Pendahuluan
Diskursus mengenai Aceh tidak pernah lepas dari tarik-menarik antara identitas keislaman, pengalaman konflik, dan cita-cita demokrasi dalam bingkai nation-state Indonesia. Berbeda dengan provinsi lain, Aceh menegosiasikan eksistensinya melalui sejarah panjang jihad, perlawanan, hingga MoU Helsinki 2005 yang membuka babak baru dalam relasi dengan Jakarta. Namun, persoalan mendasar tetap mengemuka: sejauh mana Aceh dapat menjadi laboratorium bagi integrasi agama, etnisitas, dan demokrasi dalam sebuah negara-bangsa modern?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, komparasi menjadi penting. Aceh tidak bisa dibaca secara tunggal, melainkan perlu ditempatkan dalam perbandingan dengan entitas lain yang memadukan agama, tradisi, dan politik. Kasus Bali, Yogyakarta, Brunei Darussalam, Singapura, dan Israel menghadirkan model beragam tentang bagaimana agama dan etnisitas beroperasi dalam kerangka negara modern. Bali mewarisi Hindu dan adat desa pakraman; Yogyakarta mempertahankan kerajaan feodal dalam republik; Brunei menggabungkan Islam dengan monarki absolut; Singapura menekankan sekularisasi dan kontrol politik; Israel menjadi prototipe negara agama yang didukung trauma sejarah dan geopolitik global.
Aceh berada dalam persilangan ini. Sebagai daerah yang diberi status otonomi khusus, Aceh mencoba mengimplementasikan syariat Islam, tetapi juga terikat oleh regulasi negara-bangsa yang modern. Pertanyaan kuncinya adalah: apakah Aceh dapat belajar dari pengalaman entitas lain untuk memperkuat demokrasi, atau justru akan terus terjebak dalam ketegangan antara agama, tradisi, dan nation-state?
Bali: Hindu, Adat, dan Demokrasi dalam Bingkai Nation-State
Bali merupakan contoh paling menonjol di Indonesia tentang bagaimana agama dan adat bisa hidup berdampingan dengan nation-state tanpa dianggap sebagai ancaman separatisme. Bali bukanlah entitas politik yang menuntut kemerdekaan, melainkan sebuah provinsi yang dengan leluasa menjalankan adat dan ajaran Hindu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
David J. Stuart-Fox (2010) menyebut bahwa fungsi utama desa adat di Bali adalah menjadi mediator antara manusia dengan dunia tak kasat mata—para dewa, roh, dan leluhur—serta memastikan hubungan ini berjalan seimbang. Desa adat bukan hanya institusi sosial, melainkan sekaligus pusat ritual yang mengatur tatanan hidup masyarakat. Dengan demikian, agama Hindu di Bali tidak dipisahkan dari struktur sosial, melainkan menyatu dengan ruang publik dan politik lokal.
Clifford Geertz (1980) menegaskan bahwa negara pada dasarnya adalah medan makna. Dalam konteks Bali, makna negara tidak bertentangan dengan adat dan agama, tetapi justru menjadikannya fondasi identitas. Maka, meski Bali tetap dalam bingkai demokrasi Indonesia, ritual, kasta, dan adat Hindu tidak dianggap bertentangan dengan prinsip nation-state.
Bahkan, seperti ditulis Miguel Covarrubias (1973), sejarah Bali yang penuh perang dan perlawanan melawan kolonialisme kemudian “dilindungi” oleh negara dengan pengakuan terhadap Hindu sebagai agama resmi. Fred B. Eiseman (1990) menambahkan bahwa sistem kasta di Bali, meskipun dipandang feodal, tetap berjalan sebagai pengatur harmoni sosial. Kasta tidak bisa dihapus dengan dekrit politik, sebab ia melekat sebagai sistem dharma yang melampaui organisasi negara.
Dengan posisi ini, Bali menjadi aset nasional dan internasional. Budaya dan ritual Hindu dijadikan simbol “keberagaman” Indonesia, sekaligus daya tarik pariwisata global. Dengan kata lain, religiositas Bali justru memperkuat legitimasi nation-state. Tidak pernah ada tuduhan bahwa Bali sedang membangun “negara dalam negara,” meski praktik adat dan agama sangat dominan.
Bagi Aceh, pengalaman Bali menghadirkan dilema. Mengapa ketika Hindu dan adat dijalankan di Bali, ia dianggap sebagai aset bangsa dan kekayaan demokrasi, tetapi ketika Aceh mengimplementasikan syariat Islam, ia sering dipandang sebagai ancaman terhadap demokrasi dan HAM? Perbedaan ini menyingkap bias epistemologis: agama mayoritas di Indonesia, yakni Islam, ketika ditegakkan secara formal di tingkat lokal, sering dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap demokrasi liberal, sementara agama minoritas yang dilestarikan justru dipuji sebagai representasi pluralisme.
Dengan demikian, kasus Bali mengajarkan bahwa penerimaan negara terhadap praktik agama dan adat tidak hanya bergantung pada prinsip demokrasi, tetapi juga pada konstruksi politik identitas. Aceh, yang membawa Islam sebagai basis hukum, seringkali ditempatkan dalam posisi curiga, seolah Islamisasi berarti ancaman, bukan kekayaan.
Yogyakarta: Feodalisme, Simbol Kerajaan, dan Demokrasi Republik
Yogyakarta adalah anomali dalam sistem republik Indonesia. Sebagai daerah istimewa, Yogyakarta tetap mempertahankan struktur kerajaan Mataram dengan Sultan sebagai penguasa sekaligus gubernur seumur hidup. Dalam logika demokrasi liberal, sistem ini jelas problematis karena tidak melalui mekanisme pemilihan umum, melainkan warisan feodal. Namun, negara justru mengafirmasi keberadaan ini melalui Undang-Undang Keistimewaan DIY.
Secara antropologis, Yogyakarta menunjukkan bagaimana simbol kerajaan bukan hanya simbol budaya, melainkan juga kekuatan politik yang dilembagakan. Clifford Geertz (1980) menjelaskan konsep negara teater, di mana kekuasaan dipraktikkan melalui simbol dan ritual yang melegitimasi otoritas. Di Yogyakarta, Sultan tidak sekadar pemimpin administratif, melainkan juga simbol kosmologis yang menghubungkan rakyat dengan warisan Mataram-Islam-Jawa.
Menariknya, feodalisme Yogyakarta tidak dianggap bertentangan dengan demokrasi. Sebaliknya, ia dipandang sebagai kekhususan budaya yang perlu dilestarikan. Bahkan, Sultan HB X sering tampil sebagai figur moral bangsa yang melampaui politik elektoral. Model ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia tidak sepenuhnya universal, melainkan bisa dinegosiasikan melalui simbol tradisi dan otoritas historis.
Bagi Aceh, kasus Yogyakarta memberi refleksi: mengapa struktur politik berbasis tradisi feodal diterima sebagai kekhususan, sedangkan syariat Islam di Aceh kerap dipandang problematis? Padahal keduanya sama-sama menegosiasikan identitas lokal dalam bingkai negara-bangsa. Artinya, penerimaan negara terhadap praktik politik lokal tidak selalu ditentukan oleh prinsip demokrasi, tetapi lebih oleh persepsi strategis dan narasi nasional yang dibangun.
Brunei Darussalam: Monarki Islam Melayu
Jika Yogyakarta adalah contoh feodalisme dalam republik, Brunei Darussalam adalah contoh monarki absolut yang menolak demokrasi liberal tetapi tetap stabil. Brunei memadukan Islam dengan identitas Melayu dalam doktrin resmi yang dikenal sebagai Melayu Islam Beraja (MIB). Dalam sistem ini, Sultan bukan hanya kepala negara, tetapi juga simbol Islam, budaya, dan kontinuitas kerajaan.
Mohammad Redzuan Othman (2000) mencatat bahwa MIB dirancang sebagai ideologi negara yang memadukan tradisi kesultanan dengan legitimasi Islam dan etnisitas Melayu. Dengan formula ini, Brunei berhasil menjaga stabilitas politik tanpa mekanisme demokrasi elektoral. Keberhasilan ekonomi, khususnya dari minyak dan gas, memperkuat legitimasi Sultan, sehingga rakyat tidak menuntut demokrasi liberal seperti di negara-negara lain.
Brunei memperlihatkan bahwa stabilitas politik dapat dijaga melalui kombinasi monarki, agama, dan kesejahteraan ekonomi. Demokrasi liberal tidak menjadi kebutuhan, karena legitimasi dibangun melalui ketaatan kepada Sultan sebagai wakil Tuhan di bumi. Di sini, agama tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai fondasi negara.
Jika dibandingkan dengan Aceh, Brunei menghadirkan dilema. Aceh ingin menegakkan Islam dalam bingkai demokrasi republik, tetapi terhalang oleh regulasi nasional dan tuduhan anti-demokrasi. Brunei, sebaliknya, secara terang-terangan menolak demokrasi liberal, tetapi justru dianggap stabil dan dihormati oleh dunia internasional. Hal ini menunjukkan bahwa standar penerimaan politik internasional tidak seragam. Negara Islam bisa diterima jika stabil dan menguntungkan secara ekonomi, tetapi dipertanyakan jika muncul dalam kerangka konflik dan keterbatasan ekonomi.
Singapura: Sekularisasi, Otoritarianisme Terkendali, dan Dominasi PAP
Singapura adalah contoh paling jelas di Asia Tenggara tentang bagaimana demokrasi dapat direduksi menjadi stabilitas otoritarian yang dikemas dalam bentuk hukum dan pembangunan ekonomi. Sejak pemisahannya dari Malaysia pada 1965, Singapura membangun narasi negara-bangsa yang mengandalkan kontrol politik ketat, sekularisasi, dan etos kerja Confucian-Calvinist.
Robert Hefner (2001) mencatat bahwa meski terdapat vitalitas ekonomi dan keberagaman budaya, Singapura tetap menutup ruang kebebasan sipil dengan kontrol ketat terhadap media, organisasi masyarakat, dan oposisi politik. Partai dominan, People’s Action Party (PAP), yang didirikan oleh Lee Kuan Yew, mendominasi hampir seluruh aspek politik sejak kemerdekaan, menjadikan demokrasi di Singapura lebih dekat kepada model “elections without choice” (Barr, 2009).
Lee Kuan Yew tidak pernah menyembunyikan pandangannya bahwa stabilitas lebih penting daripada kebebasan. Dalam The Singapore Story, ia menegaskan bahwa demokrasi liberal tidak cocok untuk negara kecil yang multietnis seperti Singapura. Sebagai gantinya, ia membangun “demokrasi terkelola” yang mengutamakan pembangunan ekonomi, disiplin sosial, dan ketaatan hukum (Lee, 2008).
Aspek penting lainnya adalah hubungan erat Singapura dengan Israel sejak awal kemerdekaan. Lee mengundang E.J. Meyer, seorang perencana industri dari Israel, untuk membantu membangun kerangka ekonomi modern melalui Economic Development Board (Lee, 2008: 270). Selain itu, militer Singapura juga dibangun dengan model Israel. Kementerian Pertahanan Singapura (MINDEF) secara terbuka menggunakan penasihat militer Israel pada 1960-an, dengan menekankan sistem pelatihan tiga tahun bagi perwira, mirip dengan Israel (Lee, 2008: 282).
Dengan strategi ini, Singapura berhasil menjadi negara kota yang stabil, kaya, dan modern, meskipun dengan demokrasi minimal. Michael Barr (2009) bahkan menyatakan secara tajam: “Everything works – except democracy”.
Jika dibandingkan dengan Aceh, pengalaman Singapura memberikan pelajaran penting. Setelah MoU Helsinki 2005, Partai Aceh (PA) muncul sebagai kekuatan dominan, mirip dengan PAP di Singapura. Namun, berbeda dengan PAP yang mampu membangun stabilitas ekonomi-politik, PA justru terjebak dalam konflik internal, oligarki lokal, dan perilaku politik yang sering kali tidak demokratis (Avonius, 2013).
Dengan kata lain, Aceh memiliki peluang untuk meniru model Singapura sebagai kekuatan politik dominan pasca-konflik. Tetapi, lemahnya institusi, rendahnya konsolidasi partai, dan absennya visi pembangunan jangka panjang membuat Aceh tidak mampu mereplikasi kesuksesan Singapura.
Israel: Negara-Bangsa Yahudi, Trauma Sejarah, dan Arsitektur Politik-Ziomis
Israel kerap dijadikan contoh paling eksplisit tentang negara-bangsa berbasis agama dalam ekosistem demokrasi modern. Di sini, Yahudi tidak hanya diposisikan sebagai identitas religius, tetapi juga kategori kebangsaan yang dilembagakan melalui institusi, hukum, dan protokol negara. Literatur klasik tentang Zionisme menunjukkan fondasi ideologis yang memadukan pembacaan sejarah keagamaan, trauma diaspora, dan realisme geopolitik dalam proyek pendirian negara (Aronson, 2009; Bar, 2008; Katz, 2008).
1) Dari “Pariah” ke Negara-Bangsa
Hannah Arendt menggambarkan posisi historis Yahudi modern sebagai pariah—kelompok yang “dimasukkan” ke masyarakat Eropa tetapi tidak pernah sepenuhnya diterima, sehingga mengalami ambivalensi emansipasi pasca-Pencerahan (Arendt, 2007; Feldman, 2007). Pengalaman marginalitas itu, diperparah oleh Holocaust, menjadi energi politik-moral bagi konsolidasi wacana Zionisme dan lahirnya Negara Israel pada 14 Mei 1948. Dalam horizon pemikiran yang lebih luas, Arendt juga menyorot paradoks Eropa: hubungan problematis antara “barbarisme Nazi” dan “humanisme Eropa” yang membentuk kesadaran politik Yahudi modern (Arendt, 2007c).
Pada saat bersamaan, pembacaan ulang atas Herder yang diajukan Isaiah Berlin menegaskan tiga gagasan kunci untuk menafsirkan kebangkitan kebangsaan modern—populisme, ekspresionisme, dan pluralisme—yang relevan untuk memahami bangunan kultural Zionisme (Berlin, 2000). Dengan kata lain, konsolidasi Israel bertumpu pada narasi komunitas terpilih, estetika ekspresif identitas, dan afirmasi pluralitas intrakomunitas yang tetap berada di bawah payung ke-Yahudi-an.
2) Agama sebagai Dasar Konstitusional
Dalam konstruksi negara, Israel didefinisikan secara terbuka sebagai Negara Yahudi, sebuah desain yang “tidak mengenal pemisahan tegas antara negara dan agama” dalam level identitas-dasar (Sela, 2002, p. 471). Penataan kewarganegaraan, status personal, dan kalender publik mengakui Yudaisme sebagai sumber legitimasi simbolik, meskipun praktik politik sehari-hari mempertahankan institusi demokrasi elektoral yang kompetitif. Di sinilah paradoks modernitas Israel: demokrasi prosedural berjalan simultan dengan keistimewaan identitas religius sebagai fondasi negara-bangsa.
3) Diaspora, Dukungan Eksternal, dan Keunggulan Kognitif
Kekuatan Israel juga dibentuk oleh jejaring diaspora yang tersebar luas—dengan modal finansial, intelektual, serta politik—yang berkontribusi pada keunggulan teknologi dan pertahanan. Literatur populer-akademik mengenai overachievement komunitas Yahudi menekankan keberhasilan pendidikan, kerja intelektual, dan ethos minoritas berprestasi; tetapi sekaligus mengingatkan bahaya stereotip berlebih mengenai “kontrol” ekonomi yang secara historis memantik kekerasan anti-Semit (Chua & Rubenfeld, 2014). Dalam bingkai keamanan, koalisi eksternal dan komunitas transnasional memperkuat daya tahan negara—sebuah faktor yang jarang dimiliki entitas sub-nasional seperti Aceh.
4) Realisme Keamanan dan Teknokrasi Negara
Israel membangun arsitektur pertahanan yang efisien—wajib militer, R&D pertahanan, dan integrasi sipil-militer—sebagai penopang keamanan eksistensial. Akumulasi kapasitas ini menciptakan ekonomi inovasi dengan spin-off teknologi sipil. Tidak mengherankan jika model perencanaan pembangunan dan pertahanan Israel kerap dijadikan rujukan negara kecil yang menghadapi tekanan eksternal, seperti Singapura pada dekade 1960-an yang menggunakan penasihat Israel di MINDEF dan meminjam logika pembangunan industri melalui Economic Development Board (Lee, 2008, pp. 270, 282).
Pelajaran Strategis untuk Aceh: Membaca Model Bali, Yogyakarta, Brunei, Singapura, dan Israel
Legitimasi dan Narasi Dasar
Dalam politik modern, tidak ada kekuasaan yang bertahan tanpa legitimasi. Bali, Yogyakarta, Brunei, Singapura, dan Israel menghadirkan wajah berbeda tentang bagaimana legitimasi dikonstruksi, dikukuhkan, dan disebarkan dalam narasi kenegaraan. Bali menampilkan model agama-adat sebagai aset kultural demokrasi, di mana Hindu Bali dilembagakan sebagai wajah kebudayaan Indonesia di mata dunia. Clifford Geertz (1980) menyebutnya sebagai theatre state, sebuah panggung di mana agama, seni, dan politik dilebur menjadi pertunjukan kekuasaan. Legitimasi Bali tidak datang dari sistem politik formal semata, melainkan dari kapasitasnya merawat tradisi dalam kerangka kebangsaan.
Yogyakarta, di sisi lain, menunjukkan legitimasi feodalisme yang dilegalisasi dalam konstitusi Republik Indonesia. Keistimewaan Yogyakarta bukan hanya sebuah simbol, melainkan suatu bentuk penerimaan negara terhadap monarki lokal sebagai elemen penting kohesi nasional. Sri Sultan bukan sekadar raja, tetapi juga gubernur, dengan kewenangan yang melekat dalam struktur formal negara. Legitimasi di sini bukan demokrasi prosedural, melainkan kekuasaan tradisional yang dilembagakan (Anderson, 1990).
Brunei mengunci stabilitas politiknya dengan doktrin Melayu Islam Beraja (MIB). Sistem ini tidak memberi ruang pada demokrasi liberal, melainkan menawarkan stabilitas politik dengan basis legitimasi agama dan tradisi monarki absolut (Saunders, 2011). Negara berjalan tanpa partai oposisi, tetapi rakyat menerima stabilitas itu karena tertopang oleh rente migas yang menjamin kesejahteraan.
Singapura menghadirkan model unik, di mana Lee Kuan Yew menegaskan bahwa demokrasi liberal bukanlah jalan yang sesuai bagi negara-kota kecil yang multietnis. Maka lahirlah “demokrasi terkendali,” di mana legitimasi berasal dari stabilitas dan meritokrasi. Michael Barr (2009) merumuskan kritik tajam: “Everything works, except democracy.” Legitimasi Singapura lahir bukan dari kontestasi politik terbuka, melainkan dari kinerja ekonomi, birokrasi, dan hukum.
Israel berbeda. Ia menegaskan identitas religius sebagai dasar negara-bangsa. Yahudi bukan hanya agama, melainkan juga identitas kebangsaan yang diproyeksikan ke dalam institusi, hukum, dan konstitusi negara. Sela (2002) menunjukkan bahwa demokrasi Israel berjalan dengan kuat, tetapi ia sekaligus mempertahankan keistimewaan Yahudi sebagai basis negara. Legitimasi politik Israel lahir dari dua hal: trauma sejarah diaspora dan Holocaust, serta keunggulan institusional yang dikuatkan oleh jejaring diaspora global.
Bagi Aceh, pelajaran pentingnya ialah bahwa legitimasi berbasis agama atau tradisi hanya akan bertahan bila narasi tersebut mampu diintegrasikan dalam kerangka kebangsaan, didukung oleh rekayasa kelembagaan, serta diperkuat oleh dukungan eksternal. Tanpa kombinasi tiga hal ini, syariat berpotensi terjebak sebagai simbol formalitas tanpa kapasitas nyata.
Kelembagaan dan Daya Tahan
Kekuatan sebuah entitas politik tidak hanya ditentukan oleh legitimasi, tetapi juga oleh daya tahan institusional. Bali dan Yogyakarta memperoleh daya tahan karena institusi adat dan monarki mereka dilembagakan dalam hukum nasional. Keistimewaan Yogyakarta tertuang dalam UUD 1945, sementara Bali dipayungi oleh narasi “kebudayaan nasional” yang dilegitimasi negara.
Brunei memperoleh daya tahan karena perpaduan monarki absolut dengan rente minyak. Sistem MIB dapat bertahan karena didukung kemampuan finansial negara untuk mendistribusikan kesejahteraan (Saunders, 2011). Tanpa minyak, legitimasi itu akan rapuh.
Singapura memperoleh daya tahan dari kombinasi PAP, birokrasi performatif, dan rule by law. Stabilitas politik tidak hanya dipertahankan oleh partai dominan, tetapi juga oleh keberhasilan administrasi negara dalam menyajikan layanan publik yang efisien (Barr, 2009).
Israel menghadirkan daya tahan lebih kompleks: jejaring diaspora global, kekuatan teknologi, dan arsitektur pertahanan. Ketiga elemen ini membuat Israel mampu bertahan di tengah konflik regional yang terus-menerus (Aronson, 2009).
Aceh, pasca-Helsinki, sempat menunjukkan potensi yang sama ketika Partai Aceh (PA) muncul sebagai kekuatan dominan. Namun, berbeda dengan PAP di Singapura atau monarki di Yogyakarta, institusionalisasi PA lemah. Patronase menebal, oligarki politik menguat, dan konsolidasi internal melemahkan legitimasi partai itu sendiri (Avonius, 2013). Daya tahan yang rapuh ini membuat Aceh kehilangan peluang untuk menjadi model politik lokal yang berwibawa di tingkat nasional.
Dukungan Eksternal dan Jejaring Global
Israel dan Singapura sama-sama memperoleh kekuatan dari dukungan eksternal. Israel ditopang oleh jejaring diaspora Yahudi yang tersebar di Amerika dan Eropa, memberikan modal finansial, politik, dan diplomatik yang sangat signifikan (Chua & Rubenfeld, 2014). Singapura, sejak awal kemerdekaan, menjalin hubungan erat dengan Amerika, Inggris, dan bahkan Israel, untuk memperkuat militernya (Lee, 2008).
Brunei relatif aman karena statusnya sebagai monarki yang diterima oleh lingkungan regional, khususnya dalam kerangka ASEAN. Bali dan Yogyakarta memperoleh proteksi dari narasi kebangsaan Indonesia, sehingga meskipun berbeda dalam tradisi, keduanya tetap dipayungi oleh legitimasi negara-bangsa Indonesia.
Aceh justru menghadapi keterbatasan. Relasi politik dengan Jakarta cenderung fluktuatif, sementara jejaring global Aceh relatif terbatas. Tanpa koalisi eksternal dan tanpa basis ekonomi unggulan, agenda normatif syariat cenderung dilihat sebagai simbol tanpa kapasitas. Hal ini menunjukkan pentingnya membangun jejaring diaspora Aceh yang mampu memberikan kontribusi politik, ekonomi, dan akademik di panggung internasional.
Demokrasi Substansial vs Simbolisme
Satu benang merah dari semua model yang bertahan adalah keberhasilan mereka dalam memadukan identitas dengan kinerja layanan publik. Bali tidak hanya mempertahankan adat, tetapi juga menghadirkan destinasi pariwisata yang menopang ekonomi. Yogyakarta mempertahankan monarki sembari menjadi pusat pendidikan. Brunei menghadirkan legitimasi Islam sembari memastikan kesejahteraan. Singapura menekan kebebasan politik, tetapi memberikan stabilitas dan kesejahteraan. Israel mempertahankan identitas Yahudi sembari membangun teknologi dan pertahanan mutakhir.
Aceh, sebaliknya, masih terjebak pada politik simbolisme. Diskursus syariat Islam lebih banyak ditampilkan dalam bentuk regulasi dan retorika ketimbang output nyata. Maka, Aceh perlu menggeser diskursus dari simbol ke output konkret: pendidikan, layanan kesehatan, ketahanan pangan-energi, penataan kota, dan reformasi birokrasi. Nilai Islam harus berfungsi sebagai etika kebijakan publik, bukan sekadar ornamen hukum.
Rekomendasi Operasional untuk Aceh
Setelah hampir dua dekade perdamaian pasca-Helsinki, Aceh masih menghadapi dilema mendasar: bagaimana mengubah syariat dari simbol politik menjadi instrumen pembangunan yang nyata. Transformasi ini menuntut keberanian untuk menata ulang arah kebijakan, membangun kapasitas birokrasi, serta memperkuat jejaring eksternal. Tanpa langkah konkret dalam horizon tiga hingga lima tahun, Aceh berisiko terjebak dalam stagnasi politik dan defisit legitimasi.
Pertama, diperlukan institusionalisasi syariat sebagai kebijakan publik. Prinsip maqāṣid al-sharī‘ah—keadilan, amanah, dan maslahah—selama ini lebih sering berhenti pada ranah retorika. Padahal, jika dikembangkan menjadi indikator kinerja yang terukur, nilai-nilai Islam dapat menjadi etika publik yang mendorong pemerintahan bersih. Korupsi yang masih menjangkiti birokrasi Aceh harus dipandang sebagai pengkhianatan terhadap amanah syariat, sementara rendahnya layanan dasar dan literasi publik dapat ditafsirkan sebagai kegagalan memenuhi maslahah. Policy lab yang melibatkan kampus, ormas Islam, dan teknokrat lokal perlu dibentuk sebagai arena dialektika kebijakan. Seperti dicatat Hefner (2001) dalam kajiannya tentang Civil Islam, ormas dan jaringan intelektual Muslim berpotensi menjadi katalis demokratisasi substantif ketika diberi ruang untuk mempengaruhi kebijakan.
Kedua, pembangunan kapasitas tekno-birokrasi mutlak diperlukan. Selama ini, birokrasi Aceh cenderung terjebak pada patronase politik dan alokasi rente, bukan pada delivery kebijakan yang berbasis data. Inspirasi dapat diambil dari model Singapura, di mana Partai Aksi Rakyat (PAP) menekankan efisiensi dan akurasi kebijakan melalui instrumen teknokratis (Barr, 2009). Aceh perlu memiliki war room kebijakan yang mampu mengintegrasikan data kependudukan, kemiskinan, dan fiskal secara real time. Dengan sistem seperti ini, keputusan publik tidak lagi bergantung pada intuisi politik atau lobi elite, tetapi pada fakta empiris. Tentu, yang ditiru bukan represi politik Singapura, melainkan disiplin birokrasi yang berbasis hasil.
Ketiga, Aceh harus membangun jejaring diaspora dan kemitraan global. Israel dan Singapura memperlihatkan bagaimana diaspora menjadi instrumen vital dalam menopang kekuatan politik dan ekonomi (Chua & Rubenfeld, 2014). Aceh memiliki potensi yang sama, meski belum terorganisir. Banyak akademisi, pebisnis, dan filantrop Aceh tersebar di Malaysia, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika. Jejaring ini perlu dipetakan dan dijadikan liaison dengan modal global. Dengan demikian, Aceh dapat memposisikan diri sebagai Islamic civil lab di Asia Tenggara—sebuah laboratorium peradaban Islam yang memadukan syariat dengan inovasi sosial, ekonomi, dan teknologi.
Keempat, stabilisasi politik domestik menjadi keharusan. Sejak dominasi Partai Aceh melemah, politik lokal Aceh semakin fragmentaris dan sarat patronase. Avonius (2013) mencatat bahwa konsolidasi politik pasca-konflik di Aceh justru melemah akibat penetrasi patronase dan lemahnya kelembagaan partai. Reformasi internal partai lokal dan nasional di Aceh harus diarahkan pada kompetisi sehat, transparansi pembiayaan politik, dan pengurangan praktik kartel. Tanpa reformasi ini, demokrasi lokal akan terus berputar pada sirkuit oligarki yang menguras legitimasi publik.
Akhirnya, narasi besar Aceh harus digeser dari formalisasi syariat menuju kinerja syariat. Selama ini, keberhasilan syariat sering diukur dari jumlah qanun atau operasi razia moral, bukan dari kualitas hidup rakyat. Paradigma ini harus diubah: syariat akan diakui sebagai etika publik hanya bila ia mampu menurunkan kemiskinan, memperkuat integritas birokrasi, dan membangun kepercayaan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Anderson (1990) tentang imagined communities, identitas politik hanya bertahan bila mampu dikaitkan dengan keseharian rakyat, bukan sekadar simbol di ruang formal.
Dalam horizon tiga hingga lima tahun ke depan, Aceh perlu membangun kerangka operasional ini secara konsisten. Institusionalisasi nilai, penguatan birokrasi teknokratis, aktivasi diaspora, reformasi politik domestik, dan pergeseran narasi strategis menjadi syarat agar Aceh tidak hanya bertahan sebagai daerah berotonomi khusus, tetapi juga tampil sebagai laboratorium peradaban Islam yang mampu memberi pelajaran global. Tanpa langkah-langkah ini, Aceh akan terus terjebak pada simbolisme syariat yang rapuh dan kehilangan relevansinya dalam politik nasional maupun dunia Islam.
Matriks Komparatif: Model Legitimasi dan Kelembagaan
Kasus | Basis Legitimasi | Instrumen Kelembagaan | Dukungan Eksternal | Daya Tahan | Pelajaran untuk Aceh |
---|---|---|---|---|---|
Bali | Agama–adat sebagai aset demokrasi | Adat dilembagakan dalam hukum nasional & pariwisata budaya | Narasi nasional Indonesia & industri global pariwisata | Stabil karena integrasi adat–negara | Adat Aceh (syura, peumulia jamee) bisa diintegrasikan dengan regulasi formal untuk memperkuat legitimasi. |
Yogyakarta | Feodalisme dilegalkan sebagai kekhususan konstitusional | Kesultanan & monarki dilembagakan dalam UUD | Perlindungan konstitusi & narasi sejarah nasional | Stabil karena status khusus | Aceh bisa menuntut pelembagaan syariat sebagai “keunikan konstitusional”, bukan hanya qanun simbolik. |
Brunei | Melayu Islam Beraja | Monarki absolut + rente migas | Hubungan regional & kekayaan sumber daya | Stabil karena migas & monarki | Aceh tidak bisa meniru migas, tetapi bisa membangun rente sosial berbasis syariat-ekonomi (UMKM halal, wakaf produktif). |
Singapura | Meritokrasi & stabilitas | PAP + birokrasi teknokratis + rule by law | Payung eksternal (AS, jaringan global) | Stabil karena efisiensi & kinerja publik | Aceh perlu war room kebijakan & delivery unit untuk fokus pada hasil, bukan patronase. |
Israel | Identitas religius sebagai basis negara-bangsa | Demokrasi elektoral + diaspora + militer | Dukungan diaspora & AS | Stabil karena jejaring global & teknologi | Aceh harus aktifkan diaspora sebagai global leverage, agar syariat terbaca sebagai kapasitas, bukan simbol. |
Kesimpulan
Aceh hari ini berada di persimpangan antara formalisasi simbolik dan kinerja substantif. Perbandingan dengan Bali, Yogyakarta, Brunei, Singapura, dan Israel menunjukkan bahwa daya tahan sebuah model politik tidak hanya ditentukan oleh simbol atau narasi, melainkan oleh kelembagaan, kinerja publik, dan jejaring eksternal.
Pelajaran terpenting adalah: identitas tidak cukup tanpa kapasitas. Bali dan Yogyakarta bertahan karena adat dan monarki dilembagakan; Brunei kuat karena rente migas menopang monarki; Singapura berhasil karena birokrasi teknokratis efisien; Israel kokoh karena diaspora dan dukungan eksternal. Aceh, meski memiliki keunikan syariat, masih rapuh karena kelembagaan politik lemah, birokrasi terjebak patronase, dan jejaring global terbatas.
Rekomendasi operasional tiga hingga lima tahun ke depan jelas: syariat harus diterjemahkan ke dalam kebijakan publik berbasis maqāṣid, birokrasi perlu diubah menjadi tekno-birokrasi yang efisien, diaspora Aceh harus diaktifkan sebagai aset global, politik lokal harus dibersihkan dari patronase, dan narasi besar Aceh harus digeser dari formalisasi syariat ke kinerja syariat.
Dengan langkah ini, Aceh tidak hanya menjaga identitasnya, tetapi juga memberi pelajaran global sebagai sebuah Islamic civil lab—laboratorium peradaban Islam yang menunjukkan bahwa nilai religius dapat menjadi energi transformatif bagi kesejahteraan rakyat.
Daftar Pustaka
Anderson, B. (1990). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Cornell University Press.
Aronson, G. (2009). Israel, Palestine and the Politics of Impasse. Pluto Press.
Avonius, L. (2013). Reintegration and Local Politics after Conflict: The Case of Aceh. ISEAS.
Barr, M. D. (2009). The Ruling Elite of Singapore: Networks of Power and Influence. I.B. Tauris.
Chua, A., & Rubenfeld, J. (2014). The Triple Package. Penguin.
Geertz, C. (1980). Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton University Press.
Hefner, R. W. (2001). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton University Press.
Lee, K. Y. (2008). From Third World to First: The Singapore Story. Marshall Cavendish.
Saunders, G. (2011). A History of Brunei. Routledge.
Sela, A. (2002). Religion, state and the Jewish nation in the Israeli context. Israel Studies, 7(1), 471–494.