Kitab Al-Tandzīr karya Syaikh Majid al-Mursal membahas secara ilmiah bahaya Khawarij, takfir, dan penyimpangan pemahaman jihad. Telaah ini menghadirkan pandangan kritis para ulama demi menjaga kemurnian akidah Islam.

Memahami Kitab Al-Tandzīr Karya Syaikh Majid al-Mursal: Telaah Pemikiran tentang Khawarij, Takfir, dan Jihad

Pendahuluan

Kitab التنذير: مناقشة علمية لأبرز الشبهات المتعلقة بالإمامة والجهاد والتكفير karya Syaikh Majid bin Muhammad al-Mursal merupakan salah satu karya penting yang ditulis dalam rangka membentengi umat Islam dari berbagai penyimpangan pemikiran yang berakar dari tradisi Khawarij dan berkembang dalam bentuk-bentuk kontemporer. Kitab ini disusun bukan hanya sebagai bantahan terhadap syubhat yang berkembang, tetapi juga sebagai panduan ilmiah yang sistematis agar kaum Muslimin mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan dalam persoalan agama yang sangat fundamental: kepemimpinan (imamah), jihad, dan takfir.

Pentingnya kitab ini ditegaskan melalui tiga pengantar yang ditulis oleh ulama besar. Pertama, pengantar Syaikh Abdullah bin Sulaiman al-Munai‘, anggota Hai’ah Kibar al-‘Ulama’ sekaligus penasihat di Dewan Kerajaan Saudi. Beliau menekankan bahwa akar penyimpangan yang dibantah dalam kitab ini sesungguhnya merupakan kelanjutan dari prinsip-prinsip Khawarij, yakni mengkafirkan kaum Muslimin, menumpahkan darah mereka, serta menghalalkan harta dan kehormatan mereka dengan syubhat yang rapuh. Syaikh al-Munai‘ menyebut bahwa penyimpangan ini telah menimbulkan fitnah besar dalam sejarah Islam, dan generasi muda khususnya menjadi pihak yang paling rentan terpengaruh. Dalam pandangan beliau, kitab al-Tandzir hadir sebagai benteng ilmiah yang dapat menyingkap syubhat, mengungkap kesesatan, serta membimbing umat kepada manhaj yang lurus.

Kedua, pengantar Syaikh Shalih bin Abdullah bin Hamid, Imam dan Khatib Masjidil Haram serta anggota Hai’ah Kibar al-‘Ulama’. Beliau menggarisbawahi pentingnya metodologi ilmiah dalam menangani persoalan umat. Menurutnya, perbedaan dalam masalah ibadah, muamalah, atau fiqh bisa diselesaikan dengan kaidah istidlal yang benar, ijtihad yang kokoh, dan penguasaan ushul fiqh. Namun, jika penyimpangan itu berkembang ke arah takfir, operasi bunuh diri, penghalalan darah kaum Muslimin, dan pengabaian prinsip syariat, maka diperlukan karya seperti al-Tandzir untuk meluruskan kesesatan tersebut. Syaikh Shalih menegaskan bahwa penulis kitab ini mampu menguraikan syubhat dengan cermat, membantahnya dengan dalil, serta menyajikan terapi ilmiah terhadap penyakit ideologis yang berbahaya.

Ketiga, pengantar Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Menteri Urusan Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad. Beliau menekankan sisi epistemologis dari kitab ini. Menurutnya, salah satu sebab besar munculnya syubhat adalah lahirnya kelompok “setengah ulama” (an-nisfiyyah), yakni orang-orang yang memiliki sebagian ilmu tetapi tidak memahami metodologi ilmiah dalam menurunkan dalil kepada realitas. Mereka kerap mengutip ayat atau hadis tanpa memahami konteks, atau menafsirkan nash secara serampangan, lalu menisbatkannya kepada syariat. Inilah yang membuat umat terjerumus dalam kekacauan pemikiran. Karena itu, kitab al-Tandzir dipuji sebagai karya yang menempuh metode ulama salaf, mengaitkan dalil dengan maqasid syariah, dan menjelaskan kebenaran dengan pijakan yang kuat.

Arah kajian kitab ini tercermin jelas dari daftar isi yang luas dan mendalam. Penulis mengumpulkan puluhan syubhat yang sering dipakai kelompok radikal untuk membenarkan tindakan mereka, lalu membantahnya satu per satu dengan dalil dan kaidah ushul. Misalnya, syubhat tentang bai‘at dan imamah, yang dijadikan alasan untuk menolak legitimasi pemerintahan Muslim kontemporer. Syubhat tentang jihad, yang disalahgunakan untuk melegitimasi operasi bunuh diri dan tindakan kekerasan. Syubhat tentang takfir, yang dijadikan dasar untuk mengkafirkan penguasa dan masyarakat umum. Bahkan, penulis juga membahas isu-isu kontemporer lain seperti sikap terhadap pendidikan modern, nasionalisme, dan konsep negara bangsa, yang sering dijadikan pintu masuk oleh kelompok ekstrem untuk menyerang kaum Muslimin.

Dengan demikian, kitab ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, menyingkap tabir syubhat yang mengelilingi umat, sehingga masyarakat dapat melihat bahwa argumentasi kaum ekstremis sebenarnya rapuh dan bertentangan dengan dalil syar‘i. Kedua, memberikan fondasi metodologis yang kokoh agar umat Islam tidak mudah terjebak dalam logika dangkal atau dalil parsial yang dimanipulasi untuk membenarkan kekerasan dan pengkafiran.

Pendahuluan ini menegaskan bahwa al-Tandzir merupakan karya ilmiah yang kokoh, disokong oleh otoritas ulama besar melalui tiga pengantar yang penuh legitimasi. Kitab ini bukan hanya bantahan, tetapi juga panduan ilmiah yang mengajarkan cara berpikir lurus dalam menghadapi syubhat, serta mengembalikan umat pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Ia hadir sebagai warisan keilmuan yang meneguhkan prinsip bahwa keselamatan umat hanya dapat terwujud melalui ilmu, bimbingan ulama, dan penguasaan metodologi istidlal yang sahih.

Khawarij dan Akar Penyimpangan Takfir

Sejarah umat Islam telah mencatat munculnya kelompok yang menyalahi manhaj Nabi ﷺ dan para sahabat, yaitu Khawarij. Mereka adalah kelompok pertama yang mengusung doktrin takfir, mengkafirkan kaum Muslimin, dan menghalalkan darah serta harta mereka dengan dalih agama. Sejak peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin ‘Affan RA, Khawarij tampil sebagai kelompok yang mengaku membela agama, namun sesungguhnya mereka memecah belah umat dan merusak persatuan jamaah. Dari sinilah fitnah besar itu bermula, dan warisan intelektual mereka terus berulang dalam sejarah, mengambil bentuk baru di setiap zaman.

Syaikh Abdullah bin Sulaiman al-Munai‘ dalam pengantarnya menegaskan bahwa ciri utama Khawarij adalah keberanian mereka untuk mengkafirkan penguasa Muslim. Mereka menjadikan kesalahan penguasa sebagai dalih untuk keluar dari ketaatan, kemudian menghalalkan darah dan harta kaum Muslimin. Menurut beliau, bahaya terbesar Khawarij bukan hanya pada kekerasan yang mereka lakukan, melainkan juga pada syubhat yang mereka sebarkan. Syubhat itu seringkali tampak benar di permukaan, sehingga menipu para pemuda Muslim yang memiliki semangat agama, tetapi minim ilmu. Karena itu, beliau menilai kitab al-Tandzir sangat penting sebagai benteng ilmiah untuk membongkar kerancuan tersebut.

Syaikh Shalih bin Abdullah bin Hamid, Imam Masjidil Haram, menekankan bahwa fitnah Khawarij bukanlah sekadar perbedaan pandangan fiqh. Ia adalah penyimpangan akidah dan metodologi yang berbahaya. Beliau mengingatkan bahwa dari pembunuhan Khalifah Utsman RA hingga berbagai peperangan yang melibatkan Khawarij, selalu ada benang merah yang sama: sikap ghuluw (berlebihan) dan ghurur (tertipu oleh klaim kesalehan sendiri). Mereka mengira sedang berjuang demi agama, tetapi sejatinya justru menyalahi prinsip-prinsip syariat. Dengan latar belakang sejarah ini, beliau memandang kitab al-Tandzir sebagai terapi ilmiah untuk mengatasi penyakit ideologis yang berulang dalam tubuh umat.

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh melihat Khawarij dari sisi epistemologi. Menurutnya, bahaya Khawarij terletak pada cara mereka memahami nash. Mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan hadis secara terpotong, lalu menafsirkan dengan hawa nafsu tanpa memperhatikan kaidah ushul fiqh. Mereka tidak memahami nasikh-mansukh, tidak membedakan antara ‘am dan khas, mutlaq dan muqayyad, serta tidak menimbang maqasid syariah. Akibatnya, mereka jatuh dalam kesesatan yang parah. Beliau menegaskan bahwa inilah ciri khas orang-orang yang memiliki “setengah ilmu”: tampak berilmu di mata masyarakat, tetapi sejatinya menjerumuskan umat ke dalam kebingungan.

Dari tiga pengantar ulama besar ini, terlihat jelas bahwa syubhat-syubhat yang dibantah dalam kitab al-Tandzir merupakan kelanjutan dari manhaj Khawarij. Baik dalam isu kepemimpinan, jihad, maupun takfir, pola pikir yang dipakai adalah pola lama yang terus dihidupkan kembali. Oleh karena itu, upaya membantah syubhat-syubhat tersebut bukan sekadar menjawab perdebatan intelektual, melainkan bagian dari menjaga keselamatan umat dari fitnah yang sama berulang-ulang dalam sejarah.

Penulis kitab, Syaikh Majid al-Mursal, menyadari bahwa generasi muda Muslim adalah pihak yang paling rentan terhadap syubhat Khawarij. Semangat agama tanpa ilmu seringkali membuat mereka mudah terpedaya dengan slogan-slogan agama. Karena itu, beliau menyusun kitab ini secara sistematis, mengumpulkan syubhat-syubhat yang berkembang di masyarakat, lalu membantahnya dengan dalil al-Qur’an, hadis, dan pandangan ulama salaf. Hal ini sejalan dengan pesan para ulama pengantar, bahwa ilmu adalah benteng utama dalam menghadapi syubhat.

Penting dicatat bahwa Khawarij tidak pernah hilang, tetapi selalu bertransformasi. Mereka mungkin berubah nama, berganti wajah, atau menggunakan istilah-istilah baru, tetapi hakikatnya tetap sama: mengkafirkan, memecah belah, dan menumpahkan darah kaum Muslimin. Kitab al-Tandzir hadir untuk menunjukkan kontinuitas ini, sehingga umat dapat menyadari bahwa apa yang mereka hadapi hari ini hanyalah pengulangan dari fitnah lama yang pernah melanda generasi terdahulu.

Dengan demikian, Bab ini menegaskan posisi Khawarij sebagai akar dari penyimpangan pemikiran takfir. Ketiga ulama besar yang memberikan pengantar kitab ini sepakat bahwa karya Syaikh Majid al-Mursal adalah usaha ilmiah yang penting untuk menyingkap tabir syubhat tersebut. Kitab ini bukan hanya kumpulan bantahan, tetapi juga panduan metodologis agar umat tidak lagi terjerumus dalam pola pikir yang sama. Dari fondasi ini, penulis kemudian melanjutkan kajiannya dengan menguraikan prinsip-prinsip syariat dalam menghadapi syubhat, yang akan menjadi dasar bagi seluruh bantahan dalam kitab ini.

Prinsip-Prinsip Syariat dalam Menghadapi Syubhat

Sebelum memasuki pembahasan detail tentang syubhat, penulis kitab al-Tandzir terlebih dahulu menekankan prinsip-prinsip dasar syariat yang harus dipegang oleh setiap Muslim dalam menghadapi kerancuan pemikiran. Prinsip ini penting, sebab tanpa fondasi yang kokoh, seseorang akan mudah terombang-ambing oleh syubhat yang tampak meyakinkan di permukaan. Dengan menjadikan prinsip-prinsip ini sebagai pedoman, umat akan mampu melihat perbedaan antara hujjah yang benar dengan klaim yang menyesatkan.

Prinsip pertama adalah haramnya berbicara tanpa ilmu. Penulis mengingatkan bahwa banyak penyimpangan lahir dari orang-orang yang memberanikan diri berfatwa atau berbicara atas nama agama tanpa memiliki landasan ilmiah. Hal ini sejalan dengan firman Allah ﷻ dalam surah al-Isra’ ayat 36: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” Syubhat seringkali tersebar karena orang-orang yang dangkal ilmunya merasa cukup hanya dengan slogan atau pemahaman sepotong. Dengan menegakkan prinsip ini, penulis mengajarkan bahwa benteng pertama melawan syubhat adalah menahan diri untuk tidak berbicara dalam agama tanpa ilmu yang sahih.

Prinsip kedua adalah kewajiban mengembalikan persoalan kepada ahlinya. Allah ﷻ berfirman dalam surah an-Nahl ayat 43: “Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” Penulis menegaskan bahwa syariat mewajibkan umat untuk merujuk pada ulama dalam perkara-perkara besar seperti imamah, jihad, dan takfir. Penyimpangan muncul ketika individu-individu yang bukan ahlinya berani mengambil keputusan sendiri, lalu mengklaim bahwa tindakannya sesuai dengan syariat. Dengan prinsip ini, penulis ingin menutup pintu bagi munculnya otoritas tandingan yang lahir dari hawa nafsu atau semangat yang tidak terarah.

Prinsip ketiga adalah menjaga keseimbangan dalam memahami nash. Penulis mengingatkan bahwa syubhat sering lahir dari pemahaman parsial terhadap nash al-Qur’an atau hadis. Satu ayat diambil, sementara ayat lain yang menjadi pengimbang diabaikan. Padahal, metode Ahlus Sunnah adalah mengumpulkan seluruh dalil, memahami keterkaitan antara yang umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, serta menimbang nasikh dan mansukh. Dengan cara ini, seorang Muslim dapat terhindar dari jebakan syubhat yang biasanya dibangun di atas potongan nash yang dipisahkan dari konteksnya.

Prinsip keempat adalah menimbang segala sesuatu dengan maqasid syariah. Penulis menekankan bahwa syariat diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Oleh karena itu, dalam menghadapi syubhat, seorang Muslim tidak boleh hanya terpaku pada teks lahiriah, tetapi juga harus memahami tujuan syariat secara menyeluruh. Banyak penyimpangan muncul karena orang-orang hanya melihat dalil dari sisi tekstual tanpa memahami bahwa penerapannya harus mengarah pada tercapainya maslahat bagi agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.

Prinsip kelima adalah memperhatikan maslahat dan mafsadat dalam setiap keputusan. Penulis mengingatkan bahwa dalam syariat, tidak semua perkara yang mungkin benar secara teori boleh diamalkan jika pelaksanaannya menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Kaidah fiqh menyebutkan: “Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada meraih maslahat.” Oleh karena itu, banyak tindakan yang diklaim sebagai jihad atau amar ma‘ruf, tetapi sejatinya menimbulkan mafsadat yang lebih besar, sehingga syariat tidak membenarkannya. Prinsip ini menjadi kunci untuk menolak berbagai syubhat yang sering mengabaikan realitas kerusakan yang ditimbulkan.

Prinsip keenam adalah membedakan antara hukum asal dan aplikasi kasus individu. Penulis menekankan bahwa takfir misalnya, memiliki kaidah umum dalam syariat, tetapi penerapannya pada individu tertentu membutuhkan syarat dan harus dipenuhi sebab-sebabnya serta hilang penghalangnya. Mengabaikan prinsip ini akan melahirkan kekacauan, karena hukum yang umum langsung ditimpakan kepada individu tanpa melalui proses syar‘i yang benar. Inilah yang banyak dilakukan oleh kelompok Khawarij, dan inilah pula yang harus dihindari umat.

Akhirnya, penulis menegaskan bahwa seluruh prinsip ini bermuara pada satu hal: keselamatan umat hanya terwujud dengan ilmu dan bimbingan ulama. Syubhat akan terus ada, tetapi ia tidak akan berbahaya bagi orang yang berpegang pada ilmu, memahami dalil dengan metodologi yang benar, serta menyerahkan urusan besar kepada ulama yang terpercaya. Dengan prinsip-prinsip ini, penulis menyiapkan pembaca untuk memasuki bagian inti kitab, yaitu pembahasan tentang syubhat-syubhat yang berkembang dalam persoalan imamah, jihad, dan takfir, serta bantahan ilmiah terhadapnya.

Syubhat Takfir

Salah satu tema terbesar yang menjadi fokus bantahan dalam kitab al-Tandzir adalah masalah takfir, yakni pengkafiran kaum Muslimin tanpa hak. Penulis mengingatkan bahwa doktrin takfir merupakan pintu gerbang menuju fitnah yang luas. Sejarah mencatat, Khawarij adalah kelompok pertama yang mengangkat bendera takfir terhadap sahabat Nabi ﷺ dan kaum Muslimin, hingga menumpahkan darah mereka dengan dalih agama. Dalam konteks kontemporer, syubhat takfir kembali muncul dengan cara yang mirip: mengkafirkan pemerintah, masyarakat, bahkan individu yang melakukan dosa besar, seakan-akan mereka telah keluar dari Islam. Karena itulah, penulis memberikan perhatian khusus pada persoalan ini.

Syubhat pertama yang dibantah adalah anggapan bahwa setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara otomatis kafir. Penulis menegaskan perbedaan antara hukum asal dan penerapan pada individu. Al-Qur’an memang menyebut “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” (QS. al-Ma’idah: 44). Namun, para ulama menjelaskan adanya perbedaan antara kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam, dan kufur asghar yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari agama. Seseorang bisa jatuh pada dosa besar, zalim, atau fasiq, tetapi tidak otomatis kafir kecuali terpenuhi syarat dan hilang penghalangnya.

Syubhat kedua adalah klaim bahwa pelaku dosa besar secara mutlak telah kafir. Pandangan ini merupakan warisan Khawarij, yang menganggap setiap dosa besar mengeluarkan pelakunya dari Islam. Penulis menegaskan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama‘ah tidak mengkafirkan pelaku dosa besar selama ia masih mengakui kewajiban syariat dan tidak menghalalkan perbuatan dosanya. Mereka tetap berada dalam lingkup Islam, meskipun berada dalam ancaman siksa. Dengan penjelasan ini, penulis ingin mematahkan logika syubhat yang kerap dipakai untuk menghalalkan pengkafiran individu Muslim.

Syubhat ketiga adalah anggapan bahwa ulama dan pemerintah yang tidak sepaham dengan kelompok tertentu harus dikafirkan. Penulis menyebut bahwa kelompok-kelompok sesat sering menjadikan perbedaan pendapat atau kebijakan penguasa sebagai dalih untuk menuduh kufur. Padahal, para ulama telah menegaskan bahwa ketaatan kepada wali al-amr adalah bagian dari kewajiban agama, selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Mengkafirkan penguasa atau ulama tanpa hak hanya akan membuka pintu fitnah, merusak persatuan, dan menjerumuskan umat pada pertumpahan darah yang sia-sia.

Syubhat keempat adalah penyelewengan dalam memahami istilah al-wala’ wal-bara’. Sebagian orang menganggap bahwa setiap bentuk interaksi dengan non-Muslim atau keterlibatan dalam perjanjian internasional otomatis merupakan tanda kekufuran. Penulis menegaskan bahwa wala’ dalam makna syar‘i adalah loyalitas hati kepada agama Allah, sementara interaksi sosial, politik, atau diplomatik tidak otomatis termasuk dalam larangan wala’ terhadap orang kafir. Dengan penjelasan ini, syubhat takfir yang dibangun atas dasar kesalahpahaman wala’ wal-bara’ dapat dipatahkan.

Syubhat kelima adalah sikap sebagian orang yang menjadikan ayat-ayat jihad sebagai dalih untuk mengkafirkan mereka yang tidak ikut berperang. Penulis menjelaskan bahwa jihad adalah kewajiban yang memiliki syarat, rukunnya, dan otoritas yang sah. Tidak semua yang meninggalkan jihad dalam kondisi tertentu menjadi kafir. Penafsiran serampangan terhadap ayat jihad untuk mengkafirkan kaum Muslimin yang tidak sependapat hanyalah pengulangan dari kesesatan Khawarij terdahulu.

Syubhat keenam adalah pengkafiran karena kebodohan (al-‘udhr bil-jahl). Sebagian orang menolak adanya uzur karena ketidaktahuan, lalu menjadikan ketidaktahuan seseorang sebagai alasan untuk mengkafirkan. Penulis menegaskan bahwa Ahlus Sunnah menetapkan adanya uzur dalam banyak keadaan, terutama ketika dalil belum sampai kepada seseorang. Mengabaikan prinsip ini berarti menyalahi kaidah besar syariat yang dibangun atas dasar keadilan dan rahmat.

 Doktrin takfir yang berkembang di berbagai kelompok sesat bersandar pada syubhat yang rapuh. Mereka memotong ayat dari konteksnya, mengabaikan syarat-syarat takfir, serta menutup mata dari kaidah para ulama. Kitab al-Tandzir hadir untuk menegaskan kembali prinsip Ahlus Sunnah wal Jama‘ah dalam masalah ini: bahwa takfir adalah hukum syar‘i yang sangat berat, tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil yang jelas, syarat yang terpenuhi, dan penghalang yang hilang. Dengan menguraikan hal ini, penulis mengembalikan umat kepada jalan keselamatan, serta menutup pintu bagi fitnah yang lahir dari syubhat takfir.

Syubhat tentang Jihad

Jihad adalah salah satu tema yang paling sering disalahgunakan oleh kelompok-kelompok yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Penulis kitab al-Tandzir memberi perhatian khusus terhadap syubhat yang berkembang di sekitar konsep jihad, karena dari sinilah lahir banyak bentuk penyimpangan yang membahayakan umat. Menurut penulis, kesalahan dalam memahami jihad tidak hanya menimbulkan kerancuan ilmiah, tetapi juga menyebabkan pertumpahan darah yang tidak sah dalam syariat. Oleh sebab itu, bab tentang jihad dalam kitab ini berfungsi sebagai koreksi ilmiah yang penting.

Syubhat pertama adalah anggapan bahwa jihad telah gugur atau tidak berlaku di masa sekarang. Sebagian orang menolak jihad secara total, menganggap bahwa ia hanyalah kewajiban masa lalu yang tidak relevan dengan dunia modern. Penulis menegaskan bahwa jihad tetap ada sampai hari kiamat, karena ia adalah syiar besar dalam Islam. Akan tetapi, pelaksanaan jihad harus memenuhi syarat dan rukunnya, serta dipimpin oleh wali al-amr yang sah. Dengan demikian, penulis menolak pandangan yang meniadakan jihad sekaligus menolak pemahaman yang menjadikannya terbuka tanpa aturan.

See also  Membaca Etika Autentisitas Charles Taylor dalam The Sources of Authenticity

Syubhat kedua adalah klaim bahwa jihad bisa dilakukan tanpa izin penguasa. Penulis menyebut bahwa banyak kelompok radikal menggunakan dalih jihad untuk melakukan aksi-aksi bersenjata tanpa restu dari wali al-amr. Padahal, para ulama telah menegaskan bahwa jihad qital (perang) adalah kewajiban yang harus berada di bawah otoritas sah, agar tidak menimbulkan kekacauan dan fitnah. Mengabaikan syarat ini sama dengan membuka pintu bagi setiap kelompok untuk menumpahkan darah sesukanya, yang justru menyalahi tujuan jihad itu sendiri.

Syubhat ketiga adalah anggapan bahwa jihad identik dengan kekerasan buta. Sebagian orang memahami jihad hanya dalam bentuk perang, lalu menjadikannya alasan untuk menyerang siapa saja yang berbeda dengan mereka. Penulis menekankan bahwa jihad dalam Islam memiliki banyak bentuk, termasuk jihad dengan lisan, pena, dan dakwah. Sementara jihad qital pun diatur dengan ketentuan yang ketat, tidak boleh melampaui batas, tidak boleh membunuh orang-orang yang dilindungi syariat, dan tidak boleh dilakukan tanpa alasan yang benar. Dengan penjelasan ini, penulis meluruskan bahwa jihad bukan sinonim dari teror atau kekerasan.

Syubhat keempat adalah justifikasi terhadap operasi bunuh diri (al-‘amaliyyat al-istisyhadiyyah). Penulis menegaskan bahwa tindakan ini bukanlah jihad, melainkan bentuk bunuh diri yang diharamkan syariat. Islam melarang seseorang menghilangkan nyawanya sendiri, meskipun dengan dalih ingin melukai musuh. Jihad tidak pernah melegitimasi bunuh diri, karena tujuan jihad adalah menegakkan agama Allah dengan cara yang benar, bukan menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan. Dengan demikian, syubhat yang menganggap bom bunuh diri sebagai jihad ditolak dengan tegas.

Syubhat kelima adalah pemahaman yang keliru tentang istilah al-ghiyalat, yaitu pembunuhan dengan cara tiba-tiba atau curang. Sebagian orang menjadikan istilah ini sebagai dalih untuk melakukan serangan acak terhadap musuh, termasuk terhadap warga sipil yang tidak terlibat dalam peperangan. Penulis menegaskan bahwa ulama telah menjelaskan hukum al-ghiyalat, dan tidak ada dalam syariat yang membenarkan tindakan teror tanpa aturan. Islam adalah agama yang menjunjung keadilan, sehingga jihad sekalipun harus tunduk kepada batas-batas hukum Allah.

Syubhat keenam adalah klaim bahwa jihad adalah satu-satunya jalan dakwah. Sebagian kelompok menolak metode dakwah bil hikmah, mau‘izhah hasanah, dan dialog, lalu menganggap pedang sebagai sarana utama penyebaran Islam. Penulis menolak pandangan ini dengan menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ berdakwah selama bertahun-tahun di Mekah tanpa angkat senjata, dan jihad bersenjata hanya disyariatkan ketika syaratnya terpenuhi. Dakwah tidak pernah berhenti hanya karena tidak ada perang, dan jihad bukanlah pengganti dari dakwah.

Syubhat ketujuh adalah pandangan bahwa jihad hanya berarti menyerang, tanpa mempertimbangkan kondisi umat dan kemampuan mereka. Penulis mengingatkan kaidah syariat bahwa jihad harus memperhitungkan maslahat dan mafsadat. Jika serangan hanya akan mendatangkan kerusakan yang lebih besar, maka ia tidak diperintahkan. Jihad dalam Islam bukanlah tindakan nekat tanpa perhitungan, melainkan ibadah yang harus diatur dengan hikmah, strategi, dan pertimbangan syar‘i yang mendalam.

Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa syubhat-syubhat seputar jihad semuanya berpangkal pada penyimpangan metodologis dalam memahami dalil. Mereka yang terjerumus dalam syubhat ini biasanya terpengaruh oleh slogan, semangat yang meluap, atau potongan ayat yang dipahami tanpa konteks. Dengan membantah syubhat ini, kitab al-Tandzir ingin mengembalikan konsep jihad kepada hakikatnya: ia adalah ibadah yang mulia, dilaksanakan dengan aturan syariat, dipimpin oleh wali al-amr, serta ditujukan untuk meninggikan kalimat Allah, bukan untuk menebar fitnah atau kerusakan di muka bumi.

Syubhat tentang Imamah (Kepemimpinan)

Masalah kepemimpinan (imamah) merupakan salah satu persoalan besar dalam sejarah Islam yang sering dijadikan bahan syubhat oleh kelompok-kelompok yang menyimpang. Penulis kitab al-Tandzir menekankan bahwa isu ini sangat sensitif, karena berkaitan langsung dengan otoritas, ketaatan, dan stabilitas umat. Penyalahgunaan konsep imamah dapat menjerumuskan umat ke dalam fitnah, sebagaimana telah terjadi sejak masa Khawarij. Oleh sebab itu, penulis menguraikan berbagai syubhat tentang kepemimpinan dan memberikan bantahan ilmiah untuk mengembalikan pemahaman umat kepada manhaj Ahlus Sunnah wal Jama‘ah.

Syubhat pertama adalah klaim bahwa tidak ada ketaatan yang wajib kepada penguasa Muslim pada masa sekarang. Sebagian kelompok menolak legitimasi pemerintah yang ada, dengan alasan bahwa mereka tidak berhukum sepenuhnya dengan syariat Allah. Penulis membantah klaim ini dengan menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ telah memerintahkan untuk taat kepada penguasa Muslim selama tidak memerintahkan kepada maksiat. Ketaatan kepada wali al-amr adalah salah satu pilar menjaga kesatuan umat, dan meninggalkannya hanya akan menimbulkan perpecahan dan fitnah.

Syubhat kedua adalah anggapan bahwa keberadaan banyak negara Muslim pada hari ini bertentangan dengan syariat, karena yang wajib hanyalah satu khalifah tunggal. Penulis menjelaskan bahwa meskipun konsep khilafah adalah syariat, kenyataan umat Islam saat ini adalah terbagi ke dalam banyak negara. Hal itu tidak otomatis menjadikan pemerintahan mereka tidak sah. Selama pemimpin Muslim menegakkan sebagian besar kewajiban dan menjaga stabilitas umat, maka kewajiban taat tetap berlaku. Syubhat ini lahir dari pandangan utopis yang tidak mempertimbangkan kondisi riil umat.

Syubhat ketiga adalah penolakan terhadap bai‘at kepada pemimpin yang sah. Sebagian kelompok menganggap bahwa bai‘at hanya sah kepada khalifah tunggal, sehingga bai‘at kepada pemimpin negara Muslim kontemporer tidak memiliki nilai syar‘i. Penulis menegaskan bahwa bai‘at kepada pemimpin setempat adalah sah, dan justru menjadi kewajiban bagi rakyat untuk meneguhkan legitimasi pemimpin mereka. Menolak bai‘at hanya akan melahirkan pemberontakan, yang merupakan pintu fitnah besar dalam tubuh umat.

Syubhat keempat adalah pandangan bahwa pemimpin yang melakukan dosa besar otomatis kafir dan kehilangan legitimasi. Penulis menjelaskan bahwa ketaatan kepada pemimpin tetap berlaku, meskipun ia memiliki kekurangan pribadi. Selama ia masih dalam lingkup Islam dan menegakkan sebagian kewajiban syariat, maka tidak boleh keluar dari ketaatan kepadanya. Pandangan yang menjadikan dosa pribadi sebagai dalih untuk mengkafirkan pemimpin hanyalah pengulangan dari logika Khawarij yang keliru.

Syubhat kelima adalah klaim bahwa pemimpin yang bekerja sama dengan negara-negara non-Muslim adalah kafir. Penulis menolak pandangan ini dengan menegaskan bahwa hubungan diplomatik atau kerja sama dalam bidang tertentu tidak otomatis berarti loyalitas dalam makna syar‘i. Syubhat ini muncul dari kesalahpahaman dalam memahami konsep al-wala’ wal-bara’. Islam memang melarang loyalitas hati kepada orang kafir, tetapi interaksi politik atau ekonomi bukanlah bukti kekafiran seorang pemimpin.

Syubhat keenam adalah anggapan bahwa imamah hanyalah urusan sekunder yang tidak perlu dijaga. Penulis menegaskan bahwa imamah adalah urusan besar dalam agama, karena ia menjadi sarana menjaga agama dan dunia. Dengan adanya pemimpin, syariat dapat ditegakkan, hudud dapat dilaksanakan, dan persatuan umat dapat terpelihara. Menganggap remeh persoalan kepemimpinan hanya akan melemahkan jamaah dan membuka pintu bagi kekacauan.

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa  seluruh syubhat tentang imamah berpangkal pada sikap ghuluw atau meremehkan peran kepemimpinan. Kelompok yang menyimpang biasanya berada pada salah satu dari dua kutub ekstrem: mengkafirkan pemimpin dan keluar dari ketaatan, atau meremehkan kewajiban taat kepada pemimpin. Kitab al-Tandzir menegaskan bahwa jalan yang benar adalah jalan pertengahan: menjaga kewajiban taat selama dalam ketaatan kepada Allah, menasihati pemimpin dengan cara yang baik, serta menolak segala bentuk pemberontakan yang hanya menimbulkan fitnah dan perpecahan di tengah umat.

Syubhat tentang al-Wala’ wal-Bara’

Konsep al-wala’ wal-bara’ merupakan salah satu prinsip penting dalam akidah Islam. Ia bermakna loyalitas penuh kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslimin, serta berlepas diri dari kekufuran dan ahlinya. Akan tetapi, penulis kitab al-Tandzir menegaskan bahwa prinsip agung ini sering disalahgunakan oleh kelompok-kelompok yang menyimpang. Mereka mempersempit makna wala’ dan memperluas makna bara’ sehingga melahirkan pengkafiran, permusuhan, dan fitnah. Oleh karena itu, kitab ini secara khusus membahas syubhat yang berkaitan dengan masalah ini, agar umat memahami konsep wala’ wal-bara’ sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama‘ah.

Syubhat pertama adalah klaim bahwa setiap bentuk interaksi dengan orang kafir adalah bentuk wala’ yang diharamkan. Sebagian kelompok menolak segala bentuk hubungan diplomatik, kerja sama ekonomi, atau interaksi sosial dengan non-Muslim, lalu menjadikannya alasan untuk menuduh kafir. Penulis membantah pandangan ini dengan menegaskan bahwa wala’ dalam syariat adalah loyalitas hati yang berkaitan dengan akidah. Adapun interaksi muamalah, diplomasi, atau hubungan duniawi yang dibenarkan syariat tidak termasuk dalam larangan wala’.

Syubhat kedua adalah anggapan bahwa siapa saja yang bekerja sama dengan non-Muslim dalam urusan dunia otomatis kafir. Penulis menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ sendiri pernah bermuamalat dengan orang Yahudi, bahkan wafat dengan baju besinya tergadai kepada seorang Yahudi. Hal ini menunjukkan bahwa kerja sama dalam urusan dunia bukanlah bentuk wala’ yang terlarang. Syubhat ini lahir dari pemahaman parsial terhadap nash, tanpa memperhatikan praktik Nabi ﷺ dan para sahabat.

Syubhat ketiga adalah pandangan bahwa bergabung dalam organisasi internasional adalah bentuk wala’ kepada orang kafir. Penulis menegaskan bahwa keikutsertaan negara Muslim dalam organisasi dunia tidak otomatis berarti pengakuan terhadap kekufuran. Selama keterlibatan itu dalam rangka maslahat umat dan tidak menyalahi prinsip akidah, maka hal itu dibolehkan. Menganggap setiap bentuk kerja sama sebagai tanda kekufuran adalah sikap berlebihan yang bertentangan dengan manhaj syariat.

Syubhat keempat adalah penggunaan ayat-ayat al-Qur’an secara serampangan untuk menuduh kaum Muslimin melakukan wala’ kepada orang kafir. Penulis menjelaskan bahwa ayat-ayat yang melarang menjadikan orang kafir sebagai wali harus dipahami sesuai dengan konteksnya, yaitu larangan loyalitas hati, pertolongan penuh, dan dukungan dalam memerangi kaum Muslimin. Adapun hubungan muamalah atau diplomasi bukanlah termasuk dalam larangan tersebut. Dengan penjelasan ini, syubhat yang sering dikembangkan untuk mengkafirkan pemimpin atau masyarakat Muslim dapat dibantah.

Syubhat kelima adalah klaim bahwa kaum Muslimin yang tinggal di negara non-Muslim telah melakukan wala’ yang terlarang. Penulis menegaskan bahwa keberadaan seorang Muslim di negara kafir tidak otomatis menjadikannya kafir, selama ia tetap menjaga akidahnya, menunaikan kewajiban agama, dan tidak mendukung orang kafir dalam memerangi kaum Muslimin. Islam memberi keringanan bagi kaum Muslimin untuk hidup di manapun, dengan syarat tetap menjaga loyalitas akidahnya.

Syubhat keenam adalah sikap menganggap semua bentuk kedekatan atau kebaikan kepada non-Muslim sebagai bentuk wala’. Penulis menolak pandangan ini dengan menjelaskan bahwa berbuat adil, memberi hadiah, atau memperlakukan non-Muslim dengan baik bukanlah bentuk wala’ yang terlarang, selama tidak ada loyalitas akidah. Allah ﷻ berfirman dalam surah al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama.” Ayat ini menjadi dasar bahwa sikap baik terhadap non-Muslim bukanlah tanda kekufuran.

Syubhat ketujuh adalah pandangan ekstrem bahwa bara’ menuntut permusuhan mutlak dalam segala aspek. Penulis menegaskan bahwa bara’ dalam syariat berarti berlepas diri dari kekufuran, bukan menebar kebencian tanpa alasan. Bara’ tidak meniadakan prinsip keadilan, kasih sayang, dan muamalah yang baik terhadap non-Muslim yang damai. Menyamakan bara’ dengan permusuhan mutlak adalah bentuk ghuluw yang menyalahi ajaran Islam yang penuh keseimbangan.

Konsep al-wala’ wal-bara’ adalah prinsip akidah yang benar, tetapi harus dipahami sesuai dengan kaidah Ahlus Sunnah. Menyalahgunakannya untuk mengkafirkan, memecah belah, dan menimbulkan fitnah hanyalah pengulangan dari penyimpangan lama. Kitab al-Tandzir hadir untuk meluruskan pemahaman ini, agar umat tidak terjebak dalam syubhat yang tampak seperti kebenaran, padahal sejatinya adalah pintu menuju kesesatan.

Syubhat tentang Khilafah

Isu khilafah adalah salah satu syubhat paling kuat yang sering dijadikan senjata kelompok yang menyimpang. Dengan mengangkat slogan khilafah, mereka berhasil menggiring banyak pemuda Muslim untuk percaya bahwa satu-satunya jalan keselamatan adalah dengan menegakkan negara Islam tunggal. Penulis kitab al-Tandzir dengan tegas membongkar syubhat ini, seraya menunjukkan bahwa di balik slogan yang terdengar indah itu, tersembunyi logika yang rapuh dan jauh dari manhaj Ahlus Sunnah.

Syubhat pertama adalah keyakinan bahwa umat Islam berdosa besar karena tidak memiliki satu khalifah tunggal yang menaungi seluruh dunia Islam. Menurut kelompok ini, keberadaan banyak negara Muslim adalah bentuk perpecahan yang bertentangan dengan syariat. Penulis menolak anggapan tersebut dengan menegaskan bahwa syariat memang menetapkan imamah sebagai kewajiban, tetapi kenyataan sejarah membuktikan bahwa umat Islam bisa tetap bertahan meskipun terbagi dalam banyak wilayah. Keharusan menjaga persatuan umat tidak sama dengan kewajiban menegakkan satu negara tunggal yang mustahil diwujudkan tanpa syarat-syarat yang sah.

Syubhat kedua adalah klaim bahwa jihad harus diarahkan semata-mata untuk menegakkan khilafah. Kelompok yang menyimpang sering menggunakan slogan ini untuk membenarkan kekerasan dan pemberontakan. Penulis menunjukkan bahwa jihad dalam Islam memiliki tujuan yang lebih luas, yaitu meninggikan kalimat Allah, membela umat, dan menjaga agama. Menjadikan khilafah sebagai tujuan tunggal jihad adalah penyempitan makna yang tidak sesuai dengan syariat.

Syubhat ketiga berkaitan dengan bai‘at. Sebagian orang menganggap bai‘at tidak sah kecuali kepada khalifah tunggal. Dengan alasan itu, mereka menolak bai‘at kepada pemimpin negara Muslim kontemporer. Penulis membantahnya dengan menjelaskan bahwa bai‘at kepada pemimpin setempat adalah sah, dan justru merupakan kewajiban bagi rakyat. Mengabaikan hal ini hanya akan melahirkan kekacauan politik dan fitnah yang lebih besar daripada maslahat yang diklaim.

Syubhat keempat adalah anggapan bahwa mendirikan khilafah harus segera diwujudkan, tanpa memperhatikan kemampuan dan kondisi umat. Penulis menegaskan bahwa syariat tidak menuntut sesuatu yang mustahil. Khilafah memang bagian dari ajaran Islam, tetapi mewajibkan sesuatu yang tidak bisa diwujudkan justru berlawanan dengan prinsip syariat. Oleh karena itu, menjadikan khilafah sebagai agenda tunggal dan mendesak adalah syubhat yang menyesatkan umat.

Syubhat kelima adalah pandangan bahwa setiap pemimpin Muslim yang tidak menyerukan khilafah adalah pengkhianat. Dengan tuduhan ini, kelompok radikal menganggap semua pemimpin Muslim sebagai musuh, lalu mengkafirkan mereka. Penulis menjelaskan bahwa imamah dalam bentuk negara bangsa tetap sah selama pemimpin Muslim menegakkan sebagian besar kewajiban syariat dan menjaga keamanan umat. Menolak mereka hanya karena tidak menegakkan khilafah tunggal adalah sikap ghuluw yang tidak berdasar.

Syubhat keenam adalah penafsiran keliru terhadap hadis-hadis yang menyebutkan akan adanya khalifah tunggal atau seorang imam di akhir zaman. Penulis mengingatkan bahwa hadis-hadis tersebut tidak boleh dipahami secara serampangan untuk mewajibkan proyek politik tertentu. Banyak di antaranya berkaitan dengan tanda-tanda akhir zaman dan tidak bisa dijadikan dasar hukum praktis. Menjadikan hadis-hadis itu sebagai dalih politik hanya akan menimbulkan fitnah baru.

Akhirnya, penulis menutup pembahasan tentang syubhat khilafah dengan menegaskan bahwa khilafah adalah perkara besar yang tidak bisa dipaksakan. Jalan selamat bagi umat adalah tetap berpegang pada prinsip ketaatan kepada pemimpin Muslim yang sah, menasihati mereka dengan cara yang baik, serta menjaga persatuan umat. Mengangkat slogan khilafah tanpa ilmu hanyalah cara lain untuk mengulang fitnah Khawarij, yang memecah belah umat dengan dalih agama. Dengan bantahan ini, al-Tandzir mengembalikan umat kepada pemahaman yang jernih, bahwa menjaga stabilitas lebih utama daripada mengejar utopia politik yang penuh syubhat.

Syubhat tentang Riba dan Sistem Ekonomi Modern

Persoalan riba termasuk salah satu isu yang sering dijadikan bahan syubhat oleh kelompok yang menyimpang. Dengan mengangkat dalih bahwa sistem keuangan global saat ini tidak terlepas dari riba, mereka meluaskan vonis hingga menyatakan bahwa seluruh institusi keuangan, pemerintah, bahkan masyarakat yang terlibat di dalamnya adalah kafir. Penulis kitab al-Tandzir memandang bahwa pandangan seperti ini lahir dari pemahaman yang parsial dan berlebihan, sehingga perlu diluruskan agar umat tidak terjerumus dalam pengkafiran yang sembrono.

Syubhat pertama adalah anggapan bahwa karena riba tersebar luas dalam sistem ekonomi dunia, maka semua pihak yang hidup dalam sistem tersebut telah kafir. Penulis membantah klaim ini dengan menegaskan perbedaan antara menghalalkan riba dengan terpaksa hidup dalam sistem yang mengandung riba. Orang yang meyakini riba halal memang kafir, tetapi orang yang terpaksa terlibat karena sistem yang berlaku, sementara ia tetap menganggapnya haram, tidak bisa divonis keluar dari Islam.

Syubhat kedua adalah klaim bahwa pemerintah Muslim yang membiarkan keberadaan bank atau sistem ekonomi berbasis riba otomatis kafir. Penulis menjelaskan bahwa tanggung jawab pemerintah adalah berusaha menegakkan hukum Allah sesuai dengan kemampuan mereka. Keterlibatan sistem ekonomi modern dengan riba tidak serta-merta menjadikan penguasa kafir, apalagi jika mereka tetap mengakui bahwa riba adalah haram. Vonis semacam ini hanyalah pengulangan dari sikap Khawarij yang suka mengkafirkan dengan dalih yang rapuh.

Syubhat ketiga adalah pandangan bahwa setiap transaksi dalam lembaga keuangan modern adalah riba. Penulis membantah dengan menunjukkan bahwa tidak semua produk keuangan mengandung riba. Ada transaksi yang sah menurut syariat, seperti jual beli, murabahah, atau musyarakah, yang banyak digunakan dalam perbankan syariah. Menyamakan semua bentuk transaksi dengan riba adalah sikap gegabah yang menyalahi kaidah fiqh.

Syubhat keempat adalah anggapan bahwa seorang Muslim tidak boleh bekerja atau berinteraksi sama sekali dengan lembaga keuangan yang terlibat dalam riba. Penulis menjelaskan bahwa jika interaksi tersebut tidak berkaitan langsung dengan riba, maka tidak otomatis haram. Misalnya, menyimpan uang di bank atau melakukan transaksi yang mubah. Larangan hanya berlaku jika seseorang secara langsung terlibat dalam praktik riba. Dengan penjelasan ini, syubhat yang mengharamkan semua bentuk interaksi dapat dipatahkan.

Syubhat kelima adalah klaim bahwa keikutsertaan negara Muslim dalam sistem ekonomi internasional adalah bentuk kekufuran. Penulis membantah dengan menegaskan bahwa keterlibatan tersebut tidak otomatis berarti menghalalkan riba. Selama pemerintah Muslim berusaha menegakkan prinsip syariat sejauh kemampuan mereka, maka mereka tetap berada dalam lingkup Islam. Menganggap semua bentuk keterlibatan sebagai kekufuran hanyalah bentuk ghuluw yang bertentangan dengan kaidah syariat.

Syubhat keenam adalah tuduhan bahwa umat Islam yang berhutang atau menggunakan produk keuangan modern adalah kafir. Penulis menegaskan bahwa dosa tidak sama dengan kekufuran. Orang yang terjerumus ke dalam riba karena kebutuhan atau kelemahan tetap dihukumi berdosa, tetapi tidak boleh langsung dikafirkan selama ia tidak menghalalkan riba. Pandangan yang menyamakan dosa dengan kufur inilah yang menjadi ciri khas kelompok Khawarij sepanjang sejarah.

See also  Transformasi Haji Arab Saudi: Dari Ritual Pra-Islam hingga Digitalisasi di Era Visi 2030

Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa syubhat seputar riba dan sistem ekonomi modern hanyalah bentuk lain dari sikap berlebihan dalam beragama. Memang benar riba adalah dosa besar, tetapi memperluas vonis hingga ke tingkat takfir adalah kesalahan metodologis. Kitab al-Tandzir menegaskan bahwa jalan yang benar adalah mengakui keharaman riba, berusaha menjauhinya sejauh mungkin, serta tidak menjadikan keberadaan riba sebagai dalih untuk mengkafirkan kaum Muslimin. Dengan bantahan ini, umat dibimbing untuk menempatkan masalah ekonomi sesuai proporsinya, tanpa terjerumus dalam fitnah takfir yang berbahaya.

Syubhat tentang Nasionalisme dan Pendidikan Modern

Di antara syubhat yang sering dipropagandakan oleh kelompok menyimpang adalah pengkafiran terhadap konsep nasionalisme dan penolakan terhadap sistem pendidikan modern. Mereka menjadikan isu ini sebagai alat untuk memisahkan umat dari masyarakatnya, sekaligus menolak segala bentuk pembangunan peradaban yang tidak sesuai dengan ide utopis mereka. Penulis kitab al-Tandzir menguraikan syubhat ini secara detail, lalu membantahnya dengan dalil-dalil syariat dan pandangan ulama salaf.

Syubhat pertama adalah klaim bahwa nasionalisme merupakan bentuk jahiliyah yang menyalahi akidah Islam. Kelompok radikal sering mengutip sabda Nabi ﷺ: “Bukan dari golongan kami orang yang menyeru kepada ‘ashabiyah” untuk menolak kecintaan terhadap tanah air. Penulis membantahnya dengan menegaskan bahwa cinta tanah air tidak identik dengan ‘ashabiyah. Seorang Muslim boleh mencintai negaranya, membela masyarakatnya, dan menjaga persatuan bangsanya, selama itu tidak melampaui batas dan tidak menggantikan loyalitas kepada agama.

Syubhat kedua adalah anggapan bahwa setiap orang yang mendukung negaranya berarti lebih mengutamakan nasionalisme daripada Islam. Penulis menunjukkan bahwa mendukung negara tidak otomatis berarti mendahulukan nasionalisme atas agama. Justru menjaga keamanan dan stabilitas negara adalah bagian dari menjaga agama dan masyarakat. Syubhat ini lahir dari penyempitan makna, yang memisahkan antara agama dan realitas kehidupan umat.

Syubhat ketiga berkaitan dengan pendidikan modern. Sebagian kelompok menolak sekolah, universitas, bahkan kurikulum ilmu-ilmu kontemporer, dengan alasan bahwa semua itu produk Barat. Penulis menolak klaim ini dengan menegaskan bahwa Islam tidak melarang umatnya mempelajari ilmu duniawi, selama tidak menyalahi akidah. Justru, menuntut ilmu adalah kewajiban, dan memanfaatkan sarana pendidikan modern adalah bagian dari perintah itu.

Syubhat keempat adalah tuduhan bahwa orang yang belajar filsafat, logika, atau ilmu-ilmu sosial modern telah keluar dari Islam. Penulis membantahnya dengan menyatakan bahwa yang terlarang adalah menganggap ilmu tersebut sebagai pengganti wahyu. Adapun mempelajarinya untuk kemaslahatan umat, atau untuk memperkuat dakwah Islam, maka hal itu termasuk perkara yang dibolehkan. Menyamaratakan semua pendidikan modern dengan kekufuran adalah kesalahan besar.

Syubhat kelima adalah anggapan bahwa pendidikan modern bertujuan merusak akidah umat. Penulis mengakui bahwa ada pemikiran yang menyimpang dalam sebagian kurikulum, tetapi itu tidak berarti seluruh sistem pendidikan harus ditolak. Yang benar adalah mengambil manfaat dari sistem tersebut, sekaligus meluruskan bagian-bagian yang keliru. Dengan sikap ini, umat dapat maju tanpa kehilangan identitas Islam.

Syubhat keenam adalah klaim bahwa gelar akademik, sertifikasi, dan sistem pendidikan berjenjang tidak ada dalam Islam, sehingga mengikutinya adalah bentuk tasyabbuh dengan orang kafir. Penulis menjelaskan bahwa sistem pendidikan hanyalah sarana, bukan ibadah. Selama sarana itu bermanfaat dan membantu penyebaran ilmu, maka ia dibolehkan. Menolak sarana pendidikan hanya akan membuat umat tertinggal dan terjerumus dalam kebodohan.

Syubhat ketujuh adalah penolakan terhadap ilmu-ilmu teknologi, kedokteran, dan sains dengan alasan itu bukan bagian dari syariat. Penulis menegaskan bahwa ilmu duniawi yang bermanfaat termasuk bagian dari fardhu kifayah. Mengabaikannya justru menyalahi maqasid syariah, karena akan melemahkan umat. Syubhat ini lahir dari pola pikir sempit yang hanya memandang syariat dari sisi ibadah ritual, tanpa melihat tujuan besar Islam yang menyeluruh.

Jadi, nasionalisme dan pendidikan modern bukanlah lawan dari Islam. Yang terlarang adalah jika nasionalisme dijadikan pengganti agama, atau jika pendidikan modern digunakan untuk menolak wahyu. Selama keduanya ditempatkan dalam posisi yang benar, maka keduanya bisa menjadi sarana menjaga agama, masyarakat, dan peradaban. Dengan demikian, kitab al-Tandzir meluruskan syubhat ini, agar umat tidak terjebak dalam penolakan total yang merugikan diri sendiri dan melemahkan umat Islam.

Syubhat tentang Terorisme dan Operasi Bunuh Diri

Di antara syubhat paling berbahaya yang dibahas penulis dalam kitab al-Tandzir adalah klaim bahwa aksi-aksi teror dan operasi bunuh diri merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. Syubhat ini banyak menyebar di kalangan pemuda, karena dibungkus dengan slogan keberanian, pengorbanan, dan perjuangan untuk agama. Padahal, menurut penulis, syubhat semacam ini tidak hanya menyalahi nash syar‘i, tetapi juga membuka pintu kehancuran bagi umat.

Syubhat pertama adalah klaim bahwa meledakkan diri di tengah musuh adalah bentuk jihad yang mulia. Penulis menegaskan bahwa tindakan semacam ini sejatinya adalah bunuh diri, yang diharamkan dalam syariat. Allah ﷻ melarang seorang Muslim mencelakakan dirinya sendiri, sebagaimana firman-Nya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu” (QS. an-Nisa’: 29). Jihad tidak pernah berarti menghilangkan nyawa sendiri tanpa aturan, dan membungkus bunuh diri dengan label jihad hanyalah bentuk penyesatan.

Syubhat kedua adalah anggapan bahwa bom bunuh diri adalah strategi perang yang sah. Sebagian kelompok menyamakan tindakan ini dengan perbuatan sebagian sahabat yang berani menerobos barisan musuh meskipun tahu akan terbunuh. Penulis membantah perbandingan ini dengan menegaskan bahwa sahabat berperang dengan senjata melawan musuh secara langsung, bukan dengan membunuh diri sendiri. Perbedaan mendasar ini menunjukkan bahwa bom bunuh diri tidak bisa disamakan dengan keberanian sahabat dalam medan perang.

Syubhat ketiga adalah pandangan bahwa operasi bunuh diri efektif melemahkan musuh, sehingga dianggap sah secara syar‘i. Penulis menegaskan bahwa keberhasilan taktis tidak pernah bisa menjadi alasan untuk menghalalkan sesuatu yang jelas diharamkan. Kaidah syariat menyebutkan: “Tujuan yang benar tidak membenarkan cara yang batil.” Dengan demikian, meskipun operasi semacam itu bisa menimbulkan kerugian bagi musuh, ia tetap haram karena jalan yang ditempuh adalah terlarang.

Syubhat keempat adalah klaim bahwa target serangan boleh menyasar siapa saja, termasuk warga sipil. Penulis membantah dengan menjelaskan bahwa syariat Islam melarang membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, serta siapa pun yang tidak terlibat dalam peperangan. Mengabaikan ketentuan ini berarti menyalahi aturan jihad yang ditetapkan oleh Nabi ﷺ. Oleh karena itu, serangan acak yang menimbulkan korban sipil bukanlah jihad, melainkan bentuk kezaliman yang diharamkan.

Syubhat kelima adalah anggapan bahwa teror adalah jalan tercepat untuk menegakkan agama. Penulis menolak pandangan ini dengan menegaskan bahwa Islam adalah agama rahmat, dan jihad disyariatkan untuk menjaga agama, bukan untuk menebar ketakutan. Menjadikan teror sebagai sarana dakwah adalah bentuk penyimpangan yang bertolak belakang dengan manhaj Rasulullah ﷺ yang berdakwah dengan hikmah dan mau‘izhah hasanah.

Syubhat keenam adalah klaim bahwa siapa saja yang menolak operasi bunuh diri berarti lemah imannya dan tidak mencintai jihad. Penulis menyatakan bahwa menolak perbuatan haram bukanlah tanda kelemahan iman, tetapi justru bukti ketaatan kepada Allah. Menghalalkan yang haram atas nama jihad adalah bentuk ghuluw yang menyalahi prinsip syariat. Dengan demikian, tuduhan semacam ini hanyalah cara untuk membungkam kritik terhadap penyimpangan.

 Terorisme dan operasi bunuh diri bukan hanya syubhat, tetapi juga bentuk penyimpangan yang sangat berbahaya bagi agama dan umat. Ia menghancurkan citra Islam, menjerumuskan pelakunya ke dalam kebinasaan, dan menimbulkan fitnah yang lebih besar daripada maslahat yang diklaim. Kitab al-Tandzir dengan tegas menutup pintu syubhat ini, seraya menegaskan bahwa jihad adalah ibadah mulia yang harus tunduk pada aturan syariat, bukan nafsu atau strategi yang menyalahi hukum Allah.

Syubhat tentang al-‘Udzru bil-Jahl (Uzur karena Kebodohan)

Di antara syubhat yang banyak beredar dalam kalangan kelompok menyimpang adalah penolakan terhadap konsep al-‘udzru bil-jahl—yaitu pemberian uzur kepada seorang Muslim yang jatuh pada kekeliruan atau bahkan perbuatan kufur karena ketidaktahuan. Penulis kitab al-Tandzir menegaskan bahwa masalah ini sangat penting, sebab menyangkut hubungan antara hukum asal takfir dengan penerapannya pada individu tertentu. Tanpa memahami prinsip ini, umat akan terjerumus pada pengkafiran massal yang berbahaya.

Syubhat pertama adalah anggapan bahwa kebodohan tidak bisa menjadi uzur dalam perkara agama. Menurut kelompok yang menyimpang, siapa pun yang jatuh ke dalam perbuatan kufur, meskipun tidak tahu hukumnya, tetap dianggap kafir. Penulis membantah pandangan ini dengan menegaskan bahwa para ulama Ahlus Sunnah sepakat adanya uzur dalam kondisi ketidaktahuan, terutama ketika dalil belum sampai atau tidak ada orang yang menjelaskan. Menghapus uzur sama saja dengan menutup pintu rahmat Allah dan menyalahi prinsip keadilan syariat.

Syubhat kedua adalah klaim bahwa setiap orang Muslim seharusnya otomatis mengetahui semua hukum agama. Penulis menjelaskan bahwa kewajiban menuntut ilmu memang berlaku, tetapi realitas menunjukkan bahwa banyak kaum Muslimin yang tidak mampu mengakses ilmu atau tidak mendapatkan penjelasan yang benar. Menganggap semua orang pasti tahu adalah klaim yang keliru, karena tidak sesuai dengan kenyataan umat di berbagai tempat dan zaman.

Syubhat ketiga adalah tuduhan bahwa memberikan uzur karena kebodohan berarti meremehkan akidah. Kelompok radikal sering menuduh para ulama yang menetapkan adanya uzur sebagai lemah dalam membela agama. Penulis membantah tuduhan ini dengan menegaskan bahwa memberikan uzur bukanlah meremehkan akidah, tetapi justru menjaga keadilan syariat. Akidah tetap kokoh dengan menegaskan hukum kufur atas perbuatan tertentu, tetapi vonis kepada individu membutuhkan syarat-syarat yang jelas.

Syubhat keempat adalah pandangan bahwa orang yang terjatuh pada syirik besar karena kebodohan tidak memiliki uzur sama sekali. Penulis menegaskan bahwa Ahlus Sunnah membedakan antara hukum perbuatan dan status pelaku. Syirik memang kufur, tetapi orang yang melakukannya karena tidak tahu, atau karena hidup di tempat terpencil tanpa ulama, tetap memiliki uzur hingga hujjah ditegakkan. Tanpa perbedaan ini, umat akan terjebak pada takfir serampangan yang menyalahi jalan para salaf.

Syubhat kelima adalah klaim bahwa konsep uzur hanya akan membuka pintu bagi penyimpangan. Penulis menjawab bahwa uzur tidak berarti melegalkan kesalahan, tetapi menunda penerapan vonis takfir hingga syarat-syaratnya terpenuhi. Justru dengan prinsip ini, syariat menjaga keseimbangan antara ketegasan dalam akidah dan keadilan terhadap individu. Menghapus uzur akan menimbulkan kekacauan, sedangkan menetapkannya sesuai kaidah syariat justru menjaga agama.

Syubhat keenam adalah anggapan bahwa orang yang jatuh ke dalam kekufuran karena kebodohan tidak perlu diberi penjelasan, tetapi langsung dihukumi kafir. Penulis menegaskan bahwa hujjah harus ditegakkan terlebih dahulu. Seseorang tidak akan dituntut atas sesuatu yang belum sampai kepadanya. Dengan demikian, tugas ulama dan dai adalah menjelaskan, bukan tergesa-gesa dalam vonis. Tanpa prinsip ini, umat akan terus menjadi korban pengkafiran yang tidak adil.

Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa al-‘udzru bil-jahl adalah prinsip penting dalam syariat yang melindungi umat dari fitnah takfir. Islam memang tegas terhadap kekufuran, tetapi ia juga adil terhadap individu. Dengan membantah syubhat-syubhat yang menolak uzur, kitab al-Tandzir mengembalikan umat pada manhaj yang seimbang: menegaskan hukum syar‘i atas perbuatan, sekaligus berhati-hati dalam menjatuhkan vonis kepada pelaku. Inilah jalan yang benar, yang memadukan ketegasan dalam menjaga akidah dengan rahmat dan keadilan syariat.

Syubhat tentang Hubungan Internasional dan Perjanjian Global

Di antara syubhat besar yang kerap menyesatkan sebagian kalangan adalah klaim bahwa setiap bentuk keterlibatan umat Islam dalam hubungan internasional dan perjanjian global merupakan bentuk kekufuran. Kelompok yang menyimpang menjadikan isu ini sebagai senjata untuk menolak diplomasi, organisasi dunia, hingga perjanjian bilateral atau multilateral. Penulis kitab al-Tandzir mengurai kerancuan ini, lalu menunjukkan bagaimana syariat sebenarnya memberi ruang bagi interaksi antarbangsa dengan batasan yang jelas.

Syubhat pertama adalah anggapan bahwa semua perjanjian dengan negara non-Muslim adalah bentuk wala’ kepada mereka. Penulis membantah pandangan ini dengan mengingatkan praktik Rasulullah ﷺ yang melakukan perjanjian Hudaibiyah dengan kaum Quraisy. Perjanjian itu bahkan dilakukan dengan pihak yang memusuhi umat Islam, tetapi tetap dianggap sah secara syar‘i karena bertujuan menjaga kemaslahatan dan menghindari pertumpahan darah. Dengan dalil ini, penulis menegaskan bahwa perjanjian internasional bukanlah tanda kekufuran, selama tidak mengandung penghalalan yang diharamkan syariat.

Syubhat kedua adalah klaim bahwa bergabung dalam organisasi internasional seperti PBB atau lembaga sejenis otomatis berarti ridha dengan hukum kafir. Penulis menjelaskan bahwa keikutsertaan negara Muslim dalam organisasi dunia tidak berarti membenarkan seluruh isinya. Hal itu bisa dilakukan sebagai sarana untuk menjaga kepentingan umat, melindungi posisi politik, dan mencegah kerusakan yang lebih besar. Pandangan yang menolak semua bentuk keanggotaan adalah bentuk ghuluw yang bertentangan dengan prinsip maslahat syariah.

Syubhat ketiga adalah anggapan bahwa mengakui perjanjian internasional sama dengan berhukum dengan selain hukum Allah. Penulis menegaskan bahwa perjanjian yang berkaitan dengan urusan duniawi—seperti perdagangan, keamanan, atau kerjasama kemanusiaan—tidak otomatis bertentangan dengan syariat. Yang terlarang hanyalah jika perjanjian itu menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah atau meniadakan kewajiban syar‘i. Selama tidak demikian, maka perjanjian tersebut dibolehkan berdasarkan kaidah muamalah.

Syubhat keempat adalah tuduhan bahwa ulama yang membolehkan perjanjian dengan negara kafir adalah pengkhianat agama. Penulis membantahnya dengan menegaskan bahwa para ulama salaf banyak memberi fatwa tentang bolehnya perjanjian dengan syarat maslahat. Mereka memahami bahwa syariat Islam realistis dan memperhatikan kondisi umat. Menuduh pengkhianat hanya karena berbeda pendapat adalah sikap tergesa-gesa yang membuka pintu fitnah.

Syubhat kelima adalah klaim bahwa hak asasi manusia (HAM) adalah produk kafir yang wajib ditolak total. Penulis menegaskan bahwa sebagian prinsip HAM sejalan dengan ajaran Islam, seperti larangan penyiksaan, perlindungan hak hidup, dan kebebasan beragama dalam arti tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Menolak semuanya tanpa membedakan hanya akan menjerumuskan umat pada sikap ekstrem yang tidak sesuai dengan maqasid syariah.

Syubhat keenam adalah anggapan bahwa hubungan diplomatik dan kerja sama dengan non-Muslim tidak memiliki dasar dalam syariat. Penulis membantah dengan menunjukkan banyak contoh dari sirah Nabi ﷺ, termasuk utusan yang dikirim kepada raja-raja non-Muslim, serta surat-surat yang mengajak mereka masuk Islam. Semua ini menunjukkan bahwa diplomasi adalah bagian dari syariat, bukan sesuatu yang asing.

Syubhat ketujuh adalah pandangan bahwa setiap bentuk kompromi dalam perjanjian internasional berarti merendahkan Islam. Penulis menjelaskan bahwa kompromi dalam batas syariat bukanlah kelemahan, tetapi strategi. Bahkan Rasulullah ﷺ pernah menerima sebagian syarat yang tampak merugikan di Perjanjian Hudaibiyah, namun hasil akhirnya membawa kemenangan besar bagi Islam. Dengan demikian, kompromi yang benar dapat membawa maslahat, bukan kehinaan.

Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa hubungan internasional dan perjanjian global bukanlah hal yang otomatis bertentangan dengan syariat. Yang terlarang hanyalah jika di dalamnya ada penghalalan yang haram atau penolakan terhadap prinsip agama. Dengan meluruskan syubhat ini, kitab al-Tandzir menutup pintu bagi sikap ghuluw dalam menolak segala bentuk diplomasi, dan sekaligus membimbing umat agar bisa memahami bahwa syariat Islam selalu mempertimbangkan maslahat dalam interaksi antarbangsa.

Syubhat tentang al-Ghiyālāt (Pembunuhan Tiba-tiba/Curang)

Di antara syubhat yang muncul dalam pembahasan jihad adalah klaim bahwa al-ghiyālāt—yakni membunuh musuh dengan cara curang, tiba-tiba, atau tanpa peringatan—diperbolehkan secara mutlak dalam Islam. Sebagian kelompok menyimpang menjadikan istilah ini sebagai dalih untuk membenarkan serangan acak, pembunuhan tanpa pandang bulu, bahkan aksi teror terhadap orang yang tidak terlibat dalam peperangan. Penulis kitab al-Tandzir meluruskan pemahaman ini dengan menunjukkan batasan syariat yang jelas mengenai masalah al-ghiyālāt.

Syubhat pertama adalah anggapan bahwa semua bentuk pembunuhan musuh, baik dalam kondisi perang maupun damai, termasuk jihad yang sah. Penulis membantah pandangan ini dengan menegaskan bahwa syariat membedakan antara kondisi perang yang sah dan kondisi damai yang dilindungi perjanjian. Dalam kondisi damai, membunuh secara tiba-tiba adalah bentuk pengkhianatan yang diharamkan. Islam tidak pernah membenarkan pengkhianatan, meskipun terhadap orang kafir.

Syubhat kedua adalah klaim bahwa pembunuhan dengan cara mengejutkan lawan adalah bentuk strategi perang yang dibenarkan. Penulis menjelaskan bahwa dalam peperangan memang ada unsur strategi, tetapi syariat tetap memberi batasan. Rasulullah ﷺ melarang membunuh anak-anak, perempuan, orang tua, serta mereka yang tidak terlibat dalam pertempuran. Menjadikan al-ghiyālāt sebagai pembenaran untuk menyerang pihak-pihak ini jelas bertentangan dengan manhaj Nabi ﷺ.

Syubhat ketiga adalah anggapan bahwa al-ghiyālāt boleh dilakukan terhadap siapa saja dari kalangan non-Muslim. Penulis meluruskan bahwa syariat membedakan antara kafir harbi, kafir dzimmi, dan kafir mu‘ahad. Pembunuhan curang hanya mungkin dipertimbangkan dalam kondisi perang dengan kafir harbi, dan itu pun dengan aturan ketat. Adapun dzimmi dan mu‘ahad berada dalam perlindungan syariat, sehingga membunuh mereka termasuk dosa besar yang berat.

Syubhat keempat adalah tuduhan bahwa siapa saja yang menolak al-ghiyālāt berarti melemahkan jihad. Penulis menegaskan bahwa menolak perbuatan yang diharamkan bukanlah kelemahan, tetapi justru ketaatan kepada syariat. Menghalalkan yang diharamkan atas nama jihad adalah ciri khas Khawarij yang mengabaikan maqasid syariah. Oleh karena itu, umat harus berhati-hati agar tidak terkecoh dengan slogan yang menyesatkan.

Syubhat kelima adalah klaim bahwa membunuh secara curang akan menimbulkan efek teror yang melemahkan musuh. Penulis membantahnya dengan menegaskan bahwa tujuan syariat bukanlah menebar teror tanpa aturan, melainkan menjaga agama dan kehidupan manusia. Islam adalah agama keadilan, dan jihad yang sah tidak pernah dibangun di atas pengkhianatan atau penipuan. Menebar teror tanpa aturan hanya akan merusak citra Islam dan menimbulkan fitnah besar.

Syubhat keenam adalah anggapan bahwa al-ghiyālāt dibenarkan karena ada sebagian riwayat sahabat yang melakukan pembunuhan musuh secara tiba-tiba. Penulis menjelaskan bahwa riwayat semacam itu memiliki konteks khusus, biasanya dalam kondisi perang terbuka, bukan dalam situasi damai atau perjanjian. Menyamaratakan kasus khusus menjadi hukum umum adalah bentuk penyalahgunaan dalil. Oleh karena itu, penulis menekankan pentingnya memahami riwayat sesuai dengan konteksnya.

Syubhat ketujuh adalah pandangan bahwa al-ghiyālāt adalah metode paling efektif dalam melawan musuh yang kuat. Penulis mengingatkan bahwa syariat tidak pernah membenarkan efektivitas semata sebagai alasan menghalalkan sesuatu yang haram. Kaidah syariat jelas: tujuan yang benar tidak boleh ditempuh dengan cara yang batil. Dengan demikian, meskipun dianggap efektif, al-ghiyālāt tetap terlarang jika melanggar batas syariat.

See also  Indonesawit: Potret Luka Nusantara dari Hutan Belantara ke Hamparan Sawit

Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa al-ghiyālāt tidak boleh dijadikan dalih untuk melegitimasi terorisme atau pembunuhan tanpa aturan. Islam memberi batasan tegas dalam jihad, dan segala bentuk pengkhianatan, penipuan, serta pembunuhan terhadap yang dilindungi syariat adalah haram. Kitab al-Tandzir dengan jelas membantah syubhat ini, seraya menegaskan kembali manhaj Ahlus Sunnah: jihad adalah ibadah yang mulia, bukan sarana untuk menebar teror atau menyalahi hukum Allah.

Syubhat tentang Kemenangan Islam dan Janji Pertolongan Allah

Salah satu syubhat yang kerap disebarkan oleh kelompok menyimpang adalah penggunaan dalil-dalil tentang kemenangan Islam dan janji pertolongan Allah untuk melegitimasi tindakan mereka. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadis tentang pertolongan Allah kepada kaum mukminin, lalu mengklaim bahwa setiap langkah mereka, meskipun menyimpang dari syariat, pasti akan dibela oleh Allah. Penulis al-Tandzir menegaskan bahwa cara memahami nash seperti ini sangat berbahaya, karena mengabaikan syarat-syarat syariat yang menjadi sebab turunnya pertolongan.

Syubhat pertama adalah anggapan bahwa Islam akan menang secara otomatis, tanpa memperhatikan usaha yang sesuai syariat. Penulis membantah klaim ini dengan menunjukkan bahwa pertolongan Allah selalu datang dengan sebab, di antaranya iman, amal saleh, kesabaran, dan ittiba‘ kepada Rasulullah ﷺ. Mengira kemenangan akan datang hanya dengan klaim atau slogan adalah bentuk ghurur (tertipu), bukan iman yang benar.

Syubhat kedua adalah klaim bahwa setiap kelompok yang mengaku memperjuangkan Islam pasti termasuk dalam golongan yang mendapat pertolongan Allah. Penulis menjelaskan bahwa pertolongan Allah tidak diberikan kepada setiap pengaku, tetapi hanya kepada mereka yang benar-benar mengikuti manhaj Nabi ﷺ. Kelompok yang menyimpang dari syariat tidak mungkin mendapat pertolongan, meskipun mereka berjuang dengan semangat yang tinggi. Dengan demikian, klaim otomatis mendapat pertolongan adalah syubhat yang menyesatkan.

Syubhat ketiga adalah penyalahgunaan hadis-hadis tentang akhir zaman yang menjanjikan kemenangan Islam. Sebagian kelompok menjadikannya sebagai dalih bahwa mereka pasti menang, meskipun metode mereka bertentangan dengan syariat. Penulis mengingatkan bahwa hadis-hadis tersebut adalah kabar gembira, bukan pembenaran untuk bertindak tanpa aturan. Menggunakan hadis-hadis itu untuk melegitimasi penyimpangan adalah bentuk manipulasi terhadap nash.

Syubhat keempat adalah anggapan bahwa pertolongan Allah pasti turun meskipun umat berbuat maksiat dan meninggalkan kewajiban. Penulis menegaskan bahwa syarat utama turunnya pertolongan adalah takwa, sabar, dan istiqamah. Umat yang lalai tidak bisa berharap pertolongan, kecuali jika mereka kembali kepada agama. Pandangan yang meyakini pertolongan tanpa syarat hanya akan membuat umat terlena dan jauh dari perbaikan diri.

Syubhat kelima adalah klaim bahwa kemenangan harus diwujudkan dengan cara apa pun, meskipun menyalahi syariat. Penulis membantah dengan tegas, bahwa kemenangan sejati hanya terwujud dengan menegakkan syariat, bukan dengan strategi yang batil. Kaidah syar‘i menetapkan bahwa hasil tidak membenarkan cara yang salah. Oleh karena itu, kemenangan yang diperoleh dengan cara menyalahi syariat bukanlah pertolongan Allah, melainkan istidraj yang menjerumuskan.

Syubhat keenam adalah anggapan bahwa kegagalan suatu gerakan Islam menunjukkan bahwa janji Allah tidak benar. Penulis menolak pandangan ini dengan menjelaskan bahwa janji Allah pasti benar, tetapi umat sering gagal karena mereka tidak memenuhi syarat-syaratnya. Kekalahan adalah ujian, sekaligus peringatan agar umat kembali kepada ketaatan yang benar. Menyalahkan janji Allah adalah bentuk kesesatan yang lebih besar daripada syubhat itu sendiri.

Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa kemenangan Islam dan pertolongan Allah adalah janji yang pasti, tetapi terikat dengan syarat-syarat syariat. Menyalahgunakan janji itu untuk membenarkan penyimpangan hanyalah menipu umat dengan harapan palsu. Kitab al-Tandzir menutup pintu syubhat ini dengan menegaskan bahwa kemenangan sejati hanya diraih oleh umat yang beriman, beramal saleh, sabar, dan mengikuti manhaj Nabi ﷺ. Inilah jalan yang benar, yang membawa pertolongan Allah dan menghindarkan umat dari fitnah slogan kosong.

Syubhat tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kebebasan

Di era modern, salah satu pintu masuk syubhat terbesar adalah konsep hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan individu. Kelompok yang menyimpang memanfaatkan isu ini dengan dua cara yang sama-sama keliru: sebagian menolaknya secara mutlak dengan menyebut bahwa HAM adalah produk kafir, sementara sebagian lain menjadikannya sebagai standar utama, bahkan di atas syariat. Penulis kitab al-Tandzir menegaskan bahwa sikap yang benar adalah menimbang prinsip HAM dalam kerangka syariat, bukan menolaknya total ataupun mengagungkannya tanpa batas.

Syubhat pertama adalah anggapan bahwa HAM bertentangan dengan Islam, sehingga setiap Muslim wajib menolak seluruh prinsipnya. Penulis membantah pandangan ini dengan menegaskan bahwa sebagian besar prinsip HAM, seperti larangan penyiksaan, penghormatan terhadap hak hidup, dan larangan diskriminasi zalim, sejalan dengan syariat Islam. Menolak semuanya tanpa memilah adalah sikap gegabah yang justru merugikan umat.

Syubhat kedua adalah klaim bahwa kebebasan mutlak adalah hak setiap manusia, sehingga syariat yang mengatur halal dan haram dianggap melanggar HAM. Penulis menolak pandangan ini dengan menegaskan bahwa Islam mengakui kebebasan, tetapi dalam bingkai ibadah kepada Allah. Kebebasan mutlak tanpa aturan hanyalah ilusi, karena manusia pasti tunduk pada hukum, baik hukum Allah atau hukum buatan manusia. Dengan demikian, kebebasan sejati adalah ketaatan kepada Allah.

Syubhat ketiga adalah tuduhan bahwa hukum hudud melanggar HAM. Penulis membantah dengan menjelaskan bahwa hudud ditetapkan untuk menjaga hak-hak manusia secara lebih hakiki: hak hidup, hak keamanan, hak kehormatan, dan hak harta. Hukuman yang tegas justru menjamin kelestarian HAM. Menolak hudud atas nama HAM adalah bentuk kontradiksi, karena justru mengabaikan hak korban demi membela pelaku kejahatan.

Syubhat keempat adalah klaim bahwa kebebasan beragama berarti membolehkan seorang Muslim keluar dari Islam kapan saja tanpa konsekuensi. Penulis menegaskan bahwa syariat membedakan antara kebebasan memilih agama pada awalnya dan larangan murtad setelah masuk Islam. Islam tidak memaksa seseorang untuk masuk, tetapi setelah ia bersyahadat, ia terikat dengan konsekuensi hukum syariat. Dengan demikian, kebebasan tidak berarti tanpa batas.

Syubhat kelima adalah anggapan bahwa kebebasan berbicara berarti bebas menghina agama, ulama, dan simbol-simbol Islam. Penulis menolak klaim ini dengan menegaskan bahwa kebebasan berbicara dalam Islam adalah hak yang dijamin, tetapi ia tidak boleh melampaui batas hingga menimbulkan kerusakan. Menghina agama bukanlah kebebasan, melainkan penodaan yang dilarang syariat.

Syubhat keenam adalah klaim bahwa prinsip kesetaraan gender dalam HAM menuntut penghapusan perbedaan syariat antara laki-laki dan perempuan. Penulis membantah dengan menegaskan bahwa perbedaan dalam syariat bukan diskriminasi, melainkan bentuk keadilan sesuai fitrah dan peran masing-masing. Islam menjunjung tinggi martabat perempuan, tetapi tidak menyamakannya dalam semua aspek, karena perbedaan itu adalah bagian dari kesempurnaan syariat.

Syubhat ketujuh adalah pandangan bahwa menerima sebagian prinsip HAM berarti merusak akidah. Penulis menjelaskan bahwa menerima hal-hal yang sejalan dengan syariat tidak merusak akidah, justru menunjukkan bahwa Islam lebih dulu menegakkan prinsip itu sebelum dunia modern mengenalnya. Yang terlarang hanyalah menjadikan HAM sebagai standar tertinggi di atas syariat. Selama posisinya ditempatkan di bawah aturan Allah, maka tidak ada masalah.

Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa HAM dan kebebasan adalah konsep yang bisa membawa maslahat jika dipahami sesuai syariat, tetapi bisa menjadi fitnah jika dijadikan standar di atas agama. Kitab al-Tandzir menutup syubhat ini dengan menegaskan bahwa Islam adalah agama yang paling adil dalam menjaga hak manusia, sekaligus paling tegas dalam membatasi kebebasan agar tidak berubah menjadi kerusakan. Dengan demikian, umat diarahkan untuk memandang HAM secara kritis dan proporsional.

Syubhat tentang Jamaah dan Persatuan Umat

Persatuan umat adalah salah satu prinsip pokok dalam Islam. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” Namun, kelompok-kelompok menyimpang justru sering menggunakan slogan persatuan untuk tujuan yang salah, atau sebaliknya, menolak persatuan dengan alasan yang rapuh. Penulis kitab al-Tandzir melihat bahwa syubhat tentang jamaah dan persatuan merupakan salah satu pintu besar fitnah yang harus diluruskan.

Syubhat pertama adalah anggapan bahwa persatuan umat hanya sah jika di bawah kelompok atau jamaah tertentu. Sebagian kelompok menjadikan organisasi mereka sebagai tolok ukur persatuan, lalu menuduh siapa pun di luar kelompok mereka sebagai sesat atau kafir. Penulis membantahnya dengan menegaskan bahwa jamaah yang dimaksud syariat adalah jamaah kaum Muslimin secara umum, yang terikat dengan ketaatan kepada pemimpin Muslim yang sah, bukan sekadar kelompok atau hizb tertentu.

Syubhat kedua adalah klaim bahwa tidak ada kewajiban untuk menjaga persatuan jika pemimpin dianggap zalim. Penulis menjelaskan bahwa syariat tetap memerintahkan umat untuk menjaga persatuan di bawah pemimpin Muslim, meskipun ia memiliki kekurangan. Perpecahan lebih berbahaya daripada menanggung kekurangan seorang pemimpin. Karena itu, keluar dari jamaah hanya karena alasan duniawi atau kesalahan pribadi pemimpin adalah bentuk penyimpangan yang berbahaya.

Syubhat ketiga adalah pandangan bahwa jamaah hanya bermakna jamaah dalam ibadah, bukan dalam kepemimpinan politik. Kelompok ini menyempitkan makna jamaah sebatas shalat berjamaah, sementara dalam kehidupan sosial-politik mereka bebas dari kewajiban persatuan. Penulis meluruskan pemahaman ini dengan menegaskan bahwa jamaah mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk taat kepada pemimpin dan menjaga kesatuan umat dalam satu barisan.

Syubhat keempat adalah klaim bahwa persatuan hanya bisa diwujudkan dengan memberontak terhadap pemimpin yang dianggap tidak adil, lalu menggantinya dengan sistem baru. Penulis menolak syubhat ini dengan menegaskan bahwa pemberontakan bukan jalan menuju persatuan, tetapi pintu perpecahan. Sejarah Islam penuh dengan contoh fitnah yang lahir dari pemberontakan, yang justru melemahkan umat dan membuka pintu bagi musuh.

Syubhat kelima adalah anggapan bahwa perbedaan fiqh dan ijtihad dalam umat otomatis merusak persatuan. Penulis membantahnya dengan menegaskan bahwa perbedaan fiqh yang lahir dari ijtihad ulama tidak membatalkan persatuan. Justru keragaman ijtihad adalah rahmat, selama masih dalam bingkai syariat. Persatuan yang benar tidak berarti seragam dalam semua pendapat, melainkan tetap satu dalam akidah dan ketaatan kepada pemimpin.

Syubhat keenam adalah pandangan bahwa persatuan umat tidak mungkin diwujudkan karena banyaknya negara, kelompok, dan mazhab. Penulis meluruskan bahwa meskipun umat Islam terbagi dalam banyak wilayah, mereka tetap bisa bersatu dalam akidah, syariat, dan ukhuwah Islamiyah. Persatuan dalam Islam bukan berarti hilangnya keragaman, tetapi terjaganya kesatuan dalam prinsip-prinsip pokok agama.

Syubhat ketujuh adalah klaim bahwa memelihara persatuan tidak lagi relevan di masa modern. Penulis menegaskan bahwa justru semakin maju zaman, semakin penting menjaga persatuan. Fitnah ideologi, globalisasi, dan syubhat kontemporer hanya bisa dilawan jika umat Islam tetap dalam barisan yang kokoh. Meninggalkan persatuan hanya akan melemahkan umat dan memudahkan musuh.

Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa syubhat tentang jamaah dan persatuan hanyalah cara lain untuk melemahkan umat Islam dari dalam. Jalan yang benar adalah berpegang pada prinsip Ahlus Sunnah: taat kepada pemimpin Muslim yang sah, menasihatinya dengan cara yang baik, menjaga ukhuwah Islamiyah, dan menolak segala bentuk perpecahan. Dengan bantahan ini, kitab al-Tandzir menutup pintu syubhat yang selama ini menjadi sumber fitnah dan perpecahan dalam tubuh umat.

Syubhat tentang Amar Ma‘ruf Nahi Munkar dan Hukum Memberontak

Amar ma‘ruf nahi munkar adalah salah satu kewajiban terbesar dalam Islam. Namun, sebagaimana banyak syiar agama lainnya, kewajiban ini sering dijadikan pintu masuk oleh kelompok menyimpang untuk menyebarkan syubhat. Mereka menyelewengkan konsep amar ma‘ruf nahi munkar hingga berubah menjadi alat pemberontakan, pengkafiran, dan perpecahan. Penulis kitab al-Tandzir menegaskan bahwa memahami amar ma‘ruf nahi munkar harus sesuai manhaj syariat, agar ia tidak keluar dari tujuan asalnya sebagai jalan perbaikan umat.

Syubhat pertama adalah klaim bahwa amar ma‘ruf nahi munkar berarti boleh melawan penguasa secara terbuka, bahkan memberontak jika dianggap melakukan kemungkaran. Penulis membantah pandangan ini dengan menegaskan bahwa amar ma‘ruf nahi munkar memiliki batasan: ia harus dilakukan dengan hikmah, kelembutan, dan menjaga maslahat. Adapun melawan penguasa dengan cara memberontak bukanlah nahi munkar, melainkan pintu kerusakan yang lebih besar.

Syubhat kedua adalah anggapan bahwa diam terhadap kesalahan penguasa berarti ridha terhadap kemungkaran. Penulis menjelaskan bahwa menasihati pemimpin tidak harus dilakukan secara terbuka di mimbar atau jalanan. Cara yang benar adalah dengan menasihati secara langsung dan rahasia, sebagaimana diajarkan para salaf. Dengan demikian, menahan diri dari sikap frontal bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru bentuk ketaatan kepada sunnah.

Syubhat ketiga adalah klaim bahwa amar ma‘ruf nahi munkar sah dilakukan oleh siapa pun, tanpa ilmu dan tanpa adab. Penulis menegaskan bahwa kewajiban ini memiliki syarat: ilmu tentang apa yang diperintahkan dan dilarang, serta kemampuan menimbang maslahat dan mafsadat. Amar ma‘ruf tanpa ilmu hanya akan melahirkan fitnah baru, karena bisa jadi seseorang melarang sesuatu yang dibolehkan syariat atau memerintahkan sesuatu yang tidak diwajibkan.

Syubhat keempat adalah anggapan bahwa nahi munkar harus dilakukan dengan kekerasan, tanpa memperhatikan tahapan. Penulis meluruskan bahwa nahi munkar memiliki tingkatan: dengan tangan jika mampu, dengan lisan jika tidak mampu, dan dengan hati jika selebihnya berbahaya. Melompat langsung ke kekerasan tanpa memperhatikan kaidah syariat adalah bentuk penyimpangan yang menyalahi sunnah Rasulullah ﷺ.

Syubhat kelima adalah klaim bahwa pemberontakan adalah bentuk tertinggi dari nahi munkar. Penulis membantah dengan tegas bahwa pemberontakan tidak pernah menghasilkan kebaikan, melainkan menimbulkan kerusakan, pertumpahan darah, dan fitnah yang luas. Sejarah Islam penuh dengan contoh buruk akibat pemberontakan. Oleh karena itu, menyamakan pemberontakan dengan nahi munkar adalah syubhat besar yang harus diluruskan.

Syubhat keenam adalah anggapan bahwa amar ma‘ruf nahi munkar bisa dilakukan tanpa memperhatikan otoritas ulama dan wali al-amr. Penulis menegaskan bahwa amar ma‘ruf yang benar harus berada di bawah bimbingan ilmu, bukan sekadar semangat. Mengabaikan ulama dan pemimpin hanya akan melahirkan tindakan individual yang kacau, jauh dari maslahat yang diinginkan syariat.

Syubhat ketujuh adalah klaim bahwa amar ma‘ruf nahi munkar adalah hak individu secara mutlak. Penulis menjelaskan bahwa ia memang kewajiban setiap Muslim sesuai kemampuannya, tetapi untuk urusan besar yang menyangkut keamanan dan stabilitas umat, kewajiban itu harus berada di bawah otoritas penguasa. Dengan cara ini, nahi munkar tidak berubah menjadi fitnah.

Akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa amar ma‘ruf nahi munkar adalah syiar agung yang harus ditegakkan dengan ilmu, hikmah, dan adab. Menyalahgunakannya untuk memberontak atau menebar fitnah hanyalah bentuk penyimpangan. Kitab al-Tandzir menutup syubhat ini dengan mengingatkan bahwa tujuan amar ma‘ruf nahi munkar adalah perbaikan, bukan kerusakan. Dengan meluruskan konsep ini, umat diarahkan kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah yang menyeimbangkan ketegasan dan hikmah dalam menjalankan syariat.

Kesimpulan dan Penegasan Manhaj Ahlus Sunnah

Setelah menguraikan berbagai syubhat yang menyebar di kalangan umat, penulis kitab al-Tandzir menutup karyanya dengan penegasan bahwa seluruh penyimpangan tersebut berpangkal pada satu akar yang sama, yaitu menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Baik dalam masalah takfir, jihad, imamah, wala’ wal-bara’, khilafah, ekonomi, HAM, maupun amar ma‘ruf nahi munkar, pola yang sama selalu terlihat: dalil dipahami secara parsial, nash dipisahkan dari konteksnya, dan syariat diperlakukan hanya sebagai slogan, bukan manhaj yang utuh.

Penulis menegaskan bahwa fitnah Khawarij, yang pertama kali muncul di masa sahabat, terus berulang dalam berbagai wajah sepanjang sejarah. Mereka mengkafirkan kaum Muslimin, menghalalkan darah dan harta, serta menolak otoritas ulama dan pemimpin. Syubhat kontemporer hanyalah pengulangan dari pola lama itu, meskipun dibungkus dengan bahasa modern. Oleh karena itu, kitab ini berfungsi sebagai benteng ilmiah untuk mengingatkan umat agar tidak tertipu oleh wajah baru Khawarij.

Dalam penutupnya, penulis menekankan pentingnya ilmu sebagai benteng menghadapi syubhat. Orang yang berpegang pada ilmu akan mampu membedakan antara hujjah yang benar dan klaim yang menyesatkan. Sebaliknya, mereka yang hanya berbekal semangat tanpa ilmu akan mudah terjerumus dalam fitnah. Karena itu, kembali kepada ulama adalah jalan keselamatan. Mereka adalah pewaris Nabi ﷺ yang menjaga agama dari penyimpangan dan fitnah.

Penulis juga mengingatkan bahwa syariat Islam dibangun di atas asas rahmat, keadilan, dan maslahat. Semua hukum, baik dalam akidah, ibadah, maupun muamalah, bertujuan menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Setiap syubhat yang menyalahi prinsip ini pasti menyimpang dari jalan yang benar. Dengan demikian, ukuran kebenaran bukanlah semangat atau kekerasan, tetapi kesesuaian dengan maqasid syariah dan manhaj Rasulullah ﷺ.

Salah satu pesan utama dalam penutup kitab ini adalah kewajiban menjaga persatuan umat. Perpecahan adalah pintu besar bagi masuknya fitnah. Oleh sebab itu, taat kepada pemimpin Muslim, menasihati mereka dengan cara yang baik, dan menjauhi pemberontakan adalah prinsip penting dalam menjaga jamaah. Fitnah takfir dan pemberontakan selalu melahirkan kerusakan yang lebih besar daripada maslahat yang diklaim.

Penulis juga menegaskan bahwa umat harus berhati-hati terhadap slogan-slogan kosong yang sering dipakai kelompok menyimpang. Slogan khilafah, jihad, atau amar ma‘ruf bisa tampak indah, tetapi jika tidak sesuai dengan syariat, ia hanyalah pintu fitnah. Umat harus belajar untuk tidak tertipu oleh kata-kata yang menyesatkan, dan selalu mengukur setiap klaim dengan dalil yang sahih dan pemahaman ulama.

Kitab al-Tandzir juga memberi pesan penting bahwa membantah syubhat bukan hanya tugas ulama, tetapi juga kewajiban kolektif umat untuk menyebarkan pemahaman yang benar. Semakin luas syubhat disebarkan, semakin besar pula kewajiban untuk menjelaskannya. Dengan cara ini, umat bisa terjaga dari fitnah yang merusak iman dan persatuan.

Akhirnya, penulis menutup karyanya dengan doa agar Allah ﷻ melindungi umat Islam dari fitnah yang tampak maupun tersembunyi, serta meneguhkan mereka di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Kitab al-Tandzir menjadi bukti nyata bahwa syariat selalu relevan untuk menjawab fitnah sepanjang zaman. Dengan berpijak pada ilmu, bimbingan ulama, dan persatuan umat, jalan keselamatan akan tetap terbuka hingga akhir zaman.

About The Author