Singkil Lama, jejak sejarah Aceh Singkil yang berubah dari pelabuhan ramai menjadi desa pesisir penuh identitas budaya.

Jejak Keberadaan Singkil Lama: Dari Pelabuhan Ramai ke Desa Pesisir

Pendahuluan

Ketika pertama kali mendengar nama Singkil Lama, imajinasi saya langsung terbawa pada bayangan sebuah pelabuhan kuno yang dipenuhi kapal-kapal kayu, suara para pedagang yang sibuk menawar, dan aroma rempah yang bercampur dengan angin laut. Nama itu bukan sekadar sebuah penanda lokasi, melainkan representasi dari sebuah masa di mana peradaban pesisir pernah berdenyut dengan penuh kehidupan. Bagi masyarakat Aceh Singkil, Singkil Lama adalah lebih dari sekadar tempat—ia adalah bagian dari identitas kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Sebagai seorang mahasiswa antropologi, rasa ingin tahu saya muncul setiap kali mendengar cerita-cerita tua tentang Singkil Lama. Saya bertanya dalam hati: bagaimana daerah ini membentuk peradaban yang kuat di masa lalu? Apa yang membuatnya penting dalam sejarah perdagangan dan penyebaran Islam di pesisir barat Sumatra? Dan bagaimana kondisi Singkil Lama hari ini—apakah ia masih bisa kita temukan, atau hanya tersisa dalam cerita-cerita lisan?

Letak Singkil Lama

Secara geografis, Singkil Lama terletak di Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Kawasan ini berada di pesisir barat Sumatra, tepat di muara Sungai Singkil yang menjadi pintu masuk dari laut ke daratan. Posisi geografis ini sangat strategis, karena muara sungai selalu menjadi jalur vital dalam lalu lintas manusia dan barang, apalagi sebelum transportasi modern hadir.

Bayangkan, ratusan tahun lalu, sungai ini bukan hanya sekadar tempat masyarakat mencari ikan, tetapi juga jalan raya utama bagi pedagang dari Minangkabau, Tapanuli, Nias, hingga dari Arab dan India. Singkil Lama menjadi titik singgah yang menghubungkan pesisir barat Sumatra dengan dunia luar. Tidak heran bila wilayah ini berkembang lebih cepat dibanding desa-desa di pedalaman.

See also  Keberagaman di Aceh: Harmoni di Ujung Barat Nusantara

Desa-desa di sekitar Singkil Lama, seperti Kilangan dan Ujung, hingga kini masih mempertahankan ciri khas kehidupan pesisir. Ketika saya berkunjung, suasana desa terasa tenang, rumah-rumah panggung berdiri di tepi sungai, dan aktivitas masyarakat banyak berhubungan dengan laut. Walau sederhana, desa-desa ini menyimpan jejak masa lalu yang masih bisa terbaca melalui lanskap alam dan budaya masyarakatnya.

Sejarah Singkil Lama

Membicarakan sejarah Singkil Lama berarti berbicara tentang dua hal yang saling terkait: perdagangan dan Islamisasi. Pada abad ke-16 hingga abad ke-17, kawasan ini merupakan pelabuhan penting di pesisir barat Sumatra. Para pedagang membawa hasil bumi, rempah-rempah, serta berbagai barang dagangan. Di saat yang sama, mereka juga membawa ajaran Islam yang kemudian berakar di masyarakat pesisir.

Bagi saya, menarik sekali bagaimana jalur perdagangan menjadi pintu masuk agama dan budaya. Para ulama yang datang bersama para pedagang tidak hanya memperkenalkan Islam sebagai agama, tetapi juga sebagai cara hidup yang melekat dalam keseharian masyarakat. Nilai religiusitas masyarakat pesisir Singkil yang masih kuat hingga sekarang bisa ditelusuri akarnya dari masa-masa ini.

Namun, kejayaan itu tidak bertahan selamanya. Seiring bergesernya pusat pemerintahan dan berubahnya jalur perdagangan, Singkil Lama perlahan meredup. Pelabuhan yang dahulu ramai kini ditinggalkan, dan aktivitas ekonomi beralih ke tempat lain. Sejarah seakan berputar, dan Singkil Lama harus menghadapi kenyataan bahwa ia tidak lagi menjadi pusat dunia seperti dulu.

See also  Seni Kepemimpinan: Pengaruh, Integritas, dan Kekuatan Batin

Singkil Lama Hari Ini

Jika dibandingkan dengan masa lalu, kondisi Singkil Lama hari ini terasa jauh berbeda. Ia kini hanya sebuah kawasan desa dengan kehidupan masyarakat yang sederhana. Kebanyakan penduduk menggantungkan hidup dari laut, sungai, dan pertanian kecil. Dari sisi ekonomi, mungkin tidak ada lagi hiruk pikuk perdagangan besar. Namun, dari perspektif antropologi, Singkil Lama justru sangat menarik.

Mengapa? Karena ia bisa dilihat sebagai “museum hidup.” Rumah-rumah panggung kayu, tradisi adat, serta cara masyarakat berinteraksi dengan alam menunjukkan kesinambungan dari masa lalu hingga kini. Identitas budaya pesisir yang terbentuk berabad-abad lalu masih bisa kita temukan dalam aktivitas sehari-hari masyarakat Singkil Lama.

Setiap kali berbincang dengan warga, saya merasakan betapa cerita-cerita tentang masa lalu tidak pernah benar-benar hilang. Ingatan kolektif itu selalu diwariskan melalui percakapan, melalui dongeng yang dituturkan orang tua kepada anak-anaknya. Inilah yang membuat Singkil Lama tetap hidup, meski secara fisik ia sudah berubah.

Apakah Singkil Lama Masih Ada?

Pertanyaan ini sering muncul dalam benak saya: apakah Singkil Lama masih ada? Jawaban sederhananya adalah ya, tetapi tidak dalam wujud kejayaan yang sama seperti dahulu. Singkil Lama kini hidup sebagai identitas kultural dan sosial, bukan sebagai pelabuhan besar.

Nama “Singkil Lama” masih diingat, disebut, dan bahkan dipakai sebagai penanda geografis. Dalam antropologi, hal ini disebut dengan cultural memory—ingatan budaya yang melekat dalam diri masyarakat dan diwariskan lintas generasi. Artinya, Singkil Lama tidak benar-benar hilang, hanya berubah bentuk. Dari sebuah pusat perdagangan menjadi sebuah desa dengan nilai sejarah dan budaya.

Dalam konteks akademis, keberadaan ini penting untuk dilestarikan. Ia bisa menjadi objek penelitian sejarah, antropologi, hingga pariwisata budaya. Jika dikelola dengan baik, Singkil Lama bisa menjadi ruang edukasi, tempat orang belajar bagaimana sebuah peradaban tumbuh, berjaya, dan akhirnya bertransformasi menjadi bentuk yang lebih sederhana.

See also  Aceh, Nation-State, dan Komparasi Global: Bali, Yogyakarta, Brunei, Singapura, dan Israel dalam Dialektika Demokrasi dan Agama

Penutup

Bagi saya, Singkil Lama adalah contoh nyata tentang bagaimana sebuah ruang geografis bisa menjadi saksi peradaban. Ia pernah menjadi pelabuhan ramai, pintu masuk Islam, sekaligus pusat kehidupan masyarakat pesisir. Kini, meski tidak lagi berjaya, Singkil Lama tetap hidup dalam bentuk lain—sebagai desa sederhana yang menyimpan identitas budaya.

Jejak Singkil Lama bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat hari ini terus menjaga dan menghidupkan warisan itu. Dengan segala perubahan zaman, Singkil Lama mengajarkan bahwa identitas tidak pernah benar-benar hilang. Ia mungkin meredup, tetapi selalu bisa ditemukan dalam ingatan, dalam budaya, dan dalam cara hidup masyarakatnya.

Singkil Lama memang bukan lagi pusat perdagangan dunia, tetapi ia adalah pusat ingatan sejarah. Dan mungkin, bagi generasi seperti saya, mengenali dan menuliskan kembali kisah ini adalah bagian kecil dari upaya menjaga warisan yang tidak ternilai.

Join KBA13 Readers Club
Ingin ikut diskusi tentang budaya lokal di Aceh?
Bergabunglah dengan komunitas pembaca KBA13.
👉 Klik di sini untuk join WhatsApp Group

About The Author


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *