
Pendahuluan
Nikah siri adalah pernikahan yang dianggap sah oleh agama tetapi tidak terdaftar secara resmi oleh Negara atau dari kata lain nikah siri tidak diakui oleh Negara. Dalam konteks ini nikah siri sering kali dijadikan sebagai sarana yang legal untuk mempertahankan praktik yang sebenarnya sangat mirip dengan hubungan simpanan atau pelacuran yang tertutup.
Banyak pejabat mulai dari tingkat kabupaten hingga privinsi dilaporkan sering memanfaatkan celah hukum ini untuk menikahi perempuan yang jau lebih uda bahkan yang usianya yang terpaut belasan tahun dari mereka, tanpa adanya ikatan hukum yang formal. Lalu apa yang membedakan dengan perselimgkuhan pada umumnya? Ya, nikah siri menawarkan label “halal” menurut hukum Agama. Namun apa yang sebenarnya terjadi? Eksploitasi.
Nikah siri dalam bayangan masyarakat awam mungkin dianggap sebagai solusi syar’i ketika pasangan belum siap secara administratif menikah secara negara. Tapi realitanya jau lebih kelam. Nikah siri telah menjadi kendaraan bagi praktik simpanan pejabat, nikah kontrak jangka pendek hingga sarana eksploitasi perempuan oleh para qadhi liar. Dan semua itu berjalan lancar dibawah selimut diamnya masyarakat dan mandulnya pengawasan negara.
Di Aceh, fenomena nikah siri bukanlah hal yang baru. Namun akhir-akhir ini parktik ini mengalami perubahan dalam makna dan tujuannya. Jika ssebelumnya nikah siri dilaksanakan karena keterbatasan biaya atau administratif justru saat ini berfungsi sebagai pembenaran untuk melampiaskan kepuasan sesaat, bahkan sebagai penyamaran untuk tindakan yang berpotensi melanggar hukum atau asusila.
Simpanan Pejabat dalam Bingkai Nikah Siri
Salah satu praktik yang paling memprihatinkan dari nikah siri adalah keterlibatan pejabat publik. Dalam beberapa kasus yang mencuatpejabat yang memiliki kuasa dan harta kerapmenjadikan nikah siri sebagai jalan aman untuk memiliki perempuan simpanan tanpa harus melalui proses pernikahan resmi negara.
Fenomena ini biasanya dilakuakn secara sembunyi-sembunyi dengan memanfaatkan celah hukum yang memperbolehkan nikah secara agama (asalkan memenuhi syarat sah dan rukun nikah), namun tidak mencatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sayangnya pernikahan semacam ini lebih sering disalahgunakan dari pada dijalankan atas dasar niat yang baik.
Pejabat yang menikah siri biasanya tidak bertangguang jawab secara hukum terhadap istri sirinya. Tanpa pencatatan permpuan yang menjadi istri siri tidak memiliki perlindungan hukum. Bila terjadi perceraian ia tidak dapat hak nafkah, warisan atau perlindungan anak. Lebih ironisnyan lagi banyak dari mereka yang dinikahi hanya untuk jangka pendek sebagai bentuk pelampiasan birahi lalu ditinggalkan begitu saja setelah kepuasan didapat.
Fenomena perempuan simpanan berkedok nikah siri semakin marak terjadi karena kekuasaan dan uang memberikan ruang bagi para pejabat untuk melanggengkan parktik ini tanpa takut terkena jerat hukum atau sanksi sosial. Bahwkan dibeberapa wilayah di Aceh hal ini seolah menjadi rahasia umum yang diketahui namun tidak ada yang berani manindak.
Namun yang lebih menyedihkan lagi adalah ketikan praktik ini tidak hanya melibatkan satu oerempuan saja tetapi beberapa sekaligus yang pada akhirnya mengurangi makna pernikahan dalam islam sebagai sebuah ibadah yang dibangun atas dasar tangguang jawab dan kasih sayang.
Lelucon Tragis Dalam Bingkai Agama
Isu lain yang sangat erat kaitannya dengan nikah siri adalah nikah kontrak. Istilah ini merujuk pada pernikahan yang dilakukan dalam jangkla waktu tertentu dengan perjanjian berakhirnya hubungan pada waktu yang telah ditentukan. Meskipun dalam fiqh ada beberapa mazhab yang membolehkan nikah mut’ah (kontrak), namun mayoritas Ulama Sunni telah sepakat bahwa nikah mut’ah diharamkan dan tidak sah karena tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang ditetapkan dalam Islam, yaitu membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Namun praktek nikah kontrak masih terus berlangsung secara sembunyi-sembunyi. Bentuknya bervariasi, mulai dari peernikahan yang hanya berlangsung hanya sebulan untuk tujuan liburan atau tugas luar kota, hingga pernikahan musiman yang memanfaatkan kedatangan tamu dari luar daerah. Banyak warga negara asing terutama kawasan Timur Tengah yeng terlibat dalam praktik ini dengan alasan mengikuti syari’at Islam, padahal sebenarnya mereka hanya menyewa perempuan untuk kepuasan seksual.
Praktik ini menjadi lebih mudahkarena adanya peran individu tertentu yang menghubungkan proses nikah kontrak, mulai dari mak comblang hingga tokok agama yang menerima bayaran untuk menikahkan pasangan dalam bentuk kontrak disinilah peran qadhi liar mulai terlihat.
Perantara Ilegal yang Merusak Marwah Syariat
Dalam hukum Islam, qadhi berada pada posisi yang sangat penting dalam memutuskan perkara dan penegakan keadilan syari’at. Namun saat ini banyak bermunculan parktikbaru yaitu qadhi liar. Mereka bukanlah qadhi resmi yang diangkat negara malainkan individu yang mengaku memahami Hukum Islam dan mmenawarkan jasa menikahkan pasangan secara siri.
Qadhi liar ini sangat berbahaya karena mereka mencederai esensi Hukum Islam. Mereka bersedia menikahkan pasangan tanpa memperhatikan syarat dan rukun nikah yang sah yaitu tidak memeriksa wali yang sah, tidak mencatatkan pernikahan, tidak memastikan keabsahan calon mempelai, bahkan tidak perduli apakah pernikahan itu benar-benar diniatkan sebagai ikatan sakral atau hanya sekedar pemenuhan syahwat saja.
Keberadaan qadhi liar membuat parktik nikah siri semakin marak dan sulit diberantas. Mereka menjadi fasilitator dalam jaringan nikahn kontrak dan simpanan pejabat. Bahkan beberapa dari mereka diketahui mamatok tarif tertentu untuk malakukan pernikahan dan memberikan surat pernikahan tidak resmi sebagai bukti.
Adapun yang lebih memprihatinkan para qadhi liar ini sering berlindung dibalik jubah Agama. Mereka mengklaim membantu orang yang ingin menikah secara halal, padahal dalam banyak kasus mereka justru menjadi bagian dari eksploitasi terhadap perempuan. Banyak perempuan muda bahkan remaja yang menjadi korban pernikahan semu ini, dengan janji dinikahin secara sah hanya untuk ditinggalkan setelah waktu kontak habis.
Perempuan Jadi Korban Utama
Praktik nikah siri terlebih lagi bercampur dengan nikah kontrak danmelibatkan qadhi liar dapat menciptakan kerusakan sosial yang luas terutama perempuan yang dari kalangan keluarga kurang mampu yang rentan menjadi korban terhadap praktik ini. Mereka dimanipulasi oleh janji palsu, terjerat dalam hubungan tanpa perlindungan hukum dan akhirnya mengalami kerugian fisik, mental, hingga sosial.
Anak-anak dari hasil pernikahan siri juga akan menjadi korban berikutnya. Tanpa adanya pencatatan pernikahan status anak di mata hukum menjadi tidak jelas seperti halnya terhambat pengurusan akta kelahiran, status ahli waris, hingga pendidikan formal. Kondisi ini menciptakan generasi yang terdeskriminasi secara struktural akibat dosa yang bukan mereka lakukan.
Di sisi lain, maraknya praktik ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap pelaksanaa Syariat Islam khususnya di Aceh. Saat hukum diterapkan hanya sebagai simbol dan tidak menyelesaikan masalah sosial yang mendasar, kepercayaan publik terhadap lembaga keagamaan akan berkurang, terlebih lagi jika pejabat yang seharusnya menjadi teladan justru terlibat dalam praktik tidak bermoral.
Penegakan Hukum, Perlindungan Perempuan, dan Reformasi Sosial
Untuk menyelesaikan masalah ini, diperlukan pendekatan yang beragam. Pertama, dari perspektif hukum, pemerintah dan lembaga penegak syariat perlu meningkatkan pengawasan terhadap praktik nikah siri. Proses pengesahan pernikahan harus dipermudah namun tetap dilaksanakan dengan ketat dan transparan, kemudian para kadhi yang tidak resmi harus diberi sanksi tegas, termasuk mereka yang terlibat dalam praktik nikah kontrak.
Kedua, perlindungan terhadap perempuan seharusnya menjadi fokus utama dalam konteks ini, terutama dalam meningkatkan pemahaman mengenai hak-hak perempuan dalam pernikahan, khususnya di daerah-daerah yang terpencil. Penting untuk melibatkan lembaga sosial, organisasi perempuan, serta tokoh agama yang progresif dalam memberikan dukungan dan perlindungan kepada para korban nikah siri yang mengalami eksploitasi.
Ketiga, penting untuk melakukan perubahan sosial dan budaya. Stigma yang melekat pada perempuan yang menikah tanpa pencatatan perlu dihilangkan, bukan untuk melegalkan praktik tersebut, tetapi agar mereka merasa berani untuk berbicara dan mencari perlindungan hukum. Budaya patriarki yang membenarkan tindakan pria berpoligami atau memiliki hubungan gelap juga harus ditentang dengan pendekatan pendidikan yang mengedepankan perspektif kesetaraan gender.
Terakhir, sangat penting bagi tokoh agama untuk berperan aktif, tidak hanya sebagai pemberi nasihat, tetapi juga sebagai pengawas moral masyarakat. Mereka perlu bersikap tegas terhadap praktik nikah kontrak dan kadhi yang menyimpang. Jangan biarkan agama dijadikan alasan untuk tindakan yang tidak bermoral.