
Konflik bersenjata yang melanda Aceh sejak tahun 1976 hingga 2005 merupakan salah satu fase paling kelam dalam sejarah Indonesia modern. Perang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat Aceh. Kini, tahun 2025 menjadi penanda dua dekade sejak penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki pada 15 Agustus 2005. Dua puluh tahun tentu bukan waktu yang singkat untuk menyembuhkan luka, membangun kembali kepercayaan, serta menata harapan atas masa depan yang lebih damai.
Bagi mereka yang mengalami langsung masa konflik, tahun-tahun itu tidak akan pernah terlupakan. Namun, bagi kami—generasi yang lahir setelah 2005—pengalaman tentang konflik tersebut tidak hadir dalam ingatan pribadi. Kami mengenal masa konflik hanya dari cerita orang tua, fragmen-fragmen dalam buku pelajaran, atau sesekali potongan berita dokumenter yang tersebar di media sosial.
Dalam konteks inilah, kegiatan seperti Bedah Buku “Dua Dekade Damai Aceh” karya Iskandar Norman, yang diselenggarakan di UIN Ar-Raniry Banda Aceh pada 26 Juni 2025, menjadi sangat relevan. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) dalam forum tersebut, damai bukan sekadar keadaan tanpa kekerasan, tetapi merupakan bentuk kesadaran kolektif yang harus dirawat dan diperjuangkan lintas generasi.
Damai dan Ingatan Kolektif Generasi Pasca-Konflik
Sebagai bagian dari generasi yang lahir di tengah era damai, saya merasa forum seperti ini penting untuk membangun jembatan antara memori kolektif generasi terdahulu dan kesadaran kami sebagai generasi baru. Konflik bersenjata yang dulunya begitu nyata, kini seringkali terdengar seperti catatan sejarah belaka—jauh dan tak personal. Kami tidak mengalami langsung suara tembakan, razia militer, atau rasa takut yang dulu begitu akrab dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, itu tidak berarti bahwa kami bisa menganggap damai hari ini sebagai sesuatu yang lumrah atau taken for granted.
Justru karena kami tidak mengalami konflik itulah, kami merasa perlu mengetahui lebih dalam mengenai sejarah Aceh. Apa yang menyebabkan konflik? Apa dampaknya terhadap masyarakat? Bagaimana proses damai akhirnya tercapai? Dan, yang lebih penting lagi, bagaimana kami sebagai generasi penerus dapat menjaga agar damai ini terus berlanjut?
Forum ini membuka ruang berdialog antargenerasi—antara mereka yang pernah mengangkat senjata, menjadi korban, hingga kami yang mewarisi narasi damai. Di sinilah saya belajar bahwa damai bukan hanya tentang masa lalu yang telah dilewati, tetapi tentang masa depan yang harus terus diperjuangkan.
Buku yang Memantik Refleksi
Buku “Dua Dekade Damai Aceh” karya Iskandar Norman tidak banyak mengulas akar sejarah konflik atau proses negosiasi menuju perjanjian Helsinki. Buku ini lebih fokus pada realitas sosial-politik Aceh pascakonflik—bagaimana dinamika masyarakat berkembang dalam dua dekade terakhir setelah damai dicapai.
Secara pribadi, saya menilai pendekatan ini menarik sekaligus menantang. Di satu sisi, ia memberikan gambaran tentang bagaimana kehidupan masyarakat Aceh dalam rentang waktu yang cukup panjang setelah konflik berakhir. Namun di sisi lain, absennya pembahasan lebih dalam mengenai latar belakang konflik menjadi kekosongan yang terasa. Sebab tidak semua generasi muda, khususnya mereka yang lahir pasca-2005, memahami konteks sejarah yang melatarbelakangi konflik bersenjata di Aceh.
Pertanyaan seperti: Mengapa konflik itu terjadi? Apa saja dampaknya? Dan bagaimana upaya penyelesaiannya? adalah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab, setidaknya secara ringkas, untuk memperkuat pemahaman generasi muda terhadap pentingnya merawat perdamaian. Oleh karena itu, saya berharap buku ini dapat menjadi awal dari rangkaian karya berikutnya yang menggali sisi-sisi sejarah yang belum tergali.
Peran Perempuan dan Ketidakhadiran dalam Narasi
Salah satu hal yang menarik dan penting yang disampaikan dalam forum tersebut adalah penekanan pada kontribusi perempuan dalam perjalanan damai Aceh. Saya sepenuhnya sepakat bahwa perempuan memainkan peran krusial dalam merawat kehidupan di tengah konflik, memperjuangkan keadilan, serta membangun solidaritas sosial dari bawah. Namun sayangnya, peran ini belum cukup diakomodasi dalam narasi dominan, termasuk dalam buku ini. Ketidakhadiran perspektif gender dalam narasi damai seharusnya menjadi catatan penting untuk kajian-kajian ke depan agar lebih inklusif dan representatif.
Damai Bukan Warisan yang Selesai
Acara bedah buku ini memberi saya pemahaman baru bahwa damai bukanlah sesuatu yang hadir secara otomatis, dan juga bukan sesuatu yang bisa diwariskan tanpa usaha. Damai adalah proses yang dinamis, yang harus terus diperjuangkan dan diperbaharui dari waktu ke waktu. Memahami sejarah, menyuarakan kebenaran, menghormati mereka yang berjuang dan terluka, serta berkontribusi dalam menciptakan ruang-ruang dialog dan keadilan sosial adalah bagian dari tanggung jawab generasi pascadamai.
Saya meyakini bahwa damai tidak bersifat permanen. Ia bisa retak kapan saja jika tidak dijaga dengan bijak. Maka, menghidupkan kesadaran damai melalui pendidikan, seni, sastra, dan diskusi publik seperti ini menjadi bagian penting dari usaha kolektif kita untuk memastikan perdamaian terus bertumbuh, bukan hanya sebagai warisan sejarah, tetapi sebagai fondasi masa depan.
Penutup
Sebagai bagian dari generasi muda Aceh, saya mengucapkan terima kasih kepada Iskandar Norman atas keberanian dan kontribusinya dalam menulis “Dua Dekade Damai Aceh”. Buku ini telah membuka ruang refleksi yang penting bagi kami, sekaligus menantang kami untuk lebih memahami sejarah yang membentuk Aceh hari ini.
Saya juga berharap akan ada buku lanjutan yang bisa mengisi kekosongan naratif—tentang sejarah konflik, tentang dinamika elite politik, tentang suara korban, dan tentang peran-peran yang selama ini terpinggirkan. Harapan saya, semakin banyak generasi muda yang membaca, berdiskusi, dan merawat damai dengan penuh kesadaran.
Kepada rekan-rekan mahasiswa dan generasi setelah saya, jangan pernah menganggap damai sebagai sesuatu yang sudah selesai. Damai bukan titik akhir, tetapi jalan panjang yang harus dijaga, dibangun, dan diperjuangkan oleh setiap generasi.
Tulisan bagus; nampak pegiat Komunitas Menulis Kreatif FSH UINAR