntutan penerapan syariat Islam sering kali berkelindan dengan rasa kecewa terhadap pemerintah pusat. Ketidakadilan distribusi ekonomi, politik, dan sosial mendorong agama dijadikan alat legitimasi gerakan perlawanan.

Gerakan Darul Islam hingga Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memanfaatkan identitas keislaman Aceh untuk menguatkan legitimasi perjuangan. Agama di sini hadir sebagai simbol pembeda Aceh dengan daerah lain di Indonesia. Identitas religius menjadi pijakan kolektif dalam melawan dominasi eksternal, baik kolonial maupun negara nasional.

Namun, pada titik tertentu, agama juga direduksi menjadi alat kuasa negara. Implementasi syariat Islam pasca-2005 misalnya, lebih banyak difokuskan pada simbolisme dan formalitas hukum, ketimbang membangun nilai substansial yang menyentuh kesejahteraan rakyat.

Pergeseran Pola Keberagamaan: Dari Sosial ke Individual

Jika di masa lalu agama Aceh berakar pada kolektivitasโ€”menghubungkan ulama, umara, dan rakyatโ€”maka hari ini agama justru mengalami individualisasi. Pola lama di mana anak-anak belajar agama dari teungku di meunasah sudah banyak bergeser. Teknologi, televisi, bahkan media sosial menjadi sumber baru belajar agama.

Kuntowijoyo pernah menyebut fenomena ini sebagai lahirnya โ€œMuslim tanpa masjid.โ€ Generasi baru Aceh kini banyak memahami agama melalui ceramah di televisi, VCD, bahkan pelatihan motivasi spiritual berbayar. Umrah dijadikan agenda tahunan, bukan semata sebagai ibadah, melainkan gaya hidup religius instan.

See also  Kick-Off Riset Tenurial: Revitalisasi Mukim dan Hak Masyarakat Adat Aceh Besar

Agama tidak lagi dipahami sebagai tradisi kolektif, melainkan sebagai paket-paket privat yang bisa dibeli, disubstitusi, bahkan dipersonalisasi sesuai kebutuhan. Akibatnya, peran agama sebagai roh kebersamaan semakin redup.

Reduksi Agama pada Simbolisme

Fenomena lain yang tampak adalah menguatnya formalisme agama. Banyak masyarakat menganggap cukup beragama dengan mengikuti qanun syariat atau fatwa resmi, tanpa merasa perlu menggali lebih dalam makna substansialnya. Agama menjadi ritual yang berulang, simbol identitas, dan instrumen politik, tetapi kehilangan daya transformasi sosialnya.

Hal ini terlihat jelas ketika haji, yang dulu membawa semangat pembaruan dan reformasi pemikiran, kini bergeser menjadi sekadar tren sosial. Haji tidak lagi dilihat sebagai momentum membangun kesadaran kolektif, melainkan simbol status sosial.

Di titik inilah wajah agama di Aceh mengalami paradoks: semakin religius dalam simbol, tetapi semakin rapuh dalam substansi.

Tantangan Kontemporer: Agama di Era Globalisasi

Dalam konteks globalisasi dan teknologi informasi, agama di Aceh menghadapi tantangan besar. Keberagamaan yang lebih menekankan aspek individual piety (ketaatan pribadi) ketimbang social piety (ketaatan sosial) berpotensi melemahkan solidaritas masyarakat.

Jika fenomena ini dibiarkan, agama hanya akan hadir ketika dibutuhkan untuk melegitimasi agenda politik atau kepentingan kelompok tertentu. Nilai-nilai kolektif seperti kebersamaan, gotong royong, dan kepedulian sosial akan semakin sulit ditemukan.

Maka, pertanyaannya adalah: bagaimana mengembalikan peran agama agar mampu menjawab tantangan kontemporer, tanpa kehilangan akar sejarahnya?

See also  Dua Dekade Damai Aceh: Merawat Ingatan, Meneguhkan Harapan

Penutup: Mencari Wajah Baru Agama di Aceh

Esai ini ingin menekankan bahwa wajah agama di Aceh selalu mengalami transformasi. Dari masa kesultanan hingga era globalisasi, agama hadir dengan wajah yang berbeda-bedaโ€”sebagai hukum, sebagai simbol perlawanan, sebagai identitas, bahkan sebagai gaya hidup.

Namun, tantangan terbesar hari ini adalah mengembalikan agama ke dalam peran substansialnya: sebagai kekuatan moral dan sosial yang mampu menata kehidupan masyarakat Aceh secara lebih adil, damai, dan bermartabat.

Masyarakat Aceh perlu kembali pada tradisi intelektual para ulama terdahulu yang memadukan spiritualitas, ilmu pengetahuan, dan kebijakan politik. Tradisi itu harus ditarik ke masa kini, bukan hanya menjadi kebanggaan masa lalu.

Sebab, jika agama hanya dipertahankan sebagai simbol sejarah dan formalitas hukum, maka wajah keagamaan Aceh akan terjebak dalam stagnasi, kehilangan daya kreatif, dan semakin jauh dari ruh aslinya sebagai sumber inspirasi hidup.

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *