Pendahuluan: Strategi sebagai Bahasa Peradaban
Daoed Joesoef, seorang pemikir strategis dan intelektual publik yang lahir dari tradisi filsafat, ilmu sosial, dan pengalaman birokrasi, menulis Studi Strategi dengan semangat untuk melampaui batas definisi strategi yang sempit. Bagi Joesoef, strategi tidak boleh direduksi menjadi sekadar instrumen militer. Strategi adalah logika peradaban, kerangka berpikir yang memungkinkan bangsa memahami dinamika kekuatan, mempertahankan eksistensi, dan menata pembangunan dalam horizon jangka panjang.
Sejak awal, Daoed menegaskan bahwa “strategi” adalah bahasa universal dalam mengelola keberlangsungan hidup. Setiap entitas—individu, kelompok, bahkan negara—punya strategi. Namun dalam konteks bangsa, strategi tidak hanya soal bertahan hidup, melainkan juga merancang jalan menuju kejayaan. Buku ini lahir sebagai respons terhadap kebutuhan Indonesia untuk memiliki grand strategy yang berakar pada realitas geografi, demografi, sejarah, dan peradaban maritimnya.
Pemikiran Konseptual – Melampaui Definisi Militeristik
Dalam bagian awal, Joesoef memperkenalkan pembaca pada berbagai definisi konseptual mengenai strategi. Ia mengulas fenomena pemikiran Jomini, Corbett, hingga Giap, tokoh-tokoh yang memandang strategi dari perspektif militer dan geopolitik. Namun Daoed tidak berhenti di situ. Ia memperluas horizon strategi ke dalam dimensi sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, bahkan diplomasi.
Dengan demikian, strategi dilihat sebagai kerangka berpikir integratif, bukan parsial. Ia berargumen bahwa pembangunan nasional tidak bisa dilepaskan dari strategi, sebab pembangunan selalu bersentuhan dengan kekuasaan, distribusi sumber daya, dan geografi politik. Pemikiran konseptual ini menjadi fondasi bahwa strategi bukan monopoli tentara, tetapi domain setiap pemimpin bangsa.
Kondisi Alami Strategis – Geopolitik sebagai Takdir
Daoed Joesoef kemudian membawa pembaca pada refleksi tentang kondisi alami strategis Indonesia. Geopolitik menjadi titik tolaknya. Ia menggambarkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 75 persen wilayah berupa laut, dan 25 persen berupa daratan yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau. Fakta geografis ini tidak bisa dipisahkan dari logika strategi bangsa.
Dari geopolitik lahirlah turunan lain: geostrategi, geoekonomi, geokultur, geopendidikan, dan geodiplomasi. Dalam setiap dimensi ini, Joesoef menekankan bahwa Indonesia harus membaca diri sebagai bangsa maritim. Geostrategi menuntut pembangunan kekuatan laut, geoekonomi menegaskan pentingnya jalur perdagangan laut, geokultur menyoroti keberagaman yang disatukan oleh laut, geopendidikan menekankan kurikulum nasional yang sadar geopolitik, dan geodiplomasi menempatkan laut sebagai panggung diplomasi global.
Buku ini menunjukkan bahwa strategi bangsa yang abai terhadap geopolitik maritim berarti mengkhianati takdir sejarah.
Gejolak Kawasan Teduh – Pasifik dan Tekno-Nasionalisme
Daoed juga mengulas gejolak kawasan Asia-Pasifik, yang disebutnya sebagai “kawasan teduh” karena kelihatan stabil namun penuh ketegangan laten. Ia mencatat eskalasi tekno-nasionalisme, yaitu perebutan supremasi teknologi sebagai faktor penentu dalam politik global. Bagi Joesoef, tekno-nasionalisme akan menjadi arsitektur baru dalam kontestasi antarbangsa.
Indonesia, dengan posisi strategis di antara Samudera Hindia dan Pasifik, tidak boleh hanya menjadi penonton. Strategi maritim, penguasaan teknologi, dan penguatan kekuatan laut adalah syarat mutlak agar Indonesia tidak terjebak menjadi obyek perebutan kekuatan besar. Bab ini menjadi kritik keras bahwa tanpa strategi teknologi, Indonesia akan selalu tertinggal dalam kompetisi global.
Strategi Pembangunan Nasional – Kritik atas Demokrasi dan Ekonomi
Bagian paling tajam dari buku ini adalah kritik Daoed Joesoef terhadap strategi pembangunan nasional. Ia membedakan antara “ide pembangunan” dan “ide kemajuan”. Bagi Joesoef, pembangunan sering kali dipahami secara picik—sekadar pembangunan fisik—tanpa dibarengi dengan logika kemajuan yang menyentuh pendidikan, kebudayaan, dan etika politik.
Ia menyinggung demokrasi Indonesia yang sakit, pembangunan yang salah arah, dan ekonomi yang rapuh karena bergantung pada logika instan. Daoed menyebut adanya “dewa yang gagal”—yaitu keyakinan berlebihan pada demokrasi prosedural tanpa substansi. Ia menegaskan bahwa pembangunan yang tidak berakar pada strategi nasional hanyalah proyek jangka pendek yang melahirkan kerapuhan struktural.
Dengan reflektif, Joesoef mengajak bangsa untuk membangun sejarah pembangunan, bukan sekadar proyek pembangunan. Sejarah pembangunan berarti kesadaran jangka panjang, di mana setiap generasi menyumbangkan narasi untuk kesinambungan bangsa.
Ketahanan Nasional sebagai Logika Strategi
Daoed menutup refleksinya dengan konsep ketahanan nasional. Baginya, ketahanan bukan hanya kemampuan militer untuk mempertahankan kedaulatan, tetapi logika menyeluruh yang mencakup ekonomi, sosial, politik, budaya, dan pendidikan. Ketahanan nasional adalah kemampuan bangsa untuk tetap eksis di tengah gejolak, sekaligus memastikan pembangunan berlanjut tanpa kehilangan arah.
Konsep ketahanan nasional ini menjadi relevan karena Daoed menempatkannya dalam kerangka strategi global. Ia menegaskan bahwa bangsa yang tidak memiliki logika ketahanan akan mudah diguncang oleh kekuatan eksternal. Sementara itu, bangsa yang mengembangkan logika ketahanan berbasis geopolitik, maritim, dan tekno-nasionalisme akan mampu bertahan sekaligus unggul dalam percaturan global.
Penutup: Warisan Intelektual Daoed Joesoef
Studi Strategi bukan sekadar buku teori, melainkan manifestasi dari perjalanan intelektual Daoed Joesoef yang kaya—sebagai akademisi, birokrat, pejuang pendidikan, sekaligus pemikir strategis. Ia menulis dengan gaya reflektif, kadang tajam, kadang puitis, namun selalu membawa pembaca untuk berpikir melampaui kebiasaan.
Warisan Joesoef adalah pesan bahwa strategi bukanlah monopoli militer atau teknokrat. Strategi adalah bahasa peradaban, logika yang memungkinkan sebuah bangsa membaca takdirnya, merancang masa depannya, dan bertahan di tengah turbulensi global. Buku ini penting dibaca bukan hanya oleh politisi atau militer, tetapi juga oleh akademisi, mahasiswa, dan siapa pun yang ingin memahami Indonesia sebagai bangsa dengan misi historis.