Pengantar
Buku Temanku, Teroris? karya Noor Huda Ismail adalah sebuah memoar yang jarang muncul dalam literatur Indonesia. Ia memadukan gaya jurnalisme investigatif dengan kedalaman emosi personal, menghadirkan sebuah kisah yang melampaui sekadar catatan biografis. Buku ini membuka tabir bagaimana dua anak muda, yang pernah berbagi kelas dan lantai tidur di Pondok Pesantren Ngruki, akhirnya menapaki jalan hidup yang berlawanan—satu menjadi pembawa damai, satu lagi terseret ke dalam jaringan terorisme internasional.
Pengantar dari Ahmad Syafii Maarif memberi bobot moral yang kuat, seolah menjadi penanda bahwa kisah ini bukan hanya soal dua individu, tetapi juga tentang arah perjalanan bangsa. Huda mengajak kita melihat radikalisme dari dekat, bukan sebagai konsep abstrak, melainkan sebagai kenyataan hidup yang lahir dari jaringan sosial, ideologi, dan pengalaman masa muda.
Dari Pesantren ke Afghanistan
Kisah dimulai dengan latar kehidupan santri di Ngruki. Bagi Huda dan Fadlullah Hasan—temannya yang kelak menjadi pelaku teror—pesantren adalah ruang pembentukan identitas. Pendidikan di sini bukan hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga memperkenalkan narasi besar tentang umat Islam yang tertindas, khususnya di Afghanistan.
Melalui serangkaian babak “kesaksian”, kita melihat bagaimana romantisme jihad dan cerita heroik para mujahid Afghanistan membentuk pandangan hidup para santri. Untuk Fadlullah, narasi ini bukan sekadar inspirasi; ia menjadi kompas hidup yang menuntunnya menuju Afghanistan dan akhirnya membawa konsekuensi yang tragis.
Tragedi Bom Bali dan Persimpangan Jalan
Bagian “Sebuah Awal” menjadi klimaks awal dari memoir ini. Noor Huda, saat itu seorang jurnalis, berada di garis depan liputan pasca Bom Bali 2002. Ia menyaksikan kehancuran fisik dan trauma kolektif, sekaligus melihat nama sahabat lamanya muncul dalam daftar yang dicurigai terlibat dalam aksi teror.
Dilema moral pun muncul. Apakah ia harus menghapus semua kenangan persahabatan? Atau justru berusaha memahami pilihan sahabatnya dengan kacamata empati? Buku ini menunjukkan bahwa memahami bukan berarti membenarkan—Huda tidak pernah memutihkan tindakan teror, namun ia menolak menanggalkan kemanusiaan dari pelakunya.
Membongkar Tradisi, Menelusuri Akar Radikalisme
Salah satu kekuatan buku ini adalah keberaniannya membedah bagaimana tradisi pendidikan, lingkungan sosial, dan faktor politik global berkelindan membentuk pola pikir radikal. Huda mengungkapkan bahwa radikalisme tidak lahir dalam ruang hampa; ia tumbuh dari campuran doktrin ideologis, ketidakadilan struktural, dan keterbatasan perspektif dunia luar.
Dengan latar belakangnya sebagai santri sekaligus jurnalis yang pernah bekerja di The Washington Post, Huda mampu membangun narasi yang kaya data dan pengalaman. Ia juga menunjukkan bahwa jalur keluar dari radikalisme bukan hanya melalui penegakan hukum, tetapi juga melalui pendekatan humanis: pendidikan kritis, dialog, dan rehabilitasi sosial.
Kenangan, Penjara, dan Jalan Kembali
Pertemuan Huda dengan Fadlullah di ruang tahanan Polda Metro Jaya menjadi titik emosional yang mengikat keseluruhan memoir ini. Dua puluh tahun setelah berpisah, mereka bertemu bukan di ruang keluarga atau masjid, melainkan di balik jeruji. Percakapan mereka mengingatkan bahwa meskipun jalan hidup telah berbeda jauh, ikatan kemanusiaan tetap ada.
Buku ini tidak memberikan akhir yang hitam-putih. Ia justru menantang pembaca untuk melihat kompleksitas manusia, bahkan mereka yang telah melakukan kekerasan.
Relevansi untuk Isu Terorisme di Indonesia
Dalam konteks kebijakan publik, Temanku, Teroris? relevan untuk dibaca oleh aparat penegak hukum, pembuat kebijakan, pendidik, dan pegiat perdamaian. Kasus Fadlullah mencerminkan bahwa penanggulangan terorisme tidak cukup hanya dengan operasi keamanan. Perlu ada program deradikalisasi yang memadukan pendekatan hukum dengan pembinaan mental, reintegrasi sosial, dan peluang ekonomi bagi mantan pelaku.
Di tengah meningkatnya ancaman radikalisasi digital, memoir ini juga menjadi peringatan bahwa proses rekrutmen teroris semakin canggih dan personal. Ia dapat merasuk melalui persahabatan, solidaritas keagamaan, dan janji kebangkitan umat—narasi yang sangat efektif di kalangan anak muda.
Penutup
Temanku, Teroris? adalah karya yang berhasil menyentuh hati sekaligus mengajak berpikir kritis. Ia memperlihatkan bahwa radikalisme bukan hanya soal ideologi, tetapi juga tentang hubungan manusia, lingkungan sosial, dan pilihan-pilihan hidup yang diambil di persimpangan.
Noor Huda Ismail menunjukkan bahwa memahami akar terorisme adalah langkah awal menuju perdamaian yang berkelanjutan. Buku ini layak menjadi bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin memahami Indonesia dari sisi yang jarang dibicarakan—sisi di mana persahabatan diuji oleh ideologi, dan kemanusiaan dipertaruhkan.
Leave a Reply