Pekerja migran Indonesia di kebun sawit Malaysia hidup dalam gubuk, bergulat dengan gaji minim dan jeratan hutang, sementara elit perusahaan sawit berpesta di kota megah

Eksploitasi Pekerja Migran Indonesia di Perkebunan Malaysia

Pendahuluan

Eksploitasi pekerja migran Indonesia di Malaysia merupakan salah satu ironi terbesar dalam hubungan dua negara serumpun yang kerap dipromosikan sebagai “mitra strategis” di Asia Tenggara. Di balik citra diplomatik yang harmonis, ribuan buruh migran Indonesia justru menjalani kehidupan yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan, kerja paksa, dan diskriminasi sistemik di perkebunan kelapa sawit. Artikel ini berangkat dari pertanyaan kunci: mengapa eksploitasi ini terus berlangsung meski ada MoU bilateral, regulasi internasional, serta sorotan lembaga HAM global? Jawabannya terletak pada kombinasi rapuhnya regulasi perekrutan, lemahnya pengawasan hukum, dan dominasi korporasi transnasional yang menempatkan pekerja sebagai komoditas murah. Dengan mengurai dimensi kondisi kerja, upah, jeratan utang, hingga bentuk kekerasan yang dialami, tulisan ini hendak menegaskan bahwa persoalan pekerja migran bukan sekadar isu sosial, melainkan problem geopolitik dan keamanan manusia di Asia Tenggara yang harus segera ditangani.

Indonesia adalah negara pengirim pekerja migran utama dunia. Dari sekitar 4,6 juta pekerja migran yang tercatat oleh BP2MI pada Mei 2023, diperkirakan ada tambahan sekitar 4 juta pekerja tanpa dokumentasi legal. Sektor perkebunan—terutama kelapa sawit di Malaysia—menjadi penampung signifikan, di mana sekitar 87% pekerja asing di sana adalah orang Indonesia.

Eksploitasi pekerja migran Indonesia di Malaysia telah menjadi paradoks dalam hubungan dua negara serumpun. Di satu sisi, Indonesia dan Malaysia menampilkan citra persaudaraan, kerja sama regional, serta pertumbuhan ekonomi bersama. Namun di sisi lain, ribuan pekerja migran Indonesia di perkebunan kelapa sawit menjalani kehidupan yang jauh dari bermartabat. Mereka dipaksa bekerja dalam kondisi tidak manusiawi, gaji tertahan, hingga mengalami diskriminasi sistematis. Realitas ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa persoalan eksploitasi ini terus berulang meski berbagai perjanjian bilateral dan kerangka hukum internasional telah dibentuk?

Untuk memahami persoalan ini, kita perlu menilik faktor struktural yang melanggengkan eksploitasi. Eksploitasi pekerja migran Indonesia di Malaysia tidak lahir dari satu pelanggaran individu, tetapi dari sistem perekrutan yang rapuh, pengawasan hukum yang lemah, serta praktik korporasi transnasional yang lebih mementingkan laba daripada martabat manusia. Kombinasi ini membentuk “ekonomi politik migrasi” yang menjadikan pekerja sebagai komoditas disposable. Dari perspektif geopolitik, kegagalan melindungi buruh migran juga mereduksi kredibilitas Indonesia di mata dunia dan melemahkan diplomasi serumpun.

Sejarah panjang migrasi tenaga kerja Indonesia ke Malaysia memperlihatkan bahwa fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak dekade 1980-an, Malaysia bergantung pada tenaga kerja asing untuk menopang sektor perkebunannya, sementara Indonesia melihat migrasi sebagai katup pengaman demografis dan ekonomi. Ketergantungan ini menciptakan simbiosis semu: Malaysia mendapat tenaga kerja murah, sementara Indonesia memperoleh devisa dari remitansi. Akan tetapi, simbiosis ini dibangun di atas fondasi ketidakadilan, di mana pekerja migran berada di lapisan paling rentan.

Dari kacamata keamanan manusia, eksploitasi pekerja migran Indonesia di Malaysia harus dipandang sebagai ancaman non-tradisional yang menggerus stabilitas sosial. Ribuan keluarga kehilangan hak dasar, terjebak dalam jeratan hutang, bahkan mengalami trauma akibat kekerasan fisik maupun seksual. Masalah ini tidak hanya merusak sendi sosial pekerja, tetapi juga menciptakan ketegangan diplomatik. Kasus penahanan gaji massal, pelecehan, hingga kematian pekerja kerap menjadi isu politik yang menodai hubungan bilateral dan membangkitkan sentimen publik di kedua negara.

Artikel ini bertujuan membongkar dimensi mendalam dari eksploitasi pekerja migran Indonesia di Malaysia dengan menelaah kondisi kerja, mekanisme upah, jeratan utang, serta bentuk kekerasan yang dialami. Selain itu, tulisan ini akan menyoroti respons pemerintah Indonesia, efektivitas MoU bilateral, serta implikasi geopolitik dari praktik eksploitasi tersebut. Dengan pendekatan analitis, kita akan melihat bahwa persoalan pekerja migran bukan sekadar isu tenaga kerja, melainkan persoalan struktural dan geopolitik Asia Tenggara yang menuntut solusi berbasis sistem, bukan tambal sulam.

Konteks Persoalan

Laporan terbaru Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB), Agustus 2025, di Sabah membuka kembali luka lama yang selama ini coba ditutup dengan narasi diplomasi persaudaraan serumpun. Temuan KBMB memperlihatkan kenyataan getir bahwa mayoritas pekerja migran Indonesia hidup dalam status dokumentasi yang rapuh. Banyak dokumen pekerja habis masa berlaku dan tidak diperpanjang, membuat mereka kehilangan legalitas di mata hukum Malaysia. Status ini menempatkan mereka dalam posisi serba salah: bekerja tanpa perlindungan hukum sekaligus rentan ditangkap aparat karena dianggap “pendatang ilegal.” Dalam praktik intelijen sosial, kondisi ini adalah bentuk “legal limbo” yang sengaja dibiarkan untuk mempermudah kontrol terhadap pekerja migran.

Lebih jauh, laporan itu menunjukkan bahwa kurang dari separuh pekerja memiliki kontrak kerja formal. Tanpa kontrak, pekerja tidak memiliki dasar hukum untuk menuntut hak, baik upah, jam kerja, maupun jaminan sosial. Majikan dan agen perekrut menjadikan absennya kontrak sebagai instrumen eksploitasi. Mereka bisa memecat kapan saja, memotong gaji sesuka hati, bahkan memindahkan pekerja antar kebun tanpa persetujuan. Dalam logika geopolitik tenaga kerja, ini adalah mekanisme “expendability”—pekerja diposisikan sebagai sumber daya sekali pakai, yang dapat diganti kapan pun dengan biaya murah.

Aspek lain yang disorot adalah kewajiban membeli sendiri peralatan kerja. Sarung tangan, sepatu pelindung, hingga alat penyemprot pestisida, semuanya harus dibayar oleh pekerja. Lebih ironis lagi, biaya tersebut dipotong langsung dari gaji yang sudah minim. Praktik ini bukan sekadar ketidakadilan, tetapi bentuk transfer risiko dari perusahaan kepada pekerja. Di sektor perkebunan modern, risiko kecelakaan kerja seharusnya ditanggung oleh korporasi. Namun, laporan KBMB membuktikan bahwa risiko itu dialihkan kepada buruh migran, memperlihatkan wajah kapitalisme ekstraktif yang mengeksploitasi tubuh manusia sebagaimana ia mengekstrak hasil sawit.

Disparitas upah berbasis gender juga muncul sebagai fakta mengejutkan. Pekerja perempuan di perkebunan sawit menerima upah lebih rendah dibanding laki-laki, meskipun beban kerja mereka tidak lebih ringan. Perempuan sering ditempatkan di lini pekerjaan berbahaya—seperti menyemprot pestisida—tetapi mendapat bayaran lebih kecil. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana eksplotasi berbasis kelas berlapis dengan diskriminasi gender. Laporan KBMB menekankan bahwa banyak pekerja perempuan terjebak dalam posisi “tak terlihat,” tanpa serikat, tanpa akses informasi, dan sering menjadi korban kekerasan seksual di tempat kerja.

Akhirnya, laporan itu mencatat bahwa lebih dari 50% pekerja menerima upah di bawah upah minimum nasional Malaysia. Bahkan ketika sakit, gaji mereka dipotong, sementara kompensasi lembur hampir tidak pernah diberikan. Data ini menunjukkan bahwa sistem upah di perkebunan sawit bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bagian dari strategi sistemik untuk mempertahankan biaya produksi serendah mungkin. Dalam perspektif keamanan manusia, kondisi ini menciptakan siklus kemiskinan yang memaksa pekerja bertahan dalam eksploitasi tanpa pilihan lain. Dengan kata lain, pekerja migran Indonesia di Sabah bukan sekadar buruh, melainkan korban dari suatu arsitektur ekonomi-politik yang sengaja dibangun untuk menguntungkan industri sawit global, dari perusahaan lokal hingga rantai pasok transnasional.

Lembaga ini menekankan bahwa upah yang dibayarkan jauh di bawah living wage, dan pekerja serta keluarganya tetap hidup dalam jeratan kemiskinan struktural meski bekerja keras .

Riset dari ODI (2024) menjelaskan bahwa pekerja terjerat utang dari biaya migrasi, akomodasi, dan jasa perekrut. Utang ini sering bersifat tinggi bunga, memaksa pekerja terus bekerja dalam kondisi buruk demi pelunasan. Bentuk ini merupakan debt bondage, yang dikategorikan sebagai perbudakan modern oleh ILO.

Mulai 1 Februari 2025, pemerintah Malaysia menetapkan upah minimum nasional sebesar RM 1.700 per bulan (sekitar USD 364), yang berlaku di seluruh negeri termasuk Sabah; nilai ini terus berlaku secara menyeluruh mulai 1 Agustus 2025 untuk semua jenis usaha .
Namun, laporan KBMB menemukan bahwa lebih dari 50 % pekerja migran di perkebunan menerima upah di bawah ambang minimum ini, tanpa kompensasi lembur dan sering mengalami pemotongan gaji saat sakit .
Implikasinya: Kebijakan formal sudah ada, tetapi implementasi di lapangan nyaris nihil—pelanggaran sistemik terhadap standar ekonomi minimum.

See also  Perang Ukraina dan Dampaknya terhadap Tatanan Dunia: Analisis Ekonomi, Geopolitik, dan Masa Depan Global

KBMB menyoroti bahwa pekerja perempuan mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan laki-laki meski melaksanakan tugas serupa . Hal ini sejalan dengan temuan lain yang menunjukkan bahwa dalam sektor kelapa sawit, perempuan lebih sering dipekerjakan sebagai pekerja harian tanpa manfaat sosial, dan cenderung memperoleh upah di bawah minimum . Implikasinya: Ketimpangan ekonomi berbasis gender bukan insiden individual, melainkan strategi eksploitasi terselubung dalam struktur tenaga kerja migran.

Pelanggaran HAM Emosional dan Fisik

Dalam banyak kasus, agen perekrut (PJTKI) tidak hanya bertindak sebagai perantara resmi, tetapi justru menyerupai jaringan trafficking modern. Mereka membebankan biaya perekrutan yang sangat tinggi, mencapai USD 3.000 per orang—angka yang tidak masuk akal jika dibandingkan dengan rata-rata gaji bulanan pekerja migran di Malaysia yang hanya berkisar RM 1.500–1.700. Beban finansial yang dipaksakan ini membuat pekerja masuk dalam lingkaran utang yang nyaris mustahil dilunasi. Dari perspektif hukum internasional, praktik ini masuk dalam kategori debt bondage, salah satu bentuk perbudakan modern yang secara eksplisit dilarang oleh Konvensi ILO Nomor 29 tentang Kerja Paksa.

Lebih jauh, agen perekrut kerap menahan dokumen penting seperti paspor dan visa kerja milik pekerja. Penahanan dokumen ini tidak hanya ilegal, tetapi juga menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Tanpa dokumen, pekerja tidak memiliki mobilitas, tidak bisa berpindah kerja, bahkan tidak bisa melapor kepada otoritas. Laporan Human Rights Watch (2021) menunjukkan bahwa penahanan dokumen merupakan salah satu indikator utama kerja paksa di sektor perkebunan sawit Malaysia. Dengan kata lain, paspor yang seharusnya menjadi simbol identitas dan perlindungan justru berubah menjadi senjata pengekangan.

Selain penahanan dokumen, tidak jarang pekerja dimasukkan ke pusat penampungan atau penahanan yang dikelola agen selama berbulan-bulan. Pusat ini sering digambarkan sebagai “rumah transit,” tetapi dalam kenyataannya lebih mirip penjara. Pekerja dipaksa tinggal dalam kondisi penuh sesak, dengan makanan minim, tanpa akses kesehatan, dan diawasi ketat. Amnesty International pernah mendokumentasikan kasus serupa pada 2019, ketika puluhan pekerja migran Indonesia ditahan berbulan-bulan di Sabah sebelum “dilepaskan” ke perkebunan tertentu. Praktik ini memperlihatkan wajah trafficking yang beroperasi dengan kedok legalitas formal.

Kondisi seperti ini mencerminkan tindak kekerasan struktural dan psikis. Kekerasan struktural terlihat dari bagaimana sistem perekrutan dibiarkan lemah, membuka celah bagi agen nakal untuk memonopoli akses kerja. Kekerasan psikis muncul dari trauma yang dialami pekerja: rasa takut kehilangan pekerjaan, ancaman deportasi, hingga tekanan mental karena dipisahkan dari keluarga dalam kondisi yang tidak menentu. Psikolog migrasi sering menyebut kondisi ini sebagai learned helplessness, di mana pekerja akhirnya menerima eksploitasi sebagai sesuatu yang “normal” karena tidak melihat adanya jalan keluar.

Dalam perspektif geopolitik, praktik trafficking oleh agen perekrut ini bukan hanya masalah mikro, melainkan bagian dari ekonomi politik migrasi internasional. Indonesia, sebagai negara pengirim, kerap kesulitan mengawasi ratusan agen yang beroperasi, sementara Malaysia, sebagai negara penerima, menutup mata demi menjaga biaya tenaga kerja tetap rendah. Korporasi transnasional di sektor sawit juga ikut diuntungkan dari sistem yang korup ini. Alhasil, pekerja migran Indonesia menjadi korban dalam pusaran kepentingan negara dan korporasi. Tanpa reformasi menyeluruh, sistem perekrutan akan terus menjadi jalur legalisasi trafficking, merusak martabat manusia, dan memperdalam luka serumpun yang sudah lama menganga.

Analisis Politik: Vulnerabilitas sebagai Produk Sistem

Beberapa temuan kajian menunjukkan beberapa pemahaman penting: eksploitasi pekerja migran Indonesia di Malaysia bukanlah semata-mata akibat perilaku agen perekrut nakal atau majikan yang curang. Sebaliknya, persoalan ini merupakan hasil dari struktur politik-ekonomi yang kompleks dan terinstitusionalisasi. Sistem migrasi tenaga kerja dibentuk oleh regulasi yang lemah, ketimpangan distribusi kekuasaan antara negara pengirim dan penerima, serta peran korporasi besar yang mendominasi sektor kelapa sawit. Dengan kata lain, eksploitasi ini bukan anomali, tetapi sebuah konsekuensi logis dari arsitektur ekonomi global yang menempatkan buruh migran pada posisi paling lemah.

Pertama, regulasi yang lemah menjadi pintu utama bagi praktik eksploitasi. Meskipun Indonesia dan Malaysia telah menandatangani sejumlah Memorandum of Understanding (MoU) terkait perlindungan tenaga kerja, implementasinya kerap mandek. Laporan ODI menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan di lapangan minim, sementara mekanisme penegakan hukum seringkali lebih berpihak pada kepentingan industri. Situasi ini melahirkan regulatory gaps yang dengan sengaja dimanfaatkan oleh agen perekrut maupun perusahaan untuk menekan biaya produksi. Akibatnya, pekerja migran menjadi korban regulasi yang ada hanya di atas kertas tetapi tidak memiliki kekuatan di lapangan.

Kedua, ada ketimpangan kekuasaan yang nyata dalam hubungan antara pekerja migran dan aktor-aktor dominan. Pekerja migran tidak memiliki bargaining power, baik secara individual maupun kolektif, karena status mereka seringkali rentan: tidak terdokumentasi, kontrak kerja tidak jelas, atau berada di bawah kendali agen perekrut. Sementara itu, perusahaan-perusahaan perkebunan besar yang menguasai ribuan hektar lahan sawit memiliki akses langsung ke modal internasional, dukungan kebijakan pemerintah, dan jaringan distribusi global. Ketimpangan ini menjadikan pekerja migran sekadar “roda gigi kecil” dalam mesin kapitalisme ekstraktif yang tak memberi ruang tawar.

Ketiga, fragmentasi pekerja menjadi faktor yang memperburuk kerentanan. Migran Indonesia di Malaysia datang dari berbagai daerah, dengan latar belakang sosial, bahasa, dan pendidikan yang beragam. Perbedaan ini sering dimanfaatkan untuk mencegah mereka membentuk solidaritas kolektif atau serikat pekerja yang kuat. Banyak pekerja bahkan ditempatkan di perkebunan terpencil, jauh dari pusat kota, membuat mereka terisolasi dan sulit mengakses informasi maupun bantuan hukum. Fragmentasi ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari desain politik-ekonomi untuk memecah potensi resistensi.

Keempat, dominasi korporasi di sektor kelapa sawit menjadi faktor yang mengunci siklus eksploitasi. Perusahaan multinasional yang membeli produk sawit dari Malaysia sering menutup mata terhadap kondisi pekerja di hulu rantai pasok. Meski ada standar internasional seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), pelanggaran hak buruh masih marak terjadi. Dalam praktiknya, perusahaan lebih fokus pada sertifikasi ramah lingkungan untuk menjaga citra global, sementara aspek perlindungan buruh justru diabaikan. ODI menekankan bahwa eksploitasi ini adalah bagian integral dari model bisnis global yang menuntut efisiensi biaya, sehingga buruh migran menjadi variabel yang paling ditekan.

Akhirnya, kajian ODI memperlihatkan bahwa eksploitasi pekerja migran Indonesia di Malaysia adalah luka struktural yang menuntut solusi sistemik. Bukan cukup dengan menghukum agen nakal atau memperbarui MoU, tetapi dengan membongkar struktur politik-ekonomi yang memproduksi kerentanan. Ini berarti memperkuat regulasi lintas negara, membangun mekanisme transparansi rantai pasok, mendorong akses pekerja terhadap serikat, dan menegakkan standar upah layak global. Tanpa langkah sistemik, pekerja migran akan terus menjadi korban dari sebuah sistem yang diciptakan bukan untuk melindungi manusia, tetapi untuk menumpuk kapital bagi segelintir elite industri sawit.

Sebagai perusahaan perkebunan minyak sawit terbesar di dunia, Sime Darby Plantation menyandang sorotan tajam karena dugaan kerja paksa dalam rantai produksinya. Pada akhir 2020, U.S. Customs and Border Protection (CBP) mengeluarkan Withhold Release Order (WRO) yang menahan impor produk sawit dari Sime Darby karena ditemukan 11 indikator kerja paksa berdasarkan standar ILO.

Temuan CBP tersebut didukung oleh laporan Reuters yang menyatakan bahwa bukti kerja paksa di kebun-kebun Sime Darby sudah cukup untuk menahan produk mereka di pelabuhan-pelabuhan Amerika Serikat. Tindakan ini memicu tekanan global termasuk penolakan beli oleh sejumlah perusahaan konsumer besar global yang mempertanyakan catatan etis rantai pasok mereka.

Pada Februari 2023, CBP memutuskan untuk mencabut larangan impor setelah Sime Darby memperlihatkan komitmen perbaikan: audit dari pihak ketiga, pengembalian biaya rekrutmen berlebihan kepada ribuan pekerja migran, serta reformasi manajemen tenaga kerja. Namun proses ini juga mencerminkan bahwa hak pekerja bisa kembali hanya jika ada tekanan internasional yang keras, bukan karena negara-negara pengirim berhasil melindungi warganya secara sistematik.

FGV Holdings Berhad juga pernah terkena tindakan keras serupa. Pada September 2020, CBP melarang impor produk sawit FGV karena dugaan penggunaan kerja paksa, kekerasan fisik dan seksual, penahanan dokumen, serta kerja paksa anak. Tak hanya CBP, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) juga menjatuhkan sanksi pada FGV karena pelanggaran norma keberlanjutan dan HAM—seperti menahan paspor pekerja dan kondisi hidup yang buruk. Sebagai respons, FGV mengajukan petisi perubahan WRO pada Juli 2024, menyampaikan bukti upaya perbaikan: pengembalian biaya rekrutmen senilai RM 112 juta kepada lebih dari 22.600 pekerja, perbaikan fasilitas perumahan, serta sistem pengaduan independen dan akses serius terhadap serikat pekerja (NUPW) fgvholdings.com.

See also  Relasi Indonesia–Singapura: Interdependensi Ekonomi, Politik Keamanan, dan Dinamika Strategis ASEAN

Analisis Struktural: Negara, Korporasi, dan Pemerataan Keadilan

Kedua kasus di atas memperlihatkan bahwa eksploitasi buruh migran bukan sekadar kegagalan moral agen perekrut, melainkan produk dari sistem global ekonomi politik: korporasi besar punya modal, akses politik, dan kontrol atas tenaga kerja—sementara negara pengirim seperti Indonesia kesulitan mengawasi mereka; dan negara penerima seperti Malaysia sering lebih melindungi industri domestiknya.

Tekanan internasional seperti dari CBP dan penghentian pembelian (boycott) menjadi satu-satunya jalan efektif memperbaiki praktik, bukan melalui diplomasi bilateral atau perbaikan regulasi internal yang lemah. Ini memperkuat urgensi pendekatan transnasional, berbasis sistem, dan berbasis hak pekerja.

Korporasi Tindakan Internasional Reformasi yang Dilakukan
Sime Darby Plantation WRO CBP (Des 2020), larangan impor; pencabutan larangan (Feb 2023) Audit independen, pengembalian biaya rekrut, protokol kerja bebas paksa
FGV Holdings Berhad WRO CBP (Sep 2020); sanksi RSPO (2018) Pengembalian biaya rekrut, perbaikan fasilitas, sistem pengaduan, dukungan terhadap serikat pekerja

Praktik Tidak Formal dan Trafficking

Penelitian yang diterbitkan pada tahun 2018 dalam Anti-Trafficking Review menggambarkan kondisi pekerja migran Indonesia di perkebunan Sabah sebagai bentuk “bonded labour…a modern kind of slavery.” Istilah ini tidak berlebihan, karena dalam praktiknya pekerja dipaksa bekerja bukan hanya untuk mendapatkan gaji, tetapi untuk melunasi hutang perekrutan yang dipaksakan sejak awal. Hutang yang dikenakan oleh agen bisa mencapai ribuan ringgit atau bahkan ribuan dolar, dengan bunga yang tak masuk akal, sehingga pekerja terjerat dalam lingkaran perbudakan ekonomi. Dalam perspektif hukum internasional, bonded labour adalah salah satu indikator utama dari praktik kerja paksa yang diatur dalam Konvensi ILO No. 29.

Lebih jauh, laporan International Labour Organization (ILO) menegaskan bahwa eksploitasi pekerja migran tidak hanya terjadi di perkebunan, tetapi juga di sektor domestik. Ribuan pekerja rumah tangga asal Indonesia dilaporkan harus bekerja hingga 18 jam per hari, tanpa hari libur, dan dalam banyak kasus upah mereka tidak dibayarkan penuh. Sebagian gaji dipotong secara sistematis untuk melunasi “fee perekrut,” yang seharusnya ditanggung oleh majikan atau agen perekrut sesuai prinsip employer pays. Pemotongan upah ini menjadi bukti nyata bagaimana mekanisme migrasi justru melanggengkan perbudakan rumah tangga yang terbungkus dalam legitimasi kontrak kerja.

Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya praktik penahanan dokumen. Banyak pekerja domestik Indonesia di Malaysia melaporkan bahwa paspor mereka ditahan majikan atau agen sebagai “jaminan.” Tanpa dokumen, pekerja tidak bisa melapor ke polisi, tidak bisa meninggalkan rumah majikan, dan tidak bisa berpindah kerja. Situasi ini menciptakan dependency structure yang menjadikan pekerja sepenuhnya bergantung pada belas kasihan majikan. Amnesty International pada 2019 bahkan menyebut praktik ini sebagai bentuk confinement in private spaces—sebuah penjara domestik yang mengisolasi pekerja dari dunia luar.

Dari perspektif politik-ekonomi migrasi, praktik bonded labour dan kerja paksa di sektor domestik maupun perkebunan merupakan refleksi dari asimetri kekuasaan. Di satu sisi, ada kebutuhan industri dan rumah tangga Malaysia terhadap tenaga kerja murah yang fleksibel; di sisi lain, ada surplus tenaga kerja di Indonesia yang didorong migrasi sebagai jalan keluar dari kemiskinan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh agen perekrut untuk menciptakan pasar migrasi berbasis utang, dengan buruh migran sebagai objek yang paling rentan. Dengan kata lain, perbudakan modern ini bukan hasil kesalahan individu, melainkan produk dari arsitektur ekonomi-politik kawasan.

Implikasi dari praktik bonded labour dan kerja paksa ini jauh melampaui isu ketenagakerjaan. Ia merupakan ancaman terhadap keamanan manusia yang menimbulkan trauma kolektif, keretakan sosial di daerah asal pekerja, serta ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia. Setiap kasus kematian, pelecehan, atau penghilangan upah pekerja migran selalu menimbulkan reaksi keras dari publik Indonesia dan mencoreng hubungan bilateral. Karena itu, bonded labour di Sabah bukan hanya masalah sosial-ekonomi, tetapi juga persoalan geopolitik yang menguji sejauh mana ASEAN mampu melindungi warga negaranya dari bentuk-bentuk perbudakan modern di abad ke-21.

Peneliti dalam Anti-Trafficking Review (2018) menyebut kondisi pekerja migran di perkebunan Sabah sebagai “bonded labour… a modern kind of slavery”. Ini bukan hanya metafora dramatis—melainkan refleksi nyata bagaimana pekerja dijerat utang perekrutan yang mencengkeram sejak hingga ke masa depan. Pembebanan uang muka tinggi dan bunga memberatkan menciptakan jerat perbudakan modern yang tidak bisa dilepas meski pekerja telah bekerja bertahun-tahun. Pakar migrasi menyebut praktik ini sebagai bentuk kontrol struktural yang mengikis agensi individual.

Lebih mengejutkan, laporan ILO (2023) menyatakan bahwa sekitar 29% pekerja domestik migran di Malaysia berada dalam kondisi kerja paksa—indikatornya mencakup jam kerja yang berlebihan, upah rendah, pembatasan gerak, dan ketidakmampuan meninggalkan pekerjaan—tanpa ruang negosiasi . Ini sejalan dengan survei yang menemukan bahwa sebanyak 89% pekerja domestik bekerja lebih dari 48 jam per minggu, sementara 41% mengalami penahanan paspor oleh majikan atau agen . Fakta ini menegaskan bahwa kerja paksa bukan jarang, melainkan hampir menjadi norma sistemik.

Dalam banyak kasus, pekerja tidak diberi hak istirahat mingguan. Penelitian mengungkap bahwa 95% dari pekerja domestik yang disurvei pernah tidak mendapatkan hari libur mingguan, dan meski ada yang memperoleh satu “day off”, sebagian besar tidak diberikan dengan penuh selama 24 jam; mereka tetap diharuskan bekerja selama “waktu istirahat” tersebut . Nilam, salah satu narasumber, berkata, “In 23 months, I never had a day off. I feel like I’m in prison.” Ini bukan hiperbola — ini penjabaran nyata kekangan fisik dan mental yang membelenggu pekerja harian IDWF.

Ketika hak dasar ini dirampas, dampaknya langsung dirasakan baik oleh tubuh maupun jiwa pekerja migran. ILO menyebut bahwa 78% pekerja melaporkan stres, kelelahan, atau depresi akibat hak istirahat yang dicuri . Tanpa perlindungan hukum dan akses ke serikat, pekerja perempuan, yang mendominasi sektor ini, tak hanya menghadapi eksploitasi ekonomi, tetapi juga trauma psikososial yang sekaligus memicu keretakan sosial di komunitas asal mereka.

Secara geopolitik, fenomena ini mencerminkan kegagalan dua negara—Indonesia dan Malaysia—dalam menjamin keamanan manusia. Indonesia belum mampu memastikan warganya tidak terjebak dalam kerja paksa, sementara Malaysia belum menerapkan regulasi ketenagakerjaan domestik secara konsisten. Padahal, ILO Convention No. 189 (2011) mewajibkan hak pekerja domestik atas hari istirahat, upah minimum, dan kebebasan memilih tempat tinggal. Jika tidak segera ada reformasi sistemik, migran domestik akan terus menjadi korban peran geopolitik penderitaan terbungkus legalitas.

Ringkasan Kasus & Data Utama

Fakta Lapangan Data Statistik
Kondisi bonded labour di Sabah Deskripsi eksplisit dalam laporan 2018
Proporsi pekerja dalam kondisi kerja paksa ≈ 29% pekerja domestik migran di Malaysia DOL+3The Diplomat+3IDWF+3Anti-Trafficking Review+10Reuters+10The Diplomat+10
Jam kerja panjang & penahanan paspor 89% di atas 48 jam/minggu; 41% paspor ditahan IDWF
Hak istirahat mingguan yang dicabut 95% pernah tidak mendapat hari libur; bahkan yang mendapat tidak sepenuhnya valid IDWF+1
Dampak mental-fisik 78% mengaku stres/depresi akibat eksploitasi IDWF
Aturan internasional terkait ILO Convention No. 189 tentang pekerja domestik Wikipedia

 Kondisi Kerja yang Terstruktur Merugikan: Bayang-Bayang di Ladang Kelapa Sawit

Para pekerja migran Indonesia di perkebunan Malaysia menghadapi realitas kerja yang jauh dari kata manusiawi. Mereka secara sistematis dipaksa bekerja lebih dari batas standar, tidak mendapat hari istirahat layak, dan diperlakukan berbeda dibanding pekerja lokal—melanggar prinsip non-diskriminasi Konvensi ILO. Lebih dari separuh pekerja bahkan tidak memiliki kontrak formal, menjadikan mereka tanpa perlindungan hukum apapun. Ketimpangan struktural ini menjebak mereka dalam reruntuhan sistemik yang sulit dibebaskan.

Sebagai analis yang menakar celah struktural geopolitik, saya melihat bahwa kurangnya kontrak kerja ini menciptakan ruang eksploitasi yang sistemik. Di perkebunan yang padat tenaga kerja, aturan formal hanya jadi fala. Pekerja—sering perempuan—didudukkan sebagai tenaga kerja informal, bertaruh pada janji upah tanpa jaminan real. Pendekatan sistemik ini melemahkan kewenangan pekerja untuk bersuara.

Lebih jauh, kebijakan upah minimum nasional Malaysia seringkali tidak ditegakkan pada sektor informal seperti perkebunan. Banyak pekerja, terutama migran, terjebak dalam upah di bawah batas hidup layak, tanpa kompensasi lembur dan bahkan pemotongan gaji saat sakit. Lebih dari separuh pekerja mendapat upah rendah tanpa jaminan keselamatan kerja.

Ketidakpatuhan atas protokol keselamatan dan kesehatan memperparah situasi. Banyak pekerja—terutama perempuan—terpapar pestisida tanpa pelindung memadai. Tugas-tugas berbahaya seperti penyemprotan bahan kimia dijalankan tanpa pelatihan atau alat lengkap. Ini bukan sekadar pengabaian, melainkan pengorbanan nyawa demi efisiensi.

See also  Strategi Amerika Serikat Menghadapi Gangguan Cina di Laut Cina Selatan: Perspektif Indo-Pacific Security

Secara keseluruhan, kondisi kerja ini adalah gejala dari mekanisme struktural yang memungkinkan eksploitasi meluas. Ketika regulasi lemah dan tenaga kerja dipersepsikan sebagai komoditas disposable, eksploitasi menjadi tak terhindarkan—menjahat dalam kabut normalisasi. Kita melihat bukan hanya kelalaian, tetapi juga preseden geopolitik yang mereduksi manusia menjadi aset murah.

 Upah Tertahan dan Jeratan Utang: Mekanisme Perbudakan Modern

Upah tertahan menjadi realitas yang lazim di kalangan pekerja migran. Pesan gelap dari masa lalu terulang: gaji ditahan oleh agen atau majikan, memaksa buruh bekerja terus tanpa remunerasi penuh. Kasus serupa terungkap dalam resolusi IOM—pemerintah Malaysia dan lembaga internasional bekerja untuk mengenali dan mengurangi risiko eksploitasi tenaga kerja dan trafficking.

Kemudian datang jeratan utang: pekerja dipaksa menanggung biaya migrasi—pengurusan dokumen, transportasi, dan jasa agen—yang mencapai ribuan dolar. Utang ini tidak bisa dilunasi dalam setahun, bahkan dipotong sebagian dari upah tak berujung. Bentuk debt bondage ini merupakan perbudakan modern yang diakui dan dilarang di ranah konvensi HAM internasional.

Sebagai analis intelijen strategis, saya mencatat bahwa utang dan penahanan upah bukan sekadar pelanggaran ekonomi, tetapi alat kontrol. Ini menahan pekerja dalam kondisi stabil terhadap eksploitasi, tanpa akses ke keadilan atau perlindungan. Mekanisme hutang menjadi pintu masuk untuk dominasi struktural.

Upaya mitigasi dari pemerintah Indonesia dan lembaga internasional masih ada, namun struktur yang memproduksi hutang tetap kuat. Intervensi seperti program pelatihan agen dan inspeksi tutup mulut, jika tak dibarengi reformasi struktural, hanya jadi tambal sulam atas luka sistemik.

Data resmi menunjukkan bahwa penahanan upah dan hutang eksploitasi bukan kasus sporadis, melainkan pola jangka panjang. Ini membawa konsekuensi geopolitik: ketika warga negara dipaksa terjebak dalam hutang migrasi, negara pengirim direndahkan kapabilitas proteksinya.

Aneka Bentuk Kekerasan Fisik dan Psikologis: Jejak Luka di Tubuh dan Jiwa

Eksploitasi pekerja migran bukan hanya ekonomi—namun mencakup kekerasan fisik dan psikologis. Agen perekrut atau majikan sering menahan paspor, membatasi mobilitas, dan bahkan mengurung pekerja di asrama tertutup tanpa kontrol. Hal ini melanggar prinsip kebebasan fundamental dan mengarah pada pelanggaran intensif terhadap hak asasi.

Dalam beberapa kasus, pekerja tertindas mengalami kekerasan seksual dan pelecehan. Meskipun tidak selalu terekspos luas, laporan ini mengisyaratkan luka dalam yang sulit disembuhkan. Dalam skala individu, trauma ini menciptakan rasa takut yang membungkam keadilan.

Sebagai analis keamanan, saya menilai bahwa kekerasan struktural ini adalah elemen kontrol sosial. Ketika jalan ke keadilan ditutup, pekerja hanya punya satu pilihan: diam. Trauma kolektif ini melebur ke komunitas migran, memperkuat ketakutan dan kekuasaan represif agen eksploitasi.

Selain itu, perlakuan kasar melampaui norma kerja: intimidasi, ancaman, dan tindakan fisik maupun psikologis menjadi instrumen tanpa suara di lapangan. Ini adalah bentuk teror sistemik yang menandai relasi kekuasaan antara negara pengirim, pekerja, dan negara tuan rumah.

Respons hukum Malaysia terhadap pelanggaran ini kondisional—beberapa kasus ditangani, tetapi banyak lainnya tenggelam tanpa penyelesaian. Ini menyorot celah sistemik dalam perlindungan HAM yang harus dijembatani oleh diplomasi yang lebih kuat dan koordinasi mutu penegakan hukum regional.

 Mekanisme Proteksi Indonesia: Diplomasi, Inspeksi, dan Eksistensi Hot-line

Pemerintah Indonesia menyadari dilema tersebut dan mengadopsi berbagai instrumen protektif. Termasuk di antaranya adalah pembentukan One Channel System lewat MoU tahun 2022, yang mengatur mekanisme rekrutmen hingga pemulangan pekerja. Namun, implementasi rancu dan penyalahgunaan membuat pemerintah sempat memberlakukan moratorium pengiriman pekerja.

Selain itu, Indonesia menyediakan layanan hotline pengaduan dan Brigadir Desk di Kedutaan Besar di Kuala Lumpur. Ini menjadi titik kritis akses pekerja untuk melaporkan pelanggaran. Meski demikian, efektivitas sistem ini sangat bergantung pada respons jaringan lapangan dan koordinasi dua negara secara real-time.

Secara struktural, pemerintah melakukan inspeksi agen dan perkebunan. Namun, tekanan terhadap aktor korporat raksasa dan kurangnya tindakan hukum tegas menjadikan intervensi ini terlihat simbolis. Tanpa reformasi regulasi perekrutan dan penegakan hukum internal Malaysia, langkah ini tetap di ujung drag diplomasi.

Dari perspektif intelijen strategis, proteksi Indonesia berada di persimpangan: antara menjaga hubungan bilateral dan melindungi warga. Pekerja migran adalah aset politik—pelindungannya penting untuk stabilitas domestik dan kredibilitas global Indonesia sebagai negara pengirim tenaga kerja.

Eksploitasi sebagai Luka Struktural dan Geopolitik: Rekomendasi Berbasis Sistem

Eksploitasi tidaklah kebetulan—dia sistemik. Struktur regulasi yang longgar, dominasi modal korporat, dan marginalisasi pekerja migran menyusun sistem yang secara geografis restriktif. Oleh karena itu, jawaban atas problem ini harus berorientasi sistemik.

Pertama, penegakan living wage dan kontrak formal wajib ditetapkan melalui MoU bilateral yang kuat, bukan sekadar deklarasi. Kedua, agen perekrut perlu dipaksa terakreditasi dengan pengawasan ketat, bagi yang melanggar harus dicabut izin dan diterapkan sanksi oleh BP2MI dan otoritas Malaysia.

Ketiga, gunakan instrumen global seperti U.S. CBP yang pernah memblokir ekspor Sime Darby karena tuduhan kerja paksa sebagai leverage diplomasi. Tekanan seperti ini efektif menekan aktor industri yang menolak reformasi.

Keempat, litigasi pro kolektif terhadap perusahaan-perusahaan besar penyandang dana global menjadi strategi penting. Di belakang perkebunan, ada rantai pasok multinasional: Nestlé, Unilever, dan lainnya wajib menjamin supply tanpa asap eksploitasi. Advocacy berbasis global supply chain dapat membuka pintu keadilan ekstra-teritorial.

Akhirnya, pekerja migran harus dianggap sebagai aktor strategi. Membangun kesadaran politik, pendidikan digital, dan mendukung serikat mereka—ini akan mengubah posisi tawar mereka dari objek ke subjek politik. Jika tidak, eksploitasi ini akan terus menjadi luka struktural yang membusuk di dalam hubungan serumpun.

Kesimpulan dan Temuan

Eksploitasi pekerja migran Indonesia di Malaysia bukan sekadar problem ketenagakerjaan, melainkan cermin dari struktur politik-ekonomi global yang sengaja dibiarkan timpang. Dari laporan Koalisi Buruh Migran Berdaulat, studi ILO, hingga sanksi internasional terhadap korporasi sawit raksasa, kita melihat benang merah: pekerja migran terjebak dalam jeratan sistem yang memperlakukan mereka bukan sebagai manusia dengan hak, melainkan sebagai komoditas murah dalam rantai pasok global.

Temuan pertama adalah kerapuhan regulasi dan lemahnya penegakan hukum. MoU bilateral antara Indonesia dan Malaysia tidak mampu mencegah pekerja jatuh ke dalam kondisi “legal limbo,” tanpa kontrak formal, dan dengan dokumen yang ditahan. Regulasi formal ada, tetapi pengawasannya minim, sehingga membuka ruang eksploitasi sistematis.

Temuan kedua adalah praktik perbudakan modern dalam bentuk bonded labour dan debt bondage. Biaya perekrutan yang mencapai ribuan dolar, upah yang dipotong, serta jeratan utang berbunga tinggi menjadikan pekerja terikat pada majikan dan agen perekrut. Kondisi ini tidak berbeda dengan perbudakan konvensional, hanya dibungkus dengan istilah modern yang dilegalkan oleh celah regulasi.

Temuan ketiga adalah ketidakadilan berbasis gender. Pekerja perempuan menghadapi diskriminasi ganda: upah lebih rendah, pekerjaan berbahaya tanpa perlindungan, serta risiko tinggi terhadap pelecehan seksual. Diskriminasi ini memperlihatkan bahwa eksploitasi pekerja migran tidak hanya soal kelas ekonomi, tetapi juga berlapis pada aspek gender dan seksualitas.

Temuan keempat adalah peran dominan korporasi global. Kasus Sime Darby dan FGV menunjukkan bagaimana perusahaan multinasional bisa terus meraup keuntungan di atas penderitaan pekerja, hingga akhirnya ditekan oleh otoritas internasional seperti CBP atau lembaga sertifikasi global. Artinya, perlindungan pekerja lebih banyak datang dari tekanan eksternal, bukan dari komitmen negara pengirim maupun penerima.

Kesimpulannya, eksploitasi pekerja migran Indonesia di Malaysia adalah luka struktural dalam hubungan serumpun. Ia menciptakan penderitaan sosial, memperburuk ketidaksetaraan, dan menodai kredibilitas diplomasi ASEAN. Jika tidak ditangani secara sistemik—melalui reformasi regulasi, transparansi rantai pasok, dan penguatan posisi tawar pekerja—eksploitasi ini akan terus menjadi perbudakan modern di abad ke-21, yang menegasikan martabat manusia atas nama efisiensi ekonomi.

Daftar

  • IOM: Reducing Labour Exploitation in the Plantation Sector, 2024 kba13.com+6IOM Indonesia+6The Consumer Goods Forum+6

  • ILO: Migration cost survey among Indonesian plantation… ﹙dokumen resmi ILO﹚ ilo.org

  • Human Rights Watch & laporan resmi US CBP dan Reuters tentang pekerja migran dan kerja paksa Wikipedia+1

  • ODI (2024): Political economy analysis of Indonesian migrant workers’ vulnerabilities ODI: Think change

  • Artikel akademik: The Hidden Workforce: Exploiting Undocumented Migrants in Malaysian Plantations (2025) utsynergyjournal.org

 

 

About The Author